Zakariya al-Anshari dalam kitab ushulnya
mengatakan,
فإن اقتضى فعلاً
غير كف اقتضاء جازما فإيجاب أوغيرجازم فندب أو كفا جازما فتحريم
أوغير جازم بنهي مقصود فكراهة أو بغير مقصود فخلاف
الأولى أو
خيرفإباحة
Dengan demikian, jika titah tersebut menuntut perbuatan yang bukan
meninggalkan sebagai tuntutan yang mesti dilakukan, maka adalah ijab atau yang
tidak mesti dilakukan, maka adalah nadab atau menuntut meninggalkannya dengan
tuntutan yang mesti ditinggalkan maka adalah tahrim atau yang tidak mesti
ditinggalkan dengan larangan yang diqashadkan maka adalah karahah atau dengan
larangan yang bukan diqashadkan maka adalah khilaful aula ataupun titah
tersebut merupakan pilihan, maka adalah ibahah.(Ghayah al-Wushul : 10-11)
Dari nash di atas, dipahami bahwa hukum taklifi yang
merupakan titah Allah Ta’ala adakalanya tuntutannya ditujukan untuk melakukan
perbuatan dan adakalanya ditujukan untuk meninggalkan perbuatan. Apabila tuntutan
melakukan perbuatan tersebut, sifatnya mesti dilakukan, maka dinamakan dengan
ijaab dan apabila melakukan perbuatan tersebut, sifatnya tidak mesti dilakukan,
maka dinamakan dengan nadab. Demikian juga, apabila tuntutan meninggalkan
perbuatan tersebut, sifatnya mesti dilakukan, maka dinamakan tahrim dan apabila
meninggalkan perbuatan tersebut, sifatnya tidak mesti dilakukan serta
larangannya dipahami dari larangan yang diqashadkan maka adalah karahah. Adapun
apabila larangannya dipahami dari larangan yang bukan diqashadkan, maka
dinamakan khilaful aula. Adapun wajib, mandub, mahzhur/muhram, makruh, khilaful
aula dan mubah adalah nama dari perbuatan yang merupakan sasaran (muta’llaq)
dari hukum taklifi berupa ijaab, nadab, tahrim, karahah, khilaful aula dan
ibahah.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka seharusnya yang menjadi
pembagian hukum adalah ijaab, nadab, tahrim, karahah, khilaful aula dan ibahah,
bukan wajib, mandub, mahzhur/muhram, makruh, khilaful aula dan mubah. Karena
itu, penisbatan wajib, nadab dan seterusnya kepada hukum bukanlah penisbatan hakikat,
akan tetapi dengan jalan majaz sebagaimana dikemukakan oleh Syeikh Abd
al-Hamiid dalam kitabnya :
وعلم مما تقررته ان جعل الناظم كالاصل الاحكام السبعة الواجب
والمندوب الخ حيث ذكرها بقوله والحكم واجب و مندوب وما ابيح أي ومباح والمكروه مع
ما حرما أي الحرام مع الصحيح مطلقا اي سواء كان واجبا او غيره والفاسد فيه تجوز من
اطلاق المتعلق بفتح اللام على المتعلق بكسرها لان هذه التي ذكرها هي متعلق الاحكام
لا الاحكام نفسه فان الفعل اللذي يتعلق به الوجوب هو الواجب
Dimaklumi dari apa yang telah aku tegaskan, bahwa penyusun nadham
sebagaimana halnya asal, menjadi hukum terbagi tujuh, yaitu wajib, mandub, dan
seterusnya dimana telah menyebut dengan perkataannya ; hukum itu wajib, mandub,
mubah, makruh, haram, shahih secara mutlaq, baik wajib maupun bukan, dan fasid,
ini adalah majaz dengan jalan menyebut muta’allaq (cara bacanya fatah lam) atas muta’alliq (cara
bacanya kasrah lam). Karena yang telah disebutkan ini merupakan muta’allaq
hukum (objek hukum), bukan hukum itu sendiri. Sesungguhnya perbuatan yang
merupakan sasaran dari wujub adalah wajib.(Lathaif al-Isyaraat : 10)
Muta’allaq adalah perbuatan yang menjadi objek hukum,
sedangkan muta’alliq adalah hukum dimana suatu perbuatan menjadi objeknya
Devinisi Wajib
Dari uraian di atas, kita sudah dapat memahami pengertian
wajib, yaitu suatu perbuatan dimana tuntutan melakukan perbuatan tersebut,
sifatnya mesti dilakukan. Dalam Ghayatul Wushul, Zakariya al-Anshari menyebut
devinisi wajib :
الفعل غير الكف المطلوب طلبا جازما
Perbuatan yang bukan meninggalkan yang dituntut sebagai
tuntutan yang mesti dilakukan.(Ghayatul Wushul : 11)
Keniscayaan (laziim) dari kandungan devinisi ini, maka
setiap perbuatan yang bersifat dengan wajib akan berikan pahala apabila
dilakukan dan akan disiksa apabila ditinggalkan. Sesuai dengan ini, Imam
al-Haramain mendevinisikan wajib sebagai berikut :
فالواجب ما يثاب على فعله ويعاقب على تركه
Maka wajib adalah sesuatu (perbuatan) yang diberikan
pahala karena melakukannya dan disiksa apabila meninggalkannya. (Hasyiah
al-Dimyaathiy ‘ala Syarh al-Warqaat : 4).
