Dalam muqaddimah kitabnya,
al-Asybah wa al-Nadhair setelah mengutip riwayat yang berisi surat Umar bin
Khatab r.a. kepada Musa al-Asy’ari r.a, al-Suyuthi menjelaskan kepada kita
bahwa kandungan isi surat tersebut mengisyaratkan bahwa sebagian dari
perkara-perkara fiqh berbeda hukum dan ‘illatnya dengan perkara yang
menyerupainya (al-nadhair) karena didapati kekhususannya. Inilah yang
dinamakan dengan al-Furuuq. Selanjutnya,
al-Suyuthi mengatakan, dalam al-Furuuq ini kami akan menjelaskan perbedaan
antara perkara-perkara yang menyerupai yang sama gambarannya, akan tetapi hukum
dan ‘illatnya berbeda.[1]
Imam al-Juwaini yang lebih dikenal dengan julukan Imam al-Haramain, dalam
muqaddimah kitab al-Jam’u wa al-Farq yg berisi ilmu al-furuq, beliau
mengemukakan alasan mengarang kitab tersebut sesungguhnya masalah-masalah
syara’ kadang-kadang hampir sama kasusnya,
akan tetapi berbeda hukumnya karena ada ‘illah yang mengakibatkan berbeda
kesimpulan hukumnya sehingga para ulama membutuhkan memahami ‘illah yang
mewajibkan berbeda dari kasus-kasus yang
berbeda hukumnya dan yang mewajibkan sama
hukumnya dari kasus-kasus yang memang sama hukumnya.[2]
Untuk lebih jelas memahami ilmu
al-Furuuq atau al-Jam’u dan al-Farq ini, mari kita simak dua penjelasan di
bawah ini :
1.Syeikh Yaasin bin ‘Isa
al-Fadaniy al-Makkiy mengatakan,
al-Jam’u dan al-Farq merupakan pengetahuan mengenai suatu perkara yang
sama hukumnya dari satu sisi dan berbeda dari sisi lain dengan perkara lain.
Termasuk dalam kelompok ini ilmu yang dinamakan dengan ilmu al-Furuq, yakni
pengetahuan hal-hal yang membedakan antara dua perkara yang menyerupai, dimana keduanya tidak sama dalam hukum.[3]
2. Dr Ya’cub bin Abd al-Wahab
al-Baahisiin mengatakan, ilmu al-Furuuq adalah ilmu yang mengkaji wujuh
(jalan-jalan) dan sebab-sebab ikhtilaf antara masalah-masalah fiqhiyah yang
menyerupai gambarannya, akan tetapi berbeda hukumnya, dimana kajiannya dari
aspek menjelaskan makna wujuhnya itu dan yang berhubungan dengannya, dari aspek
sah dan fasidnya, menjelaskan syarat-syaratnya dan jalan menolaknya, tumbuh dan
perkembangannya, penerapan dan faedahnya.[4]
Faedah Mempelajari Ilmu al-Furuuq (al-Jam’u dan al-Farq) dalam Fiqh
Dr Ya’cub bin Abd al-Wahab
al-Baahisiin menyebutkan ada tiga faedah mempelajari ilmu al-Furuuq, yakni :
1. Menghilangkan prasangka terjadinya
kontradiksi dalam fiqh yang terjadi dengan sebab menetapkan hukum yang berbeda
pada perkara yang menyerupai dan menetapkan hukum yang sama pada perkara yang
berbeda. Misalnya syara’ menetapkan wajib mandi dengan sebab keluar mani dan
membatalkan puasa dengan sebab keluar mani dengan sengaja, padahal mani itu
suci. Sementara itu di sisi lain, syara’ tidak mewajibkan mandi dan tidak
membatalkan puasa dengan sebab kencing dan mazi, padahal keduanya ini najis.
Karena itu, dengan mengenal sebab-sebab perbedaan hukum antara dua perkara yang
menyerupai ini, maka akan diketahui lemah dan gugur kritikan-kritikan atasnya.
