Hukum carter (sewa) kebun untuk memiliki
buahnya.
Carter (sewa) kebun untuk memiliki
buahnya, hukumnya tidak sah.
Alasannya sebagai berikut :
1. Dari Abu Hurairah r.a, berbunyi :
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ
الْحَصَاةِ، وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Rasulullah SAW melarang jual beli
al-hashaah dan gharar. (H.R. Muslim)
Berdasarkan hadits ini, sebuah akad dalam tidak boleh
mengandung kemungkinan gharar (tipuan). Ketika misalnya, ketika pohon ini
disewakan selama dua tahun dan dalam kondisi normal, kita tidak bisa
memastikan hasilnya. Apakah nanti akan berbuah setiap tahun atau sebaliknya,
sering gagal panen. Lain halnya ketika ada pohon yang disewakan untuk sesuatu
yang manfaat yang bukan dalam bentuk benda, misalnya untuk hiasan
dekorasi walimah pernikahan atau untuk tempat berteduh. Ini jelas manfaatnya
jelas dan terukur. Hal yang sama juga berlaku pada kasus menyewa kolam untuk
memancing ikan. Karena mengambil ikan yang diqashad dalam akad sewa belum tentu
bisa terwujud karena tergantung keadaan, apakah ikan tersebut bisa bisa
ditangkap dengan pancing pada ketika itu atau tidak.
2. Dalam kitab Fathul Muin, Zainuddin al-Malibari mengatakan :
ورؤيته أي المعقود عليه إن كان معينا فلا
يصح بيع معين لم يره العاقدان أو أحدهما كرهنه وإجارته للغرر المنهي عنه وإن بالغ
في وصفه.
Dan melihatnya, yakni melihat barang yang diakadkan seandainya
barangnya tertentu. Maka tidak sah jual beli barang yang tertentu selama tidak
dilihat oleh dua pihak yang melakukan akad atau salah satunya. Sama juga
hukumnya ini akad gadai dan sewa,meskipun disifatinya secara sempurna, karena
ada gharar yang terlarang padanya.(Fathul Mu’in, (dicetak pada hamisy
I’anah al-Thalibin): III/9-10)
2. Akad sewa diperuntukan mengambil manfaat yang
bukan dalam bentuk benda seperti mendiami rumah yang disewa, tidak dalam bentuk
benda seperti mengambil buah dari kebun yang disewa. Zainuddin al-Malibari
mengatakan :
فلا يصح
اكتراء بستان لثمرته لأن الأعيان لا تملك بعقد الإجارة قصدا.ونقل التاج السبكي في
توشيحه اختيار والده التقي السبكي في آخر عمره صحة إجارة الأشجار لثمرها وصرحوا
بصحة استئجار قناة أو بئر للانتفاع بمائها للحاجة.
Maka tidak sah menyewa kebun untuk buahnya, karena benda tidak
dapat dimiliki dengan qashad akad sewa. Namun dalam kitab Tausyihnya, al-Taj
al-Subki pernah mengutip pilihan bapaknya, al-Taqy al-Subki pada akhir umurnya
sah sewa pohon untuk buahnya dan para ulama telah menjelaskan sah sewa terusan
air atau sumur untuk mengambil manfaat airnya karena hajad.(Fathul
Mu’in, (dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin): III/114)
Namun menurut keterangan pengarang I’anah al-Thalibin, pendapat
al-Taqy al-Subki di atas adalah dhaif. (I’anah al-Thalibin: III/114)
3. Imam al-Nawawi mengatakan :
الخامسة: لا يحوز أن
يستأجر بركة ليأخذ منها السمك فلو استأجرها ليحبس فيها الماء حتى يجتمع فيها السمك
جاز على الصحيح
Yang kelima : Tidak boleh menyewa kolam supaya mengambil ikan
darinya. Karena itu, seandainya seseorang menyewa kolam untuk menahan air
dalamnya sehingga terkumpul ikan di dalamnya, maka ini boleh berdasarkan
pendapat shahih. (Al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin: V/256)
4. Dalam kitab Asnaa al-Mathalib disebut :
(وَتَصِحُّ إجَارَةُ
مُصْحَفٍ وَكِتَابٍ) لِمُطَالَعَتِهِمَا وَالْقِرَاءَةِ مِنْهُمَا.(لَا) إجَارَةُ
(بِرْكَةٍ لِصَيْدِ سَمَكٍ) مِنْهَا فَلَا تَصِحُّ كَاسْتِئْجَارِ الْأَشْجَارِ
لِلثِّمَارِ (وَتَصِحُّ) إجَارَتُهَا (لِحَبْسِ مَا فِيهَا) حَتَّى يَجْتَمِعَ
فِيهِ السَّمَكُ ثُمَّ (يَصْطَادَ مِنْهُ) .
