Tampilkan postingan dengan label do'a dan zikir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label do'a dan zikir. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 07 Oktober 2023

Hukum Leungik Dikee (gerakan tubuh pada waktu zikir Maulid Nabi)

 

Sudah menjadi kebiasaan di Aceh dalam memperingati Maulid Nabi besar Muhammad SAW diadakan zikir barzanji yang berisi shalawat dan puji-pujian kepada Nabi SAW. Sebagiannya ada yang menggoyangkan tubuh dengan mengikuti irama seperti tarian pada umumnya (orang Aceh menyebutnya leungik dikee). Leungik dikee ini dilakukan baik pada waktu duduk maupun waktu berdiri. Pada prinsipnya  leungik dikee ini boleh-boleh saja dilakukan asalkan dilakukan memperhatikan adab-adab berzikir dan tidak ada unsur perbuatan maksiat di dalamnya, karena tidak ada dalil syara’ yang melarangnya. Karena itu berlaku qaidah fiqh berbunyi :

الاصل في الاشياء الاباحة حتى يدل الدليل على التحريم

Asal sesuatu adalah mubah sehingga ada dalil yang menunjuki kepada haram. (Al-Asybah wal-Nadhair, karya al-Suyuthi :43)

 

Allah Ta’ala berfirman :

ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.(Q.S. Ali Imran : 191)

 

Mengomentari ayat ini, Syeikh Muhammad Khaliliy al-Syafi’i mengatakan,

علمت أن الحركة فى الذكر والقرأة ليست محرمة ولا مكروهة بل هي مطلوبة فى جملة أحوال الذاكرين من قيام وقعود وجنوب وحركة وسكون وسفر وحضر وغني وفقر

Saya jadi mengerti bahwasannya menggerakkan (anggauta badan) ketika berzikir maupun membaca (al-Qur’an)  bukanlah sesuatu yang haram ataupun makruh. Akan tetapi sangat dianjurkan dalam semua kondisi baik ketika berdiri, duduk, berbaring, bergerak, diam, dalam perjalanan, di rumah, ketika kaya, ataupun ketika faqir. (Fatawa al-Khaliliy: I/36)

 

Namun demikian, dalam leungik dikee ada adab-adab yang harus diperhatikan, antara lain :

1.  Leungik dikee tersebut tidak menyebabkan kesalahan mengucapkan zikir. Hal ini sangat penting diperhatikan, karena kesibukan dengan gerakan tubuh, kadang-kadang melalaikan pengucapkan zikir yang benar. Kalau gerakan tubuhnya dapat menyebabkan kesalahan pengucapan zikir sehingga dapat merobah maknanya, maka ini tidak jauh kalau kita katakan bahwa leungik dikee semacam ini adalah haram atau minimal makruh.

2.  Leungik dikee tersebut tidak menyerupai perbuatan pelaku maksiat. Misalnya Leungik dikee yang dilakukan secara berlebihan, yang menyerupai tarian dimana gerakannya dipengaruhi karena mabuk minuman keras atau menyerupai tarian dalam konser-konser musik keras yang sudah menjadi simbol maksiat. Larangan leungik dikee seperti ini sesuai  dengan hadits Nabi SAW berbunyi:

من تشبه بقوم فهومنهم

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dalam kaum itu. (H.R. Abu Daud)

 

Hadits ini meskipun sanadnya dhaif, kualitasnya naik menjadi hasan karena ada sokongan dari jalur-jalur lain. Karena itu, Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan, Hadits ini ditakrij oleh Abu Daud dengan sanad hasan. (Fathulbarri:  X/271)

3.  Gerakan tubuh dalam leungik dikee tidak menyerupai gerakan gemulai kaum waria.

لَعَنَ النَّبِيُّ صلعم ‌الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ، وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنَ النِّسَاءِ

Nabi SAW melaknat kaum mukhannats (laki-laki bergaya perempuan) dan kaum mutarajjilaat (perempuan bergaya laki-laki). (H.R. Bukhari).

 

Dalam Mughni al-Muhtaj karya al-Khatib al-Syarbaini dijelaskan,

)لَا الرَّقْصُ) فَلَا يَحْرُمُ؛ لِأَنَّهُ مُجَرَّدُ حَرَكَاتٍ عَلَى اسْتِقَامَةٍ أَوْ اعْوِجَاجٍ، وَلَا يُكْرَهُ كَمَا صَرَّحَ بِهِ الْفُورَانِيُّ وَغَيْرُهُ، بَلْ يُبَاحُ

Tidak haram tarian. Maka tarian itu tidak haram, karena semata-mata gerakan tubuh yang tetap atau membungkuk dan juga tidak makruh sebagaimana diterangkan oleh al-Furaaniy dan lainnya tetapi hanya mubah.

