Penjelasan terkait kandungan judul diatas, dalam
kitabnya, al-Asyabah wa al-Nadhair Imam al-Suyuthi memulai dengan qaidah fiqh
yang cukup populer di kalangan penuntul ilmu fiqh, yakni :
اَلضَّرَرُ
يُزَالُ
Mudharat mesti dihilang
Qaidah ini didasarkan kepada
hadits Nabi SAW berbunyi :
لاَضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
Hadits ini diriwayat oleh Imam
Malik dari ‘Amr bin Yahya dari bapaknya secara mursal dan juga telah keluarkan
oleh al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak serta al-Baihaqi dan al-Darulquthny dari
hadits Abu Sa’id al-Khudri. Juga telah dikeluarkan hadits ini oleh Ibnu Majah
dari hadits Ibnu Abbas dan ‘Ubadah bin al-Shaamit.
Banyak bab fiqh yang berlandasan
qawaid ini antara lain : raad dengan alasan ‘aib serta jenis-jenis khiyar
lainnya karena berbeda sifat yang disyaratkan dalam akad, ta’zir, masalah
pailit, pengampuan dengan jenis-jenisnya dan syafa’ah. Semua ini disyari’atkan
demi menghilangkan mudharat.
Ada beberapa qaidah lain yang
terkait dengan qaidah di atas, yaitu :
Qaidah pertama :
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيحُ الْمَحْظُوْرَاتِ بشرط غدم نقصانها عنها
Mudharat dapat memubahkan yang haram dengat syarat
mudharat tersebut tidak kurang dari yang diharamkan
Artinya kualitas mudharat yang ditimbulkan
apabila dilakukan suatu perbuatan tidak kurang dibandingkan mudharat yang
ditimbulkan dengan melakukan yang diharamkan. Misalnya boleh makan bangkai
ketika sangat lapar, boleh minum khamar dan mengucapkan kalimat kufur karena
paksaan. Berdasarkan qaidah ini pula, seandainya bangkai merupakan mayat
seorang nabi, maka tidak halal dimakan demi memelihara nyawa, karena kehormatan
mayat seorang nabi lebih diutamakan dalam pandangan syara’ dibandingkan nyawa
yang bukan nabi. Demikian juga tidak dihalalkan membunuh dan berzina seandainya
seseorang dipaksa membunuh atau berzina, karena mafsadah yang ditimbulkan
karena kedua hal tersebut sebanding dengan memelihara jiwa orang yang dipaksa
atau bahkan bisa jadi lebih. Termasuk juga dalam qaidah ini, mayat dikebumikan
tanpa kapan. Berdasarkan ini, mayat tersebut tidak boleh digali kembali untuk
dikafani, karena mafsadah menghilangkan kehormatan mayat lebih besar
dibandingkan mafsadah tidak mengkafani mayat yang sudah ditutupi tanah yang
dapat dianggap pengganti kapan.
Qaidah kedua :
مَااُبِحُ لِلضَّرُوْرَةِ بقدر تعذرها
Apa yang
diperbolehkan karena kemudlaratan diukur menurut kadar mudharatnya.
Contohnya antara
lain tidak boleh makan bangkai bagi orang mudharat kecuali sekedar cukup
memelihara nyawa, boleh ambil makanan di negeri harbi (negeri yang sudah
dinyatakan perang oleh pemerintah muslim) sekedar kebutuhan, dimaafkan bagian
tubuh yang diistinjak dengan batu akan tetapi kalau seseorang menanggung batu
istinjak tersebut dalam shalat, maka shalatnya batal. Termasuk juga dalam
qaidah ini dimaafkan bangkai binatang yang tidak ada darah yang mengalir. Namun
apabila sengaja dibuang bangkai tersebut dalam air, maka tidak dimaafkan.
