الحمد لله الذى أظهر بدائع مصنوعاته على أحسن نظام . وخص من بينها من شاء بمزيد الطول والإنعام ووفقه وهداه الى دين الإسلام وأرشده الى طريق معرفة الإستنباط لقواعد الأحكام لمباشرة الحلال وتجنب الحرام . وأشهد ان لااله الا الله وحده لاشريك له ذوالجلال والإكرام وأشهد ان سيدنا محمدا عبده ورسوله المفضل على جميع الأنام صلى الله وسلم عليه وعلى اله وصحبه الغرّ الكرام
وبعد فهذا شرح لمختصرى المسمى بـ" لب الأصول " الذى اختصرت فيه جمع الجوامع يبين حقائقه ويوضح دقائقه ويذلل من اللفظ صعابه . ويكشف عن وجه المعانى نقابه سالكا فيه غالبا عبارة شيخنا العلامة . المحقق الفهامة الجلال المحلى لسلاستها وحسن تأليفها وروما لحصول بركة مؤلفها . وسميته " غاية الوصول الى شرح لب الاصول " والله أسأل ان ينفع به وهو حسبى ونعم الوكيل .
Segala pujian adalah milik Allah yang melahirkan ciptaan-Nya yang indah dengan sebaik-baik bentuk dan yang mengkhususkan di antaranya orang-orang yang dikehendakinya dengan panjang umur dan kelebihan nikmat. Allah yang telah memberikan taufiq dan petunjuk kepada agama Islam dan menunjukinya kepada jalan mengenal istimbath qawaid hukum untuk mendapati halal dan menjauhi yang haram. Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, hanya satu, tidak bersekutu, mempunyai sifat jalal dan kemuliaan. Saya bersaksi bahwa sesungguhnya Sayyidina Muhammad adalah hamba dan Rasulullah yang dilebihkan atas sekalian makhluk. Semoga Allah memberikan rahmat dan kesejahteraan atasnya dan atas keluarga serta sahabat-sahabat yang utama dan mulia.
Sesudah itu, ini adalah syarah bagi mukhtshar karanganku yang bernama “Labb al-Ushul” yang saya ringkas dari Kitab Jam’u al-Jawami’, yang menjelaskan hakikatnya, menerangkan detilnya dan mengurangi kesukaran dari lafazhnya serta membuka yang tersembunyi dari aspek maknanya dengan mengikuti ‘ibarat Syaikhuna al-Muhaqqiq al-Fahamah al-Jalal al-Mahalli pada kebiasaan, karena mudah memahaminya dan bagus susunannya serta karena mengharap dapat barkah pengarangnya. Saya namainya dengan “Ghayah al-Wushul ila Syarh Lab al-Ushul”. Hanya kepada Allah saya meminta agar bermanfaat. Memadai Allah untukku dan sebaik-baik tempat penyerahan diri.
Kamis, 29 Juli 2010
Rabu, 28 Juli 2010
muqaddimah terjemahan Ghayatul Wushul
Akhi dan ukhti YTH :
Pada kesempatan ini, kami merencana melakukan penerjemahan kitab Ghayatul Wushul dengan disertai sedikit ulasan dari kami, tentunya ulasan ini menurut kemampuan yang ada pada kami. Terjemahan ini dan berikut penjelasannya adalah berdasarkan petunjuk dan ilmu yang kami dapati dari guru-guru kami pada waktu kami belajar di dayah/pesantren Darul Mu'arrif Lam-Ateuk Kutabaro-Aceh Besar dan lainnya dan juga dari dosen-dosen kami di Fak. Syari'ah IAIN Ar-Raniri. Disamping itu, tentunya dengan meruju' kepada karya-karya ulama yang dapat membantu kami memahami kitab Ghayatul Wushul ini. Diantaranya Kitab Hasyiah al-Banani 'ala Syarah Jam'u al-Jawami', Hasyiah al-‘Ithar ‘ala Jam’u al-Jawami’, Hasyiah al-Jauhari ‘ala Ghayatul Wushul, al-Nufakhaat, Syarah al-Warqaat, Bahrul Muhith, Lathaif al-Isyarah, al-Luma’, Thariqat al-Hushul ‘ala Ghayatul Wushul dan lainnya, baik dari disiplin ilmu ushul fiqh maupun lainnya. Terjemahan ini, kami rencanakan akan ditampilkan dalam blog kami ini secara bertahap. Kami mengusahakan ditampilkan sesuai dengan themanya sehingga pada akhirnya semua halaman kitab Ghayatul Wushul tersebut selesai diterjemahkan semuanya dengan sempurna.
