Tampilkan postingan dengan label shalat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label shalat. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 November 2023

Jamak shalat dalam pandangan fiqh

 

Islam adalah agama yang memberi kemudahan bagi para pemeluknya. Salah satunya adalah keringanan bagi orang yang sedang melakukan perjalanan jauh dengan menjamak. Jamak adalah mengumpulkan dua pelaksanaan shalat fardhu dalam satu waktu shalat, seperti melaksanakan shalat Dhuhur dan Ashar pada waktu Dhuhur sekaligus. Shalat yang bisa dijamak adalah Dhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya. Jika dilakukan di waktu shalat yang pertama (Dhuhur atau Maghrib) dinamakan jamak taqdim, jika dilakukan di waktu shalat yang kedua (Ashar atau Isya) dinamakan jamak ta’khir. Diantara hadits yang memberi petunjuk kebolehan jamak shalat adalah riwayat Anas bin Maalik r.a, beliau berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ العَصْرِ، ثُمَّ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا، وَإِذَا زَاغَتْ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ

Nabi SAW jika bepergian sebelum matahari condong ke barat (sebelum masuk waktu Dhuhur), maka beliau mengakhirkan salat Dhuhur di waktu Ashar, kemudian menjamak kedua salat tersebut. Jika beliau bepergian setelah matahari condong ke barat (setelah masuk waktu Dhuhur), beliau salat Dhuhur kemudian berangkat. (H.R. Bukhari dan Muslim)


Syarat jamak shalat karena musafir (perjalanan)

Adapun syarat-syarat jamak shalat antara lain:

1.  Jamak shalat dilakukan dengan melakukan shalat magrib pada waktu ‘Isya (jamak ta’khir) atau sebaliknya (jamak taqdim) dan shalat dhuhur pada waktu ‘Ashar (jamak ta’khir) atau sebaliknya (jamak taqdim)

2.  Dalam keadaan musafir panjang, yaitu jarak tempuhnya dua marhalah (Syarah al-Mahalli: I/299). Adapun ukuran jarak tempuh apabila menggunakan ukuran jarak tempuh zaman sekarang adalah 138,24 km atau lebih. Ini apabila merujuk kepada penghitungan yang dilakukan Tgk H. Muhammad Yusuf A. Wahab dan Tgk Tarmidzi al-Yusufi  (risalah Miqdar al-Syar’i: 11). Namun menurut Dr. Musthafa Al-Khin ukurannya adalah 81 km.atau lebih (al-Fiqh al-Manhajiy ‘ala Mazhab al-Imam al-Syafi’i: I/190). Yang mendekati pendapat yang terakhir ini adalah pendapat yang dikemukakan H. Sulaiman Rasjid, yaitu minimal menempuh jarak perjalanan 80,640 km.(Fiqh Islam: 120).

3.  Tujuan musafir bukan maksiat. Karena jamak shalat merupakan rukhsah (keringanan) dalam agama, sedangkan rukhsah tidak boleh karena faktor maksiat. Qaidah fiqh mengatakan :

الرخصة لا تناط بالمعصية

Rukhsah tidak digantung dengan maksiat.

 

4.  Keringanan kebolehan jamak shalat bisa hilang apabila:

a.  Sudah kembali ke kampung halaman.

b.  Sampai di tempat tujuan dengan niat menetap secara mutlaq di tempat tujuan tersebut (tanpa diqaitkan dengan jumlah hari)

c.  Sampai di tempat tujuan dengan niat menetap di tempat tujuan tersebut selama empat hari penuh atau lebih

d.  Sampai di tempat tujuan serta ada keyakinan atau dugaan dalam hati bahwa keperluannya akan selesai dalam empat hari penuh di tempat tujuan tersebut

Dalam Fath al-Mu’in disebutkan :

وينتهي السفر بعوده إلى وطنه، وإن كان مارا به، أو إلى موضع آخر، ونوى إقامته به مطلقا أو أربعة أيام صحاح، أو علم أن إربه لا ينقضي فيها

Habis masa musafir dengan kembalinya kepada tempat tinggal menetap seseorang, meskipun ia hanya melewatinya saja, atau dengan sebab sampai ketempat lain, dimana dia meniatkan menetap ditempat itu secara mutlaq atau empat hari penuh atau ia memaklumi bahwa ia selesai keperluannya dalam empat hari penuh.(Hasyiah I’anah al-Thalibin ‘ala Fathul Mu’in: II/101-102)

 

Hukum jamak shalat tidak dalam keadaan musafir

Adapun hukum jamak shalat tidak dalam keadaan musafir dapat disimak penjelasan Imam al-Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhazzab berikut :