 

Kemudian pengarangnya mengecualikan:

)إلَّا أَنْ يَكُونَ فِيهِ تَكَسُّرٌ كَفِعْلِ الْمُخَنِّثِ(

Kecuali keadaan gerakan tariannya patah-patah seperti perilaku waria (Mughni al-Muhtaj : VI/350)

 

Sesuai dengan keterangan di atas, gerakan tubuh dalam leungik dikee yang menyerupai gerakan gemulai kaum waria, hukumnya adalah haram.

Wallahua’lam bisshawab

 

 

Selasa, 22 Februari 2022

Waktu-waktu fadhilah bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW

 Sebagaimana dimaklumi disyariatkan kepada kita  bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW dimana saja dan kapan saja sesuai firman Allah Ta’ala berbunyi :

إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِىِّ ۚ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ صَلُّوا۟ عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا۟ تَسْلِيمًا

"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kepada Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya."(QS. Al-Ahzab : 56)


Namun demikian ada beberapa waktu lebih diutamakan bershalawat. Berikut ini waktu-waktu fadhilah bershalawat kepada Nabi SAW yang disebut oleh Ibnu Hajar al-Haitamiy dalam kitab beliau, al-Dar al-Mandhud fi al-Shalah wa al-Salam ‘ala Shahib al-Maqam al-Mahmud.[1] Sesuai dengan penjelasan beliau, dalil-dalilnya ada yang shahih, hasan dan dha’if. Dikemukakan hadits dha’if di sini karena hadits dha’if sesuai dengan pendapat jumhur ulama dibolehkan pengamalannya pada bab fadhailul amal.

Adapun waktu-waktu lebih diutamakan bershalawat tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :

1.    Setelah selesai wudhu’, mandi dan tayammum

2.    Dalam shalat yang ada dibaca ayat yang disebut nama Nabi Muhammad SAW. Dianjurkan bagi yang membaca dan mendengarnya sebagaimana pendapat yang dikutip pengarang al-Anwar dari al-‘Ijliy dan beliau mentarjihkannya. Namun menurut al-Nawawi tidak dianjurkan. (perlu ditambah lagi beberapa catatan). Juga dalam shalat, disunnahkan membaca shalawat kepada Nabi SAW pada tasyahud awal dan pada akhir qunut witir karena warid demikian. Adapun qunut shubuh diqiyaskan kepada witir.

3.    Setelah melaksanakan shalat

4.    Setelah iqamah dan azan

5.    Ketika bangun tidur untuk shalat malam

6.    Setelah selesai dari tahajjud

7.    Ketika melewati masjid, masuk dan keluar masjid

8.    Pada hari dan malam Jum’at

9.    Dalam khutbah seperti khutbah Jum’at, khutbah hari raya, khutbah gerhana dan khutbah shalat minta hujan. Shalawat dalam khutbah merupakan rukun menurut mazhab Syafi’i.

10.Disela-sela takbir shalat hari raya

11.Dalam shalat jenazah. Disyariatkan setelah takbir kedua. Pendapat yang masyhur dari Syafi’i dan Ahmad merupakan rukun shalat jenazah

12.Setelah membaca talbiyah, ketika melaksana sa’i antara shafa dan marwah, ketika mengusap batu hajar aswad dan ketika thawaf pada waktu melaksanakan haji

13.Ketika ziarah kubur Nabi SAW. Imam-imam kita mengatakan disunnahkan juga memperbanyak  shalawat pada jalan bagi orang yang berniat berpergian kepada Nabi SAW. Demikian juga pada saat melihat peninggalan-peninggalan Nabi SAW, lebih-lebih lagi saat melihat rumah tempat tinggal beliau SAW.

14.Ketika menyembelih

15.Ketika melakukan akad jual beli

16.Ketika menulis wasiat

17.Dalam khutbah pernikahan

18.Pada awal dan akhir siang hari, ketika mau tidur dan bagi orang yang sedkit tidurnya

19.Ketika mau melakukan perjalanan

20.Ketika mau naik kenderaan

21.Ketika mau masuk pasar, menghadiri dakwah dan seumpamanya

22.Ketika masuk tempat tinggal, mengalami kefakiran atau membutuhkan kebutuhan  ataupun  kuatir terjadi hal tersebut

23.Dalam surat-surat yakni setelah basmalah

24.Ketika kesusahan, kegentingan dan menimpa tha’un

25.Ketika kuatir tenggelam

26.Pada awal, pertengahan dan akhir do’a

27.Ketika berkumandang azan

28.Ketika kebas kaki

29.Ketika haus

30.Ketika teringat yang terlupakan atau kuatir lupa

31.Ketika terkagum melihat sesuatu

32.Ketika makan sayur lobak

33.Ketika meringkik keledai

34.Ketika terlanjur melakukan dosa

35.Ketika datang hajat

36.Pada setiap keadaan

37.Ketika menjadi tertuduh, padahal tidak berbuat apa yang dituduh

38.Ketika bertemu kawan

39.Ketika tersesat dari kelompok setelah sempat bersama-sama dengan kelompoknya, ketika berdiri dari majelis dan pada setiap tempat berkumpul untuk berzikir kepada Allah Ta’ala

