1.
Pengetahuan
hukum, baik berupa nash imam mazhabnya atau hasil istimbath ulama pengikutnya
yang didasarkan kepada nash, qawaid dan zabith dari imam mazhab. Secara garis
besar, nash Imam Syafi’i terbagi kepada qaul qadim dan jadid. Qaul qadim adalah
fatwa Imam Syafi’i ketika beliau berada di Baghdad, sedangkan qaul jadid adalah
fatwa beliau ketika berada di Mesir.
Adapun
fatwa beliau ketika berada di antara Baghdad dan Mesir, yang duluan disebut
qadim dan yang datang sesudahnya disebut jadid. Kitab Imam Syafi’i yang
termasuk qaul jadid antara lain al-Mukhtashar, al-Buwaithi dan al-Um.
Perawi-perawi qaul qadim yang populer antara lain, Ahmad bin Hanbal, Hasan bin
Muhammad al-Shibaah al-Za’farany, Abu ‘Aliy al-Karaabisiy dan Abu Tsur
al-Kalabiy. Adapun Perawi-perawi qaul jadid yang populer antara lain,
al-Buwaithiy, al-Muzaniy, al-Ra’bi’ bin Sulaiman al-Muradiy, Harmalah, Yunus
bin Abd al-A’laa, Abdullah bin al-Zubair al-Makkiy dan Muhammad bin Abdullah
bin Abd al-Hakim.
2.
Pengetahuan
al-jam’u dan al-farq. Yakni pengetahuan mengenai suatu perkara yang sama
hukumnya dari satu sisi dan berbeda dari sisi lain dengan perkara lain. Termasuk
dalam kelompok ini ilmu yang dinamakan dengan ilmu al-Furuq, yakni pengetahuan
hal-hal yang membedakan antara dua perkara yang menyerupai, dimana keduanya tidak sama dalam hukum.
Diantara kitab yang bagus tentang ilmu al-furuq ini adalah kitab Mathali’
al-Daqaiq fi al-Jawami’ wa Fawariq, karya Jamaluddin al-Asnawi.
Contoh
dua perkara yang menyerupai, tapi tidak sama hukumnya : datang baligh seorang anak
setelah melakukan shalat beberapa saat sebelum baligh, apakah shalat tersebut
memadai untuk shalat yang diwajibkan atasnya setelah baligh? Jawabnya memadai,
tidak memadai dalam perkara haji dan umrah.
Perbedaannya, shalat diperintahkannya atas anak-anak dan dipukulinya
apabila tidak mau melakukannya, tidak pada perkara haji dan umrah. Dan juga
haji dan umrah karena kewajibannya sekali seumur hidup, maka disyaratkan
terjadi haji dan umrah dalam keadaan sempurna, tidak dalam hal shalat.
Contoh
perkara-perkara yang menyerupai dan sama hukumnya : lupa shalat, puasa, haji,
zakat, kifarat dan nazar. Semua perkara ini wajib qadha tanpa khilaf.
3.
Bina
al-Masail, maksudya membangun hukum suatu masalah dengan mendasarkan kepada
masalah lain. Ini ada enam pembagian, yakni :
a.
Bina
qaulaini ‘ala qaulani (membangun dua qaul Syafi’i atas dua qaul Syafi’i yang lain).
b.
Bina
qaulaini ‘ala wajhaini (membangun dua qaul atas dua wajh, wajh adalah pendapat pengikut Syafi’i hasil istimbath
dari nash dan qawaid Syafi’i )
c.
Bina
wajhaini ‘ala wajhaini (membangun dua wajh atas dua wajh)
d.
Bina
wajhaini ‘ala qaulaini (membangun dua wajh atas dua qaul)
e.
Bina
wajhaini ‘ala qaulin wa wajhin (membangun dua wajh atas qaul dan wajh)
f.