Sah sewa mashaf al-Qur’an dan kitab untuk muthala’ah dan membaca
keduanya, tidak sah menyewa kolam untuk berburu ikan darinya, maka tidak sah
menyewa pohon untuk buahnya, akan tetapi sah menyewa kolam untuk menahan air di
dalamnya sehingga berkumpul ikan di dalamnya, kemudian memburunya. (Zakariya
al-Anshari, Asnaa al-Mathalib: II/435)
Mawah kebun
Mawah adalah aqad perjanjian antara dua
orang (pemilik harta dan pengelola harta) untuk mengelola terhadap suatu harta
dimana pengelola akan mendapatkan sebagian dari hasil yang didapati dari usaha
tersebut yang jumlahnya berdasarkan
perjanjian antara keduanya,
Mawah yang sering
berlaku dalam masyarakat Aceh ada beberapa macam ;
1.
Mawah binatang ternak.
2.
Mawah kebun palawija.
3.
Mawah kebun tanaman keras.
4. Mawah tanah, (memawahkan tanah yang belum sepenuhnya menjadi lahan bercocok tanam, sasarannya untuk menjadi lahan pertanian)
5.
Mawah usaha (mawah yang terjadi pada para nelayan
dan usaha lainnya)
6.
Mawah kerja, seperti mawah on meria (daun sagu) untuk
dijadikan atap rumah, daun atap rumbia biasanya dibagi dua.
(Mawah dalam Masyarakat Aceh oleh Tgk.
Abuyazid Al-Yusufie: 1-2)
Dalam tulisan ini, mengkhususkan
pembahasan mawah pada tanaman keras dengan harapan menjadi solusi hukum
terhadap tradisi carter (sewa) kebun untuk memiliki buahnya.yang dinyatakan
tidak sah dalam mazhab Syafi’i. Dalam fiqh ada kajian hukum musaaqaah. Ibnu
Hajar al-Haitami mendevinsikan musaaqaah:
)الْمُسَاقَاةِ) هِيَ مُعَامَلَةٌ عَلَى تَعَهُّدِ
شَجَرٍ بِجُزْءٍ مِنْ ثَمَرَتِهِ مِنْ السَّقْيِ الَّذِي هُوَ أَهَمُّ
أَعْمَالِهَا
Musaaqaah adalah akad muamalah untuk melakukan pengelolaan
tumbuh-tumbuhan berupa menyiram yang merupakan yang terpenting dari bentuk
pengelolaan lainnya dengan imbalan separuh buahnya (Tuhfah al-Muhtaj VI/106)
Dengan kata lain, musaaqaah adalah aqad perjanjian antara dua orang (pemilik kebun dan pengelola kebun)
untuk mengelola sebidang kebun dimana pengelola akan mendapatkan sebagian dari
hasil yang didapati dari usaha tersebut yang jumlahnya berdasarkan perjanjian antara keduanya
Kemudian beliau menjelaskan objek
musaaqaah menurut qaul jadid:
)وَمَوْرِدُهَا النَّخْلُ وَالْعِنَبُ) لِلنَّصِّ فِي النَّخْلِ وَأُلْحِقَ
بِهِ الْعِنَبُ بِجَامِعِ وُجُوبِ الزَّكَاةِ وَإِمْكَانِ الْخَرْصِ
Objek musaaqaah adalah kurma dan anggur karena ada nash
dalam hal kurma. Adapun anggur disamakan dengan kurma dengan persamaannya
sama-sama wajib zakat memungkinkan perkiraannya.(Tuhfah al-Muhtaj VI/107)
Berdasarkan ini, maka musaaqaah ini identik
dengan akad mawah kebun tanaman keras yang sudah menjadi tradisi di Aceh
sebagaimana dalam penjelasan Tgk. Abuyazid Al-Yusufie di atas.