Kitab Ghayatul Wushul merupakan sebuah kitab Ushul Fiqh yang cukup populer di kalangan ilmuan Islam di Indonesia, baik di kalangan dayah/pesantren maupun lainnya. Kitab ini merupakan hasil karya ulama besar dalam Mazhab Syafi’i, yaitu Syaikh Islam Zakariya al-Anshari. Di Dayah Aceh, umumnya kitab ini di ajarkan pada kelas tingkatan V, VI dan VII. Berdasarkan pengalaman kami pada saat belajar di dayah/pesantren, kitab Ghayatul Wushul ini dianggap sebuah kitab yang tidak mudah dipahami. Sedangkan memahami isi kitab tersebut merupakan suatu keharusan bagi orang-orang yang mau mempelajari ushul fiqh dan fiqh. Dengan pertimbangan itu, maka tergerak hati kami untuk melakukan kegiatan penerjemahan ini. Dengan pertimbangan ini pula, kami mencoba menerjemahkan kitab Ghayatul Wushul ini dengan kata per-kata, meskipun kadang-kadang penerjemahan model ini menyebabkan redaksi terjemahannya agak sedikit kaku dan kurang bagus. Alasannya, supaya para santri yang membaca terjemahan ini akan lebih mudah memahami kitab Ghayatul Wushul dengan memahami maknanya dengan kata per-kata.
Kitab Ghayatul Wushul yang menjadi pedoman kami dalam penerjemahan ini adalah Ghayatul Wushul yang ada pada tangan kami sekarang ini, yaitu terbitan Maktabah Usaha Keluarga, Semarang.
Akhirnya doa restu dari guru-guru kami, para santri dan kaum muslimin semua sangat kami harapkan. Mudah-mudahan usaha kami berhasil hendaknya dan menjadi amalan baik bagi kami. Aminn!.
Pada kesempatan ini, kami merencana melakukan penerjemahan kitab Ghayatul Wushul dengan disertai sedikit ulasan dari kami, tentunya ulasan ini menurut kemampuan yang ada pada kami. Terjemahan ini dan berikut penjelasannya adalah berdasarkan petunjuk dan ilmu yang kami dapati dari guru-guru kami pada waktu kami belajar di dayah/pesantren Darul Mu'arrif Lam-Ateuk Kutabaro-Aceh Besar dan lainnya dan juga dari dosen-dosen kami di Fak. Syari'ah IAIN Ar-Raniri. Disamping itu, tentunya dengan meruju' kepada karya-karya ulama yang dapat membantu kami memahami kitab Ghayatul Wushul ini. Diantaranya Kitab Hasyiah al-Banani 'ala Syarah Jam'u al-Jawami', Hasyiah al-‘Ithar ‘ala Jam’u al-Jawami’, Hasyiah al-Jauhari ‘ala Ghayatul Wushul, al-Nufakhaat, Syarah al-Warqaat, Bahrul Muhith, Lathaif al-Isyarah, al-Luma’, Thariqat al-Hushul ‘ala Ghayatul Wushul dan lainnya, baik dari disiplin ilmu ushul fiqh maupun lainnya. Terjemahan ini, kami rencanakan akan ditampilkan dalam blog kami ini secara bertahap. Kami mengusahakan ditampilkan sesuai dengan themanya sehingga pada akhirnya semua halaman kitab Ghayatul Wushul tersebut selesai diterjemahkan semuanya dengan sempurna.