Bina
wajhin wa qaulin ‘ala wajhin wa qaulin
(membangun wajh dan qaul atas wajh dan
qaul)
Contoh
bina qaulaini ‘ala qaulani adalah : bersentuhan kulit mahram dengan sebab
nasab, rizha’ dan mushaharah tidak menggugurkan wudhu’ menurut pendapat azhhar
(azhhar : qaul Imam Syafi’i yang dianggap lebih rajih). Alasannya, karena
bersentuhan kulit mahram bukan mazhinnah syahwat dengan nisbah kepada mahram,
sama halnya seperti laki-laki. Pendapat kedua runtuh wudhu’ karena beramal
dengan umum ayat. Dua qaul ini dibangun dengan mendasarkan kepada dua qaul,
apakah boleh mengistimbath dari nash syara’ sebuah makna yang mengkhususkan
umum nash atau tidak?. Menurut pendapat yang lebih shahih, boleh. Kalau kita
mentarjih boleh, maka bersentuhan kulit mahram dengan sebab nasab, rizha’ dan
mushaharah tidak menggugurkan wudhu’, karena umum ayat dikhususkan kepada
bersentuhan kulit yang ada mazhinnah
syahwat, yakni selain mahram.
Contoh
bina wajhaini ‘ala qaulaini adalah : kulit bangkai apabila sudah disamak, apakah
sah shalat apabila menggunakannya dalam shalat?, apakah sah menjualnya dan
apakah boleh menggunakannya pada sesuatu yang basah?. Terjadi khilaf pengikut
Syafi’i karena mendasarkan kepada khilaf qaulaini ; pendapat pertama tidak sah,
karena mendasarkan kepada qaul alat sama’ tidak masuk dalam batin kulit.
Pendapat kedua sama halnya dengan pakaian bernajis, karena qaul yang masyhur
bathin sesuatu suci dengan sebab suci dhahirnya, sedangkan alat sama’ sampai
kepada batin dengan perantaraan air dan basah-basah kulit.
Contoh
bina wajhaini ‘ala wajhaini adalah : menetes air atas kepala atau menjulurkan
kepala kepada hujan, apakah memadai sebagai menyapu kepala dalam bab wudhu’?.
Pendapat yang lebih shahih : memadai dengan didasarkan kepada boleh membasuh.
Karena membasuh adalah menyapu dengan ada tambahannya. Karena itu, memadai membasuh
dengan jalan lebih aula. Pendapat kedua ; tidak memadai, karena mendasarkan
kepada pendapat membasuh tidak dinamakan menyapu.
4.
Al-Mutharahaat.
Al-Muthaarahaat adalah masalah-masalah yang rumit dan musykil, dimana tujuan
ilmu ini adalah untuk penetapan dzihin. ‘Al-Alamah al-Hamawiy al-Hanafi
mengatakan, ilmu al-Muthaarahaat ini adalah mengemukakan salah seorang yang
alim kepada lainnya sebuah masalah, sehingga keduanya terjadi diskusi saling
berhadapan. Diantara kitab yang membahas ilmu ini adalah kitab al-Muthaarahaat
karya al-‘Alamat Abu Abdullah al-Husain bin Muhammad bin Muhammad al-Qathan.
Termasuk dalam kelompok al-Muthaarahaat ini al-Munadhaarat, al-Muraasalaat dan
al-Gharbiyah. Pengarang kitab al-Asybah wa al-Nadhair fi al-Furu’, Ibnu Najim
al-Hanafi telah menutup karangannya tersebut dengan pembahasan al-Muthaarahaat
ini.
Contoh
al-Muthaarahaat yang dikutip oleh al-Taj al-Subki dari kitab al-Muthaarahaat
adalah seseorang merampas hamba sahaya perempuan dari pemiliknya kemudian
menjualnya. Setelah itu hamba sahaya tersebut hamil karena dihamili oleh pembelinya.
