Tampilkan postingan dengan label Puasa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puasa. Tampilkan semua postingan

Senin, 17 Maret 2025

Ramadhan, bulan meningkatkan ketaqwaan kita

 

Allah Ta’ala dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah, ayat 183, berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu. Mudah-mudahan kamu menjadi orang yang bertaqwa.(Q.S. al-Baqarah:183)

 

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memanggil orang-orang beriman menjelaskan kewajiban berpuasa. Ini bermakna bahwa pensyariatan puasa ini ditujukan hanya kepada orang-orang yang beriman. Karena hanya orang-orang yang beriman saja yang mau melaksanakan ibadah puasa ini dengan tulus dan sebenar-benarnya. Disamping itu ayat ini juga menjelaskan bahwa tujuan ibadah puasa adalah agar tumbuh sikap taqwa bagi orang yang menjalaninya. Lalu siapa orang bertaqwa tersebut?. Al-Qur’an Surat al-Baqarah, ayat 4-5 menjelaskan kepada kita ciri-ciri orang bertaqwa:

(yaitu) orang-orang yang beriman pada yang gaib, menegakkan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka,dan mereka yang beriman pada (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadamu (Nabi Muhammad) dan (kitab-kitab suci) yang telah diturunkan sebelum engkau dan mereka yakin akan adanya akhirat.(Q.S. al-Baqarah: 4-5)

 

Merujuk petunjuk firman Allah Ta’ala di atas, ada 5 ciri utama orang bertaqwa. Ciri pertama: beriman kepada hal-hal yang ghaib. Maksudnya adalah percaya pada hal-hal yang masih samar tetapi sudah ada dalil yang menunjukkannya, baik dalil naqli Al-Qur'an dan hadits, maupun dari dalil aqli dari akal sehat manusia. Termasuk beriman kepada ghaib adalah beriman kepada Allah, kepercayaan kepada alam kubur, percaya adanya malaikat Allah, adanya surga, neraka dan lain-lain. Meningkatkan keimanan terhadap Allah dapat dilakukan dengan memperdalam pemahaman terhadap petunjuk Al-Qur'an dan al-Sunnah selama Ramadhan ini.  Selain itu, bisa juga dilakukan melalui berpikir dengan akal sehat atas eksistensi Allah sebagai Tuhan. Ciri kedua: mendirikan shalat. Maksudnya, melaksanakan shalat dengan memenuhi haknya, baik yang bersifat lahiriah, seperti memenuhi berbagai syarat, rukun, dan adabnya maupun yang bersifat batiniah, seperti kekhusukan, kerendahan diri di hadapan Allah, dan keikhlasan beribadah hanya karenanya. Melakukan peningkatan ketakwaan dalam mendirikan shalat secara benar dalam bulan Ramadhan bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu mengupdate kembali ilmu pengetahuan seputar shalat dari sumber-sumber terpercaya dan belajar melakukan shalat dengan memperhatikan sisi lahir dan batin. Melatih diri melakukan shalat secara tenang, pelan-pelan atau tidak terburu-buru, meresapi setiap bacaan dan gerakan shalat, dan semisalnya.  Ciri ketiga: membelanjakan rezeki yang telah Allah berikan pada pembelanjaan yang sesuai dengan syariat. Ini dapat dilakukan dengan memulainya dari hal-hal kecil seperti memastikan pembelanjaan harta hanya pada sesuatu yang halal, tidak pada sesuatu yang haram. Baik harta yang dibelanjakan itu sedikit atau banyak. Baik belanja harian, bulanan, atau belanja kebutuhan tertentu. Ciri keempat: beriman kepada kitab-kitab Allah yang pernah diturunkan kepada Rasul-Nya. Targetnya dapat dimulai dengan memperbanyak membaca al-Qur’an serta mengkajinya melalui berguru kepada ulama terpercaya tanpa menunda mengamalkannya. Ciri kelima: meyakini akan datang hari akhirat kelak sebagai hari pertanggungjawaban segala amal yang kita lakukan di dunia ini. Targetnya memperbanyak ibadah dan amal shaleh sebagai bekal di hari akhirat kelak.

Bila lima target peningkatan ketakwaan ini dapat dilakukan di bulan Ramadhan secara nyata, maka bisa dikatakan sebagai orang yang berhasil melewatinya dengan keberhasilan dan kesuksesan yang nyata. Yaitu meningkatnya ketakwaan dalam lima ciri utama orang bertakwa. Bila demikian, maka firman Allah: "la'allakum tattaqun", agar kalian bertakwa, semakin dekat kita raih pada bulan Ramadhan ini. Wallahu a'lam.