40.Ketika khatam al-Qur’an

41.Dalam do’a untuk dapat menghafal al-Quran

42.Ketika memulai setiap kalam

43.Ketika menyebut nama Nabi SAW

44.Pada ketika menyebar ilmu, nasehat dan membaca hadits, baik pada awal ataupun pada ujungnya

45.Ketika melakukan ifta’ hukum

46.Ketika menulis nama Nabi SAW

 

 

 



[1] Ibnu Hajar al-Haitamiy, al-Dar al-Mandhud fi al-Shalah wa al-Salam ‘ala Shahib al-Maqam al-Mahmud, Darul Minhaj, Hal. 200-258

Senin, 07 Februari 2022

Anjuran Membaca ayat dan surat dari Al-Quran dalam Waktu dan Keadaan Tertentu (Menurut Imam al-Nawawi dalam kitabnya, al-Tibyan fi Adab Hamalah al-Qur’an)

 Imam al-Nawawi menyebutkan di antaranya :[1]

1.    Memperbanyak membaca al-Qur’an pada Bulan Ramadhan.

2.    Lebih banyak lagi membaca Al-Qur’an pada sepuluh yang akhir dari Bulan Ramadhan

3.    Lebih dikuatkan lagi pada malam ganjil dari sepuluh yang akhir dari Bulan Ramadhan

4.    Memperbanyak membaca al-Qur’an pada sepuluh yang pertama dari Bulan Dzulhijjah

5.    Memperbanyak membaca al-Qur’an pada Hari ‘Arafah, pada Hari Jum’at, setelah Subuh dan pada waktu malam

6.    Memperbanyak membaca Surat Yasin, Surat al-Waqi’ah dan Surat al-Mulk

7.    Sunnah membaca Surat alif laam miim al-Tanziil (Surat al-Sajdah) dengan sempurna pada rakaat pertama setelah al-Fatihah pada shalat Subuh Hari Jum’at dan Surat Hal ataa ‘ala al-Insan  (Surat al-Insan) dengan sempurna  pada rakaat kedua

8.    Sunnah membaca Surat al-Jum’ah pada rakaat pertama dari shalat Jum’at  dengan sempurna dan Surat al-Munaafiquun dengan sempurna pada rakaat kedua. Boleh juga membaca Surat Sabbihismarabbika a’laa (Surat al-A’laa) pada rakaat pertama dan Surat Hal ataaka hadiits al-Ghasyiyah (Surat al-Ghasyiyah)

9.    Sunnah membaca Surat Qaf dengan sempurna pada rakaat pertama shalat ‘id dan Surat Iqtarabatissaa’ah (Surat al-Qamar) dengan sempurna pada rakaat kedua. Boleh juga Surat Sabbihismarabbika a’laa (Surat al-A’laa) pada rakaat pertama dan Surat Hal ataaka hadiits al-Ghasyiyah (Surat al-Ghasyiyah) pada rakaat kedua

10.Sunnah membaca Surat Qul Ya aiyuhaa al-Kafiruun (Surat al-Kafiruun) pada rakaat pertama dari shalat sunnah Subuh dan Surat Qul huwallah pada rakaat kedua. Boleh juga pada rakaat pertama  membaca ayat :

قُوْلُوْٓا اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَمَآ اُنْزِلَ اِلَيْنَا وَمَآ اُنْزِلَ اِلٰٓى اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ وَيَعْقُوْبَ وَالْاَسْبَاطِ وَمَآ اُوْتِيَ مُوْسٰى وَعِيْسٰى وَمَآ اُوْتِيَ النَّبِيُّوْنَ مِنْ رَّبِّهِمْۚ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْهُمْۖ وَنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ

(Q.S. al-Baqarah : 136)

Dan pada rakaat kedua membaca :

قُلْ يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ تَعَالَوْا اِلٰى كَلِمَةٍ سَوَاۤءٍۢ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ اَلَّا نَعْبُدَ اِلَّا اللّٰهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهٖ شَيْـًٔا وَّلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُوْلُوا اشْهَدُوْا بِاَنَّا مُسْلِمُوْنَ

(Q.S. Ali Imran : 64)

11.   Sunnah membaca Surat al-Kafiruun pada rakaat pertama dari shalat sunnah Magrib dan Qul huwallah pada rakaat kedua. Dan sunnah pula dibaca keduanya pada shalat sunnah thawaf dan Istikharah.

12.   Sunnah bagi yang melakukan shalat witir tiga rakaat membaca Surat al-A’laa pada rakaat pertama, Surat al-Kafiruun pada rakaat kedua dan Surat Qul huwallah serta Qul a’uzu birabbinnas dan Qul a’uzu birabb al-falaq pada rakaat ketiga

13.   Dianjurkan membaca Surat al-Kahfi pada hari Jum’at. Menurut Imam Syafi’i dalam al-Um juga dianjurkan membacanya pada malam Jum’at.