Setelah hamil, hamba sahaya tersebut kembali kepada pemiliknya dan mati ketika
melahirkan. Jawaban masalah ini ; seandainya pembeli mengetahui bahwa hamba
sahaya itu merupakan hasil rampasan sipenjual, maka sipembeli tidak wajib
membayar hamba sahaya yang mati karena melahirkan tersebut, karena anak yang
dilahirkan itu tidak dihubungkan kepadanya dan tidak sah dikatakan, hamba
sahaya tersebut mati karena melahirkan anak darinya. Namun seandainya sipembeli
tidak mengatahui bahwa hamba sahaya itu merupakan hasil rampasan sipenjual, maka
harga hamba sahaya tersebut dibebankan pada harta sipembeli. Karena apabila
sipembeli tidak mengetahuinya, maka anak yang dilahirkan itu dihubungkan
kepadanya. Maka sahlah dikatakan, hamba sahaya tersebut mati karena melahirkan
anak darinya.
Contoh
lain yang dikutip oleh al-Taj al-Subki dari kitab al-Muthaarahaat adalah :
seseorang pada tangannya ada baju gamis, kemudian dia mengatakan : “Gamis ini
telah telah dijahit oleh si pulan untukku”. Si pulan itu membantahnya, dengan
mengatakan, “Tidak benar itu, akan tetapi ini adalah gamisku”. Maka yang terima
adalah perkataan orang dimana gamis itu berada di tangannya, kecuali orang
dimana gamis itu berada di tangannya tersebut mengatakan, “Pada ketika itu, aku
ambil gamis ini dari penjahit ini”. Perbedaan keduanya : pada masalah pertama
ada kemungkinan penjahit menjahit gamis tersebut dalam kekuasaan atau dalam
rumah orang dimana gamis itu berada di tangannya. Dengan demikian, sipenjahit
dalam posisi orang yang mendakwa. Karena itu, perkataan yang diterima adalah
perkataan orang dimana sesuatu yang didakwa oleh orang lain berada di
tangannya. Ini berbeda, apabila orang dimana gamis itu berada di tangannya
mengatakan, “Aku ambil gamis ini dari penjahit ini”. Ini secara tidak lansung
mengakui bahwa posisi sipenjahit sebagai orang pemegang kekuasaan atas gamis.
5.
Al-Mughaalathaat.
Al-Mughaalathaat dalam ilmu al-Mizan adalah qiyas yang tersusun dari muqaddimah
wahamiyah dan dusta atau yang menyerupai benar, padahal tidak benar. Adapun di
sisi fuqaha adalah masalah-masalah fiqhiyah yang dilempar oleh seorang alim
kepada seseorang atau sebuah jama’ah dengan tujuan menguji dan jatuh dalam
salah pada waktu menjawab. Yakni sebenarnya, hukum tersebut harus dijawab
secara tafshil, namun dijawab tanpa tafshil. Juga sebaliknya, sebenarnya, hukum
tersebut harus dijawab tanpa tafshil, namun dijawab dengan tafshil. Termasuk
dalam al-Mughaalathaat ini pengujian yang dilakukan oleh Qadhi Husain kepada
Abi ‘Aliy al-Mani’iy al-Haaji supaya para fuqaha Marw menganggap salah Abi
‘Aliy al-Mani’iy al-Haaji ketika mengunjungi mereka. Masalahnya adalah seseorang
merampas gandum pada zaman mahal harga barang, begitu sampai zaman murah,
pemiliknya menuntut kembali. Maka apakah yang dituntut itu misal barang atau
harganya?. Maka siapa yang mengatakan, yang dituntut itu misal barang saja,
maka itu salah dan siapa yang mengatakan, yang dituntut itu harga saja, maka
itu juga salah. Karena jawaban yang benar ada
tafshilnya, yaitu apabila gandum itu hilang pada tangan siperampas
sebagaimana adanya sebelum dijadikan tepung seperti terbakar, maka wajib bayar
misal barang. Adapun apabila sudah dijadikan tepung, diaduk dengan air,
dijadikan roti dan dimakan, maka wajib membayar harga, karena menjadikan tepung,
mengaduk dengan air, menjadikan roti termasuk yang dihargakan.
6.