Kitab Ghayatul Wushul merupakan sebuah kitab Ushul Fiqh yang cukup populer di kalangan ilmuan Islam di Indonesia, baik di kalangan dayah/pesantren maupun lainnya. Kitab ini merupakan hasil karya ulama besar dalam Mazhab Syafi’i, yaitu Syaikh Islam Zakariya al-Anshari. Di Dayah Aceh, umumnya kitab ini di ajarkan pada kelas tingkatan V, VI dan VII. Berdasarkan pengalaman kami pada saat belajar di dayah/pesantren, kitab Ghayatul Wushul ini dianggap sebuah kitab yang tidak mudah dipahami. Sedangkan memahami isi kitab tersebut merupakan suatu keharusan bagi orang-orang yang mau mempelajari ushul fiqh dan fiqh. Dengan pertimbangan itu, maka tergerak hati kami untuk melakukan kegiatan penerjemahan ini. Dengan pertimbangan ini pula, kami mencoba menerjemahkan kitab Ghayatul Wushul ini dengan kata per-kata, meskipun kadang-kadang penerjemahan model ini menyebabkan redaksi terjemahannya agak sedikit kaku dan kurang bagus. Alasannya, supaya para santri yang membaca terjemahan ini akan lebih mudah memahami kitab Ghayatul Wushul dengan memahami maknanya dengan kata per-kata.
Kitab Ghayatul Wushul yang menjadi pedoman kami dalam penerjemahan ini adalah Ghayatul Wushul yang ada pada tangan kami sekarang ini, yaitu terbitan Maktabah Usaha Keluarga, Semarang.
Akhirnya doa restu dari guru-guru kami, para santri dan kaum muslimin semua sangat kami harapkan. Mudah-mudahan usaha kami berhasil hendaknya dan menjadi amalan baik bagi kami. Aminn!.
Senin, 26 Juli 2010
pernikahan melalui telepon
Pernikahan dengan cara ijab qabul melalui telepon hukumnya tidak sah, karena tidak ada pertemuan langsung antara pihak yang melaksanakan akad nikah. Nikah melalui telepon tidak terzhabith, sebab bisa saja suara penelepon bukan berasal dari yang dimaksud sebagai pihak yang melakukan akad.
Berikut keterangan ulama mengenai kewajiban hadir wali, calon pengantin dan dua orang saksi yang dapat menjadi dasar bagi tidak sahnya pernikahan dengan cara ijab qabul melalui telepon, antara lain :
1.Menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah tidak sah sebuah pernikahan melalui tulisan, baik dari tempat jauh maupun di tempat akad, karena tulisan adalah kinayah.
( Dr Wahbah Zuhaili, Fiqh Islami wa Adillatuhu, Darul Fikri, Beirut, Juz. VII, Hal. 46)
2.Taqiyuddin al-Husaini al-Damsyiqi, mengatakan :
“Disyaratkan dalam keabsahan akad nikah hadirnya empat orang ; wali, calon pengantin dan dua orang saksi yang adil”. (Taqiyuddin al-Husaini al-Damsyiqy, Kifayatul Akhyar, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 477)
3.Berkata al-Bujairumy :
“Perkataan pensyarah (wal zhabth), maksudnya : atas lafazh wali dari isteri dan suami, maka tidak memadai mendengar lafazh keduanya dalam gelap, karena suara dapat menyerupai”.( Bujairumy , Hasyiah Bujairumy ‘ala Khatib, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. IV, Hal. 134-135)
Pada halaman berikutnya, beliau mengatakan :
“Alhasil lafazh kinayah tidak sah nikah dengannya, meskipun banyak qarinah atas nikah,meskipun dia berkata : “saya niatkan nikah dengannya”.( Hasyiah Bujairumy ‘ala Khatib, Juz. IV, Hal. 140)
Berdasarkan penjelasan Dr Wahbah Zuhaili, Taqiyuddin al-Husaini al-Damsyiqi dan al-Bujairumy di atas, maka dalam sebuah pernikahan harus memenuhi antara lain :
a.Kehadiran wali dan calon suami dalam majelis akad
b.Lafazh ijab qabul yang digunakan dalam akad harus mempunyai zhabith (tidak boleh ada kesamaran/kemungkinan salah) dan tidak boleh dengan lafazh kinayah seperti tulisan.
c.Karena itu, dengan hanya mendengar suara wali atau calon suami tanpa melihat orang bersangkutan secara langsung dengan kasat mata dalam majelis akad seperti dalam kegelapan atau pernikahan lewat telepon atau lainnya, nikahnya tidak sah.