(فَرْعٌ) فِي مَذَاهِبِهِمْ فِي الْجَمْعِ فِي الْحَضَرِ بِلَا خَوْفٍ ولا سفر وَلَا مَرَضٍ: مَذْهَبُنَا وَمَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ وَأَحْمَدَ وَالْجُمْهُورِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ وَحَكَى ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْ طَائِفَةٍ جَوَازَهُ بِلَا سَبَبٍ قَالَ وجوزه بن سِيرِينَ لِحَاجَةٍ أَوْ مَا لَمْ يَتَّخِذْهُ عَادَةً

Masalah mazhab ulama tentang jamak shalat pada waktu hazhir (tidak musafir) tanpa faktor ketakutan, musafir dan sakit, yakni mazhab kita (Mazhab Syafi’i), Mazhab Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan jumhur ulama berpendapat tidak boleh. Namun Ibnu al-Munzir menceritakan pendapat dari sekelompok ulama yang mengatakan boleh dengan tanpa sebab apapun. Ibnu Siriin membolehkannya karena kebutuhan atau selama tidak menjadikannya sebagai suatu kebiasaan. (Majmu’ Syarah al-Muhazzab IV/264)

 

Juga penjelasan Imam al-Nawawi  dalam Raudhah al-Thalibin :

وَقَدْ حَكَى الْخَطَّابِيُّ عَنِ الْقَفَّالِ الْكَبِيرِ الشَّاشِيِّ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ جَوَازَ الْجَمْعِ فِي الْحَضَرِ لِلْحَاجَةِ مِنْ غَيْرِ اشْتِرَاطِ الْخَوْفِ، وَالْمَطَرِ، وَالْمَرَضِ، وَبِهِ قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ مِنْ أَصْحَابِنَا

Al-Khathabiy sungguh telah menceritakan dari al-Qafal al-Kabiir al-Syaasyii dari Abu Ishaq al-Marwaziy boleh jamak pada waktu hazhir (tidak musafir) karena ada kebutuhan tanpa disyaratkan ada ketakutan, hujan dan sakit. Pendapat ini merupakan pendapat Ibnu al-Munzir dari pengikut Syafi’i. (Raudhah al-Thalibin I/401)

 

Sesuai dengan penjelasan al-Nawawi di atas, bahwa jumhur ulama, termasuk di dalamnya imam mazhab empat berpendapat jamak shalat shalat tanpa faktor musafir, hujan, ketakutan dan sakit tidak dibolehkan. Dengan demikian pendapat yang mengatakan boleh jamak shalat hanya karena hajat (kebutuhan) atau selama tidak menjadi kebiasaan bertentangan dengan mazhab yang empat dan jumhur ulama. Al-Ruyaaniy telah menyebut pendapat ini sebagai pendapat ghalzun (tersalah) (Bahr al-Mazhab II/350). Pendapat ini juga bertentangan dengan hadits Nabi SAW berbunyi :

من جمع بين صلاتين من غير عذر فقد أتى بابا من أبواب الكبائر

Barangsiapa yang melakukan jamak antara dua shalat dengan tanpa ‘uzur, maka dia telah mendatangkan pintu dari pintu-pintu dosa besar. (H.R. al-Turmidzi, al-Baihaqi dan lainnya)

 

Setelah menolak pendapat yang mengatakan boleh jamak shalat hanya karena hajat (kebutuhan) atau selama tidak menjadi kebiasaan dengan mengemukakan dalil-dalilnya, Ismail al-Zain (W. 1382 H), seorang ulama mazhab Syafi’i mutaakhirin, menyimpulkan :

إذا علم هذا فما عليه أئمة المذاهب الأربعة هو المعتمد وهو الذي يدين الله به من يريد الاستبراء للدين وما سوى ذلك لا يعول عليه ولا يجوز اعتماده ولا تقليد قائله

Apabila ini sudah dimaklumi, maka apa yang menjadi pegangan mazhab yang empat adalah mu’tamad (menjadi pegangan) dan dengannya orang-orang yang mau menjagakan diri bagi  agamanya, menundukkan diri kepada Allah. Tidak bersandar kepada selain itu (selain pendapat mazhab empat) dan tidak boleh berpegang dengannya dan juga tidak boleh taqlid kepada yang mengatakan pendapat tersebut. (Qurratul ‘Ain bi Fatawa Isma’il al-Zain :82)

 

Adapun hadits Nabi SAW berbunyi :

أن النبي صلى الله عليه وسلم جمع بالمدينة من غير خوف ولا مطر

Sesungguhnya Nabi SAW melakukan shalat secara jamak di Madinah tanpa ada sebab ketakutan dan hujan (H.R. Muslim)

 

Diantara takwil hadits ini yang dikemukakan jumhur ulama, yang dimaksud jamak dalam hadits ini adalah al-jam’u al-shuuri (seperti bentuk jamak), yakni melaksanakan shalat waktu pertama pada akhir waktunya dan melaksanakan shalat waktu kedua pada awal waktunya, sehingga kedua shalat tersebut berhampiran waktu pelaksanaannya, seolah-olah seperti shalat jamak. (Qurratul ‘Ain bi Fatawa Isma’il al-Zain :82)