Yang
mendekati dengan makna qaidah ini qaidah yang berbunyi :
ما جاز لعذر بطل بزواله
Sesuatu
yang dibolehkan karena faktor kesukaran, maka batal dengan sebab hilang
kesukaran tersebut
Contohnya :
tayamum batal dengan sebab wujud air sebelum masuk dalam shalat dan kesaksian
atas kesaksian dari saksi yang tidak dapat hadir karena sakit atau uzur lainnya
batal apabila saksi yang sesungguhnya tersebut hadir sebelum hakim memutuskan perkara.
Qaidah ketiga
:
اَلضَّرَرُلا
يُزَالُ بالضرر
Kemudharatan tidak dihilangkan
dengan kemudharatan yang lain
Contohnya : seseorang yang menimpa
kemudharatan tidak boleh makan makanan milik orang lain yang mudharat juga
kecuali yang menimpa kemudharatan tersebut adalah seorang Nabi. Maka boleh
seorang nabi mengambilnya untuk dirinya dan wajib pemilik makanan memberikan
kepada Nabi,
Qaidah keempat :
اِذَا تَعَارَضَ
الْمُفْسِدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
Jika ada dua kemadharatan yang
bertentangan, maka diperhatikan kemadaratan yang paling besar dengan
mengabaikan kemudharatan yang paling ringan
Qaidah kelima :
دَرْءُ
الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Menolak mafsadah (kerusakan)
didahulukan daripada mengambil kemaslahatan
Berdasarkan
qaidah ini, apabila bertentangan antara mafsadah dan kemaslahatan, maka pada
ghalibnya didahulukan menolak mafsadah. Karena syariat lebih mementingkan
perkara larangan dari pada perkara yang wajib. Dalilnya Nabi SAW bersabda :
اذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم واذا نهيتكم عن شيئ فاجتبوه
Apabila
aku memerintahkan kamu dengan suatu perintah, maka laksanakanlah menurut
kemampuanmu dan apabila aku larang dari sesuatu, maka jauhilah.
Karena itu,
syariat mentoleransikan meninggalkan sebagian kewajiban dengan sebab kesukaran
yang ringan seperti berdiri pada shalat, kebolehan berbuka, dan dalam bab
bersuci. Akan tetapi tidak ditoleransikan dalam melakukan perbuatan larangan,
terlebih lagi yang termasuk dosa besar.
Termasuk
yang didasarkan kepada qaidah ini, mubalaghah berkumur-kumur dan isytinsyaq
disunahkan namun makruh bagi orang yang berpuasa, takhlil rambut sunnah dalam
thaharah namun makruh bagi orang ihram.
Namun
demikian, apabila kemaslahatan lebih unggul dibandingkan mafsadah, maka yang
diutamakan adalah kemaslahatan. Contohnya melakukan shalat dengan ketiadaan
syarat-syarat shalat berupa bersuci, menutup aurat dan menghadap kiblat.
Ketiadaan syarat-syarat tersebut merupakan mafsadah, karena tanpa syarat-syarat
terebut mencederai sifat jalal Allah dimana seseorang tidak bermunajat kepada
Allah kecuali dia dalam keadaan yang sempurna. Namun demikian, apabila
seseorang sukar memenuhi syarat-syarat tersebut dibolehkan shalat, karena
mendahulukan kemaslahatan shalat atas mafsadah di atas. Contoh lain adalah
berdusta adalah mafsadah yang diharamkan, namun apabila mengandung kemaslahatan
yang lebih utama dibandingkan mafsadahnya, maka dibolehkan seperti berdusta
demi mendamaikan antara dua manusia yang bersengketa dan berdusta demi kebaikan
isteri.
Menurut
Imam al-Suyuthi, Pada hakikatnya, jenis ini termasuk :
ارْتِكَابِ
أَخَفِّ الْمُفْسِدَتَين
(Al- Asybah wa al-Nadhair karangan Imam al-Suyuthi Hal. 59-62 , Terbitan
al-Haramain)