Rabu, 05 Maret 2025

Benarkah harus imsak ?

 

Sebelum masuk waktu mulai puasa, sebelum fajar, sebagai persiapan berpuasa kita dianjurkan makan dan minum. Makan dan minum ini dinamakan sahur sebelum berpuasa. Anjuran ini sebagaimana sabda Nabi SAW berbunyi :

فَصْل مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ ‌أَكْلَةُ ‌السُّحُورِ

Pembeda antara puasa kita dan puasa ahlul kitab adalah makan sahur (H.R. Muslim dan lainnya)

 

Dan Sabda Nabi SAW :

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ

Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang bersahur (H.R. al-Thabraniy)

 

Namun ketika bulan Ramadhan tiba, sekitar 10 menit menjelang adzan subuh berkumandang menjadi sebuah fenomena umum di daerah-daerah Indonesia (termasuk Aceh) sayup suara orang mengumumkan waktu imsak bersahutan. Saat imsak, masyarakat kita mulai menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa, padahal belum masuk waktu mulai berpuasa  Pertanyaannya, apakah tradisi waktu imsak ini ada tuntunannya? Untuk menjawab pertanyaan ini, sebelumnya kita simak firman Allah Ta’ala sebagai landasan penetapan waktu puasa, yaitu Q.S. al-Baqarah: 187:

وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ

Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. (QS Al-Baqarah: 187).

 

Berdasarkan firman Allah Ta’ala ini, dipahami bahwa puasa itu dimulai dengan terbit fajar sampai masuk waktu malam, yaitu magrib. Artinya kewajiban menahan makan dan minum serta menahan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya dimulai saat terbit fajar sampai waktu magrib tiba. Dengan demikian, kita masih dimungkinkan makan sahur asalkan belum terbit fajar.

Sesuai dengan yang dipahami dari firman Allah di atas dan penjelasan al-Kaasaaniy al-Hanafi bahwa perkataan sahur berasal dari akar kata “sahar”, sedangkan waktu sahar adalah sesudah pertengahan malam. (al-Kaasaaniy al-Hanafi, Badai’ al-Shanai’fi tartib al-Syarai’ :II/69), maka waktu sahur dimulai sesudah melewati pertengahan malam dan berakhir dengan terbit fajar. Berdasarkan ini, maka orang yang makan sebelum pertengahan malam dengan niat sahur tidak sah menjadi sahur. Karena itu, Imam al-Nawawi mengatakan,

وَقْتُ ‌السَّحُورِ بَيْنَ نِصْفِ اللَّيْلِ وَطُلُوعِ الْفَجْرِ

Waktu sahur adalah antara pertengahan malam dan terbit fajar. (Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab:VI/360)

 

Abubakar Syathaa dalam I’anah al-Thalibin mengatakan,

والحاصل أن ‌السحور يدخل وقته بنصف الليل، فالأكل قبله ليس بسحور، فلا يحصل به السنة،

Alhasil, sesungguhnya sahur masuk waktunya dengan masuk pertengahan malam. Karena itu, makan sebelumnya bukanlah sahur dan tidak mendapat sunnah karenanya.( Abubakar Syathaa, I’anah al-Thalibin: II/277)

Meskipun waktu bersahur sebagaimana dikemukakan di atas antara pertengahan malam dan terbit fajar, akan tetapi waktu utama bersahur adalah di akhir malam. Hal ini dikarena makan sahur di akhir malam lebih meringankan orang berpuasa menahan lapar dan haus pada waktu siangnya. Dalam sebuah hadits, Nabi SAW bersabda :

عَجَّلُوا الإِفْطَارَ وَأَخَّرُوا السُّحُورَ

Segerakanlah berbuka dan akhirkan bersahur (H.R. al-Thabraniy)

Di sisi Abdurrazaq dan lainnya dengan isnad shahih dari ‘Amr bin Maimun al-Audiy berkata :

قَالَ كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْرَعَ النَّاسِ إِفْطَارًا وَأَبْطَأَهُمْ سُحُورًا

Para sahabat Muhammad SAW memerintahkan manusia menyegerakan berbuka dan memperlambatkan sahur. ( Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fathul Barri: IV/199)

Ini sesuai dengan praktek Nabi SAW beserta sahabatnya sebagaimana hadits berikut:

