( وَالإِدْرَاكُ ) لغة الوصول واصطلاحا وصول
النفس الى تمام المعنى من نسبة أوغيرها ( بِلاَ حُكْمٍ ) معه من إدراك وقوع النسبة
أولا وقوعها ( تَصَوُّرٌ ) ساذج ويسمى علما ايضا كما علم مما مر أما وصول النفس
الى المعنى لابتمامه
فيسمى شعورا ( وَبِهِ ) أى بالحكم أى والإدراك للنسبة وطرفيها مع الحكم المسبوق
بذلك ( تَصَوُّرٌ بِتَصْدِيْقٍ ) أى معه كإدراك الإنسان والكاتب وثبوت الكتابة له
وان النسبة واقعة أولا فى التصديق
بأن الإنسان كاتب أو انه ليس بكاتب الصادقين فى الجملة ( وَهُوَ ) أى التصديق (
الْحُكْمُ ) وهذا من زيادتى وهو رأى المحققين وقيل التصديق التصور مع الحكم وعليه
جرى الأصل فالتصورات السابقة على الحكم على هذا شطر منه وعلى الأول شرط له وتفسيرى
له بأنه إدراك وقوع النسبة أولا وقوعها هو رأى متقدمى المناطقة قال القطب الرازى
وغيره من المحققين وهو التحقيق وأما متأخروهم ففسروه بإيقاع النسبة أو انتزاعها
وقدماؤهم قالوا الإيقاع والإنتزاع ونحوهما عبارات وألفاظ أى توهم ان للنفس بعد
تصور النسبة وطرفيها فعلا وليس كذلك فالحكم عندهم من مقولة الإنفعال وعند متأخريهم
من مقولة الفعل
(Dan idraak)
menurut bahasa adalah sampai dan menurut istilah adalah sampai jiwa kepada
makna yang sempurna, baik itu berupa nisbah maupun lainnya (tanpa disertai
hukum) yaitu idraak terjadi nisbah atau tidak terjadi nisbah (adalah tasawwur)
saja dan dinamakan juga dengan ilmu sebagaimana dimaklumi dari pembahasan yang
lalu. Adapun sampai jiwa kepada makna, tetapi tidak dengan sempurna makna,
dinamakan dengan syu’ur. (Sedangkan idraak dengannya) yakni dengan
hukum, artinya idraak nisbah dan dua juzu’nya yang disertai hukum yang
didahulukan hukum tersebut dengan idraak-idraak itu (adalah tasawwur dengan
tashdiq), artinya tashdiq yang disertai tasawwur, seperti idraak insan dan
idraak yang menulis serta penetapan menulis bagi insan dan juga sesungguhnya nisbah itu terjadi atau
tidak terjadi pada masalah tashdiq, yakni insan itu adalah penulis atau insan
itu tidak menulis, yang terbenar kedua-keduanya secara jumlah. (Dan ianya)
yakni tashdiq (itulah hukum).- Ini merupakan tambahanku – Pendapat ini merupakan pendapat ulama
muhaqqiquun. Ada yang mengatakan, tashdiq adalah tasawwur serta hukum, atas
pendapat ini berjalan Ashal. Karena itu, berdasarkan pendapat ini, maka
tashawwur-tashawwur yang terdahulu atas hukum merupakan juzu’ dari tashdiq dan
syarat bagi tashdiq berdasarkan pendapat pertama. Penafsiranku, hukum adalah
idraak terjadi nisbah atau tidak terjadi nisbah merupakan pendapat mutaqaddimun
ahli manthiq. Al-Quthub al-Razi dan lainnya dari muhaqqiqun mengatakan, ini
merupakan pendapat tahqiq. Adapun mutakhkhirun mereka menafsirkan dengan
menjatuhkan nisbah atau mencabutnya. Pendahulu-pendahulu mereka mengatakan,
menjatuhkan dan mencabut dan seumpamanya(1) yang terdiri dari ibarat-ibarat
yang mewahamkan(2) bahwa sesungguhnya sesudah tashawwur nisbah dan dua
juzu’nya, bagi jiwa ada fi’l/perbuatan, padahal tidaklah demikian. Maka
hukum di sisi para pendahulu mereka termasuk dari maqulat infi’al dan
menurut mutaakhkhirun termasuk ma’qullat fi’l.(3)
Penjelasannya
(1). Seperti ijab
dan salab[1]
pada contoh Insan menulis dan Insan tidak menulis
(2). ‘Ibarat seperti iqaa’, intiza’,
ijab dan salab mewahamkan bahwa hukum merupakan pi’l/perbuatan jiwa
yang terjadi darinya menurut mutaqaddimun ahli manthiq, padahal tidaklah
demikian halnya.
(3). Ma’qullat Fi’l adalah keadaan
sesuatu yang memberi bekas pada lainnya seperti keadaan pemotong selama ia
memotong, sedangkan ma’qullat infi’al adalah keadaan sesuatu yang
menerima bekas dari lainnya seperti yang terpotong selama ia terpotong.[2]