Shalat merupakan tiang agama dan salah satu rukun
Islam. Karena itu meninggalkan shalat secara sengaja merupakan dosa besar. Dalam
keadaan apapun, tidak ada alasan bagi orang yang mengaku beriman untuk
meninggalkan shalat kecuali memang ada dispensasi dari agama seperti perempuan
berhaid (maani' al-shalat). Sehingga tidak mengherankan dalam beberapa keadaan yang tidak normal,
meskipun shalat dinyatakan tidak sah,
namun tetap wajib dilakukan demi menghormati waktunya, meskipun kemudian wajib diulangi
lagi apabila keadaan sudah normal kembali.
Berikut ini beberapa keadaan shalat yang dinyatakan
tidak sah, namun tetap wajib dilakukan demi menghormati waktu menurut fiqh
Syafi’i, antara lain :
1. Apabila
tidak menemukan air dan tanah untuk bersuci
Apabila seseorang yang berhadats, baik
hadats besar atau hadats kecil, namun
dia tidak mendapatkan air yang dapat digunakan untuk mandi atau berwudhu’ atau
tanah untuk tayamum, maka orang ini wajib shalat dalam keadaan berhadats demi
menghormati waktu shalat, kemudian setelah mendapatkan air atau tanah, maka
wajib mengulangi shalatnya dengan terlebih dahulu bersuci dengan air atau
tayamum dengan tanah. Dalam Syarah al-Mahalli ‘ala al-Minhaj disebutkan :
ومن لم يجد ماء ولا ترابا كالمحبوس في
موضع ليس فيه واحد منهما لزمه في الجديد ان يصلي الفرض لحرمة الوقت ويعيد اذا وجد
احدهما
“Barangsiapa yang tidak mendapati air dan tanah misalnya orang yang
ditahan pada suatu tempat yang tidak ada padanya salah satu dari air atau tanah
pada tempat tersebut, maka menurut pendapat jadid, wajib melakukan shalat
fardhu untuk menghormati waktu, kemudian mengulangi lagi shalat itu apabila
sudah didapati salah satu keduanya.”[1]
Dalam
Fathul Wahab karya Zakariya al-Anshary disebutkan :
( وَعَلَى فَاقِدِ ) الْمَاءِ
وَالتُّرَابِ ( الطَّهُورَيْنِ ) كَمَحْبُوسٍ بِمَحِلٍّ لَيْسَ فِيهِ وَاحِدٌ
مِنْهُمَا ( أَنْ يُصَلِّيَ الْفَرْضَ ) لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ ( وَيُعِيدَ ) إذَا
وَجَدَ أَحَدَهُمَا
“Wajib atas orang yang tidak mendapati dua
yang menyucikan (air dan tanah), misalnya orang yang ditahan pada suatu tempat
yang tidak ada padanya salah satu dari air atau tanah pada tempat tersebut,
melakukan shalat fardhu untuk menghormati waktu, kemudian mengulangi lagi
shalat itu apabila sudah didapati salah satu keduanya.”[2]
2. Apabila
dalam keadaaan bernajis, tetapi tidak mampu menghilangkannya.
Seseorang dalam keadaaan bernajis, tetapi
tidak ada air guna menyucikannya ataupun ada air, tetapi kalau dibasuh dikuatirkan
terjadi sesuatu yang dapat menghilangkan manfaat atau anggota tubuh atau hal
lain yang memudharatkan tubuh, maka wajib melakukan shalat menurut keadaan apa
adanya, kemudian wajib mengulanginya lagi apabila keadaan sudah normal kembali.
