Al-Zarkasyi dalam kitab al-Bahr al-Muhith
fi Usul Fiqh menjelaskan makna Istishhab al-hal sebagai berikut :
وَمَعْنَاهُ
أَنَّ مَا ثَبَتَ فِي الزَّمَنِ الْمَاضِي فَالْأَصْلُ بَقَاؤُهُ فِي الزَّمَنِ
الْمُسْتَقْبَلِ
Maknanya sesungguhnya apa yang ditetapkan
pada zaman yang lalu, maka hukum asalnya ia kekal pada zaman akan datang.
Ini semakna
dengan perkataan para ulama :
الْأَصْلُ
بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ حَتَّى يُوجَدَ الْمُزِيلُ،
Hukum asalnya, kekal apa yang sudah
ada sesuai dengan apa yang sudah ada sehingga ditemui yang mengubahnya.
Karena itu,
barangsiapa yang mendakwa ada hal yang mengubahnya, maka kewajiban atasnya memberikan
penjelasan (dalil), sebagaimana pada kasat mata, suatu benda yang menempati
suatu tempat, maka benda itu akan kekal pada tempat itu sehingga diketahui ada yang
mengubahnya. (al-Bahr al-Muhith fi Usul Fiqh : VIII/13)
Zakariya al-Anshariy mengemukakan
pengertian Istishhab al-hal sebagai berikut :
)ثبوت أمر في) الزمن (الثاني لثبوته
في الأول لفقد ما يصلح للتغيير) من الأول إلى الثاني
Penetepan suatu perkara pada zaman kedua dengan sebab ada
ketetapannya pada zaman pertama, karena tidak ada kondisi yang relevan untuk
merubah dari hukum pertama kepada kedua. (Ghayah al-Wushul : 146)
Dengan kata lain, Istishab al-hal
adalah penetapan hukum atas sesuatu dengan kondisi yang berlaku sebelumnya
sampai ada dalil yang merubah kondisi itu. Atau pemberlakuan hukum yang berlaku
pada masa lalu untuk masa kini sampai ada dalil yang merubahnya.
Kemudian Zakariya al-Anshariy membagi Istishhab
hal ini kepada tiga pembagian, yaitu :
1. Istishhab al-‘adam al-asli, yaitu menafikan apa
yang dinafikan akal, sedangkan pada syara’ tidak ada penetapan apapun
2. Istishhab al-‘umum atau al-nash.
3. Istishhab kepada suatu kondisi dimana
penetapannya ditetapkan syara’ karena wujud sebabnya. (Ghayah al-Wushul : 145)
Berikut ini penjelasan dan contoh-contoh
Istishhab al-hal dengan pembagian di atas, yaitu :
1. Istishhab al-‘adam al-asli. Contohnya kewajiban
puasa Bulan Rajab. Kewajibannya ini tidak dapat diketahui alasannya dengan
mendasarkan kepada akal, sedangkan keterangan dari syara’ juga tidak ditemukan.
Dengan demikian, ditetapkan bahwa puasa Bulan Rajab tidak wajib dengan jalan
Istishhab al-hal. Contoh lain, syara’ mewajibkan shalat lima waktu. Tidak ada
kewajiban shalat waktu yang ke-enam. Tidak wajibnya ini bukan karena ada
keterangan syara’, akan tetapi karena kewajibannya ini tidak dapat diketahui
alasannya dengan mendasarkan kepada akal, sedangkan penetapan dari syara’ juga tidak ditemukan
2. Istishhab al-‘umum adalah penetapan hukum
berdasarkan keumuman sebuah lafazh selama tidak ada dalil yang mengkhususkan
lafazh tersebut. Contohnya, kasus yang nadir wujud tetap masuk dalam keumuman
lafazh ‘am. Karena tidak ada dalil yang mengesampingkannya dalam hadits Nabi
SAW berbunyi :
لا سبق إلا في خف أو حافر أو نصل
Tidak ada pemberian hadiah perlombaan
kecuali pada pacuan hewan bersepatu, hewan berkuku dan panahan (H.R. Abu
Daud)
Gajah termasuk hewan bersepatu,
meskipun nadir terjadi perlombaan pacuan pada gajah. Akan tetapi tetap masuk
dalam keumumam lafazh ‘am dalam hadits ini, karena istishhab al-‘umum.