Jamak shalat karena hujan

Dalam I’anah al-Thalibin dijelaskan syarat-syarat jamak shalat ketika hujan sebagai berikut :

a.  Boleh jamak shalat jamak taqdim saja

b.  Syarat2nya seperti syarat jamak taqdim dalam musafir (musafir tidak menjadi syarat)

c.  Wujud hujan pada ketika takbiratul ihram shalat pertama, ketika tahallul (sudah melakukan salam) shalat pertama dan sampai melakukan takbiratul ihram shalat kedua.

d.  Orang yang merencanakan melakukan jamak tersebut melakukan shalat secara berjama’ah di mesjid atau tempat lain yang jauh dari rumahnya. Ukuran jauh itu apabila orang tersebut pulang kerumahnya dapat menyebabkan basah bajunya. (I’anah al-Thalibin: II/105)


Jamak shalat karena ketakutan atau sakit

Imam al-Nawawi mengatakan,

المشهور في المذهب ‌والمعروف ‌من ‌نصوص ‌الشافعي وطرق الأصحاب أنه لا يجوز الجمع بالمرص والريح والظلمة ولا الخوف ولا الوحل

Pendapat yang masyhur dalam mazhab dan yang ma'ruf dalam nash-nash Imam Syafi'i serta jalur para ulama pengikut beliau adalah tidak boleh menjama' karena sakit, angin, gelap malam, takut ataupun karena lumpur. (Al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab: IV/383)

 

Sebelumnya, beliau mengatakan,

وأما الوحل والظلمة والريح والمرض والخوف فالمشهور من المذهب أنه لا يجوز الجمع بسببها وبه قطع المصنف والجمهور وقال جماعة من أصحابنا بجوازه

Adapun karena takut lumpur, kegelapan malam, angin, sakit dan rasa takut, maka menurut yang masyhur dalam mazhab tidak boleh jamak dengan sebabnya. Pendapat ini telah ditegaskan (qatha’) oleh pengarang al-Muhazzab dan Jumhur ulama. Namun demikian, satu jamaah dari kalangan ulama Syafi’iyah berpendapat boleh jamak. (Al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab: IV/381)

 

Sesuai dengan keterangan Imam al-Nawawi di atas, maka pendapat yang menjadi pegangan dalam mazhab Syafi’i adalah tidak boleh melakukan jamak shalat karena alasan ketakutan atau sakit. Namun demikian ada sekelompok ulama Syafi’iyah yang berpendapat boleh jamak shalat tersebut.

Wallahua’lam bisshawab

Jumat, 27 Oktober 2023

Hukum berdoa dalam shalat menggunakan selain Bahasa Arab

 

Dalam sebuah hadits riwayat Muslim, Mu’awiyah bin Hakam al-Sulamiy, beliau  berkata :

بَيْنَا أَنَا أُصَلِّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذْ عَطَسَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ فَقُلْتُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ. فَرَمَانِى الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ فَقُلْتُ وَاثُكْلَ أُمِّيَاهْ مَا شَأْنُكُمْ تَنْظُرُونَ إِلَىَّ. فَجَعَلُوا يَضْرِبُونَ بِأَيْدِيهِمْ عَلَى أَفْخَاذِهِمْ فَلَمَّا رَأَيْتُهُمْ يُصَمِّتُونَنِى لَكِنِّى سَكَتُّ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَبِأَبِى هُوَ وَأُمِّى مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ وَلاَ بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ فَوَاللَّهِ مَا كَهَرَنِى وَلاَ ضَرَبَنِى وَلاَ شَتَمَنِى قَالَ إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيهَا شَىْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هيَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ

Ketika saya shalat bersama Rasulullah SAW ada seorang laki-laki yang bersin, lantas saya mendo`akannya dengan mengucapkan yarhamukallah. Semua orang yang shalat lantas melihat kepadaku dan aku menjawab: "Celaka kedua orangtua kalian beranak kalian, ada apa kalian melihatku seperti itu?" Kemudian mereka memukulkan tangan mereka ke paha-paha mereka. Aku tahu mereka memintaku untuk diam, maka akupun diam. Ketika telah selesai Rasulullah SAW menunaikan shalat, demi ayah dan ibuku, aku tidak pernah melihat sebelum dan sesudahnya seorang guru yang lebih baik cara mendidiknya daripada Rasulullah. Demi Allah, beliau tidak mencemberutkanku, tidak memukulku, dan juga tidak mencelaku. Beliau hanya berkata: "Sesungguhnya shalat ini tidak boleh ada perkataan manusia di dalamnya. Di dalam shalat hanyalah terdiri dari tasbih, takbir dan bacaan al- Qur`an. (H.R. Muslim)


