Tampilkan postingan dengan label sadaqah dan lainnya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sadaqah dan lainnya. Tampilkan semua postingan

Kamis, 13 Juni 2024

Hukum menyalurkan daging qurban di luar domisili yang berqurban

 

Pensyariatan qurban pada saat Hari Raya ‘Idul Adha merupakan salah satu syiar dalam agama Islam. Allah Ta’ala berfirman :

 إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ 

Sungguh, Kami telah memberimu telaga kautsar, maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah. (QS Al-Kautsar: 1-2). 

 

Pelaksanaan qurban ini, substansinya adalah dalam rangka ihraqah al-dam (mengalirkan darah) sebagaimana firman Allah Ta’ala berbunyi :

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ اْلأَنْعَامِ

Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah atas binatang ternak yang telah dirizkikan oleh Allah kepada mereka. (Al-Hajj : 34)

Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat di atas, mengatakan, Allah Ta’ala mengabarkan, senantiasa penyembelihan qurban dan ihraqah al-dam (mengalirkan darah) atas nama Allah menjadi syari’at pada semua agama Allah (Tafsir Ibnu Katsir : V/424). Bertolak dari ayat di atas dengan penafsiran Ibnu Katsir tersebut, dapat dipahami bahwa qurban adalah ibadah yang aspeknya adalah iraqah al-dam (penyembelihan) yang berarti tidak boleh digantikan dengan benda lain termasuk dalam bentuk uang. Kesimpulan ini lebih tegas lagi apabila kita memperhatikan hadits di bawah ini :

ما عمل ادمي من عمل يوم النهر أحب الى الله من إهراق الدم إنه ليأتي يوم القيامهة بقرونها وأشعارها و أظلافها

Tidak ada sebuah amalan pada hari raya dari pada amalan anak Adam yang terlebih cinta kepada Allah melebihi menumpah darah (saat sembelihan), karena sesungguhnya sembelihan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, bulu dan kukunya. (H.R. at-Turmidzi)

Karena itu, qurban haruslah terdiri dari hewan ternak dengan melakukan penyembelihan, tidak boleh diganti dalam bentuk lain seperti dihargakan dalam bentuk uang. Berdasarkan ayat di atas juga, Syeikh Zakaria al-Anshary mensyaratkan qurban dengan binatang ternak, yaitu unta, kerbau/lembu dan kambing/biri-biri, baik betina, khuntsa atau jantan, meskipun yang sudah dikebiri (Fathul Wahab : II/231).

Adapun daging qurban apabila qurban tersebut qurban sunnah, sebagiannya (dalam ukuran  terbenar disebut daging) wajib disadaqahkan kepada minimal satu orang fakir miskin dalam bentuk daging segar dan tidak dimasak. Selebihnya boleh di makan oleh yang berqurban sendiri dan untuk orang yang tidak termasuk katagori fakir miskin (Al-Mahalli IV/255). Penjelasan ini berdasarkan qiyas kepada hadyu tathawu’ dalam bab haji yang warid dalam firman Allah Ta’ala berbunyi :

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

Maka makanlah darinya dan beri makan orang yang sangat fakir (al-Hajj : 28)

 

Dan firman Allah yang berbunyi :

فَكُلُواْ مِنۡهَا وَأَطۡعِمُواْ ٱلۡقَانِعَ وَٱلۡمُعۡتَرَّۚ

Maka makanlah darinya dan beri makan peminta-minta dan yang tidak meminta-minta. (al-Hajj : 36)

 

Sedangkan qurban wajib dengan sebab nazar, yang berqurban sama sekali tidak boleh memakannya. (I’anah al-Thalibin II/378)


Menyalurkan daging qurban di luar domisili yang berqurban

Apakah dimungkinkan dalam fiqh menyalurkan sebagian daging qurban ke luar domisili seseorang ?. Untuk itu, dapat kami jawab sebagai berikut :

1.  Dalam mazhab Syfi’i yang mayoritas dianut di Aceh dan Indonesia, berpendapat memindahkan qurban keluar dari domisili yang berqurban tidak dibenarkan, sama halnya dengan hukum memindahkan zakat. Imam al-Ramli salah seorang ulama besar Syafi’iyah mengatakan :

وَيُمْتَنَعُ نَقْلُهَا عَنْ بَلَدِ الْأُضْحِيَّةِ كَالزَّكَاةِ

Terlarang memindahkan qurban dari domisili qurban sama halnya dengan zakat.(Nihayah al-Muhtaj : VIII/142)

 

Namun larangan pemindahan ini dimaksudkan adalah daging qurban wajib dengan sebab nazar atau sebab lainnya, atau daging qurban yang wajib disadaqahkan kepada fakir miskin setempat dalam hal qurban sunnah, yakni ukuran yang terbenar disebut daging, misalnya satu suap makan.