3. Istishhab al-nash adalah penetapan hukum
berdasarkan sebuah nash syara’ selama tidak ada dalil yang menjelaskan bahwa nash tersebut
sudah mansukh.
4. Istishhab kepada suatu kondisi dimana
penetapannya ditetapkan syara’ karena wujud sebabnya. Contohnya penetapan
kepemilikan kepada seseorang dengan sebab terjadi akad jual beli. Penetapan
kepemilikan ini akan terus berlaku selama tidak wujud sebab lain yang
menghilangkan kepemilikan seperti hibah dan lain-lain. Contoh lain adalah kekal
suci seseorang dengan sebab wudhu’ selama tidak ada sebab lain yang menjadi
dalil menghilangkan kesuciannya berupa yang meruntuhkan wudhu’.
Kehujjahan Istishhab al-Hal
Zakariya al-Anshari mengatakan, ketiga
katagori Istishab al-hal yang beliau sebut di atas merupakan hujjah
secara mutlaq pada syara’. (Ghayah al-Wushul : 145). Menurut al-Zarkasyi,
Istishab al-hal ini masih khilafiyah antara ulama. Beliau menyebut sebagai
berikut :
1. Mazhab pertama, Istishab al-hal merupakan hujjah bagi
mujtahid apabila tidak ditemukan hujjah yang khusus untuk sebuah perkara. Artinya
Istishab al-hal merupakan dalil terakhir bagi mujtahid di saat tidak ditemukan
dalil lain yang mu’tabar. Kehujjahan ini baik pada ketika menafikan sesuatu
maupun ketika menetapkannya. Ini merupakan pendapat Hanabilah, Malikiyah dan
kebanyakan Syafi’yah dan Dhahiriyah.
2. Mazhab kedua, berpendapat tidak menjadi hujjah. Karena
penetapan pada suatu zaman membutuhkan dalil, demikian juga untuk zaman yang
kedua, karena bisa jadi ada dan bisa jadi tidak ada. Tidak sama dengan benda
yang kasat mata, dimana Allah Ta’ala memberlakukan ‘adatnya seperti itu, akan
tetapi tidak berlaku ‘adatnya pada hukum syara’. Karena itu, tidak boleh
disamakan hukum syara’ dengan ‘adat yang terjadi pada benda kasat mata. Mazhab
ini dinaqal dari Jumhur Hanafiyah dan Mutakallimiin seperti Abu al-Husein al-Bashri
3. Mazhab ketiga, Istishab al-hal menjadi
hujjah seorang mujtahid bainahu wa bainallah (antara mujtahid tersebut dan
Allah Ta’ala saja). Pendapat ini telah dipilih oleh al-Qadhi dalam kitab
al-Taqriib.
4. Keabsahan istishhab al-hal menjadi hujjah hanya
diterapkan pada al-daf’u (mempertahankan sesuatu yang sudah ada), bukan pada
raf’u (menetapkan sesuatu yang belum ada). Ini merupakan mazhab yang juga dinaqal
dari kebanyakan ulama Hanafiyah. Salah satu contoh yang memudahkan kita
memahami pendapat ini adalah kasus mafquud (orang hilang yang tidak diketahui
apakah sudah mati atau tidak). Berdasarkan pendapat ini si mafquud tidak berhak
warisan dari ayahnya. Karena kasus ini termasuk menetapkan sesuatu yang belum
ada (raf’u), yaitu beralih milik ayah kepada si mafquud, sehingga istishhab
al-hal di sini tidak berlaku. Di sini, seolah-olah si mafquud sudah dinyatakan
mati. Sebaliknya, ahli waris si mafquud tidak boleh mewarisi harta milik si
mafquud, karena si mafquud dihukum masih hidup dengan jalan istishhab al-hal.
