Imam
al-Ghazali menyebut makna asal mashlahah sebagai berikut :
أما المصلحة فهي
عبارة فى الأصل عن جلب منفعة او دفع مضرة
Adapun mashlahah pada dasarnya adalah ungkapan
dari menarik manfaat dan menolak mudharat
Adapun makna yang beliau maksudkan dalam kajian
ushul fiqh adalah :
المصلحة المحافظة على مقصود الشرع
Mashlahah adalah memelihara tujuan syara’.
Beliau menolak makna yang pertama dengan
alasan menarik manfaat dan menolak mudharat merupakan tujuan makhluk (manusia) dan
kebaikan dalam meraih tujuan-tujuan mereka. Karena itu, bukanlah tujuan syara’.
Adapun tujuan syara’ pada makhluk itu ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta mereka. Setiap yang mengandung upaya memelihara
kelima hal prinsip ini disebut mashlahah, dan setiap yang menghilangkan kelima
prinsip ini disebut mafsadah. (Hal. 174)
Pada awal bab pembahasan ini, Imam
al-Ghazali membagi mashlahah dari aspek kekuatan substansinya kepada tiga
katagori, yaitu :
1. Mashlahah yang dibenarkan syara’.
Mashlahah yang dibenarkan syara’
dapat dijadikan hujjah karena kesimpulannya kembali kepada qiyas,
yaitu mengambil hukum dari makna rasional nash dan ijmak.
Contohnya kita menghukumi bahwa setiap minuman dan makanan yang memabukkan
adalah haram diqiyaskan kepada khamar, karena khamar itu diharamkan untuk
memelihara akal yang menjadi tempat bergantungnya pembebanan hukum. Hukum haram
yang ditetapkan syara’ terhadap khamar itu sebagai bukti diperhatikannya
kemaslahatan ini.
2. Mashlahah yang dibatalkan syara’.
Contohnya seperti fatwa sebagian ulama kepada salah seorang raja
ketika melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadhan, dengan menyuruh puasa
dua bulan berturut-turut. Kenapa tidak menyuruh raja itu untuk memerdekakan
hamba sahaya, padahal ia kaya. Ulama ini beralasan, kalau raja itu disuruh
memerdekakan hamba sahaya, sangatlah mudah baginya, dan ia dengan ringan akan
memerdekakan hamba sahaya untuk memenuhi kebutuhan syahwatnya. Maka
maslahatnya, wajib ia berpuasa dua bulan berturut-turut, agar ia jera. Imam
al-Ghazali mengatakan, ini adalah fatwa yang batal dan menyalahi nash syara’ dengan
beralasan mashlahah. Karena seandainya dibuka pintu ini akan merobah semua
ketentuan-ketentuan hukum Islam dan nash-nash-nya disebabkan perubahan kondisi
dan situasi.
3. Mashlahah yang tidak dibenarkan dan juga tidak
dibatalkan syara’ (mashlahah mursalah) (Hal. 173-174)
Untuk membahas lebih lanjut katagori
ketiga ini (mashlahah mursalah), Imam al-Ghazali membagi mashlahah kepada tiga
tingkatan, yaitu :
1. Tingkatan dharuriyat (kebutuhan primer)
Sebagaimana disebut di atas bahwa maksud
syara’ pada makhluk ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta mereka. Kelima prinsip ini berada pada posisi tingkatan dharuriyat.
Contohnya :
a. penetapan syara’ untuk membunuh orang
kafir yang menyesatkan dan memberi hukuman kepada pembuat bid’ah yang mengajak
orang lain untuk mengikuti bid’ahnya, sebab hal ini (bila dibiarkan) akan
melenyapkan agama umat.
b. penetapan syara’ mewajibkan qisas (hukuman
yang sama dengan kejahatannya), sebab dengan hukuman ini jiwa manusia akan
terpelihara.
c. kewajiban hadd karena minum minuman
keras, karena dengan sanksi ini akal akan terpelihara
d. kewajiban hadd karena berzina, sebab
dengan sanksi ini keturunan dan nasab akan terpelihara.
e. kewajiban memberi hukuman kepada para perampok
dan pencuri, sebab dengan sanksi ini harta benda yang menjadi sumber kehidupan
manusia itu akan terpelihara.