Al-Dauriyaat,
yakni masalah-masalah yang memutarkan tashhih sebuah pendapat kepada
memfasidkannya dan memutarkan itsbat kepada menafikannya. Karya ulama mengenai
ini antara lain, Ghayah al-Ghuur fi Masalah al-Daur karangan Imam al-Ghazali,
al-Ghuur fi al-Daur dan Qathf al-Ghuur fi Masail al-Daur, keduanya ini karangan
al-Taj al-Subki.
Al-Dauriyaat
ini terbagi dua, yakni hukmiyah dan lafzhiyah. Hukmiyah adalah tempat terjadi
duur pada hukum syara’, sedangkan lafzhiyah tempat terjadi duur pada lafazh
yang dikemukakan oleh seseorang. Ini, kebanyakannya terjadi pada
masalah-masalah wasiat, memerdekakan hamba sahaya dan talaq.
Contoh
hukmiyah : Seorang majikan memberikan izin kepada hamba sahayanya untuk menikah
dengan mahar seribu dan majikannya itu menanggung maharnya itu. Kemudian
sebelum terjadi persetubuhan, sang majikan menjual hamba sahayanya itu kepada
si isteri hamba sahayanya dengan harga seribu yang menjadi mahar tanggungan si
majikan. Maka jual beli ini tidak sah. Karena kalau kita nyatakan sah jual
beli, maka sihamba sahaya menjadi milik isterinya. Seandainya jadi milik
isterinya, maka batallah nikah. Seandainya batal nikah dari pihak isteri, maka
gugurlah mahar. Seandainya gugur mahar, maka batallah harga. Seandainya batal
harga yang disebut pada waktu akad, maka batallah jual beli. Dalam kasus ini,
ditaqdirkan pembolehan jual beli yang memutarkan (al-duuriyaat) kepada
memfasidkan jual beli.
Contoh
lafzhiyah : Seseorang mengatakan kepada isterinya : “Jika aku talaq kamu, maka
kamu tertalaq sebelumnya tiga.” Kemudian suaminya mentalaqnya. Ini terdapat
tiga pendapat. Pendapat pertama tidak jatuh talaq sama sekali, karena beramal
dengan duur dan tashhih bagi duur. Karena seandainya jatuh talaq munjiz, maka sungguh
jatuh talaq tiga sebelumnya. Pada ketika itu, tidak jatuh talaq munjiz, karena
isteri sudah jatuh talaq ba-in sebelumnya. Karena itu, tidak jatuh juga talaq
tiga, karena tidak wujud syaratnya, yakni adanya talaq. Pendapat kedua jatuh
talaq munjiz saja. Pendapat ketiga jatuh talaq tiga, yakni yakni talaq munjiz
dan dua talaq yang menjadi mu’allaq seandainya si isteri sudah pernah
disetubuhinya.
7.
Ilghaz (teka-teki), yakni kalam yang digelapkan dan
tersebunyi. Dinamakan juga al-ahjiyah, karena al-hijaa bermakna akal, sedangkan
ilghaz ini menguatkan akal atas ujian. Para ilmuan ilmu faraidh menamakannya
ma’aayaah. Diantara kitab karya ulama mengenai ilmu ini antara lain, al-Injaz
fi al-Ilghaz karya Abd al-Karim al-Rafi’i dan Tharaz al-Mahaaqil fi Ilghaz
al-Masail karya al-Jamal Abd al-Rahim al-Asnawi.
Contohnya
: Siapakah yang wajib qadha shalat beberapa tahun dengan sebab mati orang
lain?. Jawabannya : Ummul walad yang mati majikannya di negeri lain dan dia
tidak mengetahuinya kecuali setelah berlalu masa beberapa tahun, padahal selama
ini dia shalat dalam keadaan terbuka kepala. Maka shalat ini batal apabila
kepalanya tidak ditutupi dengan segera dan tanpa perbuatan yang banyak.