Isitishhab al-hal dapat diterapkan dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada
(daf’u).
5. Istishhab al-hal bukanlah dalil, akan tetapi
hanya merupakan salah satu alat pentarjih. Pendapat ini telah dinaqal oleh
al-Ustaz Abu Ishaq dari Imam al-Syafi’i.
6. Sah istishhab al-hal, jika tidak ada tujuannya selain
menafikan apa yang telah dinafikan
(al-Bahr al-Muhith fi Usul Fiqh : VIII/13-17)
Dalil kehujjahan Istishhab al-Hal
Dalil kehujjahan Istishhab al-hal, antara
lain :
1. Sabda Nabi SAW berbunyi :
إذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ،
أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا؟ فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ الْمَسْجِد حَتَّى
يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Jika salah
seorang di antara kalian mendapati ada terasa sesuatu di perutnya, lalu ia
ragu-ragu apakah keluar sesuatu ataukah tidak, maka janganlah ia keluar dari
masjid hingga ia mendengar suara atau mendapati bau (H.R. Muslim)
Dalam hadits ini dijelaskan, seseorang yang asalnya suci
akan tetap dihukum suci selama tidak ada bukti lain yang mengubahnya, yaitu
mendengar suara kentut atau mencium baunya. Inilah yang disebut istishhab
al-hal.
2. Sabda Nabi SAW berbunyi :
إذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى
أَثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا؟ فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ، وَلْيَبْنِ عَلَى مَا
اسْتَيْقَنَ
Apabila salah seorang kamu ragu dalam shalat, tidak tahu lagi
jumlah rakaat apakah tiga atau empat, maka tinggalkan keraguan dan ambilah sesuai
dengan yang diyakini (H.R. Muslim)
Dalam hadits ini juga mengisyaratkan kepada konsep istishhab al-hal,
yaitu mengembalikan keraguan seseorang kepada asal yang meyakinkan, yaitu
shalat tiga rakaat.
3. Dakwaan kerasulan dibangun atas dasar kharqul ‘adat (mukjizat). ‘Adat
adalah sesuatu yang diduga terjadi secara terus menerus. Seandainya konsep
‘adat ini tidak berwujud, maka makjizat juga tidak berwujud. Konsep ‘adat ini
tidak ada kecuali berdasarkan asumsi bahwa apa yang pernah terjadi pada
waktu pertama, diduga akan terjadi juga pada waktu seterusnya. Inilah ‘ain
istishhab al-hal.
Qawaid-qawaid fiqh yang didasarkan kepada
Istishhab al-Hal
1. Qaidah :
الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ
Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan
sebab ragu-ragu
Termasuk dalam katagori qaidah ini :
الْأَصْل
بَقَاء مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ
Hukum asal,
kekal sesuatu yang pernah ada sesuai dengan yang pernah ada.
Contohnya, seseorang yang pernah diyakini suci kemudian ragu apakah
sekarang sudah berhadats, maka dihukum suci. Demikian juga, seseorang yang
pernah yakin berhadats, kemudian dia ragu, apakah sekarang dia dalam keadaan
suci, maka dihukum berhadats berdasarkan qaidah ini.
2. Qaidah :
2
الْأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ
Hukum asal terlepas tanggungjawab
Sesuai dengan
qaidah ini, seseorang yang mendakwa beban tanggung jawab atas orang lain, tidak
memadai pembuktiannya dengan seorang saksi kecuali disertai dengan alat bukti
lain atau sumpah. Apabila tidak ada bukti lain atau sumpah, maka yang didengar
adalah pihak yang didakwa. Karena perkataannya sesuai dengan asal, yaitu
terlepas tanggung jawab.