Dalam qaul qadim musaaqah ini
dibolehkan pada semua tumbuh-tumbuhan yang ada pohonnya dan berbuah :
)وَجَوَّزَهَا الْقَدِيمُ فِي سَائِرِ
الْأَشْجَارِ الْمُثْمِرَةِ
(لِقَوْلِهِ فِي الْخَبَرِ
السَّابِقِ مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ وَلِعُمُومِ الْحَاجَةِ وَاخْتِيرَ
وَالْجَدِيدُ الْمَنْعُ؛ لِأَنَّهَا رُخْصَةٌ فَتَخْتَصُّ بِمَوْرِدِهَا
Pendapat qadim membolehkan musaaqaah pada semua
tumbuh-tumbuhan yang berbuah. Karena hadits sebelumnya, yaitu buah dan zuru’ dan
karena umum hajat. Pendapat ini ada yang memilihnya. Pendapat jadid, terlarang,
karena musaaqaah rukhsah. Karena itu, hanya berlaku pada yang ada nashnya. (Tuhfah
al-Muhtaj VI/107-108)
Penjelasan lebih lanjut terkait makna tumbuh-tumbuhan
yang berbuah.dapat diperhatikan pada kutipan di bawah ini;
قَوْلُ الْمَتْنِ (فِي سَائِرِ
الْأَشْجَارِ الْمُثْمِرَةِ) احْتَرَزَ بِالْأَشْجَارِ عَمَّا لَا سَاقَ لَهُ
كَالْبِطِّيخِ وَقَصَبِ السُّكَّرِ وَبِالْمُثْمِرَةِ عَنْ غَيْرِهَا
كَالتُّوتِ الذَّكَرِ وَمَا لَا يُقْصَدُ ثَمَرُهُ كَالصَّنَوْبَرِ فَلَا تَجُوزُ
الْمُسَاقَاةُ عَلَيْهِمَا عَلَى الْقَوْلَيْنِ اهـ مُغْنِي
Perkataan matan: (pada semua pohon yang berbuah), pada
perkataan pohon tidak termasuk di dalamnya tumbuh-tumbuhan yang tidak mempunyai
pohonnya seperti semangka dan tebu. Pada perkataan berbuah tidak termasuk di
dalamnya yang tidak berbuah seperti murbei jantan dan tumbuhan yang memang
tidak diqashad buahnya seperti cemara. Maka tidak boleh musaaqah pada keduanya
berdasarkan kedua qaul. Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj: VI/107-108)
Pendapat qadim ini sebagai penjelasan
Tuhfah al-Muhtaj di atas ada ulama pengikuti Syafi’i yang memilihnya. Diantara
ulama yang memilih pendapat qadim ini adalah Imam al-Nawawi. Pendapat qadim ini
juga merupakan pendapat Malik dan Ahmad sebagaimana penjelasan di bawah ini.