Syeikh Ishaq al-Syairazi mengatakan :
إذَا كَانَ عَلَى بَدَنِهِ نَجَاسَةٌ غَيْرُ
مَعْفُوٍّ عَنْهَا وَلَمْ يَجِدْ مَا يَغْسِلُهَا بِهِ صَلَّى وَأَعَادَ كَمَا
قُلْنَا فِيمَنْ لَمْ يَجِدْ مَاءً وَلَا تُرَابًا وَإِنْ كَانَ عَلَى قَرْحِة
دَمٌ يَخَافُ مِنْ غَسْلِهِ صَلَّى وَأَعَادَ وَقَالَ فِي الْقَدِيمِ لَا يُعِيدُ
لِأَنَّهُ نَجَاسَةٌ يُعْذَرُ فِي تَرْكِهَا فَسَقَطَ مَعَهَا الْفَرْضُ كَأَثَرِ
الِاسْتِنْجَاءِ وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ لِأَنَّهُ صَلَّى بِنَجَسٍ نَادِرٍ غَيْرِ
مُتَّصِلٍ فَلَمْ يَسْقُطْ مَعَهُ الْفَرْضُ كَمَا لَوْ صَلَّى بنجاسة نسيها
“Apabila pada badan seseorang ada najis yang tidak
dimaafkan, sedangkan air untuk membasuhnya tidak ada, maka hendaknya shalat dan
kemudian mengulanginya sebagaimana pendapat kita tentang orang-orang yang tidak
mendapati air dan tanah. Dan jika atas luka seseorang ada darah yang
dikuatirkan kalau membasuhnya, maka hendaknya shalat dan mengulanginya. Berkata
pada pendapat qadim, tidak mengulanginya, karena darah merupakan najis yang
menjadi ‘uzur dalam meninggalkan shalat, maka gugur kewajiban shalat dengan
sebabnya seperti bekas istinjak. Pendapat pertama lebih shahih karena orang
tersebut melakukan shalat dengan bernajis yang jarang (nadir) yang tidak
bersambung-sambung, karenanya tidak gugur kewajiban dengan sebabnya sebagaimana
kalau seseorang shalat dalam keadaan bernajis yang dilupakannya.”[3]
Imam al-Nawawi dalam mengomentari ucapan al-Syairazi
di atas menjelaskan bahwa kewajiban melakukan shalat dalam kasus di atas adalah
demi menghormati waktu shalat dan karena beramal dengan sabda Nabi SAW berbunyi
:
وَإِذَا
أَمَرْتُكُمْ بشئ فاتوا منه ما استطتم
Artinya
: Apabila aku perintah kamu dengan sesuatu, maka datangkanlah menurut kemampuan
kamu. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Adapun
kewajiban mengulangi shalat lagi adalah karena ‘illat yang telah disebut Syeikh
al-Syairazi, pengarang al-Muhazzab di atas, yaitu jarang terjadi (nadir).[4]
Ali Syibran al-Malasi dalam kitab beliau, Hasyiah ‘ala
Nihayah al-Muhtaj, mengatakan :
أَنَّ
مَنْ فَقَدَ السُّتْرَةَ يُصَلِّي عَارِيًّا وَلَا إعَادَةَ عَلَيْهِ ، بِخِلَافِ
الْمُحْدِثِ وَمَنْ بِبَدَنِهِ نَجَاسَةٌ فَإِنَّ كُلًّا مِنْهُمَا يُصَلِّي
لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ وَيُعِيدُ
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak mendapati penutup
aurat hendaknya shalat dalam keadaan tidak menutup aurat dan tidak perlu
mengulanginya. Ini berbeda dengan orang yang berhadats dan orang yang pada
tubuhnya bernajis, maka keduanya ini melakukan shalat untuk menghormati waktu
dan mengulanginya kembali.”[5]
3.
Apabila seseorang dimana keadaannya wajib taqlid dalam
menentukan arah kiblat, tetapi tidak ditemui orang yang boleh ditaqlid.
Tentang ini, Imam al-Nawawi dalam kitab beliau,
al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab mengatakan :
إذَا لَمْ يَجِدْ مَنْ فَرْضُهُ التَّقْلِيدُ مَنْ يُقَلِّدُهُ وَجَبَ
عَلَيْهِ أَنْ يُصَلِّيَ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ عَلَى حَسَبِ حَالِهِ وَتَلْزَمُهُ
الْإِعَادَةُ لِأَنَّهُ عذر نادر
“Apabila seseorang yang kewajibannya adalah taqlid (dalam menentukan
arah kiblat), apabila tidak menemui seseorang yang boleh ditaqlidnya, maka
wajib atasnya shalat demi menghormati waktu menurut sekira-kira keadaannya dan
wajib mengulanginya kembali, karena itu merupakan ‘uzur yang jarang terjadi
(nadir).”[6]
4.
Apabila
seseorang yang mampu berdiri, tetapi shalat sambil duduk karena kuatir
diketahui musuh dalam peperangan.
