Tampilkan postingan dengan label Hadits Ahkam dan Penjelasannya (Bersuci). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hadits Ahkam dan Penjelasannya (Bersuci). Tampilkan semua postingan

Jumat, 09 Desember 2011

Membasuh Darah Haid

1-وَعَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ اَلنَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ -فِي دَمِ اَلْحَيْضِ يُصِيبُ اَلثَّوْبَ-: - "تَحُتُّهُ, ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ, ثُمَّ تَنْضَحُهُ, ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ" - مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Artinya : Dari Asmaa binti Abu Bakar r.a., Sesungguhnya Nabi SAW pernah bersabda tentang darah haid yang menimpa baju : “Hendaklah kamu mengeriknya, kemudian menggosok dengan air dan seterusnya membasuhkannya, kemudian shalat dengannya.”.(Muttafaqun ‘alaihi)[1]


Imam Nawawi dalam Syarah Muslim menjelaskan bahwa berdasarkan hadits di atas dipahami sebagi berikut :

1. Wajib membasuh najis dengan air

2. Tidak memadai membasuh dengan cuka atau benda cair lainnnya

3. Darah adalah najis dan ini merupakan ijmak ulama

4. Menghilangkan najis tidak disyaratkan lebih dari satu kali.


Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa yang wajib dalam menghilangkan najis adalah bersih najis, karena itu, apabila najis tersebut tidak dapat dilihat dengan mata (najis hukmiyah), seperti kencing yang kering dan yang sama dengannya, maka wajib membasuhnya satu kali saja, namun demikian sunnat membasuh dua atau tiga kali berdasarkan sabda Nabi SAW, berbunyi ;

إِذَا اِسْتَيْقَظَ أَحَدكُمْ مِنْ نَوْمه فَلَا يَغْمِس يَده فِي الْإِنَاء حَتَّى يَغْسِلهَا ثَلَاثًا

Artinya : Apabila salah seorang dari kamu terbangun dari tidurnya, maka hendaklah tidak membenam tangannya dalam bejana sehingga membasuhnya tiga kali. (H.R. Bukhari dan Muslim)[2]


Kemudian Imam Nawawi menjelaskan juga sebagai berikut :

1. Apabila najis itu adalah najis yang dapat dilihat dengan mata (najis ‘ainiyah) seperti darah dan lainnya, maka wajib menghilangkan ‘ainnya dan disunnatkan membasuhnya setelah hilang ‘ainnya untuk kedua atau ketiga kalinya.

2. Menurut pendapat yang lebih shahih dalam Mazhab Syafi’i, tidak disyaratkan memeras airnya apabila membasuh pakaian.

3. Apabila membasuh najis ainiyah dan masih tersisa warnanya, maka benda yang dibasuh tersebut adalah suci.

4. Apabila masih ada rasa najis, maka pakaian tersebut masih bernajis

5. Apabila masih ada bau, maka menurut pendapat yang kuat dari Syafi’i adalah suci[3]


2-وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَتْ خَوْلَةُ: - يَا رَسُولَ اَللَّهِ, فَإِنْ لَمْ يَذْهَبْ اَلدَّمُ? قَالَ: "يَكْفِيكِ اَلْمَاءُ, وَلَا يَضُرُّكِ أَثَرُهُ" - أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَسَنَدُهُ ضَعِيف

Artinya : Dari Abu Hurairah r.a., beliau berkata : Khaulah mengatakan : Ya Rasulullah, Bagaimana apabila darah tidak hilang ? Rasulullah SAW bersabda : “Memadai bagimu air dan tidak mudharat atasmu bekasnya.” (Dkeluarkannya oleh Turmidzi dengan sanadnya dha’if)[4]


Hadits ini telah diriwayat juga oleh Baihaqi dalam Sunan al-Kubra dari riwayat Abu Hurairah dengan isnad dha’if.[5]

Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :

“Pada isnadnya dha’if, tetapi ada penyokongnya dari riwayat mursal yang disebut oleh Baihaqi.[6]