2.  Karena itu, apabila berqurban dengan cara mengirim sejumlah uang kepada seseorang yang berada di luar domisilinya agar membeli ternak, kemudian melakukan penyembelihan atas nama qurban pemilik uang, maka ini tidak termasuk yang terlarang. Demikian juga tidak terlarang menyalurkan daging qurban sunnah keluar domisili yang berqurban selain daging yang wajib disadaqahkan kepada fakir miskin. Dan demikian juga tidak terlarang  seseorang yang berqurban mengirim dalam bentuk ternak yang belum disembelih kepada seseorang yang berada di luar domisilinya agar kemudian melakukan penyembelihan atas nama qurban pemilik ternak.

Kesimpulan point no 1 dan 2 di atas berdasarkan nash-nash ulama besar dari kalangan Syafi’iyah berikut ini :

a.  Abubakar Syatha dalam I’anah al-Thalibin mengatakan :

ثم إنه علم مما تقرر أن الممنوع نقله هو ما عين للأضحية بنذر أو جعل، أو القدر الذي يجب التصدق به من اللحم في الأضحية المندوبة.وأما نقل دراهم من بلد إلى بلد أخرى ليشتري بها أضحية فيها فهو جائز.

Kemudian sesungguhnya dari apa yang sudah ada ketetapannya dimaklumi bahwa yang terlarang memindahnya adalah hewan qurban yang telah ditentukan untuk qurban (qurban wajib) dengan sebab nazar atau ja’al ataupun daging qurban kadar yang wajib disadaqahkan pada qurban sunnah. Adapun memindah dirham (mata uang) dari satu balad ke balad lain agar dibeli ternak qurban di balad tersebut, maka ini boleh.(I’anah al-Thalibin : II/380)

b.  Dalam Hasiyah al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj disebutkan :

 وَلَا يَجُوزُ نَقْلُ الْأُضْحِيَّةَ عَنْ بَلَدِهَا كَمَا فِي نَقْلِ الزَّكَاةِ مُغْنِي وَنِهَايَةٌ أَيْ مُطْلَقًا سَوَاءٌ الْمَنْدُوبَةُ، وَالْوَاجِبَةُ، وَالْمُرَادُ مِنْ الْحُرْمَةِ فِي الْمَنْدُوبَةِ حُرْمَةُ نَقْلِ مَا يَجِبُ التَّصَدُّقُ بِهِ عَلَى الْفُقَرَاءِ

Tidak boleh memindahkan qurban dari baladnya sebagaimana dalam hal pemindahan zakat. Demikian dalam muqhni dan nihayah. Yakni secara mutlaq baik qurban sunnah maupun wajib. Adapun maksud haram pada qurban sunnah adalah haram memindah daging yang wajib disadaqahkan kepada fakir miskin.(Hasyiah al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj : IX/365)

 

c.   ‘Ali Syibran al-Malasiy mengatakan,

(قَوْلُهُ: وَيُمْتَنَعُ نَقْلُهَا) أَيْ نَقْلُ الْأُضْحِيَّةِ مُطْلَقًا سَوَاءٌ الْمَنْدُوبَةُ وَالْوَاجِبَةُ وَالْمُرَادُ مِنْ الْمَنْدُوبَةِ حُرْمَةُ نَقْلِ مَا يَجِبُ التَّصَدُّقُ بِهِ مِنْهَا

(Perkataan pengarang terlarang memindahnya) maksudnya memindah qurban secara mutlaq, baik qurban sunnah maupun qurban wajib. Adapun maksud terlarang pada qurban sunnah adalah haram memindah daging qurban yang wajib disadaqahkannya.(Hasyiah ‘Ali Syibran al-Malasiy ‘ala Nihayah al-Muhtaj : VIII/142)