تَسَحَّرْنَا ‌مَعَ ‌رَسُولِ ‌اللهِ ‌صَلَّى ‌اللهُ ‌عَلَيْهِ ‌وَسَلَّمَ، ‌ثُمَّ ‌قُمْنَا ‌إِلَى ‌الصَّلَاةِ قُلْتُ: كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: خَمْسِينَ آيَةً

Kami makan sahur bersama Rasulullah SAW, kemudian kami mendirikan shalat. Aku (perawi) bertanya : “berapa ukuran antara keduanya”. Zaid bin Tsabit menjawab : “ukuran lima puluh ayat. (H.R. Muslim)

Hukum tradisi imsak

Waktu sahur Nabi SAW dalam hadits riwayat Muslim di atas dalam jarak tempo membaca 50 ayat al-Quran tidaklah dipahami secara sempit sebagai batasan waktu tertentu, akan tetapi substansi  dari waktu sahur Nabi SAW tersebut adalah sikap kehati-hatian dalam menjaga sahur agar tidak sampai masuk dalam waktu fajar (waktu mulai puasa). Sikap kehati-hatian ini sesuai dengan hadits Nabi SAW berbunyi:

دع ما يريبك الى ما لا ما يريبك

Tinggalkan yang meragukan dirimu kepada yang tidak meragukan (H.R. Ahmad, al-Turmizi dan lainnya)

 

Karena itu, Imam Syafi’i mengatakan:

وأستحب التأني بالسحور ما لم يكن في وقت مقارب يخاف أن يكون الفجر طلع فإني أحب قطعه في ذلك الوقت

Aku senang memperlambat dalam bersahur, selagi tidak sampai pada waktu yang mendekati (fajar) yang dikhawatirkan terbit fajar (jika terjadi hal demikian) aku senang menghentikan sahur pada saat sebelum subuh.(al-Umm: II/105)

 

Pernyataan yang lebih tegas dapat diperhatikan dalam ucapan Imam al-Mawardi di dalam kitab Iqna’:

وزمان الصّيام من طُلُوع الْفجْر الثَّانِي إِلَى غرُوب الشَّمْس لَكِن عَلَيْهِ تَقْدِيم الامساك يَسِيرا قبل طُلُوع الْفجْر وَتَأْخِير (الْفطر) يَسِيرا بعد غرُوب الشَّمْس ليصير مُسْتَوْفيا لامساكمَا بَينهمَا

 Waktu berpuasa adalah dari terbitnya fajar kedua sampai tenggelamnya matahari. Akan tetapi (akan lebih baik bila) orang yang berpuasa melakukan imsak (menghentikan makan dan minum) sedikit lebih awal sebelum terbitnya fajar dan menunda berbuka sejenak setelah tenggelamnya matahari agar ia menyempurnakan imsak di antara keduanya. (Al-Iqnaa’: 74)

 

Syeikh Hasanain Muhammad Makhluf (Lahir: 1307 H/1890 M) seorang ulama al-Azhar  memperkirakan waktu membaca 50 ayat tersebut adalah sekitar 10 menit sebagaimana tersebut dalam fataawa Dar al-Ifta’ al-Misriyah:

وأن المستحب أن يكون بينه وبين الطلوع قدر قراءة خمسين آية ويقدر ذلك زمنا بعشر دقائق تقريبا  

Dan imsak yang dianjurkan hendaknya antara imsak dan terbit fajar ada jeda perkiraan membaca 50 ayat, perkiraan waktunya kurang lebih selama 10 menit.( fataawa Dar al-Ifta’ al-Misriyah I/101)

 

Berdasarkan pemahaman di atas, dapat ditegaskan bahwa tradisi masyarakat Indonesia melakukan praktek imsak sekitar 10 menit sebelum terbit fajar menjelang masuk waktu puasa merupakan sikap kehati-hatian (ihtiyath) yang dianjurkan dalam agama dan bahkan pernah dipraktek oleh Nabi SAW sesuai dengan hadits riwayat Muslim di atas.