3. Qaidah :
مَنْ شَكَّ هَلْ فَعَلَ شَيْئًا أَوَّلًا؟ فَالْأَصْلُ أَنَّهُ
لَمْ يَفْعَلْهُ
Seseorang yang
ragu apakah sudah melakukan suatu perbuatan atau tidak, maka hukum asalnya adalah
belum melakukannya.
Contohnya, seseorang
ragu apakah ada meninggalkan sesuatu yang dianjurkan melakukannya dalam shalat
atau ragu apakah dia melakukan perbuatan yang terlarang, maka dia tidak perlu
melakukan sujud sahwi. Karena asalnya tidak melakukannya.
4. Qaidah :
الْأَصْلُ الْعَدَمُ
Hukum asal
adalah tidak ada
Contohnya,
pada ghalibnya diterima perkataan orang yang menafikan terjadi persetubuhan.
Karena hukum asalnya tidak ada persetubuhan
5. Qaidah :
الْأَصْلُ فِي
الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيمِ
Hukum asal pada sesuatu adalah mubah
sehingga ada dalil yang mengharamkannya.
Contohnya hewan yang sulit pemecahan
status hukumnya. Dalam mazhab Syafi’i terdapat dua pendapat. Pendapat yang kuat,
halal sebagaimana pendapat Imam al-Rafi’i. Demikian juga tumbuh-tumbuhan yang
tidak dikenal namanya. Menurut al-Mutawalliy haram memakannya, akan tetapi Imam
al-Nawawi berpendapat halal. Beliau mengatakan, yang lebih mendekati dan sesuai
dengan yang dihikayah dari Imam Syafi’i sebelumnya adalah halal.
6. Qaidah :
الْأَصْلُ فِي
الْأَبْضَاعِ التَّحْرِيمُ
Hukum asal pada kemaluan adalah haram.
Berdasarkan qaidah ini, apabila
bertentangan antara dua kemungkinan halal dan haram seorang perempuan, maka
dihukum haram. Karena itu, ijtihad tidak berlaku atas seseorang jika mahramnya
sudah berbaur (tidak dikenal lagi) dengan perempuan-perempuan ajnabiyah (bukan
mahram) dalam suatu kampung yang mahshuur (yang terbatas), karena hukum asalnya
adalah haram. Adapun kebolehan menikah dalam hal yang tidak mahshuur (tidak
terbatas) merupakan rukhsah sebagaimana penjelasan al-Khuthabiy agar tidak
tertutup pintu pernikahan atasnya.
Qaidah-qaidah di atas beserta contohnya
telah disebut oleh al-Suyuthi dalam kitabnya al-Asybah wan Nadhair, hal 50-61.
Istishhab al-Maqluub.
Pengertian Istishhab al-Maqluub ini kebalikan
dari Istishhab al-hal, yaitu :
)ثبوته) أي الأمر (في الأول) لثبوته في
الثاني
Penetapan suatu perkara pada zaman pertama karena ada penetapannya pada
kedua.
Salah satu contoh yang dikemukakan oleh al-Zakariya
al-Anshari adalah masalah sukatan yang ada zaman sekarang (pada zaman
al-Zakariya al-Anshari) dihukum sebagai sukatan yang wujud pada Nabi SAW,
dengan alasan Istishhab kepada keadaan masa lalu. Karena pada
asalnya, zaman lalu itu bersesuaian dengan zaman sekarang. Istishhab al-maqluub
ini tidak begitu populer dikalangan para fuqaha. Karena itu ada yang
mengembalikannya kepada istishhab yang umum digunakan para ulama, yaitu Istishhab
al-hal dengan mengatakan, seandainya apa yang sudah ditetap hari ini tidak
dapat ditetapkan untuk yang kemaren, maka yang kemaren itu dihukum tidak ada.
Seandainya yang kemaren tidak ada, maka yang hari ini juga tidak ada dengan
jalan istishhab hal. Padahal yang menjadi asumsi awal bahwa yang hari ini adalah
ada. Karena itu, kesimpulannya, yang kemaren juga ada. (Ghayah al-Wushul : 146)
Wallahua’lam bisshawab