 

d.  Sulaiman al-Jamal mengatakan,

‌يَمْتَنِعُ ‌نَقْلُ الْأُضْحِيَّةِ فَهَلْ الْمُرَادُ أَنَّهُ يَجِبُ ذَبْحُهَا فِي الْمَكَانِ الَّذِي يَكُونُ بِهِ وَقْتَ الْوُجُوبِ أَوْ لَا يَجِبُ ذَلِكَ بَلْ فِي أَيِّ مَكَان أَرَادَ ذَبْحَهَا فِيهِ امْتَنَعَ نَقْلُهَا عَنْهُ بِخِلَافِ الْفِطْرَةِ حَيْثُ يَجِبُ إخْرَاجُهَا فِي مَكَانِ الْوُجُوبِ وَهُوَ الْمَكَانُ الَّذِي غَرُبَتْ فِيهِ الشَّمْسُ قَالَ م ر بِالثَّانِي بَحْثًا وَفَرَّقَ بِأَنَّهُ بِمُجَرَّدِ الْغُرُوبِ تَثْبُتُ الْفِطْرَةُ فِي الذِّمَّةِ وَبِمُجَرَّدِ مُضِيِّ الرَّكْعَتَيْنِ وَالْخُطْبَتَيْنِ مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ لَا تَثْبُتُ الْأُضْحِيَّةُ فِي الذِّمَّةِ وَلَا يَتَعَلَّقُ بِهَا حَقُّ الْفُقَرَاءِ إلَّا بَعْدَ الذَّبْحِ بِالْفِعْلِ لِأَنَّهَا غَيْرُ وَاجِبَةٍ وَيَجُوزُ تَرْكُهَا

Terlarang memindahkan qurban, namun apakah maksudnya wajib disembelihnya pada tempat dimana waktu wajibnya pada tempat tersebut atau tidak wajib akan tetapi maksudnya adalah terlarang memindahnya dari tempat yang direncanakan sembelihnya. Ini berbeda dengan zakat fitrah yang wajib disalurkan pada tempat wajib zakatnya, yakni tempat dimana seseorang berada pada waktu terbenam matahari (malam satu syawal). Al-Ramli dalam pembahasannya berpendapat dengan pendapat kedua. Perbedaannya adalah dengan semata-mata terbenam matahari, zakat fitrah tsubut dalam zimmah. Adapun qurban, dengan semata-mata berlalu dua rakaat shalat ‘id serta dua khutbah pada Hari Raya ‘Id Adha tidak tsubut qurban dalam zimmah dan tidak tersangkut hak fakir miskin kecuali setelah terjadi penyembelihan secara nyata, karena qurban tidak wajib dan boleh meninggalkannya.. (Hasyiah al-Jamal ‘ala Syarah al-Manhaj : V/256)

Kesimpulan

Dalam rangka menyahuti kebutuhan saudara-saudara kita seiman dan seakidah di Aceh Tenggara sebagaimana diceritakan sdr Firmando Selian dalam pertanyaan di atas dan  berdasarkan uraian di atas, maka kaum muslimin yang berada di luar kawasan tersebut dapat melakukan sebagai berikut :

1.    Mengirim sejumlah uang kepada seseorang yang berada di kawasan muslim minoritas tersebut agar membeli ternak, kemudian melakukan penyembelihan atas nama qurban pemilik uang.

2.    Atau mengirim dalam bentuk ternak yang belum disembelih kepada seseorang yang berada di kawasan muslim minoritas tersebut agar kemudian melakukan penyembelihan atas nama qurban pemilik ternak.

3.    Ataupun menyalurkan daging qurban sunnah selain daging yang wajib disadaqahkan kepada fakir miskin tempat domisilinya ke kawasan muslim minoritas tersebut

 

 

Minggu, 25 Februari 2024

Hukum nadzar ketika 'turun mandi anak', anak tersebut keluar lewat tulak angen (ventilasi udara) rumah.

 

Assalamualaikum wr. wb

Mohon penjelasan syariat Islam tentang nadzar dan hukum menunaikan jika bentuk nadzar tidak ada unsur pendekatan kepada Allah atau bahkan dilarang agama. Ada kasus nazar, jika dikarunia anak, di sembelih kambing di tengah mesjid. Ini kan bahaya, membuat tempat suci bernajis. Kedua mungkin unsur mubah, namun agak aneh, nadzar jika anak sehat dan tidak kurang sesuatu apapun, ketika 'turun mandi anak' keluar lewat tulak angen (ventilasi udara) rumah. Terima kasih atas jawabannya

Wa’alaikumussalam wr.wb

Nadzar secara bahasa adalah janji (melakukan hal) baik atau buruk. Sedangkan nazar menurut pengertian syara’ adalah:

الْتِزَامُ قُرْبَةٍ لَمْ تَتَعَيَّنْ أَيْ شَأْنُهُ ذَلِكَ،

Mewajibkan menyanggupi melakukan qurbah (perbuatan taat kepada Allah) yang bukan merupakan hal fardhu ‘ain bagi seseorang, yakni substansinya bukan fardhu ‘ain. (Qalyubi ‘ala al-Syarh al-Mahalli: IV/289)

 

Nadzar ini terbagi dua macam, yaitu nadzar lajjaaj dan nadzar tabarrur.

1.   Nadzar lajaaj adalah nadzar yang muncul dari seseorang dalam kondisi marah bertujuan untuk memotivasi seseorang agar melakukan suatu hal, atau mencegah seseorang atau orang lain melakukan suatu hal, atau meyakinkan kebenaran sebuah kabar yang disampaikan oleh seseorang. Pengarang Tuhfah al-Muhtaj adalah:

وَهُوَ أَنْ يَمْنَعَ نَفْسَهُ أَوْ غَيْرَهَا مِنْ شَيْءٍ أَوْ يَحُثَّ عَلَيْهِ أَوْ يُحَقِّقَ خَبَرًا غَضَبًا بِالْتِزَامِ قُرْبَةٍ 

Yaitu seseorang dalam keadaan kondisi marah mencegah dirinya atau selain dirinya dari sesuatu atau memotivasi melakukan sesuatu ataupun meyakinkan kebenaran sebuah berita dengan cara membenani dirinya dengan suatu qurbah (perbuatan taat).

 

Contoh nadzar lajaaj yang berupa pencegahan, seperti ketika seseorang mengatakan “Jika aku berbicara lagi dengan fulan, maka karena Allah, atasku  puasa satu hari”. Nadzar ini dimaksudkan agar dirinya tidak lagi berhubungan dengan fulan. Sebab jika ia melakukan hal tersebut maka ia terkena beban kewajiban melaksanakan puasa. Sehingga nadzar ini dimaksudkan agar seseorang tercegah untuk melakukan suatu hal yang tidak ia senangi. Adapun contoh bertujuan untuk memotivasi seseorang agar melakukan suatu hal, seperti seseorang mengatakan, “Jika aku tidak berbicara lagi dengan fulan, maka karena Allah, atasku puasa satu hari”. Nadzar ini dimaksudkan agar dirinya termotivasi tetap berhubungan dengan fulan. Sebab jika ia tidak melakukan hal tersebut maka ia terkena beban kewajiban melaksanakan puasa. Sedangkan contoh nadzar lajaaj yang bertujuan untuk meyakinkan orang lain akan kebenaran suatu berita yang disampaikan oleh seseorang, misalnya seseorang setelah mengabarkan suatu berita pada orang lain mengatakan “Jika kabar yang aku sampaikan ini tidak benar, niscaya wajib bagiku untuk berpuasa satu hari”. Dengan ucapan ini, orang yang diajak bicara diharapkan akan merasa yakin atas kebenaran berita yang disampaikan olehnya.

Terjadi perbedaan pendapat para ulama Syafi’iyah terhadap konsekwensi hukum akibat pelanggaran nadzar lajaaj ini antara membayar kifarat sumpah atau membayar sesuai dengan yang telah dibebankan kepada dirinya atau bebas memilih keduanya. Namun menurut Imam al-Nawawi dan pendapat yang ditarjih oleh ulama Iraq, pendapat yang dianggap lebih dhahir adalah memilih antara keduanya, yaitu boleh membayar kifarat dan juga boleh membayar sesuai dengan yang telah dibebankan kepada dirinya. Karena dari sisi membebankan qurbah, nadzar lajaaj menyerupai nadzar, sedang dari sisi tujuannya menyerupai tujuan sumpah. Perbedaan pendapat di atas apabila yang dibebani dalam nadzar lajaaj tersebut merupakan suatu qurbah. Adapun apabila bukan suatu qurbah, maka wajib membayar kifarat sumpah. Pengarang Tuhfah al-Muhtaj mengatakan,

أَمَّا إذَا الْتَزَمَ غَيْرَ قُرْبَةٍ كَلَا آكُلُ الْخُبْزَ فَيَلْزَمُهُ كَفَّارَةُ يَمِينٍ بِلَا نِزَاعٍ

Adapun pembebanan dirinya dengan yang bukan qurbah seperti “Tidak akan aku makan roti”, maka wajib atasnya kifarat sumpah tanpa khilaf.