Wallahua’lam bisshawab

 

 

Kamis, 28 Maret 2024

Apakah makanan yang manis lebih utama untuk berbuka puasa

 

Banyak beredar di kalangan masyarakat yang mengira bahwa berbuka puasa dengan yang manis-manis merupakan anjuran langsung atau kebiasaan dari Nabi SAW yang dijadikan sebagai sunnah puasa jika tidak menemukan kurma untuk berbuka. Padahal tidaklah demikian dan hal tersebut bukanlah merupakan hadits Nabi SAW. Meskipun kita tidak menafikan kesunnahannya dimana tingkatan keutamaannya berada pada posisi setelah makanan/minuman yang tersebut dalam hadits Nabi SAW. Adapun makanan/minuman yang dianjurkan dengannya berbuka puasa sesuai dengan sabda Nabi SAW dapat diperhatikan dalam hadits Anas bin Malik r.a, beliau berkata,

ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮ ﻝُ ﺍﻟﻠِّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪً ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳُﻔْﻄِﺮُ ﻋَﻠَﻰ ﺭُﻃَﺒَﺎﺕٍ ﻗَﺒْﻞَ ﺃَﻥْ ﻳُﺼَﻠِّﻲَ ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢْ ﺗَﻜُﻦْ ﺭُﻃَﺒَﺎﺕٌ ﻓَﻌَﻠَﻰ ﺗَﻤَﺮَﺍﺕٍ ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢ ﺗَﻜُﻦْ ﺣَﺴَﺎ ﺣَﺴَﻮﺍﺕٍ ﻣِﻦْ ﻣَﺎﺀٍ

Rasulullah SAW biasanya berbuka dengan kurma basah (ruthab), jika tidak ada ruthab maka berbuka dengan kurma kering (tamr), jika tidak ada tamr maka minum dengan satu tegukan air. (H.R. Abu Dawud dan Turmidzi, beliau menyatakan hadits ini hasan)

 

Dalam hadits lain disebutkan:

إذا كان أحدكم صائماً فليفطر على التمر، فإن لم يجد التمر فعلى الماء؛ فإنه طهور

Apabila salah seorang kamu berpuasa, maka berbukalah dengan kurma, jika tidak ada kurma, maka berbukalah dengan air. Sesungguhnya air itu suci. (Hadits riwayat sunan yang empat. Turmidzi mengatakan, hadits ini hasan shahih, Ibnu Hibban dan al-Hakim mengatakan, shahih)

 

Berdasarkan hadis tersebut kita mengetahui bahwa kebiasaan Rasulullah SAW dalam mengawali berbuka puasa, dengan kurma. Namun jika tidak ada kurma, beliau berbuka dengan air putih saja, bukan makanan/minuman yang manis-manis sebagaimana dipahami sebagian masyarakat kita selama ini. Urutan keutamaannya adalah ruthab (kurma basah), kemudian tamr (kurma kering) dan kemudian air putih. Para ulama dalam memahami hadits di atas, memandang kesunahan berbuka puasa dengan kurma yang terkandung sifat manis di dalamnya. Berdasarkan pemahaman ini, makanan/minuman yang manis-manis termasuk dalam katagori sunnah mengawali berbuka dengannya, akan tetapi karena ini tidak terdapat dalam hadits Nabi SAW dan hanya merupakan hasil ijtihad para ulama, maka urutan keutamaannya berada pada posisi setelah yang disebut dalam hadits, yaitu kurma dan air putih. Dalam I’anah al-Thalibin disebutkan,

والحاصل أن الأفضل أن يفطر بالرطب، ثم التمروفي معناه العجوة، ثم البسر، ثم الماء وكونه من ماء زمزم أولى، ثم الحلو وهو ما لم تمسه النار كالزبيب، واللبن، والعسل - واللبن أفضل من العسل، واللحم أفضل منهما، ثم الحلواء

Alhasil, sesungguhnya yang lebih utama adalah berbuka dengan ruthab (kurma basah), kemudian tamr (kurma kering). Yang semakna dengan tamr adalah kurma ajwa kemudian kurma muda. Setelah itu air putih, dimana air zamzam lebih utama dari air lainnya. Kemudian makanan/minuman yang manis-manis, yakni yang tidak sentuh api seperti anggur, susu dan madu. Susu lebih utama dari madu. Daging lebih utama dari keduanya. Setelah itu halwaa (makanan manis yang disentuh api). (I’anah al-Thalibin: II/278)

 

Setelah kurma, air putih lebih utama dari makanan/minuman lain, karena air putih ini bersama kurma ada disebut dalam hadits Nabi SAW sebagaimana dalam hadits di atas. Adapun selainnya merupakan hasil  ijtihad para ulama. Dalam Hasyiah al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj disebutkan,

وَقَوْلُهُ: فَمَاءٌ وَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ بَقِيَّةِ أَنْوَاعِ الْحَلْوَى كَالْعَسَلِ وَغَيْرِهِ لِوُرُودِ الْخَبَرِ فِيهِ.