Imam
al-Nawawi mengatakan :
لَوْ جَلَسَ لِلْغُزَاةِ رَقِيبٌ يَرْقُبُ الْعَدُوَّ فَأَدْرَكَتْهُ
الصَّلَاةُ وَلَوْ قَامَ لَرَآهُ الْعَدُوُّ أَوْ جَلَسَ الْغُزَاةُ فِي مَكْمَنٍ
وَلَوْ قَامُوا رَآهُمْ الْعَدُوُّ وَفَسَدَ التَّدْبِيرُ فَلَهُمْ الصَّلَاةُ
قُعُودًا وَتَجِبُ الْإِعَادَةُ لِنُدُورِهِ
“Dalam suatu peperangan, sipengintai duduk mengintai musuhnya, pada
waktu itu datang waktu shalat, seandainya dia berdiri, pastilah dilihat musuh
atau para tentara duduk pada suatu tempat dimana seandainya mereka berdiri,
pastilah mereka dilihat musuh sehingga rusaklah pengaturannya, maka bagi mereka
ini boleh shalat dalam keadaan duduk dan wajib mengulanginya lagi karena jarang
terjadi (nadir).”[7]
5.
Orang muqim yang tidak menemui air, lalu shalat dengan
bertayamum
Dalam Syarah al-Mahalli disebutkan :
(وَيَقْضِي
الْمُقِيمُ الْمُتَيَمِّمُ لِفَقْدِ الْمَاءِ) لِنُدُورِ فَقْدِهِ فِي الْإِقَامَةِ
وَعَلَى الْمُخْتَارِ السَّابِقِ لَا يَقْضِي (لَا الْمُسَافِرُ) الْمُتَيَمِّمُ لِفَقْدِهِ
لِعُمُومِ فَقْدِهِ فِي السَّفَرِ
“Muqim yang bertayamum karena tidak ditemui
air mengqadha shalatnya, karena jarang tidak air pada tempat bermuqim. Berdasarkan
pendapat yang terpilih terdahulu tidak diqadha. Musafir yang bertayamum karena
tidak ada air tidak perlu mengqadhanya, karena umum tidak ada air dalam
perjalanan.”[8]
6.
Bertayamum dengan sebab takut kepada dingin
Dalam Syarah
al-Mahalli disebutkan :
(وَمَنْ
تَيَمَّمَ لِبَرْدٍ قَضَى فِي الْأَظْهَرِ) لِنُدُورِ فَقْدِ مَا يُسَخِّنُ بِهِ الْمَاءَ،
وَالثَّانِي لَا يَقْضِي مُطْلَقًا، وَيُوَافِقُهُ الْمُخْتَارُ السَّابِقُ. وَالثَّالِثُ
يَقْضِي الْحَاضِرُ دُونَ الْمُسَافِرِ (أَوْ) تَيَمَّمَ (لِمَرَضٍ يَمْنَعُ الْمَاءَ
مُطْلَقًا) أَيْ فِي جَمِيعِ أَعْضَاءِ الطَّهَارَةِ (أَوْ فِي عُضْوٍ وَلَا سَاتِرَ)
بِذَلِكَ مِنْ جَبِيرَةٍ فَأَكْثَرَ مَثَلًا (فَلَا) يَقْضِي لِعُمُومِ الْمَرَضِ
“Barangsiapa yang bertayamum karena dingin, maka hendaknya mengqadha
shalatnya menurut pendapat yang lebih dhahir, karena jarang terjadi tidak
ditemui hal-hal yang dapat menghangatkan air itu. Pendapat kedua tidak diqadha
secara mutlaq. Pendapat ini sesuai dengan pendapat terpilih terdahulu. Pendapat
ketiga diqadha oleh yang hadhir, tidak oleh musafir. Barangsiapa yang
bertayamum karena sakit yang tertegah menggunakan air secara mutlaq, maksudnya
pada semua anggota tubuh atau pada satu anggotanya, tetapi tidak ada penutup
(saatir) pada anggota tubuh itu berupa jabirah atau banyak anggota tubuh
(sebagai contoh), maka tidak mengqadha, karena umum sakit.”[9]
7.
Apabila meletak penutup sakit sedangkan si sakit dalam keadaan berhadats
Seseorang sakit misalnya patah tulang, setelah diurut tulangnya lalu
dibuatlah penutup (jabirah). Apabila jabirah ini diletak pada tulang patah
tersebut dimana sisakit dalam keadaan berhadats, maka wajib dicabut jabirah
tersebut, tetapi apabila tidak mungkin, maka dia wajib shalat pada waktunya,
tetapi wajib mengulanginya kembali pada waktu lain apabila sudah norma kembali.