 

2.   Nadzar tabarrur sebagaimana dikemukakan pengarang Tuhfah al-Muhtaj adalah:

)وَنَذْرُ تَبَرُّرٍ) سُمِّيَ بِهِ؛ لِأَنَّهُ لِطَلَبِ الْبِرِّ أَوْ التَّقَرُّبِ إلَى اللَّهِ تَعَالَى (بِأَنْ يَلْتَزِمَ قُرْبَةً) أَوْ صِفَتَهَا الْمَطْلُوبَةَ فِيهَا كَمَا يَأْتِي آخِرَ الْبَابِ (إنْ حَدَثَتْ نِعْمَةٌ) تَقْتَضِي سُجُودَ الشُّكْرِ كَمَا يُرْشِدُ إلَيْهِ تَعْبِيرُهُمْ بِالْحُدُوثِ (أَوْ ذَهَبَتْ نِقْمَةٌ) تَقْتَضِي ذَلِكَ أَيْضًا،

Nadzar tabarrur  adalah mewajibkan menyanggupi melakukan suatu qurbah atau sifat qurbah yang ada tuntutan sebagaimana nantinya di akhir bab, jika datang suatu nikmat yang mengakibatkan disyariatkan sujud syukur sebagaimana ‘ibarat para ulama dengan perkataan “al-huduts” ataupun hilang suatu yang dibenci yang juga mengakibatkan sujud syukur.

(Lihat: Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj: X/69-71)

 

Nadzar tabarrur ini terbagi kepada dua macam, yakni nazar munajjaz, yaitu nadzar yang sifatnya mutlaq dilakukan tanpa mengaitkannya dengan keberhasilan melakukan sesuatu dan nadzar mu’allaq, yaitu nazar yang mengaitkannya dengan keberhasilan melakukan sesuatu. Nadzar munajjaz wajib dipenuhi seketika itu juga begitu lafazh nadzar diucapkan. Adapun nazdar mu’allaq wajib dipenuhi nadzarnya apabila keadaan yang dikaidkan dalam nadzarnya itu menjadi kenyataan. Nabi SAW bersabda:

مَن نَذَرَ أنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ، ومَن نَذَرَ أنْ يَعْصِيَهُ فلا يَعْصِهِ.

Siapa yang bernadzar ketaatan kepada Allah, hendaknya dia melakukan ketaatannya. Dan siapa yang bernadzar melakukan kemaksiatan, maka jangan melakukan kemaksiatannya (H.R. Bukhari)

 

Nadzar dengan suatu yang mubah

Para ulama menyatakan bahwa jika seseorang bernazar dengan perbuatan yang mubah seperti “Jika aku lulus UN, maka aku akan makan lontong,” maka hukum nazarnya tidak sah dan tidak memiliki akibat apa-apa. Hal tersebut berdasarkan hadis riwayat Abu Daud:

لَا نَذْرَ إلَّا فِيمَا اُبْتُغِيَ بِهِ وَجْهُ اللَّهِ تَعَالَى

Tidak ada nazar kecuali untuk hal-hal yang bertujuan mencari keredhaan Allah SWT. (H.R. Abu Daud)

 

Oleh karena itu, jika seseorang terlanjut bernadzar dengan perbuatan yang mubah, maka menurut pendapat yang kuat, ia tidak wajib menunaikan apa yang ia nadzarkan. Dan jika nadzar yang mubah saja tidak sah, maka apalagi nadzar dengan yang makruh atau maksiat.  Pengarang Tuhfah al-Muhtaj mengatakan,

)وَلَوْ نَذَرَ فِعْلَ مُبَاحٍ أَوْ تَرْكَهُ) كَأَكْلٍ وَنَوْمِ مِنْ كُلِّ مَا اسْتَوَى فِعْلُهُ وَتَرْكُهُ أَيْ: فِي الْأَصْلِ وَإِنْ رَجَّحَ أَحَدَهُمَا بِنِيَّةِ عِبَادَةٍ بِهِ كَالْأَكْلِ لِلتَّقَوِّي عَلَى الطَّاعَةِ (لَمْ يَلْزَمْهُ)

Jika seseorang bernadzar dengan melakukan suatu perbuatan mubah atau meninggalkannya seperti makan, tidur atau setiap yang asalnya sama nilainya antara melakukannya dan meninggalkannya, meskipun bisa lebih utama dengan sebab niat ibadah seperti makan dengan tujuan berbuat taqwa kepada ketaatan, maka tidak wajib melakukan apa yang menjadi nadzarnya itu. (Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj: X/81)

 

Qaidah fiqh berbunyi:

ما ثبت بالشرع مقدم على ما ثبت بالشرط

Sesuatu yang ditetapkan dengan syara’ lebih didahulukan dari yang ditetapkan dengan syarat (penetapan manusia)