)وَجَوَّزَهَا الْقَدِيمُ فِي سَائِرِ
الْأَشْجَارِ الْمُثْمِرَةِ) كَتِينٍ وَتُفَّاحٍ لِوُرُودِهِ فِي الْخَبَرِ مِنْ
ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ وَلِعُمُومِ الْحَاجَةِ، وَاخْتَارَهُ الْمُصَنِّفُ فِي
تَصْحِيحِ التَّنْبِيهِ
Pendapat qadim membolehkan musaaqaah pada semua
tumbuh-tumbuhan yang berbuah.seperti tin, apel karena datang pada hadits yaitu
buah dan zuru’ dan juga karena umum hajat. Pendapat qadim ini telah dipilih
oleh pengarang (Imam al-Nawawi) dalam tashih al-Tanbih (Nihayah al-Muhtaj:
V/246)
Zainuddin al-Malibari mengatakan,
وجوزها القديم في سائر الاشجار، وبه قال
مالك وأحمد، واختاره جمع من أصحابنا
Pendapat qadim membolehkan musaaqaah pada semua
tumbuh-tumbuhan. Pendapat ini merupakan pendapat Malik dan Ahmad. Sekelompok
pengikut Syafi’I telah memilih pendapat ini. (Hasyiah I’anah al-Thalibin ‘ala Fathul
Muin : III/125)
Alhasil, menurut hemat kami carteran kebun untuk memiliki buahnya yang sudah
kita nyatakan tidak sah menurut mazhab Syafi’i karena mengandung gharar dapat
ganti akadnya dengan melakukan akad musaaqaah (dalam tradisi di Aceh biasanya
disebut dengan mawah) dengan berpegang pada qaul qadim Imam Syafi’i dengan
memperhatikan catatan/pertimbangan berikut ini.
1. Qaul qadim ini tidak terlalu dhaif. Buktinya qaul qadim ini
juga merupakan pendapat Malik dan Ahmad
2. Qaul qadim ini telah dipilih minhaitsu dalil, tidak
minhaitsu mazhab oleh sekelompok ulama Syafi’iyah (di dalamnya termasuk Imam
al-Nawawi)
3. Qaul qadim ini merupaka solusi untuk ummat dalam
meningkatkan taraf hidupnya. Ini merupakan hajat yang sifatnya umum
4. Karena ini merupakan pendapat dhaif dalam mazhab, maka tidak
boleh menjadi fatwa. Akan tetapi boleh di amalkan untuk diri sendiri. Kepada
orang alim dibolehkan menyampaikan cara pengamalan ini dengan jalan irsyad,
tidak dengan jalan fatwa.
Syeikh Ahmad al-Khathib mengatakan,
قال في الفوائد وكذا يجوز الأخذ والعمل لنفسه بالأقوال
والطرق والوجوه الضعيفة الا بمقابل الصحيح فان الغالب فيه انه فاسد و يجوزالافتاء
به للغير بمعنى الارشاد وبه قال الشيخ ابن حجر في الفتاوي
Pengarang al-Fawaid mengatakan, demikian juga boleh mengambil dan beramal
untuk diri sendiri qaul, thuruq-thuruq dan wajh dhaif kecuali lawan dari
pendapat shahih, karena ghalibnya fasid dan boleh juga berfatwa dengannya untuk
orang lain dengan makna irsyad (memberikan bimbingan). Penjelasan ini juga
telah dikemukakan oleh Syeikh Ibnu Hajar dalam al-Fatawa. (Hasyiah al-Nufahaat ‘ala Syarah
al-Warqaat: 170)
Muhammad bin Sulaiman al-Kurdiy mengatakan dalam al-Fawaid
al-Madaniyah sebagai berikut :واما اذا افتاه بالضعيف على طريق التعريف بحاله وانه يجوز للعامي
تقليده بالنسبة للعمل به فغير الممتنع كما سنبينه لك ان شاء الله تعالى
Adapun apabila seseorang berfatwa dengan
pendapat dha’if atas jalan memberitahukan keadaan dhaifnya, maka itu tidak
terlarang sebagaimana akan kami jelaskan kepadamu Insya Allah Ta’ala dan boleh
bagi orang awam taqlidnya dinisbahkan untuk beramal. (al-Fawaid al-Madaniyah:
58)