Dalam Syarah al-Mahalli ‘ala al-Minhaj disebutkan :
(فَإِنْ وَضَعَ) السَّاتِرَ (عَلَى حَدَثٍ وَجَبَ نَزْعُهُ)
إنْ أَمْكَنَ بِأَنْ لَا يَخَافَ مِنْهُ ضَرَرًا كَمَا ذَكَرَهُ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ
لِيَتَطَهَّرَ فَيَضَعَهُ عَلَى طُهْرٍ فَلَا يَقْضِي كَمَا تَقَدَّمَ. (فَإِنْ تَعَذَّرَ)
نَزْعُهُ لِخَوْفِ مَحْذُورٍ مِمَّا ذَكَرَهُ
فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ (قَضَى) مَعَ مَسْحِهِ بِالْمَاءِ (عَلَى الْمَشْهُورِ) لِانْتِفَاءِ
شَبَهِهِ حِينَئِذٍ بِالْخُفِّ.
“Apabila diletak penutupnya atas dalam keadaan berhadats, maka wajib
mencabutnya apabila memungkinkan yakni apabila tidak dikuatirkan mudharat
sebagaimana disebut dalam Syarah al-Muhazzab supaya bersuci kembali dan
meletakkan kembali dalam keadaan suci, sehingga tidak perlu mengqadha lagi
sebagaimana yang sudah dahulu. Namun jika ‘uzur mencabutnya karena kekuatiran
yang perlu dipelihara sebagaimana disebut dalam Syarah al-Muhazzab, maka hendaknya
mengqadha shalatnya dengan disertai menyapu dengan air berdasarkan pendapat
masyhur karena ternafi kesamaannya dengan menyapu sepatu.”[10]
Berdasarkan beberapa contoh kasus dan fatwa ulama
Syafi’iyah di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. bahwa ada beberapa kasus dalam shalat yang tidak
memenuhi persyaratan keabsahan shalat, tetapi shalat tersebut tetap wajib dilaksanakan
menurut keadaan apa adanya karena menghormati waktu. Kewajiban ini sebagaimana telah
disebut oleh Imam al-Nawawi di atas adalah karena beramal dengan sabda Nabi SAW
berbunyi :
وَإِذَا
أَمَرْتُكُمْ بشئ فاتوا منه ما استطتم
Artinya
: Apabila aku perintah kamu dengan sesuatu, maka datangkanlah menurut kemampuan
kamu. (H.R. Bukhari dan Muslim)
2. Namun kewajiban melaksanakan pada waktunya menurut
keadaan apa adanya ini tidak menggugurkan taklif, karena itu, tetap wajib
diulangi kembali (i’adah) apabila keadaan normal kembali. Kami menangkap dari
fatwa-fatwa di atas (mudah-mudahan ini benar) bahwa ‘illat mengulangi kembali
shalat adalah nadir terjadi (jarang terjadi), maksudnya apabila kasus tersebut
nadir, maka wajib mengulangi kembali shalatnya dan sebaliknya kalau umum terjadi
(tidak nadir), maka tidak perlu mengulanginya kembali.
3. Ada dua perkataan yang dijadikan istilah
oleh ulama-ulama di atas untuk makna “mengulangi kembali shalat”, yaitu pertama
“i’adah” dan kedua “qadha”. Menurut hemat kami yang dha’if ilmu ini, perbedaan
ini adalah karena perbedaan ulama dalam mengguna istilah untuk shalat yang
dilakukan diluar waktu padahal shalat tersebut sudah pernah dilaksanakan dalam
waktunya namun dianggap cedera salah rukun atau syaratnya. Sebagian ulama
mengatakan itu sebagai I’adah, sedangkan ulama lain mengatakannya sebagai
qadha.
Bersambung kepada Bag. 2 :
Shalat Untuk Menghormati Waktu Bag. 2 (Dalil-dalilnya)
[1]. Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Mahalli ‘ala
al-Minhaj, (Dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah), Darul Ihya
al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 96
[2]. Zakariya al-Anshary, Fathul Wahab,
(Dicetak pada hamisy al-Bujairumi ‘ala Fathul Wahab), Cet. Darul Fikri, Juz. I,
Hal. 128
[3] Syeikh Ishaq Syairazi, al-Muhazzab, Dicetak dalam
al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Cet. Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. III, Hal.
144
[5] Ali Syibran
al-Malasy, Hasyiah ‘ala Nihayah al-Muhtaj, (Versi Maktabah
Syamilah) Juz. I, Hal. 58
[8] Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Mahalli ‘ala al-Minhaj,
(Dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah), Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah,
Indonesia, Juz. I, Hal. 96
[9] Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Mahalli ‘ala al-Minhaj,
(Dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah), Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah,
Indonesia, Juz. I, Hal. 97
[10] Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Mahalli ‘ala al-Minhaj,
(Dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah), Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah,
Indonesia, Juz. I, Hal. 98