Berdasarkan hadits di atas, pengikut Syafi’i (Ashhabinaa) mengatakan, kalam yang membatalkan shalat adalah selain al-Qur’an, zikir, do’a dan seumpamanya. Adapun al-Qur’an, zikir, do’a dan seumpamanya, maka tidak batal shalat dengan tanpa khilaf di sisi ulama Syafi’iyah. Kemudian al-Nawawi menjelaskan kepada kita bahwa do’a dalam Bahasa Arab tidak membatalkan shalat, baik do’a itu ma’tsur (do’a yang syari’at membacanya dalam shalat) ataupun bukan ma’tsur. (al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab: IV/14)

Menambah zikir ataupun doa dalam shalat (zikir tidak ma’tsur) pada tempatnya selama tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur dapat dibenarkan. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Rifa’ah bin Rafi’ al-Zarqy, beliau berkata

كنا يوما نصلي وراء النبي صلى الله عليه وسلم، فلما رفع رأسه من الركعة، قال: سمع الله لمن حمده. قال رجل وراءه ربنا ولك الحمد، حمدا طيبا مباركا فيه. فلما انصرف، قال: من المتكلم قال أنا، قال: رأيت بضعة وثلاثين ملكا يبتدرونها، أيهم يكتبها أول

Dari Rifa’ah bin Raafi’ al-Zarqi, beliau berkata : “Pada suatu hari, kami shalat dibelakang Nabi SAW. Manakala Rasulullah mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau berkata : “Sami’allahu liman hamidah, lalu berkata seorang laki-laki di belakang beliau : “Rabbana wa lakalhamdu hamdan thaiban mubarakan fiihi. Tatkala Rasulullah selesai (dari shalatnya) bertanya : “Siapa yang berkata tadi ?. Laki-laki itu menjawab : “Saya”. Rasulullah bersabda : “Aku melihat tiga puluh orang lebih malaikat yang berebutan pertama kali menulis amalnya. (H.R. Bukhari)

 

Berkata Ibnu Hajar al-Asqalany, dijadikan dalil dengan hadits tersebut, kebolehan mengihdats (mendatangkan dengan tanpa ada dalil) zikir yang tidak ma’tsur dalam shalat apabila zikir itu tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur. (Fathul Barri, Darul Fikri: II/287)

Doa dan zikir dalam selain Bahasa Arab

Penjelasan di atas berkaitan dengan zikir dan doa dalam Bahasa Arab. Adapun zikir dan doa dalam bahasa selain Bahasa Arab dapat dijelaskan sebagai berikiut :

1.  Doa dan zikir ma’tsur (do’a yang syari’at membacanya dalam shalat)

Adapun jika doa dan zikirnya itu ma’tsur, maka ada tiga pendapat dalam masalah ini di kalangan ulama Syafi’iyah. Pendapat pertama (pendapat yang kuat), bagi yang tidak mampu membaca dalam Bahasa Arab, maka ia boleh membaca terjemah dari doa dan zikir tersebut. Jika ia mampu dalam Bahasa Arab dan tetap memakai terjemah, shalatnya batal. Pendapat kedua, boleh membaca terjemah bagi yang mampu dalam Bahasa Arab ataupun tidak. Pendapat ketiga, tidak dibolehkan membaca terjemah baik yang mampu  dalam Bahasa Arab ataupun tidak, karena pada saat itu tidak darurat. Al-Khatib al-Syarbaini mengatakan,

وَيُتَرْجِمُ لِلدُّعَاءِ) الْمَنْدُوبِ (وَالذِّكْرِ الْمَنْدُوبِ) نَدْبًا كَالْقُنُوتِ وَتَكْبِيرَاتِ الِانْتِقَالَاتِ وَتَسْبِيحَاتِ الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ (الْعَاجِزُ) لِعُذْرِهِ (لَا الْقَادِرُ) لِعَدَمِ عُذْرِهِ (فِي الْأَصَحِّ) فِيهِمَا كَالْوَاجِبِ لِحِيَازَةِ الْفَضِيلَةِ. وَالثَّانِي: يَجُوزُ لِلْقَادِرِ أَيْضًا لِقِيَامِ غَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ مَقَامَهَا فِي أَدَاءِ الْمَعْنَى. وَالثَّالِثُ: لَا يَجُوزُ لَهُمَا، إذْ لَا ضَرُورَةَ إلَيْهِمَا، بِخِلَافِ الْوَاجِبِ،

Dianjurkan bagi yang tidak mampu dalam Bahasa Arab menterjemahkan doa dan zikir yang sunnah seperti qunut, takbir intiqalat, tasbih rukuk dan sujud, karena keuzurannya, tidak boleh bagi yang mampu, karena tidak ada uzur menurut pendapat yang lebih shahih, sama halnya seperti doa dan zikir wajib, guna memperoleh fadhilah. Pendapat kedua, boleh bagi yang mampu juga, karena diposisikan selain Bahasa Arab pada posisi Bahasa Arab dalam penngungkapan makna. Pendapat ketiga, tidak boleh sama sekali, baik bagi yang mampu maupun yang tidak mampu, karena tidak dharurat, berbeda dengan doa dan zikir wajib.