Namun demikian, devinisi ini tidak
terlepas dari kemungkinan kritikan. Setidaknya ada dua kritikan yang dapat
dikemukakan di dalam tulisan ini, yaitu :
1. Adanya contoh perbuatan yang bersifat dengan
wajib, akan tetapi pada saat yang sama juga bersifat dengan haram. misalnya melakukan
shalat wajib pada lokasi hasil rampasan. Pada contoh kasus ini, perbuatan
shalat tersebut akan mendapat siksaan apabila dilakukan. Ini tentu tidak sesuai
dengan kandungan devinisi wajib dia atas.
2. Yang dipahami dari devinisi wajib di atas
adalah setiap yang meninggalkan perbuatan wajib akan disiksa kelak, padahal
dalam akidah Islam yang benar tidak semua orang yang meninggalkan perbuatan
wajib akan mendapat siksaan. Karena Allah Ta’ala bisa saja memaafkan bagi
sebagian manusia sesuai kehendak dan karunia-Nya.
Kritikan di atas, oleh Jalal al-Mahalli
yang mensyarah risalah al-Warqaat Imam al-Haramain memberikan jawaban sebagai
berikut :
1. Devinisi wajib yang dikemukan Imam al-Haramain
di atas adalah dari sudut pandang perbuatan wajib bersifat dengan wujub. Artinya,
suatu perbuatan wajib, dipandang dari sisi ia bersifat dengan wujub, maka akan
diberikan pahala apabila dilakukan dan akan disiksa apabila ditinggalkannya,
meskipun memungkinkan akan diberikan siksaan apabila dilakukan perbuatan
tersebut dipandang dari sisi ia bersifat dengan haram. Sesuai dengan uraian
ini, Jalal al-Mahalli dalam syarahnya menambah perkataan ; “minhaitsu
washfuhu bil wujub” dalam devinisi
wajib di atas sebagai penegasan bantahan terhadap kritikan tersebut, sehingga
devinisi wajib secara lengkap adalah :
فالواجب من حيث وصفه بالوجوب ما يثاب على فعله ويعاقب على تركه
Maka wajib dipandang dari sisi ia bersifat dengan wujub adalah sesuatu
(perbuatan) yang diberikan pahala karena melakukannya dan disiksa apabila
meninggalkannya. (Hasyiah al-Dimyaathiy ‘ala Syarh al-Warqaat : 4).
Berdasarkan penambahan Jalal al-Mahalli ini, maka wajib, mandub,
haram dan seterusnya masing-masing pembagian ini adalah mutadaakhalah, bukan
mutabaayanah. Misalnya shalat wajib dalam lokasi hasil rampasan dan shalat wajib
di tempat pemandian umum. Maka tidak saling menafikan antara pemberian pahala
dan siksaan, karena keduanya dengan sisi pandang yang berbeda. (Hasyiah
al-Dimyaathiy ‘ala Syarh al-Warqaat : 4).
Pengertian mutadaakhalah di sini adalah setiap dua atau lebih dari pembagian
muta’allaq hukum di atas memungkinkan menjadi washaf bagi satu perbuatan. Adapun
mutabaayanah adalah sebaliknya.
Dengan demikian, shalat wajib dalam lokasi hasil rampasan dari sisi
pandang ia bersifat dengan wujub, maka mendapat pahala apabila dikerjakan dan
dari sisi pandang ia bersifat dengan tahrim karena dilakukan pada milik orang tanpa
izin (yang dirampas), maka mendapat siksaan karena melakukannya. Uraian yang
sama juga berlaku pada contoh shalat wajib di tempat pemandian umum, yang
hukumnya makruh.