[1] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 29

[2] Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 504

[3] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 472

[4] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 29

[5] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 593

[6] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barri, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 363

Senin, 28 November 2011

Cara menyucikan Kencing Anak Laki-Laki

-وَعَنْ أَبِي اَلسَّمْحِ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ اَلنَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - - يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ اَلْجَارِيَةِ, وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ اَلْغُلَامِ - أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِم ُ

Artinya : Dari Abu al-Samh r.a., beliau berkata : Nabi SAW bersabda : “Dibasuh kencing anak perempuan dan dipercik kencing anak laki-laki”. (Dikeluarkan oleh Abu Daud, al-Nisa-i dan menshahihkannya oleh al-Hakim)[1]


Menurut keterangan Imam Nawawi dalam Syarah Muslim mengenai cara bersuci dari kencing anak kecil dijelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat tentangnya dalam tiga mazhab yang juga merupakan pendapat-pendapat yang muncul dikalangan ulama Syafi’iyah, yaitu sebagai berikut :

1. Pendapat yang shahih yang masyhur dan terpilih : memadai dipercik pada bersuci kencing anak laki-laki dan tidak memadai pada kencing anak perempuan. Pada anak perempuan wajib dibasuh seperti najis lainnya. (Dalil pendapat ini adalah dhahir hadits di atas. Pen.)

2. Memadai dipercik pada keduanya

3. Tidak memadai dipercik pada keduanya.


Diantara ulama yang berpendapat sebagaimana pendapat pertama adalah Ali bin Abi Thalib, ‘Itha’ bin Abu Rabah, Hasan Basri, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih, sekelompok Salaf, Ahli Hadits, Ibnu Wahab dari kalangan Malikiyah dan diriwayat Abu Hanifah juga berpendapat seperti ini. Ulama yang berpendapat wajib basuh keduanya antara lain : Abu Hanifah, Malik menurut pendapat yang masyhur dari beliau dan Ahli Kuffah.

Yang tersebut di atas merupakan khilaf mengenai cara menyucikan kencing anak laki-laki, sedangkan mengenai najisnya, para ulama tidak berbeda pendapat mengenainya. Karena itu, sebagian kalangan Syafi’iyah mengutip telah terjadi ijmak ulama atas najis kencing anak laki-laki dan tidak ada yang menyalahinya kecuali Daud Dhahiri. Adapun yang dihikayah Abu Hasan bin Bathal dan Qadhi ‘Iyadh dari Syafi’i dan lainnya bahwa mereka mengatakan kencing anak laki-laki adalah suci, karena itu maka dapat dipercik saja, maka hikayah ini adalah bathil secara pasti.

Catatan

Percik yang memadai di sini adalah apabila pada kencing anak laki-laki yang hanya minum susu ibunya. Adapun apabila anak laki-laki tersebut sudah makan makanan yang mengenyangkan, maka kencingnya itu wajib dibasuh tanpa khilaf. [2]



[1] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 28-29

[2] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 195

Minggu, 27 November 2011

Mengenai Kesucian Air Mani

-وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا, قَالَتْ: - كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَغْسِلُ اَلْمَنِيَّ, ثُمَّ يَخْرُجُ إِلَى اَلصَّلَاةِ فِي ذَلِكَ اَلثَّوْبِ, وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى أَثَرِ اَلْغُسْلِ فِيهِ - مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ وَلِمُسْلِمٍ: - لَقَدْ كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبٍ رَسُولِ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَرْكًا, فَيُصَلِّي فِيهِ -.وَفِي لَفْظٍ لَهُ: - لَقَدْ كُنْتُ أَحُكُّهُ يَابِسًا بِظُفُرِي مِنْ ثَوْبِهِ

Artinya : Dari Aisyah r.a., beliau berkata : Rasulullah SAW pernah mencucikan mani, kemudian keluar untuk shalat dengan memakai pakaian tersebut dan aku melihat bekas cuciannya (Muttafaqun ‘alaihi). Dalam riwayat Muslim : Sungguh aku pernah mengerik mani dari baju Rasulullah SAW, lalu beliau shalat dengan memakainya. Dan dalam lafazh Muslim juga : Sungguh aku mengeriknya dalam keadaan kering dengan kukuku dari baju beliau.[1]


Dalam Syarah Muslim, Imam Nawawi menjelaskan bahwa telah terjadi khilaf ulama mengenai kesucian air mani manusia, yaitu sebagai berikut :

1. Malik dan Abu Hanifah berpendapat kepada najis mani, kecuali Abu Hanifah dalam mensucikannya berpendapat memadai dengan mengeriknya saja apabila mani tersebut kering. Ini juga merupakan salah satu riwayat dari Ahmad. Sedangkan Malik berpendapat harus dengan membasuhnya, baik mani tersebut dalam keadaan basah maupun kering.

2. Al-Laits mengatakan mani manusia adalah najis dan shalat tidak sah dengan sebabnya.

3. Al-Hasan mengatakan shalat tidak sah apabila ada mani pada pakaian meskipun banyak dan sah apabila mani tersebut pada tubuh jika sedikit

4. Kebanyakan ulama berpendapat mani manusia adalah suci. Pendapat ini diriwayat dari Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu Umar, Aisyah, Daud dan Ahmad dalam salah satu riwayat yang lebih shahih darinya. Ini juga Mazhab Syafi’i dan Ahli Hadist.

5. Dikalangan ulama Syafi’iyah ada pendapat syaz (aneh) dan dha’if, yaitu mani perempuan najis, tidak najis mani laki-laki. Ada juga pendapat yang lebih dha’if lagi, yaitu mani perempuan dan laki-laki adalah najis


Catatan

Argumentasi yang dikemukakan oleh ulama yang berpendapat najis air mani manusia adalah hadits yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW membasuh air mani yang melekat pada baju beliau. Sedangkan argumentasi yang dikemukakan oleh ulama yang berpendapat suci air mani manusia adalah hadits yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW memakai baju yang kena air mani untuk shalat, dimana Aisyah r.a. sebelumnya sudah mengerik mani tersebut. Jalan pendalilian hadits ini adalah apabila mani tersebut najis, maka tentu tidak memadai hanya dengan dikerik sebagaimana halnya darah dan lainnya. Adapun riwayat Rasulullah SAW membasuh mani dipertempatkan sebagai sunnat dan hanya untuk kebersihan saja.

Adapun mengenai hukum makan air mani yang suci ada dua pendapat. Pendapat yang kuat adalah tidak halal, karena ia masuk dalam katagori kelompok benda yang jorok yang diharamkan.

Adapun hukum mani hewan selain manusia terpilah dalam beberapa katagori, yaitu :

1. Mani anjing, babi dan hewan yang lahir dari perkawinan salah satunya dengan hewan suci. Katagori ini, maninya adalah najis tanpa khilaf

2. Yang selain katagori di atas, menurut pendapat yang lebih shahih, semuanya suci, baik yang dimakan dagingnya atau lainnya. Pendapat yang kedua najis. Pendapat ketiga, mani hewan yang dimakan adalah suci dan mani lainnya adalah najis.[2]



[1] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 28

[2] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 467

Hukum air liur Hewan

وَعَنْ عَمْرِو بْنِ خَارِجَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: - خَطَبَنَا رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - بِمِنًى, وَهُوَ عَلَى رَاحِلَتِهِ, وَلُعَابُهَا يَسِيلُ عَلَى كَتِفَيَّ. - أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَه ُ

Artinya : Dari Amru bin Kharijah r.a. , beliau berkata : Rasulullah SAW berkhutbah di Mina di atas untanya, sementara air liau unta mengalir atas pundakku. (Dikeluarkan oleh Ahmad dan Turmidzi dan beliau menshahihkannya)[1]


Berdasarkan hadits di atas, para ulama berfatwa suci sesuatu yang umum balaa (banyak terjadi dan sukar menghindarinya) seperti keringat hewan, meskipun banyak dan air liurnya.[2]



[1] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 28

[2] Syarwani, Hawasyi Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 116