 

Kemudian al-Khatib al-Syarbaini menjelaskan,

فَإِنَّ الْخِلَافَ الْمَذْكُورَ مَحَلُّهُ فِي الْمَأْثُورِ.أَمَّا غَيْرُ الْمَأْثُورِ بِأَنْ اخْتَرَعَ دُعَاءً أَوْ ذِكْرًا بِالْعَجَمِيَّةِ فِي الصَّلَاةِ فَلَا يَجُوزُ

Sesungguhnya khilafiyah tersebut, posisinya pada yang ma’tsur. Adapun yang tidak ma’tsur dengan mengada-ada doa atau zikir dalam bahasa ‘ajamiyah (bukan Bahasa Arab) dalam shalat adalah tidak boleh. (Mughni al-Muhtaj I/384-385)

 

Penjelasan yang sama juga telah dikemukakan oleh Imam al-Ramli dalam Nihayah al-Muhtaj: I/534-535.

Setelah mengemukakan khilafiyah ulama Syafi’iyah dalam hal menterjemahkan zikir da doa yang ma’tsur dalam shalat, Jalaluddin al-Mahalli menegaskan,

ثُمَّ الْمُرَادُ الدُّعَاءُ وَالذِّكْرُ الْمَأْثُورَانِ، فَلَا يَجُوزُ اخْتِرَاعُ دَعْوَةٍ أَوْ ذِكْرٍ بِالْعَجَمِيَّةِ فِي الصَّلَاةِ قَطْعًا

Kemudian yang menjadi maksud dalam khilafiyah diatas adalah doa dan zikir yang ma’tsur. Karena itu, tidak boleh membuat-buat doa dan zikir (yang tidak ma’tsur) dalam bahasa ‘ajamiah (selain Bahasa Arab) dalam shalat tanpa khilaf. (Syarah al-Mahalli 1/192)

 

2.  Doa dan zikir tidak ma’tsur

Untuk doa dan zikir yang tidak ma’tsur dengan menggunakan selain bahasa Arab, maka tidak dibolehkan dan ini tidak ada khilaf dalam mazhab Syafi’i dan shalatnya menjadi batal sebagaimana dijelaskan dalam keterangan di atas.

 

 



 

Senin, 23 Oktober 2023

Tata Cara Sujud Syukur

 

Tata cara sujud syukur penting untuk diketahui oleh umat muslim. Jenis sujud ini harus dilakukan dengan benar dan tidak bisa sembarangan. Sujud syukur dilakukan oleh seorang muslim sebagai wujud rasa terima kasih atas nikmat dan karunia dari Allah SWT. Selain itu, sujud syukur juga disyariatkan ketika selamat dari musibah, baik itu sakit, menemukan barang yang hilang, dan lain sebagainya. Dalam sebuah hadits dijelaskan :

عَنْ أَبِى بَكْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ صلعم أَنَّهُ كَانَ إِذَا جَاءَهُ أَمْرُ سُرُورٍ أَوْ بُشِّرَ بِهِ خَرَّ سَاجِدًا شَاكِرًا لِلَّهِ.

Dari Abu Bakrah, dari Nabi SAW, apabila beliau mendapati hal yang menggembirakan atau dikabarkan berita gembira, maka beliau tersungkur untuk sujud kepada Allah Ta’ala. (H.R. Abu Daud)

Al-Khatib al-Syarbaini mengatakan,

وَسجْدَة الشُّكْر لَا تدخل صَلَاة وتسن لهجوم نعمة أو اندفاع نقمة أو رؤية مبتلى أو فاسق معلن ويظهرها للفاسق إن لم يخف ضرره وَلَا للمبتلي لِئَلَّا يتَأَذَّى وَهِي كسجدة التِّلَاوَة

Sujud syukur tidak dapat dimasukkan dalam shalat. Sujud ini dikerjakan karena datangnya nikmat mendadak (tanpa diduga-duga), terhindar dari bahaya, melihat orang kena musibah/cacat atau melihat orang fasiq secara terang-terangan. Seseorang disunahkan menyatakan sujud syukur di hadapan si fasiq jika tidak dikuatirkan mudharat. Sujud syukur tidak dilakukan di depan orang yang cacat karena dapat melukai perasaan yang bersangkutan. Pelaksanaan sujud syukur sama saja dengan sujud tilawah. (al-Iqna’: I/119)

 