 

Namun para ulama Syafi’iyah berbeda pendapat apakah wajib kifarat sumpah apabila menyalahi nadzarnya tersebut. Namun pendapat mu’tamad (yang menjadi pegangan) tidak ada kifarat secara mutlaq. Pendapat ini telah dibenarkan Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab dan dinyatakan shahih dalam Raudhah. (Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj: X/81)

Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan di atas dapat dijawab sebagai berikut:

1.   Kasus nadzar “jika anak sehat ketika 'turun mandi anak', anak tersebut keluar rumah lewat tulak angen (ventilasi udara) rumah”, hukum nadzarnya tidak sah. Karena keluar rumah lewat tulak angen (ventilasi udara) rumah tidak termasuk qurbah, hanya perbuatan mubah saja. Di atas telah dijelaskan, nadzar dengan suatu yang mubah, hukum nadzarnya tidak sah.

2.   Kasus nadzar jika dikarunia anak, maka disembelih kambing di tengah masjid, hukumnya tidak sah, bahkan menjadi haram melepas nadzar tersebut. Karena syara’ melarang melakukan sesuatu perbuatan yang mengakibatkan bernajis rumah Allah (masjid).

Wallahua’lam bisshawab

Sabtu, 07 Januari 2023

Hukum memberikan zakat kepada orang miskin yang kesehariannya ditanggung oleh orang lain

 

Seseorang yang tidak punya kemampuan dalam hal nafkah pribadinya, namun ada yang menanggungnya dapat dikelompokan dalam dua katagori hukumnya, yaitu :

1.  Tidak boleh diberikan zakat hak fakir dan miskin kepadanya apabila nafkahnya diberikan oleh suami atau kerabat yang wajib nafkah atasnya seperti anak dan ayah, sedangkan nafkahnya tersebut mencukupi untuk kebutuhannya.

2.  Boleh diberikan zakat hak fakir dan miskin kepadanya dengan syarat :

a.    Nafkahnya diberikan oleh orang atau kelompok orang yang tidak wajib nafkah atasnya seperti kerabat jauh, tetangga dan lain-lain.

b.    Nafkahnya diberikan oleh suami atau kerabat yang wajib nafkah atasnya, akan tetapi tidak mencukupi.

Kesimpulan di atas sesuai dengan keterangan ulama berikut ini :

1.  Al-Khatib al-Syarbaini mengatakan :

(وَالْمَكْفِيُّ بِنَفَقَةِ قَرِيبٍ أَوْ) نَفَقَةِ (زَوْجٍ لَيْسَ فَقِيرًا) وَلَا مِسْكِينًا أَيْضًا فَلَا يُعْطَى مِنْ سَهْمِهِمَا (فِي الْأَصَحِّ) لِأَنَّهُ غَيْرُ مُحْتَاجٍ كَالْمُكْتَسِبِ كُلَّ يَوْمٍ قَدْرَ كِفَايَتِهِ، وَالثَّانِي: نَعَمْ؛ لِاحْتِيَاجِهِمَا إلَى غَيْرِهِمَا. تَنْبِيهٌ مَحَلُّ الْخِلَافِ إذَا كَانَ يُمْكِنُ الْأَخْذُ مِنْ الْقَرِيبِ وَالزَّوْجِ وَلَوْ فِي عِدَّةِ الطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ أَوْ الْبَائِنِ وَهِيَ حَامِلٌ كَمَا قَالَهُ الْمَاوَرْدِيُّ، وَإِلَّا فَيَجُوزُ الْأَخْذُ بَلَا خِلَافٍ، وَخَرَجَ بِذَلِكَ الْمَكْفِيُّ بِنَفَقَةِ مُتَبَرِّعٍ فَيَجُوزُ لَهُ الْأَخْذُ

Orang yang mencukupi nafkahnya dengan pemberian kerabat dekat atau suami bukanlah fakir dan bukan juga miskin. Karena itu, tidak diberikan hak fakir dan miskin kepadanya menurut pendapat yang lebih shahih, karena orang ini tidak membutuhkannya sama halnya orang yang selalu berusaha setiap harinya ukuran kebutuhannya. Pendapat kedua : boleh, karena kedua fakir dan miskin membutuhkan kepada selainnya. Catatan : Posisi khilafiyah adalah apabila memungkinkan mengambil kebutuhannya dari kerabat atau suami meskipun dalam ‘iddah thalaq raj’i atau talaq baa-in sementara dia dalam keadaan hamil sebagaimana dikemukakan oleh al-Mawardiy. Dan seandainya tidak memungkinkan mengambil dari kerabat atau suami, dibolehkan mengambil tanpa khilaf. Dengan penegasan di atas, maka tidak termasuk orang yang mencukupi nafkahnya dengan pemberian yang bertabarru’ (memberi bukan karena dasar wajib), maka dibolehkan mengambilnya.[1]