2. Pengenalan ilmu ini mengantarkan seseorang
mengenal hakikat hukum dan menyinari jalan dihadapannya, sehingga dia selamat
dari tergelincir dalam berijtihad.
3. Dengan sebab terbuka adanya perbedaan
antara perkara-perkara fiqh, dapat memastikan secara terang benderang
‘illat-‘illat hukum dan hal-hal yang menjadi kritikan terhadap ‘illat-‘illat
ini serta sekaligus menolak kritikan-kritikan tersebut dari ‘illat yang telah
dipersiapkan oleh seorang faqih untuk melakukan qiyas yang shahih, sehingga
menghasilkan dhan yang kuat dalam menghubungkan furu’ kepada kepada ashal dan
adanya ketenteraman hati dalam mentakhrijkan hukum.[5]
Melihat faedah-faedah mempelajari
Ilmu al-Furuuq (al-Jam’u dan al-Farq) di atas sangat banyak membantu ahli fiqh
dalam mengkaji masalah-masalah fiqh, maka
tidak heran apabila sebagian ulama mengatakan, “Fiqh itu adalah al-farq
(pembedaan)” sebagaimana dikutip oleh Syeikh Abdullah bin Sulaiman al-Jarhazi.[6]
Karya Ulama Mazhab Mengenai Ilmu al-Furuuq (al-Jam’u dan al-Farq)
Karya-karya ulama mengenai ilmu
al-Jam’u wa al-Farq ini antara lain :
1. Kitab Mathali’ al-Daqaiq fi al-Jawami’ wa
Fawariq, karya Jamaluddin al-Asnawi. (Mazhab Syafi’i)
2. Kitab al-Ma’aayah fi al-Fiqh ‘ala Mazhab
al-Imam al-Syafi’i (Mazhab Syafi’i)
3. Kitab al-Istighnaa fi al-Farq wa
al-Istitsnaa, karya Muhammad Abi Sulaiman al-Bakri (Mazhab Syafi’i)
4. Kitab al-I’tinaa’ fi al-Farq wa
al-Istitsnaa, karya Muhammad Abi Sulaiman al-Bakri (Mazhab Syafi’i)
5. Al-Jam’u wa al-Farq, karya Abu Muhammad
Abdullah bin Yusuf al-Juwaini. (Mazhab Syafi’i)
6. Kitab al-Asybah wa al-Nadhair, karya
al-Suyuthi (Mazhab Syafi’i). Dalam kitab ini pembahasan ilmu al-Jam’u wa
al-Farq ini dalam kitab ke-enam dengan judul al-Kitab al-Saadisu fi Abwaabi
Mutasyaabihah wa maa Iftaraqat fiiha.
7. Kitab Anwar al-Buruuq fi Anwa-u al-Furuuq,
karya Ahmad bin Idris al-Qarafiy (Mazhab Maliki)
8. Kitab al-Furuuq al-Fiqhiyah, karya Abu
Muhammad Abd al-Wahab bin ‘Ali bin Nashr al-Bagdadiy. (Mazhab Maliki)
9. Kitab al-Furuuq al-Fiqhiyah, karya Muslim
bin ‘Ali bin Muhammad bin Hasan al-Dimasyqiy (Mazhab Maliki)
10. Kitab al-Nukt wa al-Furuuq li Masail
al-Mudawanah wa al-Mukhalathah, karya Abu Muhammad Abd al-Haq bin Harun
al-Shaqliy (Mazhab Maliki)
11. Kitab ‘Iddah al-Buruuq fi Jam’i ma fi
al-Mazhab min al-Jumu’ wa al-Furuuq, karya Abu Abbas Ahmad bin Yahya
al-Wasyarisiy. (Mazhab Maliki)
12. Kitab Idhah al-Dalail, karya Syeikh Abu
Muhammad Abd al-Rahim bin Abdullah bin Muhammad al-Zariraaniy al-Baghdadi
al-Hanbali. (Mazhab Hanbali)
13. Kitab al-Furuuq, karya As’ad bin Muhammad
bin al-Husain al-Naisaburiy al-Karabisiy. (Mazhab Hanafi)
14. Kitab al-Asybah wa al-Nadhair ‘ala Mazhab
Abi Hanifah al-Nu’man, karya Ibnu Najiim (Mazhab Hanafi). Dalam kitab ini
pembahasan ilmu al-Jam’u wa al-Farq ini dalam pelajaran ke-tiga dengan judul,
al-Fann al-Tsaalits : al-Jam-u wa al-Farq.