(Catatan
: (1). ummul walad merdeka dengan sebab mati majikannya. (2). Ummul walad tidak
wajib menutup kepala dalam shalat selama dia masih berstatus hamba sahaya)
Contoh
lain : Apa yang dibinasakan oleh seorang yang melakukan ihram, atasnya wajib
membayar dua harga?. Jawabannya : Seorang yang ihram yang meminjam binatang
buruan, kemudian membinasakannya. Maka atasnya wajib membayar harganya kepada
si pemiliknya dan fidyah hewan ternak untuk hak Allah.
8.
Al-Hilah,
yakni celah hukum. Menurut Al-‘Alamah al-Hamawi dalam ilmu fiqh, hilah adalah
hal-hal yang dapat melepaskan dari jeratan hukum syara’ bagi orang-orang yang
diuji dengan perkara agama. Karena upaya melepaskan itu tidak dicapai kecuali
dengan kecerdasan dan ketajaman analisa, maka upaya tersebut dinamakan dengan
hilah. Menurut mazhab Syafi’i, hilah ini apabila qashadnya semata-mata zatnya,
bukan qashad meraih yang haram, maka hukumnya boleh tanpa makruh. Adapun apabila
qashad meraih yang haram, hukumnya makruh. Dikecualikan jalan hilah yang haram,
maka ini, hukumnya haram seperti perbuatan Yahudi melampaui batas dalam kisah Hari
Sabtu. Qashad Yahudi dalam kasus ini adalah menguasai ikan dan masuk ikan dalam galian mereka yang telah disediakan sebelum Hari Sabtu. Diantara kitab
yang membahas mengenai hilah ini adalah al-Hail al-Daafi’ah karya Abu Hatim
Majhud bin al-Husain al-Anshary al-Quzwainiy.
Contoh
hilah : melakukan jual beli ribawi yang sejenis, sedangkan ukurannya berbeda. Hilahnya
dengan menjual emas kepada yang mempunyai emas juga dengan dirham, kemudian sipenjual
ini membeli emas yang ada pada pembeli pertama dengan dirham yang sudah ada
ditangannya sesudah terjadi qabath iqbath. Maka ini dibolehkan meskipun sudah
menjadi adat kebiasaan, belum terpisah dari majelis akad dan tidak ada hak
khiyar. Hal ini karena akad jual beli kedua mengandung ijazah (izin) kepada akad
pertama, berbeda seandainya akad kedua dilakukan dengan orang lain, karena
menggugurkan hak khiyar orang lain.
Contoh
hilah lain : Seseorang yang sudah mempunyai nisab zakat ternak, merencanakan
menghindari dari kewajiban zakat. Maka hilahnya menjualnya atau menukar dengan
ternak lain pada pertengahan tahun. Dengan sebab itu haulnya terpotong, karena ternak
itu kepemilikannya masih baru, maka harus dengan haul baru. Namun hilah ini
makruh, karena ada unsur menghindari dari qurbah.
9.
Ma’rifah
al-Afrad, yakni mengenal semua pendapat yang dikemukakan oleh pengikut-pengikut
imam mazhab yang mengikuti mazhab imamnya. Diantara kitab yang menjadi
rujukannya adalah kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab dan Raudhah al-Thalibin,
keduanya karya Imam al-Nawawi.
10.
Ma’rifah
al-Zhawabith wa al-Qawaid, yakni mengenal zhabith-zhabit fiqh yang mengumpulkan
semua furu’ dari sebuah bab dan mengenal qawaid-qawaid yang dikembalikan ushul
dan furu’ kepadanya. Makna dikembalikan ushul kepadanya adalah mencakup semua
qaidah atas qaidah di bawahnya. Makna dikembalikan furu’ kepadanya adalah
mengeluarkan furu’ darinya.
(Tulisan di atas merupakan hasil rangkuman dari kitab Fawaid
al-Janiyah Hasyiah al-Mawahib al-Saniyah Syarh al-Faraid al-Bahiyah fi Nadhm
al-Qawaid al-Fiqhiyah karya Abu al-Faizh Muhammad Yaasin bin ‘Isa al-Fadaniy
al-Makkiy, Juz. I, Hal. 97-105, Terbitan : Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut)