Iman kepada qadha dan qadar merupakan salah satu rukun iman yang harus diimani oleh setiap orang yang mengaku muslim sesuai dengan hadist yang diriwayat oleh Imam Muslim berbunyi :
قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الْإِيمَانِ، قَالَ أَنْ
تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
“Maka kabarkan padaku tentang iman, Rasulullah bersabda: Iman
adalah bahwa kamu beriman kepada Allah dan malaikatNya, segala kitabNya, dan
RasulNya dan hari akhirat serta kamu beriman dengan qadar baik dan buruk.” (H.R. Imam Muslim) [1]
Pengertian qadha dan qadar dipahami secara berbeda oleh para ulama.
Kelompok Asyariyyah dan Maturidiyyah, berbeda pendapat perihal pengertian kata
qadha dan qadar. Syeikh Nawawi al-Bantaniy mengatakan :
اختلفوا في معنى
القضاء والقدر فالقضاء عند الأشاعرة إرادة الله الأشياء في الأزل على ما هي عليه
في غير الأزل والقدر عندهم إيجاد الله الأشياء على قدر مخصوص على وفق الإرادة
“Ulama tauhid berbeda pendapat perihal makna
qadha dan qadar. Qadha menurut ulama Asy’ariyyah adalah kehendak Allah atas
sesuatu pada azali untuk sebuah realitas pada saat sesuatu di luar azali kelak.
Sementara qadar menurut mereka adalah penciptaan Allah atas sesuatu pada kadar
tertentu sesuai dengan kehendak-Nya.”[2]
Selanjutnya Nawawi al-Bantaniy menjelaskan bahwa contoh
konkret qadha adalah putusan Allah pada azali bahwa kelak seseorang akan menjadi seorang yang alim. Sementara
qadar adalah realisasi Allah atas qadha tersebut kelak sesuai kehendak-Nya.[3]
Adapun pengertian qadha dan qadar menurut al-Maturidiyah
adalah sebagaimana kemudian dikemukakan:Syeikh Nawawi :
واما
عند الماتريدية فالقضاء إيجاد الله الأشياء مع زيادة الاتقان
أي غلى وفق علمه تعالى والقدر تحديد الله ازلا كل المخلوق بحده اللذي يوجد عليه من
حسن وقبح ونفع وضر الى غير ذالك اي علمه تعالى ازلا صفات المخلوقات.
“Adapun menurut al-Maturidiyyah, qadha adalah penciptaan Allah
atas sesuatu disertai penambahan penyempurnaan, maksudnya sesuai ilmu-Nya. Sedangkan
qadar adalah batasan yang Allah buat pada azali atas setiap makhluk dengan
batasan yang ada pada semua makhluk berupa baik, buruk, memberi manfaat, menyebabkan
mudarat, dan seterusnya. Artinya ilmu Allah pada azali atas sifat-sifat makhluk.”[4]
Ada juga yang berpendapat qadha merupakan ilmu Allah Ta’ala yang
azali disertai ta’alluq-nya dengan materi yang diketahui-Nya. Sementara
qadar adalah penciptaan Allah atas sesuatu sesuai dengan ilmu-Nya. Jadi, ilmu
Allah pada azali bahwa seseorang kelak akan menjadi seorang alim adalah qadha.
Sedangkan penciptaan ilmu pada diri seseorang setelah ia diciptakan adalah
qadar. Berdasarkan pendapat terakhir ini dan pendapat Asy’ariyyah, maka qadha
adalah qadim, sedangkan qadar baharu. Adapun menurut Maturidiyah adalah sebaliknya,
yaitu qadha adalah baharu, sedangkan qadar adalah qadim. Sementara itu, ada
juga ulama yang mengatakan qadha dan qadar dengan satu makna, yaitu iradah
Allah Ta’ala.[5]
Pengertian qadha dan qadar menurut Asy’ariyyah dan al-Maturidiyah
di atas juga telah dikemukakan oleh Ibrahim al-Bajuriy dalam kitab Hasyiah al-Bajuriy
‘ala Jauharah al-Tauhid. Kemudian beliau menambahkan qadar menurut Asy’ariyyah
adalah sifat af’al, sedangkan menurut al-Maturidiyah kembali kembali kepada
sifat ilmu. Karena itu, termasuk sifat zat. Adapun qadha menurut Asy’ariyyah merupakan
iradah Allah. Karena itu, termasuk sifat zat. Adapun menurut al-Maturidiyah
termasuk sifal af’al, karena qadha bermakna menjadikan sesuatu menurut al-Maturidiyah.[6]
[1]
Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 36,
No. 8
[2]
Nawawi al-Bantaniy, Kasyifah al-Sajaa, Dar Ibn Hazm, Beirut, Hal.
60
[3] Nawawi
al-Bantaniy, Kasyifah al-Sajaa, Dar Ibn Hazm, Beirut, Hal. 60-61
[4] Nawawi
al-Bantaniy, Kasyifah al-Sajaa, Dar Ibn Hazm, Beirut, Hal. 61
[5] Nawawi
al-Bantaniy, Kasyifah al-Sajaa, Dar Ibn Hazm, Beirut, Hal. 61
[6]
Ibrahim al-Bajuriy, Hasyiah al-Bajuriy ‘ala Jauharah al-Tauhid, Dar
al-Salam, Kairo, Hal. 188-189