2. Tingkatan hajat (kebutuhan sekunder)
Contohnya pemberian kekuasaan kepada wali
untuk mengawinkan anaknya yang masih kecil. Hal ini tidak sampai pada batas dharuriyat
(sangat mendesak), tetapi diperlukan untuk memperoleh kemaslahatan dan mencari
kesetaraan (kafa’ah).
3.
Tingkatan tahsinat
(mempercantik), tazyinat (memperindah).
Tingkatan
ketiga ini adalah mashlahah yang tidak kembali kepada dharuriyat dan tidak pula
ke hajat, tetapi menempati posisi tahsin (mempercantik), tazyin (memperindah),
dan taisir (mempermudah) untuk mendapatkan beberapa keistimewaan, nilai tambah,
dan memelihara sebaik-baik sikap dalam kehidupan sehari-hari dan
muamalat/pergaulan. Contohnya seperti status ketidaklayakan hamba sahaya
sebagai saksi, padahal fatwa dan periwayatannya bisa diterima.(174-175)
Setelah membagi mashlahah kepada tiga pembagian di atas, Imam Al-Ghazali menjelaskan sebagai berikut :
الْوَاقِعُ فِي
الرُّتْبَتَيْنِ الْأَخِيرَتَيْنِ لَا يَجُوزُ الْحُكْمُ بِمُجَرَّدِهِ إنْ لَمْ
يَعْتَضِدْ بِشَهَادَةِ أَصْلٍ إلَّا أَنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى وَضْعِ
الضَّرُورَاتِ، فَلَا بُعْدَ فِي أَنْ يُؤَدِّيَ إلَيْهِ اجْتِهَادُ مُجْتَهِدٍ،
وَإِنْ لَمْ يَشْهَدْ الشَّرْعُ بِالرَّأْيِ، فَهُوَ كَالِاسْتِحْسَانِ. فَإِنْ
اعْتَضَدَ بِأَصْلٍ فَذَاكَ قِيَاسٌ وَسَيَأْتِي أَمَّا الْوَاقِعُ فِي رُتْبَةِ
الضَّرُورَاتِ فَلَا بُعْدَ فِي أَنْ يُؤَدِّيَ إلَيْهِ اجْتِهَادُ مُجْتَهِدٍ،
وَإِنْ لَمْ يَشْهَدْ لَهُ أَصْلٌ مُعَيَّنٌ
Maslahat yang berada pada dua tingkatan
terakhir (hajiyat dan tahsiniyat) tidak boleh berhukum semata-mata dengannya
apabila tidak diperkuat dengan dalil tertentu kecuali yang berlaku sebagaimana
dharuriyat, maka tidak jauh bila ijtihad mujtahid sampai kepadanya. Adapun
maslahat yang berada pada tingkatan dharuriyat maka tidak jauh ijtihad
mujtahid untuk melakukannya, sekalipun tidak ada dalil tertentu yang
memperkuatnya
Menurut ucapan Imam al-Ghazali di atas,
bisa dipahami bahwa beliau berpendapat tiga tingkatan mashlahah di atas tidak
dapat dijadikan pertimbangan dalam penetapan hukum Islam, kecuali tingkatan
dharuriyat atau yang menempati level dharuriyat
Imam al-Ghazali kemudian menyebut contoh
penetapan hukum dengan mempertimbangkan mashlahah tingkat dharuriyat, meskipun
tanpa merujuk kepada dalil tertentu, yaitu orang-orang kafir yang
menjadikan sekelompok tawanan muslimin sebagai perisai hidup. Bila kita tidak
menyerang mereka, justru mereka akan menyerang kita, akan masuk ke negeri kita,
dan akan membunuh semua kaum muslimin serta juga akan membunuh para tawanan itu.