Catatan :
(Ke-empat belas kitab di atas
dapat ditemukan di media online dalam versi PDF)
Pembedaan (faraq) Masalah Berdasarkan Sifatnya
Melihat sisi sifat faraq
(pembedaan) masalah, Imam al-Juwaini membagi faraq kepada dua pembagian, yaitu
:
1.
Faraq yang disandarkan kepada dhahir al-Kitab
dan al-Sunnah. Karena itu, pembagian ini tidak mebutuhkan faraq dari jalur makna. Namun demikian,
seandainya didapati juga, maka itu merupakan pelengkap saja.
Contohnya akad al-mukhabarah diharamkan (Mukhabarah
adalah kerjasama pengelolaan pertanian antara lahan dan penggarap dimana
pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan
dipelihara dengan imbalan tertentu dari hasil panen, yang benihnya disediakan
penggarap.), sedangkan akad musaqah hukumnya mubah. (Musaqah adalah mempekerjakan
petani penggarap untuk menggarap kurma atau pohon anggur dengan cara mengairi
dan merawatnya. Hasil kurma atau anggur itu dibagi bersama antara pemilik dan
petani yang menggarap)
Untuk membedakan dua akad ini cukup dengan berpegang kepada hadits Nabi SAW yang melarang akad mukhabarah dan kebolehan akad musaqah pada penduduk Khaibar.
a.
Faraq fashl dan tabaayun (faraq dengan membuat
pemisah antara keduanya)
Imam Syafi’i hanya mempunyai satu pendapat (qaul)
yakni sesungguhnya haji dapat masuk dalam ‘umrah sebelum memulai thawaf ‘umrah,
sedangkan pada ‘umrah apakah dapat masuk dalam haji beliau mempunya dua
pendapat (qaul). Salah satu pendapat beliau, ‘umrah tidak dapat masuk dalam
haji.
Faraqnya adalah orang yang ihram haji telah mewajibkan
atas dirinya thawaf, sa’i, wuquf dan lainnya, sedangkan pada ‘umrah tidak ada
kecuali thawaf dan sa’i. Karena itu, memasukkan ‘umrah dalam haji yang sudah
duluan ihram hajinya tidak masuk dalam katagori mewajibkan amal yang tidak
wajib dengan sebab ihram sebelumnya. Ini berbeda apabila duluan ihram umrah kemudian
memasukkan haji dalam umrah, maka dengan sebab ihram haji seseorang itu sudah mewajibkan amalan yang
lebih yang tidak wajib dengan sebab ihram umrah seperti wuquf, melempar jamarah
dan lainnya.
b.
Faraq jamak, bukan faraq fashl.
Imam Syafi’i hanya mempunyai satu pendapat (qaul)
yakni sesungguhnya ihram haji boleh pada tanah haram. Apakah boleh ihram umrah
pada tanah haram. Beliau mempunya dua pendapat (qaul). Salah satu pendapat
beliau tidak boleh.
Faraqnya adalah orang yang ihram haji pada tanah haram
harus keluar ketanah halal untuk wuquf
di Arafah. Arafah termasuk tanah halal. Maka berkumpul pada ibadahnya halal dan haram. Karena itu pada umrah seperti itu
juga, wajib berkumpul halal dan haram. Seandainya kita bolehkan ihram umrah
pada tanah haram, maka tidak berkumpul pada ibadahnya halal dan haram, karena
amalan setelah ihram umrah adalah tahwaf umrah dan sa’i, sedangkan kedua amalan
tersebut dilakukan pada tanah haram. Faraq
ini disebut dengan faraq jamak, karena kita wajibkan berkumpul (jamak) halal
dan haram pada masing-masing dua ibadah.