Dalil tidak boleh akad nikah lewat telepon antara lain sabda Nabi SAW :
Artinya : Tidak ada pernikahan kecuali dengan kehadiran wali dan dua orang saksi.(H.R. Syafi’i dan Baihaqi, Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Darul Hijrah, Juz. VII, Hal. 577)
Jalan pendaliliannya adalah disyaratkan kehadiran dua orang saksi dalam akad pernikahan berdasarkan hadits di atas adalah karena ciri khas pernikahan adalah sifat kehati-hatian mengenai kehormatan wanita dan memelihara pernikahan dari pengingkaran. Inilah yang membedakannya dengan akad lainnya, karena konsekwensi hukum akibat sebuah pernikahan berpotensi dapat menimbulkan banyak masalah. Berdasarkan ini pula, maka disunatkan dalam akad pernikahan disamping dua orang saksi menghadirkan sekelompok ahli shilah wa al-din (orang-orang shaleh). Ibnu Hajar al-Haitamy dalam mengomentari hadits di atas mengatakan :
“ Makna dari hadits itu adalah ihtiyath (kehati-hatian) mengenai kehormatan wanita dan memeliharan pernikahan dari pengingkaran. Karenanya, disamping menhadirkan dua orang saksi, disunatkan pula menghadirkan sekelompok ahli kebajikan dan agama”( Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy hawasyi Syarwani, Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. VII, Hal. 227)
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Khatib Syarbaini dalam kitabnya, al-Iqna’.( Khatib Syarbaini, al-Iqna’, dicetak dalam Hasyiah Bujairumy, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. IV, Hal. 122). Oleh karena itu, dalam pernikahan, lafazh ijab qabul harus mempunyai zhabith (jelas dan tidak samara-samar), tidak boleh dengan lafazh kinayah dan tidak boleh dengan lafazh ijab dan qabul yang hanya terdengar dalam kegelapan tanpa terlihat oleh mata dua orang saksi. Semakna dengan katagori terakhir ini adalah akad pernikahan lewat telepon.
Berikut keterangan ulama mengenai kewajiban hadir wali, calon pengantin dan dua orang saksi yang dapat menjadi dasar bagi tidak sahnya pernikahan dengan cara ijab qabul melalui telepon, antara lain :
1.Menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah tidak sah sebuah pernikahan melalui tulisan, baik dari tempat jauh maupun di tempat akad, karena tulisan adalah kinayah.
( Dr Wahbah Zuhaili, Fiqh Islami wa Adillatuhu, Darul Fikri, Beirut, Juz. VII, Hal. 46)
2.Taqiyuddin al-Husaini al-Damsyiqi, mengatakan :
“Disyaratkan dalam keabsahan akad nikah hadirnya empat orang ; wali, calon pengantin dan dua orang saksi yang adil”. (Taqiyuddin al-Husaini al-Damsyiqy, Kifayatul Akhyar, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 477)
3.Berkata al-Bujairumy :
“Perkataan pensyarah (wal zhabth), maksudnya : atas lafazh wali dari isteri dan suami, maka tidak memadai mendengar lafazh keduanya dalam gelap, karena suara dapat menyerupai”.( Bujairumy , Hasyiah Bujairumy ‘ala Khatib, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. IV, Hal. 134-135)
Pada halaman berikutnya, beliau mengatakan :
“Alhasil lafazh kinayah tidak sah nikah dengannya, meskipun banyak qarinah atas nikah,meskipun dia berkata : “saya niatkan nikah dengannya”.( Hasyiah Bujairumy ‘ala Khatib, Juz. IV, Hal. 140)
Berdasarkan penjelasan Dr Wahbah Zuhaili, Taqiyuddin al-Husaini al-Damsyiqi dan al-Bujairumy di atas, maka dalam sebuah pernikahan harus memenuhi antara lain :
a.Kehadiran wali dan calon suami dalam majelis akad
b.Lafazh ijab qabul yang digunakan dalam akad harus mempunyai zhabith (tidak boleh ada kesamaran/kemungkinan salah) dan tidak boleh dengan lafazh kinayah seperti tulisan.
c.Karena itu, dengan hanya mendengar suara wali atau calon suami tanpa melihat orang bersangkutan secara langsung dengan kasat mata dalam majelis akad seperti dalam kegelapan atau pernikahan lewat telepon atau lainnya, nikahnya tidak sah.
Dalil tidak boleh akad nikah lewat telepon antara lain sabda Nabi SAW :
Artinya : Tidak ada pernikahan kecuali dengan kehadiran wali dan dua orang saksi.(H.R. Syafi’i dan Baihaqi, Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Darul Hijrah, Juz. VII, Hal. 577)
Jalan pendaliliannya adalah disyaratkan kehadiran dua orang saksi dalam akad pernikahan berdasarkan hadits di atas adalah karena ciri khas pernikahan adalah sifat kehati-hatian mengenai kehormatan wanita dan memelihara pernikahan dari pengingkaran. Inilah yang membedakannya dengan akad lainnya, karena konsekwensi hukum akibat sebuah pernikahan berpotensi dapat menimbulkan banyak masalah. Berdasarkan ini pula, maka disunatkan dalam akad pernikahan disamping dua orang saksi menghadirkan sekelompok ahli shilah wa al-din (orang-orang shaleh). Ibnu Hajar al-Haitamy dalam mengomentari hadits di atas mengatakan :
“ Makna dari hadits itu adalah ihtiyath (kehati-hatian) mengenai kehormatan wanita dan memeliharan pernikahan dari pengingkaran. Karenanya, disamping menhadirkan dua orang saksi, disunatkan pula menghadirkan sekelompok ahli kebajikan dan agama”( Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy hawasyi Syarwani, Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. VII, Hal. 227)
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Khatib Syarbaini dalam kitabnya, al-Iqna’.( Khatib Syarbaini, al-Iqna’, dicetak dalam Hasyiah Bujairumy, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. IV, Hal. 122). Oleh karena itu, dalam pernikahan, lafazh ijab qabul harus mempunyai zhabith (jelas dan tidak samara-samar), tidak boleh dengan lafazh kinayah dan tidak boleh dengan lafazh ijab dan qabul yang hanya terdengar dalam kegelapan tanpa terlihat oleh mata dua orang saksi. Semakna dengan katagori terakhir ini adalah akad pernikahan lewat telepon.
mengusap muka setelah berdo’a,
Keterangan ulama mengenai hukum mengusap muka sesudah shalat antara lain pernyataan Syaikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi al-Madny, beliau berkata :
“Demikian juga (pada doa diluar shalat, Pen.) disunatkan mengusap muka. Sesungguhnya telah diriwayat dari Ibnu Umar, sesungguhnya beliau berkata :
“Rasulullah SAW ketika mengangkat kedua tangannya untuk berdo’a, tidaklah menurunkannya kecuali beliau mengusapkannya terlebih dahulu ke mukanya” (Hadits ditakhrij oleh al-Thabrany) (lihat Sayyed Abdurrahman bin Muhammad A’lawy, Bughyatul Murtasyidin, Usaha Keluarga, Semarang, Hal.50)
Terdapat hadits yang senada dengan hadits pertama, yaitu :
1.Hadits riwayat Abu Daud dari Ibnu Abbas :
Artinya : Berdo’a kepada Allah dengan mengangkat bathin telapak tangan kamu dan jangan berdo’a dengan belakang telapak tanganmu. Apabila telah selesai, maka usaplah wajahmu dengannya.(H.R.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 468, Hadits nomor 1485 )
2.Hadits riwayat Sa-ib bin Yazid dari ayahnya :
Artinya : Apabila Rasulullah SAW berdo’a dan mengangkat kedua tangannya, maka beliau mengusap wajahnya dengannya” (H.R.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 469, Hadits nomor 1492)
3. Hadits riwayat Ibnu Abbas :
Artinya : Jika kamu berdo’a kepada Allah, kemudian angkatlah kedua tanganmu (dengan telapak tangan diatas), dan jangan membaliknya. Apabila sudah selesai (berdo’a) usapkan (telapak tangan) kepada muka”.(H.R. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Maktabah Abi al-Ma’athy, Juz. II, Hal. 254, Hadits No. 1181)
4. Hadits riwayat dari Umar :
Artinya : Dari Umar, beliau berkata : “Rasulullah apabila menjulurkan tangannya dalam berdo’a beliau tidak mengembalikan kedua tangannya sehingga beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya”. (H.R.Turmidzi, Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Hal. 339 )
Ibnu Hajar al-Asqalani setelah menyebut hadits di atas, mengatakan :
“Untuk hadits ini ada beberapa syawahid (pendukungnya), antara lain : hadits Ibnu Abbas yang diriwayat oleh Abu Daud. Kumpulannya menunjukkan bahwa hadits itu adalah hasan.”( Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Hal. 340)
Dengan demikian hadits tersebut di atas, dapat dijadikan hujjah dalam menerangkan bahwa mengusap muka setelah selesai berdo’a, hukumnya adalah sunnah. Kesimpulan seperti ini dapat juga disimak dari penjelasan Zakariya al-Anshary dalam Kitab beliau, Talkhis al-Azhiyah fi Ahkam al-Ad’iyah, yaitu :
“ Yang kedua puluh enam adab berdo’a adalah mengusap muka dengan kedua tangannya sesudah membaca do’a. Makna padanya adalah tafa-ul kedua tangannya yang penuh dengan kebaikan, maka mudah-mudahan dilimpahkan atas wajahnya. Banyak khabar tentangnya, sebagiannya adalah itba’ yang diriwayat oleh Turmidzi. Beliau berkata : “Hadits gharib”. Adapun perkataan Syekh Izzuddin dalam Fatawa beliau : “Perbuatan itu tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang bodoh, dipertempatkan karena beliau tidak sempat mengetahui khabar ini. Hadits ini meskipun sanadnya lemah (lainah) tetapi dinilai kuat karena ijtima’ jalan-jalan sanadnya.”( Zakaria al-Anshary, Talkhis al-Azhiyah fi Ahkam al-Ad’iyah, Darul Basyair al-Islamiyah, Beirut, Hal. 56-57)
“Demikian juga (pada doa diluar shalat, Pen.) disunatkan mengusap muka. Sesungguhnya telah diriwayat dari Ibnu Umar, sesungguhnya beliau berkata :
“Rasulullah SAW ketika mengangkat kedua tangannya untuk berdo’a, tidaklah menurunkannya kecuali beliau mengusapkannya terlebih dahulu ke mukanya” (Hadits ditakhrij oleh al-Thabrany) (lihat Sayyed Abdurrahman bin Muhammad A’lawy, Bughyatul Murtasyidin, Usaha Keluarga, Semarang, Hal.50)
Terdapat hadits yang senada dengan hadits pertama, yaitu :
1.Hadits riwayat Abu Daud dari Ibnu Abbas :
Artinya : Berdo’a kepada Allah dengan mengangkat bathin telapak tangan kamu dan jangan berdo’a dengan belakang telapak tanganmu. Apabila telah selesai, maka usaplah wajahmu dengannya.(H.R.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 468, Hadits nomor 1485 )
2.Hadits riwayat Sa-ib bin Yazid dari ayahnya :
Artinya : Apabila Rasulullah SAW berdo’a dan mengangkat kedua tangannya, maka beliau mengusap wajahnya dengannya” (H.R.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 469, Hadits nomor 1492)
3. Hadits riwayat Ibnu Abbas :
Artinya : Jika kamu berdo’a kepada Allah, kemudian angkatlah kedua tanganmu (dengan telapak tangan diatas), dan jangan membaliknya. Apabila sudah selesai (berdo’a) usapkan (telapak tangan) kepada muka”.(H.R. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Maktabah Abi al-Ma’athy, Juz. II, Hal. 254, Hadits No. 1181)
4. Hadits riwayat dari Umar :
Artinya : Dari Umar, beliau berkata : “Rasulullah apabila menjulurkan tangannya dalam berdo’a beliau tidak mengembalikan kedua tangannya sehingga beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya”. (H.R.Turmidzi, Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Hal. 339 )
Ibnu Hajar al-Asqalani setelah menyebut hadits di atas, mengatakan :
“Untuk hadits ini ada beberapa syawahid (pendukungnya), antara lain : hadits Ibnu Abbas yang diriwayat oleh Abu Daud. Kumpulannya menunjukkan bahwa hadits itu adalah hasan.”( Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Hal. 340)
Dengan demikian hadits tersebut di atas, dapat dijadikan hujjah dalam menerangkan bahwa mengusap muka setelah selesai berdo’a, hukumnya adalah sunnah. Kesimpulan seperti ini dapat juga disimak dari penjelasan Zakariya al-Anshary dalam Kitab beliau, Talkhis al-Azhiyah fi Ahkam al-Ad’iyah, yaitu :