2. Jawaban untuk kritikan yang kedua ; Adanya
siksaan atas satu orang saja serta diampuni yang lain di hari akhirat kelak
sudah memadai untuk membenarkan adanya siksaan. Artinya, konsekwensi meninggalkan
perbuatan wajib mendapat siksaan di hari akhirat kelak sudah terbenar dengan satu
orang yang disiksa, sedangkan yang lain diampuni. Karena itu, Jalal al-Mahalli
berkata, boleh ditambah dalam devinisi wajib di atas sebagai ganti “wa
yu’aqaabu ‘ala tarkihi” dengan perkataan : “wa yutarattabu al-‘iqaab ‘ala tarkihi”, sehingga
lengkapnya :
فالواجب من حيث وصفه بالوجوب ما يثاب على فعله ويترتب العقاب على تركه
Maka wajib dipandang dari sisi ia bersifat dengan wujub adalah sesuatu
(perbuatan) yang diberikan pahala karena melakukannya dan dipersiapkan siksaan
apabila meninggalkannya. (Hasyiah al-Dimyaathiy ‘ala Syarh al-Warqaat : 4).
Pengertian yutarattabu di sini bermakna dipersiapkan, maksudnya kemungkinan mendapatkan
siksaan, meskipun tidak disiksa.
Terkait dengan kritikan nomor 2 di atas, Syeikh Abd
al-Hamiid dalam kitabnya, Lathaif al-Isyaraat menjawab dengan salah satu dari
dua jawaban berikut ini :
1. Sesuai dengan jawaban Jalal al-Mahalli di atas
2. Yang dimaksud “dihukum dengan siksaan dengan sebab meninggalkan” adalah
tarattubu istihqaaq al-‘iqaab ‘ala tarkihi, yaitu dipersiapkan kemungkinan mendapat
siksaan dengan sebab meninggalkannya.
Kemudian Syeikh Abd al-Hamiid menawarkan devinisi wajib dalam
bentuk nadham yang lebih terang menurut beliau, yaitu :
فالفرض ما في فعله الثواب وتركه يقتضى به العقاب
Maka fardhu itu adalah sesuatu yang melakukannya mendapat pahala dan
meninggalkannya menghendaki siksa. .(Lathaif al-Isyaraat : 11)
Fardhu dan beberapa lafazh lain bermakna wajib.
Syeikh Abd al-Hamiid menyebut beberapa lafazh lain bermakna
wajib, yaitu al-laazim, al-muhtam, al-maktub dan fardhu. Semua lafazh ini
merupakan lafazh muradif (sinonim). (Lathaif al-Isyaraat : 11).
Zakariya al-Anshari mengatakan, menurut Istilah Ushul Fiqh, lafazh
wajib dan fardhu mempunyai makna yang sama (muradif). Namun ulama Hanafiyah
berpendapat keduanya mempunyai makna yang berbeda. Mereka mengatakan, apabila
perbuatan tersebut ditetapkan dengan dalil qath’i seperti al-Qur’an, maka namanya
fardhu. Misalnya membaca al-Qur’an dalam shalat yang ditetapkan dengan firman
Allah Ta’ala :
فاقرأوا ما تيسر من القرآن
Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Quran (Q.S.
al-Muzzammil : 20)
Adapun apabila ditetapkan dengan dalil
dhanni seperti hadits ahad, maka namanya wajib. Misalnya membaca al-Fatihah
dalam shalat yang ditetapkan dengan hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang
berbunyi :
لا صَلَاةَ لمنْ لَم يقرأبفاتِحَةِ
الكِتابِ
Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihah al-Kitab
(H.R. Bukhari dan Muslim)
Menurut ulama Hanafiyah, meninggalkan
membaca al-Fatihah mengakibatkan dosa, akan tetapi tidak membatalkan shalat,
berbeda dengan meninggalkan membaca ayat al-Qur’an. (Ghayatul Wushul : 11)
Pernyataan lafazh wajib
dan fardhu mempunyai makna yang sama (muradif) sebagaimana pendapat yang
ditarjih oleh Zakariya al-Anshari di atas, ini tidak menafikan adanya perbedaan
makna antara keduanya dalam beberapa masalah fiqh.. Contohnya, fatwa jatuh
talaq, apabila seorang suami mengatakan, “Talaq wajib atasku” dan fatwa tidak
jatuh talaq apabila seorang suami mengatakan, “Talaq fardhu atasku”. Mengingat
hal tersebut didasarkan kepada makna ‘uruf yang berlaku atau istilah lain. (Ghayatul Wushul : 11)
Contoh yang lain adalah makna wajib
haji dalam bab haji. Untuk membedakan dengan rukun haji, para ulama mengatakan,
wajib haji adalah sesuatu amalan yang sah haji tanpanya, namun wajib membayar
dam dan berdosa apabila tanpa ‘uzur. Adapun rukun haji adalah suatu amalan yang
dengannya tergantung sah ibadah haji dan tidak dapat diganti dengan dam dan
lainnya. (Busyra al-Kariim : 614 dan 641)
Wallahua’lam bisshawab