[7]
Contoh-Contoh al-Furuuq (al-Jam’u
dan al-Farq)
1. Boleh bersuci dengan air yang berubah
dengan sebab garam air dan tidak boleh bersuci dengan air yang berubah dengan
sebab garam gunung. Perbedaannya : garam air, asalnya adalah air. Ini berbeda
dengan dengan garam gunung, dimana asalnya bukan air, akan tetapi memang
diciptakan dengan sifatnya itu. Karena itu, garam gunung yang bercampur dengan
air sama halnya dengan tumbuhan za’faran yang bercampur dengan air.[8]
2. Air yang pernah digunakan (musta’mal) pada
basuh kali ke-empat adalah suci dan tidak dihukum musta’mal. Sedangkan air yang
digunakan pada tajdid wudhu’ dihukum musta’mal. Perbedaannya : Air yang pernah
digunakan (musta’mal) pada basuh kali ke-empat tidak digunakan pada fardhu dan
juga bukan merupakan perintah syara’. Adapun air yang digunakan pada tajdid
wudhu’ merupakan perintah syara’, meskipun tidak digunakan pada fardhu. Nabi
SAW bersabda : “Tajdidlah wudhu’, maka akan ditajdidkan pahala bagimu”.[9]
3. Datang baligh seorang anak setelah
melakukan shalat beberapa saat sebelum baligh, apakah shalat tersebut memadai
untuk shalat yang diwajibkan atasnya setelah baligh? Jawabnya memadai, tidak
memadai dalam perkara haji dan umrah.
Perbedaannya, shalat diperintahkannya atas anak-anak dan dipukulinya
apabila tidak mau melakukannya, tidak pada perkara haji dan umrah. Dan juga
haji dan umrah karena kewajibannya sekali seumur hidup, maka disyaratkan
terjadi haji dan umrah dalam keadaan sempurna, tidak dalam hal shalat.[10]
4. Apabila sembuh seseorang daari pingsannya,
sedangkan waktu shalat ‘ashar masih tersisa hanya ukuran satu raka’at shalat,
Imam Syafi’i mengatakan, hendaknya melakukan shalat ‘ashar dan adapun apabila
tersisa hanya ukuran takbiratul ihram, Imam Syafi’i mengidah shalat ‘ashar
tersebut. Perbedaannya : ukuran satu raka’at meliputi lebih banyak perbuatan
shalat, yakni takbiratul ihram, berdiri, qiraah, rukuk, i’tidal, dua sujud, dan
duduk antara dua sujud. Ini tidak terdapat pada waktu yang tersisa hanya ukuran
takbiratul ihram.[11]
5. Seseorang memiliki dua puluh lima ekor
unta, maka jika tidak ada padanya bintu makhaazh,boleh sebagai penggantinya
ibnu labun, meskipun dia mempunyai kemampuan membeli bintu makhaazh. Seseorang
yang mampu membeli air tidak boleh bertayamum, demikian juga yang mampu membeli
hamba sahaya dalam masalah kifarat tidak boleh berpindah kepada puasa dan
demikian juga orang yang mampu menikah dengan perempuan merdeka, ini sama
halnya dengan yang mempunyai isteri merdeka, maka tidak boleh menikah dengan
hamba sahaya. Perbedaannya : Air adalah asal, sedangkan tanah badal. Sedangkan
makna badal pada tanah adalah badal hakikat. Demikian juga dalam perkara puasa
dan hamba sahaya. Karena itu, tidak dapat dipikirkan untuk berpindah kepada
badalnya kecuali sesudah sempurna dharuratnya. Adapun ibnu labun, meskipun
tidak boleh berpindah kepadanya apabila ada pada bintu makhaaz, namun ia tidak
bersih sebagai badal. Karena keduanya masih satu jenis, cuma hanya berbeda
sifatnya.[12]
6. Apabila seseorang pada malam syak (malam
tiga puluh Sya’ban) niat berpuasa besok pagi dengan sandaran niatnya seandainya
ternyata besok adalah bulan Ramadhan, maka puasanya adalah puasa Ramadhan dan
seandainya besoknya itu masih bulan Sya’ban, maka puasanya itu adalah puasa
sunnat. Kemudian ternyata besok paginya bulan sudah masuk Ramadhan, maka tidak
sah puasanya dan atasnya wajib qadha. Dalam kasus lain, seseorang berpuasa pada
hari ketiga puluh Ramadhan dengan niat seperti
kasus di atas, maka puasanya ini sah.