Sujud syukur hanya dapat dilakukan secara tersendiri, tidak boleh dilakukan dalam shalat. Ini berbeda dengan sujud tilawah yang dapat dilakukan dalam shalat dan juga dapat secara tersendiri diluar shalat. Penegasan ini telah dikemukakan al-Khatib al-Syarbaini di atas. Hal yang sama juga telah dikemukakan Syeikh Nawawi al-Bantaniy berikut ini,

وَلَا يجوز فعل هَذَا السُّجُود فِي الصَّلَاة

Tidak boleh melakukan sujud ini (sujud syukur) dalam shalat.(Nihayah al-Zain: 89)

 

Sebagaimana dijelaskan al-Khatib al-Syarbaini di atas, tata cara sujud syukur sama dengan sujud tilawah yang dilakukan bukan dalam shalat dan juga telah dikemukakan Syeikh Nawawi al-Bantaniy berikut ini,

وَهِي كسجدة التِّلَاوَة خَارج الصَّلَاة فِي كيفيتها وشروطها ومندوباتها

Sujud syukur sama dengan sujud tilawah yang dilakukan di luar shalat dalam tata cara, syarat-syarat dan sunnah-sunnahnya. (Nihayah al-Zain: 88)

 

Dalam menjelaskan rukun sujud tilawah, al-Khatib al-Syarbaini menjelaskan,

وأركان السَّجْدَة لغير مصل تحرم وَسُجُود وَسَلام ‌وَشَرطهَا ‌كَصَلَاة

Rukun sujud tilawah bagi yang bukan sedang melakukan shalat adalah takbiratul ihram, sujud dan salam. Adapun syaratnya sama seperti shalat. (al-Iqna’: I/119)

 

Penjelasan yang sama juga telah dikemukakan Syeikh Nawawi al-Bantaniy berikut ini,

وأركان سُجُود التِّلَاوَة لغير مصل تحرم مقرون بِالنِّيَّةِ وَسجْدَة وَسَلام بعد الْجُلُوس

Rukun sujud tilawah bagi yang bukan sedang melakukan shalat adalah takbiratul ihram yang disertai dengan niat, sujud dan salam sesudah duduk. Adapun syaratnya sama seperti shalat.(Nihayah al-Zain: 88)

 

Berdasarkan keterangan para ulama di atas, maka rukun sujud syukur ada empat rukun, yaitu niat, takbiratul ihram, sujud dan salam. Sedangkan syarat-syaratnya sama seperti syarat shalat dan sujud dalam shalat. Al-Bujairumiy menjabarkan lebih lanjut penjelasan al-Khatib al-Syarbaini di atas dengan penjelasan beliau berikut ini,

)وَشَرْطُهَا ‌كَصَلَاةٍ) فَيُعْتَبَرُ لِصِحَّتِهَا مَا يُعْتَبَرُ فِي سُجُودِ الصَّلَاةِ كَالطَّهَارَةِ وَالسَّتْرِ وَالِاسْتِقْبَالِ وَتَرْكٍ نَحْوَ كَلَامٍ، وَوَضْعِ الْجَبْهَةِ مَكْشُوفَةً بِتَحَامُلٍ عَلَى غَيْرِ مَا يَتَحَرَّكُ بِحَرَكَتِهِ وَوَضْعِ جُزْءٍ مِنْ بَاطِنِ الْكَفَّيْنِ وَالْقَدَمَيْنِ وَمِنْ الرُّكْبَتَيْنِ وَغَيْرِ ذَلِكَ

Syarat sujud syukur sama saja dengan shalat. Sujud syukur dianggap sah seperti sahnya sujud di dalam shalat seperti bersuci, menutup aurat, menghadap qiblat, tidak bicara, meletakkan dahi terbuka dengan sedikit tekanan di atas tempat yang tidak ikut bergerak dengan sebab tubuhnya bergerak, meletakkan telapak dua tangan, dua telapak kaki dan dua lutut, dan syarat sujud lainnya. (Hasyiah al-Bujairumiy ‘ala al-Iqna’: I/435)


Sesuai dengan uraian di atas, maka tata cara sujud syukur, pertama seseorang yang akan melakukan sujud syukur mengambil posisi berdiri, lalu bertakbiratul ihram disertai dengan niat sujud syukur. Kedua, mengucap takbir turun. Ketiga, turun sujud. Keempat, takbir serta bangun dari sujud . Kelima, salam.


Pada saat sujud dapat dibaca doa berikut ini.

سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِي خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ فَتَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الخَالِقِيْنَ

Wajahku bersujud kepada Yang menciptakannya, Yang membentuknya serta membelah pendengaran dan penglihatannya dengan daya dan kekuatan-Nya. Maha suci Allah sebaik-baik pencipta. (Nihayah al-Zain karya Nawawi al-Bantaniy: 88)

 

Wallahua’lam bisshawab

Selasa, 29 Agustus 2023

Hukum tidur menjelang waktu shalat

 

Dikisahkan dalam sebuah hadits :

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَنَحْنُ عِنْدَهُ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ زَوْجِي صَفْوَانَ بْنَ الْمُعَطَّلِ، يَضْرِبُنِي إِذَا صَلَّيْتُ، وَيُفَطِّرُنِي إِذَا صُمْتُ، وَلَا يُصَلِّي صَلَاةَ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، قَالَ وَصَفْوَانُ عِنْدَهُ، قَالَ: فَسَأَلَهُ عَمَّا قَالَتْ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَمَّا قَوْلُهَا يَضْرِبُنِي إِذَا صَلَّيْتُ، فَإِنَّهَا تَقْرَأُ بِسُورَتَيْنِ وَقَدْ نَهَيْتُهَا، قَالَ: فَقَالَ: لَوْ كَانَتْ سُورَةً وَاحِدَةً لَكَفَتِ النَّاسَ وَأَمَّا قَوْلُهَا: يُفَطِّرُنِي، فَإِنَّهَا تَنْطَلِقُ فَتَصُومُ، وَأَنَا رَجُلٌ شَابٌّ، فَلَا أَصْبِرُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَئِذٍ: لَا تَصُومُ امْرَأَةٌ إِلَّا بِإِذْنِ زَوْجِهَا وَأَمَّا قَوْلُهَا: إِنِّي لَا أُصَلِّي حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، فَإِنا أَهْلُ بَيْتٍ قَدْ عُرِفَ لَنَا ذَاكَ، لَا نَكَادُ نَسْتَيْقِظُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، قَالَ: فَإِذَا اسْتَيْقَظْتَ فَصَلِّ

Dari Abu Sa’id, beliau berkata : “Seorang perempuan datang menemui Nabi SAW, sedangkan kami waktu itu di sisinya. Perempuan itu berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya suamiku, Shafwan bin al-Mu’atthal memukulku apabila aku shalat dan memberiku makan untuk berbuka apabila aku puasa dan dia tidak melaksanakan shalat Subuh sehingga terbit matahari.” Abu Sa’id melanjutkan ceritanya, “Shafwan ada di sisi Nabi SAW, lalu Nabi SAW menanyakan perihal yang disampaikan isterinya”, maka Shafwan menjawab, “Ya Rasulullah, perkataannya, “memukulku apabila aku shalat”, sesungguhnya dia membaca dua surat yang sudah aku larang”. Lalu Nabi SAW bersabda : “Jika satu surat saja, maka itu memadai untuk seseorang”. “Adapun perkataannya “ memberiku makan untuk berbuka”, itu karena dia pergi dan berpuasa, padahal aku adalah seseorang yang masih muda, maka saya tidak akan bisa bersabar. Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Tidak berpuasa seorang isteri kecuali dengan izin suaminya”. Adapun perkataannya, “Sesunggunya aku tidak melaksanakan shalat sehingga terbit matahari, itu karena kami adalah para penghuni rumah, dan hal itu sudah dimaklum bahwa kami bangun pada saat mendekati matahari terbit." Beliau bersabda: "Jika kamu telah bangun, maka shalatlah. (H.R. Abu Daud)

Ibnu Hajar al-Asqalaniy mengatakan, isnadnya shahih. (al-Ishaabah fi Tamyiiz al-Shahabah : III/357). al-Suyuthi telah menjadikan hadits ini sebagai hujjah atas kebolehan tidur sebelum masuk waktu shalat, sedangkan dalam dugaannya tidurnya itu membuatnya tidak sempat shalat dalam waktunya. (al-Asybah wan Nadhair : 215). Senada dengan pendapat ini, Imam al-Ramli mengatakan,

فَإِنْ نَامَ قَبْلَ دُخُولِ الْوَقْتِ لَمْ يَحْرُمْ وَإِنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ عَدَمُ تَيَقُّظِهِ فِيهِ لِأَنَّهُ لَمْ يُخَاطَبْ بِهَا

Karena itu, jika tidur sebelum masuk waktu shalat, maka tidak haram meskipun berat dugaannya tidak terbangun dalam waktunya. Karena belum ada perintah shalat sebelum masuk waktu.(Nihayah al-Muhtaj : I/373)

 

Al-Khatib al-Syarbaini juga mempunyai pendapat yang sama. Dalam Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj disebutkan :

(قَوْلُهُ: وَلَوْ قَبْلَ دُخُولِ الْوَقْتِ) خَالَفَهُ النِّهَايَةُ، وَالْمُغْنِي فَقَالَا فَإِنْ نَامَ قَبْلَ دُخُولِ الْوَقْتِ لَمْ يَحْرُمْ وَإِنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ عَدَمُ تَيَقُّظِهِ فِيهِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُخَاطَبْ بِهَا اهـ