2.  Dalam mengomentari ucapan pengarang Fathul Wahab, Sulaiman al-Jamal mengatakan :

أَفْهَمَ تَعْبِيرُهُ بِالْكِفَايَةِ أَنَّ الْكَلَامَ فِي زَوْجٍ مُوسِرٍ أَمَّا مُعْسِرٌ لَا يَكْفِي فَتَأْخُذُ تَمَامَ كِفَايَتِهَا بِالْفَقْرِ وَيُفْهِمُ أَيْضًا أَنَّ مَنْ لَمْ يَكْفِهَا مَا وَجَبَ لَهَا عَلَى الْمُوسِرِ لِكَوْنِهَا أَكُولَةً تَأْخُذُ تَمَامَ كِفَايَتِهَا

Dipahami dari ungkapan pengarang dengan “kifayah” bahwa fokus pembahasannya adalah pada suami yang kaya. Adapun suaminya yang miskin tidak menjadikannya mencukupi. Karenanya, isteri mengambil kebutuhannya pada hak fakir. Dapat dipahami pula, bahwa isteri yang tidak mencukupi dengan apa yang wajib atas suami yang kaya karena keadaannya akuulah (banyak kebutuhan) dapat mengambil menyempurnakan kebutuhannya pada hak fakir.[2]

 

3.  Abu Bakar Syathaa dalam menjelaskan pengertian nafkah wajib di atas, beliau mengatakan :

)وقوله: ‌بنفقة ‌قريب) أي واجبة.وهي نفقة الأصل لفرعه، وبالعكس، ونفقة الزوج لزوجته - كما يستفاد من البيان بعده -.وخرج بها النفقة غير الواجبة، كنفقة الأخ على أخته، فلا تمنع الفقر والمسكنة

Perkataan pengarang Fath al-Mu’in “dengan nafkah kerabat dekat”, maksudnya adalah nafkah wajib, yaitu nafkah asal (ayah) kepada furu’ (anak) dan sebaliknya dan juga nafkah suami kepada isterinya sebagaimana dipahami dari penjelasan sesudahnya. Karenanya, tidak termasuk nafkah yang tidak wajib seperti nafkah saudara laki-laki kepada saudara perempuannya, maka tidak menghalangi hak fakir dan miskinnya.[3]

 

 

 

 

 



[1] Al-Khatib al-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Maktabah Syamilah, Juz.  IV, Hal. 174/175

 [2] Sulaiman al-Jamal, Hasyiah al-Jamal ‘ala Fathul Wahab, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 97-98

[3] Abu Bakar Syathaa, I’anah al-Thalibin, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 226

Sabtu, 24 Desember 2022

Bolehkah yang berqurban memakan daging qurban wajib ?

 Pada dasarnya, berqurban pada hari raya ‘Idul Adha hukumnya sunnah muakkadah. Ini merupakan pendapat mazhab Syafi’i dan kebanyakan ulama. Imam al-Nawawi mengatakan :

أَنْ مَذْهَبَنَا أَنَّهَا سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ فِي حَقِّ الْمُوسِرِ وَلَا تَجِبُ عَلَيْهِ وَبِهَذَا قَالَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ وَمِمَّنْ قَالَ بِهِ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ وَعُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَبِلَالٌ وَأَبُو مَسْعُودٍ الْبَدْرِيُّ وَسَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ وَعَطَاءٌ وَعَلْقَمَةُ وَالْأَسْوَدُ وَمَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَأَبُو يوسف واسحق وَأَبُو ثَوْرٍ وَالْمُزَنِيُّ وَدَاوُد وَابْنُ الْمُنْذِرِ

Sesungguhnya mazhab kita (Mazhab Syafi’i), berqurban adalah sunnah muakkadah atas orang yang mampu dan tidak wajib. Pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama. Termasuk yang berpendapat sunnah adalah Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khathab, Bilal, Abu Mas’ud al-Badriy, Sa’id bin Musayyab, ‘Itha’, ‘Alqamah, al-Aswad, Malik, Ahmad, Abu Yusuf, Ishaq, Abu Tsur, al-Muzaniy, Daud, dan Ibnu al-Munzir. (Majmu’ Syarah al-Muhazzab VIII/385)