Perbedaannya : Malam tiga puluh Ramadhan sandaran niatnya kepada asal
yang yakin, yakni dia masih dalam bulan Ramadhan, hanyasanya dia ragu apalah
Ramadhan sudah keluar?. Maka wajib didasarkan kepada yakin. Adapun dalam kasus
pertama tidak ada asal sandarannya. Karena yang menjadi asal adalah berada
dalam bulan Sya’ban, padahal puasa tidak wajib pada bulan Sya’ban. Sedangkan
keyakinan tidak dapat ditinggalkan karena keragu-raguan.[13]
7. Apabila seseorang menunda shalat kepada
akhir waktunya dan tiba-tiba dia mati sebelum sempat melaksanakannya, maka dia
bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak maksiat. Dalam kasus lain, seseorang
menunda melaksanakan haji pada tahun dia mempunyai kemampuan melaksanakan haji,
tiba-tiba dia mati sebelum melaksanakannya pada tahun depannya, maka dia
bertemu dengan Allah dalam keadaan maksiat. Padahal menunda dalam dua masalah
ini, hukumnya mubah. Perbedaannya : Waktu shalat apabila sudah masuk, maka
akhir waktunya maklum dan zamannya terbatasi. Karena itu, apabila ditunda
shalat dengan memaklumi akhir waktu yang
boleh penundaannya itu, maka dia tidak berdosa. Adapun pada kasus haji, apabila
ditunda pelaksanaannya pada tahun pertama dia tidak mengetahui batas waktunya,
sehingga dia dapat memastikan menundanya pada waktu tersebut.[14]
8. Apabila seseorang menjual seekor ternak,
kemudian hamil setelah terjadi akad jual beli dan melahirkan sebelum penyerahan
ternak tersebut, maka tidak boleh sipenjual menahan anaknya untuk meminta
tambahan harga. Dalam kasus lain, seseorang menjual seekor ternak, sedangkan
dalam rahimnya sudah ada janin, kemudian lahir janin tersebut, maka boleh
sipenjual menahan anak dan induknya untuk meminta tambahan harga berdasarkan
salah satu dari dua qaul. Perbedaannya : Janin apabila sudah wujud ketika akad,
maka janin tersebut sebagian dari benda yang dijual di sisi ulama yang mempersentasekan
harga atas induk dan janinnya. Karena itu, boleh sipenjual menahan semua benda
yang dijual. Adapun apabila wujud hamil setelah akad jual beli, maka harga
bukanlah bayaran untuk anaknya. Sedangkan sipembeli memiliki anak tersebut
dengan sebab memiliki induknya, bukan dengan sebab akad atas induknya.[15]
9. Sulthan tidak boleh menikahkan perempuan
belum baligh, akan tetapi boleh menikahkan orang gila yang sudah baligh (kedua
kasus ini apabila tidak ada wali mujbir). Perbedaannya : Orang gila yang sudah
baligh kadang-kadang berkeinginan untuk menikah dan perlu melihat
kemaslahatannya dalam menikahkannya. Sulthan dapat memperhatikan
kemaslahatannya, maka apabila dilihat ada kemaslahatannya, sulthan boleh