14.   Al-Darimiy menyebut hadits dianjurkan membaca Surat Hud pada Hari Jum’at.

15.   Dari Makhuul dari kalangan Tabi’in menganjurkan membaca Surat Ali Imran pada Hari Jum’at

16.   Dianjurkan membaca ayat kursi pada setiap keadaan. Dan dianjurkan membacanya pada setiap malam saat mau tidur

17.   Dianjurkan membaca Qul a’uzu birabbinnas dan Qul a’uzu birabb al-falaq pada setiap setelah selesai shalat

18.   Pada saat mau tidur dianjurkan membaca ayat kursi, Surat Qul huwallah, Qul a’uzu birabbinnas dan Qul a’uzu birabb al-falaq serta akhir surat al-Baqarah. Ini termasuk yang dipentingkan dan dikuatkan.

19.   Pada waktu terbangun dari tidur pada setiap malam, dianjurkan membaca akhir Surat Ali Imran mulai dari :

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ

Ayat ke 190 sampai tamat Surat Ali Imran.

20.   Dianjurkan dibaca pada orang sakit Surat al-Fatihah, Qul huwallah, Qul a’uzu birabbinnas dan Qul a’uzu birabb al-falaq

21.   Dianjurkan membaca Surat Yasin pada orang yang meninggal dunia.

22.   Dari Mujalid dari al-Sya’bi, orang-orang Anshar membaca Surat al-Baqarah pada saat menghadiri orang yang sudah meninggal dunia.

selesai



[1] Al-Nawawi, al-Tibyan fi Adab Hamalah al-Qur’an, Maktabah al-Muayyad, Saudi Arabiya, Hal. 176-185

Minggu, 25 Januari 2015

Nadham Lam Yahtalim dan Sumber Rujukannya

Nadham Lam yahtalim, demikianlah sebutannya yang popular di Aceh dan di Indonesia pada umumnya merupakan nadham yang sering diucapkan secara berirama sesudah shalat atau pada moment lainnya di Aceh. Nadham yang dinamakan juga dengan al-Syamail al-Muhammadiyah al-Syarifah ini mengandung penyebutan sifat-sifat mulia Nabi Muhammad SAW. Nadham ini antara lain telah disebut dalam kitab al-Maraqi al-Ubudiyah karangan Syeikh al-Nawawi al-Bantani pada halaman 3 versi terbitan Radja Murah Pekalongan. Nadham tersebut adalah :

لَمْ يَحْتَلِمْ قَطُّ طٰـهَ مُطْـلَقًا أَبَدًا        *         وَمَا تَثـَائَبَ أَصْـلاً فِىْ مَدَى الزَّمَنِ

مِنْهُ الدَّوَابُ فَـلَمْ تَهْرَبْ وَمَـا وَقَعَتْ        *ذُبَابَةٌ أَبَـدًا فِى جِسْمِـهِ الْحَسَنِ

بِخَلْـفِهِ كَأَمَـامٍ رُؤْيَةٌ ثَـــبَتَتْ            *     وَلَا يُرٰى أَثْـرُ بَوْلٍ مِـنْهُ فِيْ عَلَنِ

وَقَلْبُهُ لَمْ يَنَـمْ وَالْعَيْنُ قَدْ نَعَسَتْ       *       وَلَايَرٰى ظِـلَّهُ فِى الشَّمْسِ ذُوْ فَـطِنِ

كَـتْفَاهُ قَدْ عَلَـتَا قَوْمًا إِذَا جَلَسُوْا      *       عِنْـدَ الْوِلَادَةِ صِـفْ يَا ذَا بِمُخْتَتَنِ

هَذِه الْخَصَائِصَ فَاحْفَظْهَا تَكُنْ أٰمِنًا*        مِنْ شَرِّ نَـارٍ وَسُرَّاقٍ وَمِـنْ مِحَنِ

Terjemahannya lebih kurang sebagai berikut :

1.        Rasulullah SAW tidak pernah mimpi bersetubuh baik sebelum jadi nabi atau setelahnya. Beliau juga sama sekali tidak pernah menguap sepanjang masa,

2.        Tidak ada satupun binatang yang melarikan diri (liar) dari beliau. Tidak pernah ada lalat hinggap di tubuh beliau yang mulia.

3.        Beliau bisa mengetahui sesuatu yang ada di belakangnya, seperti beliau melihat sesuatu itu yang ada di hadapannya. Bekas air kencing beliau tidak pernah dilihat di permukaan bumi.

4.        Hati beliau tidak pernah tidur, walaupun mata beliau mengantuk. Bayangan beliau tidak pernah dapat dilihat oleh orang cerdas ketika beliau kena sinar matahari.