“ Yang kedua puluh enam adab berdo’a adalah mengusap muka dengan kedua tangannya sesudah membaca do’a. Makna padanya adalah tafa-ul kedua tangannya yang penuh dengan kebaikan, maka mudah-mudahan dilimpahkan atas wajahnya. Banyak khabar tentangnya, sebagiannya adalah itba’ yang diriwayat oleh Turmidzi. Beliau berkata : “Hadits gharib”. Adapun perkataan Syekh Izzuddin dalam Fatawa beliau : “Perbuatan itu tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang bodoh, dipertempatkan karena beliau tidak sempat mengetahui khabar ini. Hadits ini meskipun sanadnya lemah (lainah) tetapi dinilai kuat karena ijtima’ jalan-jalan sanadnya.”( Zakaria al-Anshary, Talkhis al-Azhiyah fi Ahkam al-Ad’iyah, Darul Basyair al-Islamiyah, Beirut, Hal. 56-57)
azan sebelum subuh
Disunnahkan azan pada waktu subuh dua kali, yaitu sebelum fajar dan pada awal keluar fajar. Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut :
1. Hadits ; Rasulullah saw. mempunyai dua muazin, Bilal dan Ibnu Ummu Maktum yang buta. Bersabda Rasulullah SAW`: “Sesungguhnya Bilal melakukan azan pada waktu malam, maka makan dan minumlah sehingga Ibnu Maktum melakukan azan”.(H.R. Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 768, No. Hadits : 1092)
Imam Nawawi mengatakan : Berdasarkan hadits ini dipahami bahwa dianjurkan pada shalat subuh dua azan, yaitu : salah satunya sebelum fajar dan satu lagi sesudah terbit fajar tetapi pada awalnya”.(An-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. VII, Hal. 202) Dua azan tersebut sunnah dilakukan oleh muazzin yang berbeda. Dengan demikian pada subuh azan dilakukan oleh dua orang, satu muazzin sebelum subuh dan satu lagi sesudah subuh. Apabila muazzin hanya satu orang, maka tetap sunnah dilakukan azan dua kali sebagaimana ada dua orang muazzin. Demikan penjelasan Jalaluddin al-Mahalli.(Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Mahalli, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 130)
2. Hadits Salim bin Abdullah dari ayahnya : Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Bahwasanya Bilal melakukan azan pada malam hari (sebelum masuk waktu Shubuh). Karena itu, makan dan minumlah sehingga Ibnu Ummi Maktum membaca azannya. Ibnu Ummi Maktum adalah orang buta, yang berazan Shubuh di kala orang mengatakan kepadanya : Telah pagi, telah pagi (H.R. Bukhari,Bukhari, Shahih Bukhari, Juz. I, Hal. 127, No. Hadits : 617)
1. Hadits ; Rasulullah saw. mempunyai dua muazin, Bilal dan Ibnu Ummu Maktum yang buta. Bersabda Rasulullah SAW`: “Sesungguhnya Bilal melakukan azan pada waktu malam, maka makan dan minumlah sehingga Ibnu Maktum melakukan azan”.(H.R. Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 768, No. Hadits : 1092)
Imam Nawawi mengatakan : Berdasarkan hadits ini dipahami bahwa dianjurkan pada shalat subuh dua azan, yaitu : salah satunya sebelum fajar dan satu lagi sesudah terbit fajar tetapi pada awalnya”.(An-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. VII, Hal. 202) Dua azan tersebut sunnah dilakukan oleh muazzin yang berbeda. Dengan demikian pada subuh azan dilakukan oleh dua orang, satu muazzin sebelum subuh dan satu lagi sesudah subuh. Apabila muazzin hanya satu orang, maka tetap sunnah dilakukan azan dua kali sebagaimana ada dua orang muazzin. Demikan penjelasan Jalaluddin al-Mahalli.(Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Mahalli, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 130)
2. Hadits Salim bin Abdullah dari ayahnya : Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Bahwasanya Bilal melakukan azan pada malam hari (sebelum masuk waktu Shubuh). Karena itu, makan dan minumlah sehingga Ibnu Ummi Maktum membaca azannya. Ibnu Ummi Maktum adalah orang buta, yang berazan Shubuh di kala orang mengatakan kepadanya : Telah pagi, telah pagi (H.R. Bukhari,Bukhari, Shahih Bukhari, Juz. I, Hal. 127, No. Hadits : 617)
Langganan:
Postingan (Atom)