 

Di antara dalil yang menjadi pegangan kebanyakan ulama ini adalah sabda Nabi SAW yang berbunyi :

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ

Jika masuk bulan Dzulhijah dan salah seorang dari kalian ingin menyembelih qurban, maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya. (H.R. Muslim)

 

Imam Syafi’i mengatakan, hadits ini menjadi dalil bahwa hukum kurban itu tidak wajib. Karena dalam hadits digunakan kata “arada” (siapa yang mau). Nabi SAW menyerahkan ibadah berqurban kepada kemauan seseorang. Seandainya menyembelih qurban itu wajib, maka cukup Nabi SAW mengatakan, “Maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut hingga ia berkurban.” (Al-Majmu’, Syarah al-Muhazzab 8/386).

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa pada dasarnya, berqurban hukumnya sunnah muakkadah, tidak wajib. Namun hukum sunnah ini dapat saja menjadi wajib dengan sebab nadzar atau sebab lainnya. Memang terjadi perbedaan tata cara penyaluran qurban antara yang wajib dan sunnah. Diantara perbedaannya, qurban wajib tidak boleh dimakan oleh yang berqurban. Zainuddin al-Malibarri dalam Kitab Fathul Mu’in menjelaskan :

ويحرم الأكل من أضحية أو هدي وجبا بنذره.

Haram makan qurban atau hadyu yang wajib dengan sebab nazar.

 

Kemudian, penjelasan di atas, dikomentari oleh Abu Bakar Syatha dalam Hasyiah I’anah al-Thalibin :

(قوله: ويحرم الأكل إلخ) إي يحرم أكل المضحى والمهدي من ذلك، فيجب عليه التصدق بجميعها، حتى قرنها، وظلفها. فلو أكل شيئا من ذلك غرم بدله للفقراء

(Perkataan pengarang : haram makan..dst), artinya yang berqurban dan yang memberikan hadyu haram memakannya. Karena itu, wajib atasnya menyalurkan semuanya sebagai sadaqah hingga termasuk tanduk dan kukunya. Apabila dimakan maka dibayar untuk disalurkan kepada fakir miskin sebagai gantinya. (I’anah al-Thalibin II/378)

 

Keharaman ini juga berlaku atas kerabat dari yang berqurban yang nafakahnya masih di bawah tanggungannya sebagaimana dijelaskan dalam I’anah al-Thalibin dalam bab nadzar berikut ini :

‌ولا ‌يجوز ‌له ‌أي ‌الناذر ‌الأكل ‌منه ‌ولا ‌لمن ‌تلزمه ‌نفقتهم قياسا على الكفارة.اه

Makanan yang dinadzarkan tidak boleh dimakan oleh yang bernadzar dan oleh kerabat yang wajib nafkah atas orang yang bernadzar karena diqiyaskan kepada kifarat. (I’anah al-Thalibin : II/417)

Berbeda dengan qurban wajib, qurban sunnah boleh dimakan sebagiannya. Sisanya disalurkan  kepada yang berhak sebagaimana dijelaskan dalam Syarah al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin :

)وَلَهُ) أَيْ لِلْمُضَحِّي (الْأَكْلُ مِنْ أُضْحِيَّةِ تَطَوُّعٍ وَإِطْعَامُ الْأَغْنِيَاءِ) مِنْهَا (لَا تَمْلِيكُهُمْ) وَيَجُوزُ تَمْلِيكُ الْفُقَرَاءِ مِنْهَا لِيَتَصَرَّفُوا فِيهِ بِالْبَيْعِ وَغَيْرِهِ

Boleh bagi yang berqurban memakan qurban tathawu’ (qurban tidak wajib) dan memberi makan orang kaya akan tetapi tidak boleh menjadikan milik kepada orang kaya. Boleh menjadikan milik daging qurban kepada fakir miskin supaya mereka dapat mempergunakannya dengan menjual atau lainnya. (Syarah al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin IV/255)

 

Kesimpulan

1.  Qurban wajib tidak boleh dimakan oleh yang berqurban dan juga kerabat yang masih dibawah tanggungannya. Semuanya wajib disalurkan kepada yang berhak

2.  Apabila yang berqurban terlanjur memakannya, maka wajib diganti, kemudian disalurkan kembali kepada fakir miskin

3.  Adapun qurban sunnah yang tidak wajib, maka yang berqurban boleh memakan sebagiannya. Sisanya diberikan kepada yang berhak.

 

Wallahua’lam bisshawab