Perkataan pengarang, meskipun sebelum masuk waktu. Pendapat ini berbeda dengan al-Nihayah (karangan Imam al-Ramli) dan al-Mughni (karangan al-Khatib al-Syarbaini). Keduanya berpendapat apabila tertidur sebelum masuk waktunya, maka tidak haram, meskipun berat dugaannya tidak akan terbangun dalam waktu. Karena belum ada perintah shalat sebelum masuk waktu.(Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj : I/429)

 

Berbeda dengan pendapat di atas, Ibnu Hajar al-Haitamiy dalam Tuhfah al-Muhtah berpendapat haram tidur sebelum masuk waktu shalat jika berat dugaannya tidak terbangun dalam waktunya.sebagaimana beliau rincikan hukumnya berikut ini :

)وَ) يُكْرَهُ (النَّوْمُ قَبْلَهَا) أَيْ قَبْلَ فِعْلِهَا بَعْدَ دُخُولِ وَقْتِهَا وَلَوْ وَقْتَ الْمَغْرِبِ لِمَنْ يَجْمَعُ لِأَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَكْرَهُهُ وَمَا بَعْدَهُ رَوَاهُ الشَّيْخَانِ وَلِأَنَّهُ رُبَّمَا اسْتَمَرَّ نَوْمُهُ حَتَّى فَاتَ الْوَقْتُ وَيَجْرِي ذَلِكَ فِي سَائِرِ أَوْقَاتِ الصَّلَوَاتِ وَمَحَلُّ جَوَازِ النَّوْمِ إنْ غَلَبَهُ بِحَيْثُ صَارَ لَا تَمْيِيزَ لَهُ وَلَمْ يُمْكِنْهُ دَفْعَهُ، أَوْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّهُ يَسْتَيْقِظُ وَقَدْ بَقِيَ مِنْ الْوَقْتِ مَا يَسَعُهَا وَطُهْرَهَا وَإِلَّا حَرُمَ وَلَوْ قَبْلَ دُخُولِ الْوَقْتِ عَلَى مَا قَالَهُ كَثِيرُونَ وَيُؤَيِّدُهُ مَا يَأْتِي مِنْ وُجُوبِ السَّعْيِ لِلْجُمُعَةِ عَلَى بَعِيدِ الدَّارِ قَبْلَ وَقْتِهَا إلَّا أَنْ يُجَابَ بِأَنَّهَا مُضَافَةٌ لِلْيَوْمِ بِخِلَافِ غَيْرِهَا

Makruh tidur sebelum melaksanakan shalat sesudah masuk waktunya, meskipun waktu magrib bagi orang yang melakukan jama’. Karena Nabi SAW memakruhnya dan perkara-perkara sesudahnya dalam hadits riwayat Syaikhain dan karena kadang-kadang keterusan tidurnya sehingga hilang waktu shalatnya. Ini juga berlaku pada waktu-waktu shalat lainnya. Kebolehan tidur ini diposisikan apabila berat matanya sehingga tidak ada tamyiz (tidak dapat menyadari sekitarnya) dan tidak mungkin menghindarinya ataupun diposisikan berat dugaannya dia terbangun dan masih memungkinkan shalat dan bersuci. Jika tidak demikian, maka haram, meskipun sebelum masuk waktu berdasarkan pendapat  kebanyakan ulama. Pendapat ini didukung oleh ketentuan nantinya dimana wajib berangkat ke lokasi Jum’at sebelum masuk waktunya atas orang yang jauh rumahnya. Namun masalah Jumat ini ada yang menjawab bahwa Jumat disandarkan kepada hari, berbeda dengan shalat selainnya. (Tuhfah al-Muhtaj dan Hasyiahnya : I/429)

 

Kesimpulan

Hukum tidur menjelang masuk waktu shalat dapat dirincikan sebagai berikut :

1.  Terjadi khilaf pendapat ulama mengenai hukum tidur sebelum masuk waktu shalat. Al-Suyuthi, al-Ramli dan Khatib Syarbaini berpendapat tidak haram tidur, meskipun berat dugaannya tidak akan terbangun dari tidurnya dalam waktu shalat dan membuatnya tidak sempat shalat dalam waktunya. Adapun menurut Ibnu Hajar al-Haitamiy, hukumnya haram apabila berat dugaannya tidak akan terbangun dalam waktu shalat dan membuatnya tidak sempat shalat dalam waktunya.

2.  Makruh tidur sebelum melakukan shalat tapi sudah masuk waktunya. Namun hukumnya ini dapat berubah menjadi haram apabila berat dugaannya tidak akan terbangun dari tidurnya dalam waktu yang masih sempat melakukan shalat dalam waktunya kecuali apabila berat matanya sehingga tidak ada tamyiz (tidak dapat menyadari sekitarnya)