5.        Dua pundak beliau selalu terlihat lebih tinggi dari pundak orang-orang yang duduk bersama beliau. Ceritakanlah sifat beliau bahwa beliau telah dikhitan semenjak dilahirkan

6.        Ini semua merupakan keistimewaan beliau, hendaknya engkau hapalkan bait tersebut, niscaya engkau mendapat perlindungan dari bahaya kebakaran, pencurian dan musibah.

Dikalangan orang-orang Aceh, di dayah-dayah atau di masjid-masjid atau tempat ibadah lainnya, setelah melantunkan nadham Lam Yahtalim ini, biasanya diiringi pula dengan nadham Aceh yang merupakan terjemahan nadham Lam Yahtalim di atas, yakni :

1.      Nabi hantom neumeulumpo malam uroe selama-lama

Meuseungeup Nabi pih tan nibak zameun sepanjang masa

2.      Binatang kleut hantom jiplueng jimeuteumeung ngon sayyidina

Lalat jamok pih hantom roh nibak tuboh yang mulia

3.      Keu ngon likot deuh neu kalon hana teusom lemah nyata

Neutoh ik-ek beukasan tan wajeb taulan tapeucaya.

4.      Hate Nabi hantom teungeut nyang na teupet dua mata

Bubayang tan dalam uroe hireun lalo taeu rupa

5.      Watee neu duk lam kawan le manyang baho di Maulana

Watee wiladah bekasan tan kaleuh khatan yoh masa na

6.      Nyang siploh nyoe sifeut nabi beutaturi he saudara

So nyang hafai nyang siploh nyoe tutong karam tuhan peulara.

 

Sumber rujukan penyebutan sifat-sifat tersebut pada Nabi Muhammad SAW.

1.Tidak pernah ihtilam (mimpi basah)

Al-Yusuf  al-Nabhani telah menyebut keistimewaan Nabi Muhammad SAW ini dalam kitab beliau, al-Anwar al-Muhammadiyah min al-Mawahib al-Laduniyah[1]. Keterangan  keistimewaan ini datang dari Ibnu Abbas, beliau berkata :

مَا احْتَلَمَ نَبِيٌّ قَطُّ  إِنَّمَا الِاحْتِلَامُ منَ الشَّيْطَانِ

Artinya : Tidaklah seorang nabi bermimpi basah sama sekali, karena mimpi basah datang dari syaithan. (H.R. al-Thabrani)[2]

Al-Haitsami mengatakan, dalam sanad hadits ini terdapat Abd al-Aziz bin Abi Tsabit, sedangkan beliau ini ijmak atas dha’ifnya.[3]

2.  Tidak pernah menguap

Ibnu al-Mulaqqin telah menyebut keistimewaan Nabi Muhammad SAW ini dalam kitab beliau, Ghayah al-Suul fi Khashais al-Rasul.[4]

Dalam Kitab Fathulbarri, Ibnu Hajar al-Asqalany menyebutkan :

وَمن الخصائص النَّبَوِيَّة مَا أخرجه بن أَبِي شَيْبَةَ وَالْبُخَارِيُّ فِي التَّارِيخِ مِنْ مُرْسَلِ يَزِيدَ بْنِ الْأَصَمِّ قَالَ مَا تَثَاءَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَطُّ وَأَخْرَجَ الْخَطَّابِيُّ مِنْ طَرِيقِ مَسْلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ مَرْوَانَ قَالَ مَا تَثَاءَبَ نَبِيٌّ قَطُّ وَمَسْلَمَةُ أَدْرَكَ بَعْضَ الصَّحَابَةِ وَهُوَ صَدُوقٌ وَيُؤَيِّدُ ذَلِكَ مَا ثَبَتَ أَنَّ التَّثَاؤُبَ مِنَ الشَّيْطَانِ

”Termasuk keistimewaan kenabian adalah yang telah ditakhrij oleh Ibnu Abi Syaibah dan Al-Bukhari dalam al-Tarikh dari mursal Yazid bin al-Asham, beliau berkata : Nabi SAW tidak pernah menguap sama sekali. Al-Khathabi mengeluarkan dari jalur Maslamah bin Abd al-Malik bin Marwan, beliau berkata : seorang nabi tidak pernah menguap sama sekali. Sedangkan Maslamah ini pernah bertemu sebagian sahabat Nabi dan beliau adalah orang yang berkata benar. Riwayat ini juga didukung oleh riwayat yang shahih yang menjelaskan bahwa menguap datang dari syaithan.”[5]

3.   Tidak ada satupun binatang yang melarikan diri (liar) dari beliau

            Ibnu al-Mulaqqin telah menyebut keistimewaan Nabi Muhammad SAW ini dalam kitab beliau, Ghayah al-Suul fi Khashais al-Rasul.[6]  Qadhi ‘Iyadh meriwayatkan  dengan sanadnya sampai kepada Aisyah, beliau berkata :