menikahkannya. Adapun perempuan belum baligh, rasionalnya dia belum
berkkeinginan untuk menikah, maka tidak ada hajat merusak kemaluannya sebelum
dhahir analisa perlunya merusak kemaluannya itu.[16]
10. Apabila seseorang mengatakan kepada
isterinya : “Kamu tertalaq karena masuk rumah”, maka jatuh talaq ketika itu
juga, baik isterinya itu masuk rumah atau tidak. Dalam kasus lain, seseorang
berkata kepada isterinya : “Kamu tertalaq apabila kamu masuk rumah”, maka
tergantung jatuh talaqnya kepada masuk rumah. Perbedaannya : Kasus pertama
adalah ta’lil (meng‘illatkan) talaq munjiz. Sedangkan kasus kedua menta’liqkan
talaq. Ta’liq berbeda dengan ta’lil. Tidak termasuk syarat ta’lil benar adanya
ta’lil itu.[17]
[1] Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair,
al-Haramain, Singapura, Hal. 5
[2]
Al-Juwaini, al-Jam’u wa al-Farq, Dar al-Jiil, Beirut, Hal. 37
[3] Abu
al-Faizh Muhammad Yaasin bin ‘Isa al-Fadaniy al-Makkiy, Fawaid al-Janiyah Hasyiah
al-Mawahib al-Saniyah Syarh al-Faraid al-Bahiyah fi Nadhm al-Qawaid
al-Fiqhiyah, Terbitan : Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 98
[4] Dr
Ya’cub bin Abd al-Wahab al-Baahisiin, al-Furuuq al-Fiqhiyah wa al-Ushuliyah,
Syirkah al-Riyadh, Hal. 25
[5] Dr
Ya’cub bin Abd al-Wahab al-Baahisiin, al-Furuuq al-Fiqhiyah wa al-Ushuliyah,
Syirkah al-Riyadh, Hal. 30-31
[6] Abdullah
bin Sulaiman al-Jarhazi, Mawahib al-Saniyah Syarh al-Faraid
al-Bahiyah, (dicetak bersama Fawaid al-Janiyah Hasyiah al-Mawahib
al-Saniyah Syarh al-Faraid al-Bahiyah fi Nadhm al-Qawaid al-Fiqhiyah), Terbitan
: Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut,
Juz. I, Hal. 98
[7] Al-Juwaini,
al-Jam’u wa al-Farq, Dar al-Jiil, Beirut, Hal. 42-45
[8] Al-Juwaini,
al-Jam’u wa al-Farq, Dar al-Jiil, Beirut, Hal. 57
[9] Al-Juwaini,
al-Jam’u
wa al-Farq, Dar al-Jiil, Beirut, Hal. 58-60
[10] Abu
al-Faizh Muhammad Yaasin bin ‘Isa al-Fadaniy al-Makkiy, Fawaid al-Janiyah Hasyiah
al-Mawahib al-Saniyah Syarh al-Faraid al-Bahiyah fi Nadhm al-Qawaid
al-Fiqhiyah, Terbitan : Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 99
[11] Al-Juwaini,
al-Jam’u
wa al-Farq, Dar al-Jiil, Beirut, Hal. 303-304
[12] Al-Juwaini,
al-Jam’u
wa al-Farq, Dar al-Jiil, Beirut, Hal. 19-20
[13] Al-Juwaini,
al-Jam’u
wa al-Farq, Dar al-Jiil, Beirut, Hal. 173-174
[14] Al-Juwaini,
al-Jam’u wa al-Farq, Dar al-Jiil, Beirut, Hal. 192
[15] Al-Juwaini,
al-Jam’u
wa al-Farq, Dar al-Jiil, Beirut, Hal. 345-346
[16] Al-Juwaini,
al-Jam’u
wa al-Farq, Dar al-Jiil, Beirut, Hal. 128-129
[17] Al-Juwaini,
al-Jam’u wa al-Farq, Dar al-Jiil, Beirut, Hal. 228