Kalau kita memanah tawanan yang menjadi perisai hidup itu (agar bisa
menembus musuh), berarti kita membunuh muslim yang terpelihara darahnya yang
tidak berdosa. Maka mujtahid boleh berpendapat, tawanan muslim itu, dalam
keadaan apapun, pasti terbunuh. Dengan demikian, memanah kumpulan para tawanan
tersebut dapat dibenarkan demi memelihara semua umat Islam. Itu lebih mendekati
kepada tujuan syara’. Karena secara pasti kita mengetahui bahwa tujuan syara’
adalah memperkecil angka pembunuhan sebagaimana tujuan syara’ menutup semua
jalan terjadi pembunuhan pada ketika memungkinkan. Apabila kita tidak mampu menutup
semua jalannya, maka kita harus berupaya memperkecilkannya. Hal ini dilakukan
berdasarkan pertimbangan maslahat yang diketahui secara pasti bahwa maslahat itu
menjadi tujuan syara’.
Menurut Imam al-Ghazali, penggunaan tingkatan
dharuriyat sebagai pertimbangan hukum dapat dibenarkan dengan syarat terpenuhi
tiga sifat, yakni mashlahah itu statusnya dharurat, qat’iyat (bersifat pasti),
dan kulliyat (menyeluruh). Karena itu, berikut ini beberapa kasus-kasus yang tidak
terpenuhi persyaratan ini apabila :
1. Orang-orang kafir yang menjadikan satu tawanan
muslimin sebagai perisai hidup dalam benteng mereka. Maka tidak halal memanah
tawanan itu demi dapat merebut benteng musuh. Karena tidak ada dharurat yang
mengharuskan merebut benteng. Juga tidak dapat dipastikan mendapat kemenangan
peperangan dengan sebab dapat merebut benteng tersebut, karena bukan merupakan
perkiraan yang pasti, hanya dhanniyah (dugaan) belaka
2. Sekelompok orang berada dalam kapal yang melebihi
kafasitasnya, keadaannya diambang tenggelam, maka tidak boleh melempar salah
satu dari mereka dalam laut demi menghindari tenggelam kapal yang menyebabkan
semua mati. Ketidakbolehan ini karena dharuratnya demi jumlah yang terbatas,
bukan menyeluruh (kulliyat) kaum muslimin.
3. Sekelompok orang berada dalam kelaparan yang
sudah berada pada kondisi dapat menyebabkan kematian. Seandainya mereka memakan
salah satu dari mereka, maka kematian dapat dihindari. Memakan salah satu dari
mereka ini tidak dibenarkan, karena kemaslahatannya hanya untuk sekelompok
orang yang terbatas, tidak bersifat menyeluruh (kulliyat). (175-176)
Akhirnya dalam pembahasan mashlahah, Imam
al-Ghazali menutup dengan ucapan beliau :
فَبِهَذِهِ
الشُّرُوطِ الَّتِي ذَكَرْنَاهَا يَجُوزُ اتِّبَاعُ الْمَصَالِحِ، وَتَبَيَّنَ
أَنَّ الِاسْتِصْلَاحَ لَيْسَ أَصْلًا خَامِسًا بِرَأْسِهِ بَلْ مَنْ اسْتَصْلَحَ
فَقَدْ شَرَّعَ كَمَا أَنَّ مَنْ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَّعَ
Dengan syarat-syarat ini yang telah kami
sebutkan, maka boleh mengikuti maslahah. Akan tetapi ia bukanlah dalil kelima
yang berdiri sendiri. Bahkan barang siapa yang mengikuti mashlahah, maka dia
telah membuat-buat hukum sebagaimana yang mengikuti istihsan, maka dia juga
telah membuat-buat hukum. (Hal. 180)
Wallahua’lam bisshawab