كان عندنا داجن فاذا كان عندنا رسول الله صلعم قر وثبت مكانه فلم يجئ ولم يذهب واذا خرج رسول الله صلعم جاء وذهب

Artinya : Di sisi kami ada binatang jinak, apabila Rasulullah SAW bersama kami, maka binatang itu tenang dan tetap pada tempatnya, tidak datang dan pergi, tetapi apabila Rasulullah SAW keluar, maka biantang itu datang dan pergi. (H.R. Qadhi ‘Iyadh)[7]

 

            Dalam Kitab Dalail al-Nubuwah disebutkan riwayat dari Abu Hurairah r.a., beliau berkata :

وَجَاءَ الذِّئْبُ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ فَأَقْعَى بَيْنَ يَدَيْهِ، ثُمَّ جَعَلَ يُبَصْبِصُ بِذَنَبِهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هَذَا وَافِدُ الذِّئَابِ، جَاءَ يَسْأَلُكُمْ أَنْ تَجْعَلُوا لَهُ مِنْ أَمْوَالِكُمْ شَيْئًا ، قَالُوا: لَا وَاللهِ لَا نَفْعَلُ، وَأَخَذَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ حَجَرًا فَرَمَاهُ، فَأَدْبَرَ الذِّئْبُ وَلَهُ عُوَاءٌ

Artinya : Seekor seriga pernah datang kepada Rasulullah SAW duduk dan berjongkok di depan beliau, kemudian menggerak-gerak ekornya.  melihat itu Rasulullah SAW berkata, ini utusan serigala, yang datang meminta suatu makanan dari kalian. Mereka menjawab : tidak, Demi Allah tidak akan kami lakukan. Seorang dari mereka mengambil batu melemparnya, serigala itu pun pergi sambil menyalak. (H.R. al-Baihaqi)[8]

Kisah-kisah lain dimana binatang-binatang liar jinak dengan Nabi SAW banyak disebut dalam riwayat-riwayat yang terdapat dalam Kitab Dalail al-Nubuwah karya al-Baihaqi dan al-Syifa’ bi Ta’rif  Huquq al-Mushtafa karya Qadhi ‘Iyadh dan kitab-kitab lainnya yang berisi sekitar masalah kehidupan pribadi Nabi Muhammad SAW.

4.   Tidak pernah ada lalat hinggap di tubuh beliau yang mulia.

Ibnu al-Mulaqqin telah menyebut keistimewaan Nabi Muhammad SAW ini dalam kitab beliau, Ghayah al-Suul fi Khashais al-Rasul.[9] Al-Yusuf  al-Nabhani juga menyebut keistimewaan Nabi Muhammad SAW ini dalam kitab beliau, al-Anwar al-Muhammadiyah min al-Mawahib al-Laduniyah.[10]  Dalam kitabnya al-Khashaish al-Kubra, al-Suyuthi mengatakan bahwa Qadhi ‘Iyadh dalam kitab al-Syifa dan al-‘Uzfi dalam al-Maulid-nya mengatakan termasuk keistimewaan Nabi SAW tidak pernah ada lalat hinggap di tubuh beliau dan ini juga telah disebut oleh Ibnu Sab’in dalam al-Khashaish-nya dengan lafazh : “Tidak jatuh lalat atas pakaiannya sama sekali.”[11]

 

5.   Bisa mengetahui sesuatu yang ada di belakangnya, seperti beliau melihat sesuatu itu yang ada di hadapannya

Al-Yusuf  al-Nabhani menyebut keistimewaan Nabi Muhammad SAW ini dalam kitab beliau, al-Anwar  al-Muhammadiyah min al-Mawahib al-Laduniyah.[12]  Qadhi ‘Iyadh menyebut keistimewaan Nabi Muhammad SAW ini dalam kitab beliau, al-Syifa’ bi Ta’rif  Huquq Al-Mushtafa.[13] Dalam Shahih Muslim disebut hadits dari Abu Hurairah, beliau berkata :

هَلْ تَرَوْنَ قِبْلَتِي هَا هُنَا؟ فَوَاللهِ مَا يَخْفَى عَلَيَّ رُكُوعُكُمْ، وَلَا سُجُودُكُمْ إِنِّي لَأَرَاكُمْ وَرَاءَ ظَهْرِي

Artinya : Apakah kalian melihat kiblatku  di sini?. Demi Allah tidak tersembunyi atasku rukuk dan sujud kalian. Sesungguhnya aku dapat melihat kalian dari belakangku. (H.R Muslim)[14]

 

6.   Bekas air kencing beliau tidak pernah dilihat di permukaan bumi.

Ibnu al-Mulaqqin telah menyebut keistimewaan Nabi Muhammad SAW ini dalam kitab beliau, Ghayah al-Suul fi Khashais al-Rasul.[15] Di dalam kitab ini, Ibnu al-Mulaqqin menyebut hadits dari Aisyah r.a. yang disebut dalam kitab al-Ayat al-Bainat, karya Ibnu Dahyah, Aisyah berkata :

يا رسول الله اني اراك تدخل الخلاء ثم يجئ الذي يدخل بعدك فلا يرى لما يخرج منك اثرا فقال يا عائشة ان الله تعالى امر الارض ان تبتلع ما خرج من الانبياء

Artinya : “Hai Rasulullah, sesungguhnya aku melihat engkau memasuki jamban, kemudian masuk orang-orang sesudahmu. Tetapi orang itu tidak melihat bekas apapun yang keluar darimu.” Rasulullah SAW bersabda : “Hai Aisyah, sesungguhnya Allah Ta’ala memerintah bumi menelan apa yang keluar dari para nabi.”

 

Ibnu Dahyah mengatakan, sanadnya tsabit (maqbul)[16] al-Suyuthi setelah menyebut beberapa jalur riwayat hadits yang semakna dengan hadits di atas ini, beliau mengatakan, jalur ini (hadits di atas) adalah yang paling kuat dari jalur-jalur hadits ini.[17]

 

7.    Hati beliau tidak pernah tidur

Ibnu al-Mulaqqin telah menyebut keistimewaan Nabi Muhammad SAW ini dalam kitab beliau, Ghayah al-Suul fi Khashais al-Rasul.[18] Ini berdasarkan hadits Aisyah, beliau berkata :

فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ، فَقَالَ: يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ، وَلَا يَنَامُ قَلْبِي

Artinya : Aku mengatakan, Ya Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum witir ?. Rasulullah SAW bersabda : “Ya Aisyah, sesungguhnya dua mataku tertidur, tetapi hatiku tidak pernah tidur.” (H.R. Muslim)[19]

 

8.   Bayangan beliau tidak pernah dapat dilihat ketika kena sinar matahari.

Al-Yusuf  al-Nabhani menyebut keistimewaan Nabi Muhammad SAW ini dalam kitab beliau, al-Anwar  al-Muhammadiyah min al-Mawahib al-Laduniyah.[20]  Dalam kitabnya al-Khashaish al-Kubra, al-Suyuthi mengatakan

اخْرج الْحَكِيم التِّرْمِذِيّ عَن ذكْوَان ان رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم لم يكن يرى لَهُ ظلّ فِي شمس وَلَا قمر قَالَ ابْن سبع من خَصَائِصه ان ظله كَانَ لَا يَقع على الأَرْض وَأَنه كَانَ نورا فَكَانَ إِذا مَشى فِي الشَّمْس أَو الْقَمَر لَا ينظر لَهُ ظلّ قَالَ بَعضهم وَيشْهد لَهُ حَدِيث قَوْله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم فِي دُعَائِهِ واجعلني نورا

“Al-Hakim al-Turmidzi telah mentakhrij dari Zakwan, sesungguhnya Rasulullah SAW tidak dilihat bayangannya pada terik matahari dan tidak juga pada bulan. Ibnu Sab’i mengatakan, termasuk keistimewaan Nabi SAW bayangannya tidak jatuh di atas bumi, karena sesungguhnya beliau adalah cahaya. Karena itu, apabila berjalan pada terik matahari atau bulan, maka tidak dilihat bayangannya. Sebagian ulama mengatakan, riwayat ini didukung oleh hadits perkataan Nabi SAW dalam do’anya : “Jadikanlah aku sebagai cahaya.”[21]

9.   Dua pundak beliau selalu terlihat lebih tinggi dari pundak orang-orang yang duduk bersama beliau.

Ibnu al-Mulaqqin menyebut bahwa Ibnu Sab’in mengatakan, salah satu keistimewaan Nabi Muhammad SAW adalah apabila duduk, maka beliau nampak lebih tinggi dari orang-orang yang duduk di sekitar beliau.[22] Pernyataan Ibnu Sab’in ini juga telah dikutip oleh al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Khashaish al-Kubra.[23]

Dalam Kitab Syarah Al-Muwatha’, al-Zarqani mengatakan :

وَذَكَرَ رَزِينٌ وَغَيْرُهُ: كَانَ إِذَا جَلَسَ يَكُونُ كَتِفُهُ أَعْلَى مِنْ جَمِيعِ الْجَالِسِينَ، وَدَلِيلَهُ قَوْلُ عَلِيٍّ: إِذَا جَاءَ مَعَ الْقَوْمِ غَمَرَهُمْ"  إِذْ هُوَ شَامِلٌ لِلْمَشْيِ وَالْجُلُوسِ

”Raziin dan lainnya telah menyebutkan, Rasululullah SAW apabila duduk, bahunya nampak lebih tinggi dari semua orang-orang duduk. Dalilnya perkataan ‘Ali : ”Apabila Rasulullah SAW bersama kaum, beliau  melebihi mereka”. Karena ini mencakup apabila berjalan dan duduk.[24]

 

Perkataan Ali ini ditakhrij oleh Abdullah bin Ahmad dan al-Baihaqi dari ‘Ali.[25]

10.  Beliau telah dikhitan semenjak dilahirkan

Al-Thabrani dalam al-Ausath, Abu Na’im, al-Khathib dan Ibnu ‘Asakir telah mentakhrij dari beberapa jalur dari Anas dari Nabi SAW, bersabda :

من كَرَامَتِي على رَبِّي اني ولدت مختونا وَلم ير أحد سوأتي

Artinya : Sebagian dari kemulianku atas Tuhanku adalah aku dilahirkan dalam keadaan sudah dikhitan dan tidak ada yang melihat dua kemaluanku

Hadits ini telah dinyatakan shahih oleh al-Dhiya’ dalam al-Mukhtarah.[26] Al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak mengatakan, telah mutawatir hadits-hadits yang menjelaskan bahwa Nabi SAW lahir dalam keadaan telah dikhitan.[27]

11.  Beliau pada ketika dilahirkan dalam keadaan bersih.

Al-Yusuf  al-Nabhani menyebut keistimewaan Nabi Muhammad SAW ini dalam kitab beliau, al-Anwar  al-Muhammadiyah min al-Mawahib al-Laduniyah.[28]  Ibnu Sa’ad dengan sanadnya dari Ishaq bin Abdullah berkata, sesungguhnya ibu Nabi SAW berkata :

فولدته نظيفا مَا بِهِ قذر

Artinya : Aku melahirkannya dalam keadaan bersih yang tidak ada kotoran bersamanya. (H.R. Ibnu Sa’ad) [29]

 

 

 



[1] Al-Yusuf al-Nabhani, al-Anwar al-Muhammadiyah min al-MawAhib al-Laduniyah, al-Mathba’ah al-Adabiyah, Hal. 310

[2] Al-Thabrani, al-Mu’jam  al-Kabir , Maktabah Syamilah, Juz. XI, Hal. 225

[3] Al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 267

[4] Ibnu al-Mulaqqin, Ghayah al-Suul Fi Khashais al-Rasul, Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Hal. 301

[5] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathulbarri, Maktabah Syamilah, Juz. X, Hal. 613

[6] Ibnu al-Mulaqqin, Ghayah al-Suul Fi Khashais al-Rasul, Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Hal. 306

[7] Qadhi ‘Iyadh, al-Syifa’ bi Ta’rif  Huquq Al-Mushtafa, Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut, Hal. 434-435

[8] Al-Baihaqi, Dalail al-Nubuwah, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 39

[9] Ibnu al-Mulaqqin, Ghayah al-Suul Fi Khashais al-Rasul, Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Hal. 303

[10] Al-Yusuf al-Nabhani, al-Anwar al-Muhammadiyah min al-MawAhib al-Laduniyah, al-Mathba’ah al-Adabiyah, Hal. 311

[11] Al-Suyuthi, al-Khashaish al-Kubra, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 117

[12] Al-Yusuf al-Nabhani, al-Anwar al-Muhammadiyah min al-MawAhib al-Laduniyah, al-Mathba’ah al-Adabiyah, Hal. 310

[13] Qadhi ‘Iyadh, al-Syifa’ bi Ta’rif  Huquq Al-Mushtafa, Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut, Hal.92-93

[14] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 319, No. 424

[15] Ibnu al-Mulaqqin, Ghayah al-Suul Fi Khashais al-Rasul, Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Hal. 299-300

[16] Ibnu al-Mulaqqin, Ghayah al-Suul Fi Khashais al-Rasul, Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Hal. 299-300

[17] Al-Suyuthi, al-Khashaish al-Kubra, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 121

[18] Ibnu al-Mulaqqin, Ghayah al-Suul Fi Khashais al-Rasul, Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Hal. 177

[19] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 509, No. 738

[20] Al-Yusuf al-Nabhani, al-Anwar al-Muhammadiyah min al-MawAhib al-Laduniyah, al-Mathba’ah al-Adabiyah, Hal. 311

[21] Al-Suyuthi, al-Khashaish al-Kubra, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 116

[22] Ibnu al-Mulaqqin, Ghayah al-Suul Fi Khashais al-Rasul, Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Hal. 306

[23] Al-Suyuthi, al-Khashaish al-Kubra, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 116

[24] Al-Zarqani, Syarah al-Muwatha’, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 441

[25] Al-Suyuthi, al-Khashaish al-Kubra, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 126

[26] Al-Suyuthi, al-Khashaish al-Kubra, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 90

[27] Al-Suyuthi, al-Khashaish al-Kubra, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 90

[28] Al-Yusuf al-Nabhani, al-Anwar al-Muhammadiyah min al-MawAhib al-Laduniyah, al-Mathba’ah al-Adabiyah, Hal. 309

[29] Al-Suyuthi, al-Khashaish al-Kubra, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 79