Perkataan pengarang: maka air, yakni air itu lebih utama dari jenis makanan/minum yang manis-manis yang lain seperti madu dan lainnya, karena ada hadits terkait air. (Hasyiah al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj: II/328)

 

Sesuai dengan penjelasan di atas, penempatan posisi makanan/minuman yang manis-manis dalam urutan kedua setelah kurma adalah dha’if. Dalam Fathul Mu’in disebutkan:

قال الشيخان لا شيء افضل بعد التمر غير الماء فقول الروياني الحلو افضل من الماء ضعيف

Dua Syeikh (Imam al-Nawawi dan al-Rafi’i) mengatakan, tidak ada yang lebih utama setelah kurma selain air. Karena itu, pendapat al-Rauyani bahwa yang manis lebih utama dari air adalah pendapat yang dha’if. (I’anah al-Thalibin ‘ala Fathul Mu’in: II/278-279)

 

Wallahua’lam bisshawab

 

Minggu, 24 Maret 2024

Hal-hal yang dianggap sepele, tetapi membatalkan puasa

 

Kewajiban berpuasa bagi umat muslim termaktub di dalam firman Allah dalam Surat al-Baqarah Ayat 183 berbunyi:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ 

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al Baqarah: 183).

 

Sebagaimana lazimnya sebuah ibadah, para ulama telah mengajarkan kita bahwa puasa tersebut mempunyai rukun dan syaratnya sehingga apabila tidak terpenuhi rukun dan syaratnya dapat mengakibatkan batal puasa. Dalam pembahasan kita kali ini adalah menyangkut hal-hal sepele yang membatalkan puasa. Hal-hal sepele di sini tidak dimaknai dengan makna ada yang membatalkan puasa sesuatu yang tidak dianggap penting. Karena semua yang membatalkan puasa cukup dianggap penting untuk dipahami oleh kita semua. Akan tetapi makna sepele di sini adalah hal-hal yang membatalkan puasa, namun sering dilupakan oleh sebagian umat Islam awam, sementara hal tersebut sering dilakukan pada saat melaksanakan ibadah puasa. Kenapa terlupakan?. Karena sebagian kita kadang-kadang menggunakan logika awam atau logika di luar disiplin ilmu fiqh dalam memahami hukum agama, sehingga melahirkan suatu pemahaman hukum yang keluar dari koridor ilmu fiqh.

Berikut ini hal-hal sepele yang membatalkan puasa, antara lain:

1.   Mengorek lobang telinga. Ini termasuk membatalkan puasa, karena termasuk dalam katagori memasukkan sesuatu benda dalam rongga terbuka.  Firman Allah Ta’ala:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

Makan dan minumlah kamu sehingga sampai kelihatan benang yang putih dari benang yang hitam, yaitu fajar. (Q.S. al-Baqarah: 187)

 

Substansi dari kandungan ayat ini adalah larangan memasukkan sesuatu dalam rongga terbuka pada saat berpuasa, meskipun bukan dengan cara  makan atau minum. Kesimpulan ini didukung oleh sabda Nabi SAW:

وبَالغْ فِي الاسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أنْ تكونَ صَائِمًا

Lakukanlah istinsyaq (memasukkan air dalam hidung pada waktu berwudhu’) secara berlebihan kecuali kamu dalam keadaan berpuasa.(Hadits shahih riwayat imam-iman hadits, al-Turmidzi mengatakan hadits hasan shahih dan al-Hakim mengatakan, hadits shahih)

 

Dalam hadits di atas, Rasulullah SAW melarang istinsyaq secara berlebihan seseorang yang sedang berpuasa karena dikuatirkan dapat masuk air dalam dalam hidung. Hal itu karena dapat membatalkan puasa. Rongga-rongga terbuka lainnya seperti telinga sama hukumnya dengan hidung. Apakah yang masuk dalam rongga terbuka tersebut haruslah suatu benda yang dianggap sebagai makanan menurut kebiasaan kita?. Jawabannya, tidak mesti makanan. Dalam hal ini, Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan:

و ان كانت اقل ما يدرك من نحو حجر

Meskipun itu sekecil-kecil benda yang dapat dilihat semisal batu. (Tuhfah al-Muhtaj:III/400)

 

2.   Masuk air dalam lobang bagian terdalam hidung tanpa sengaja pada saat melakukan istinsyaq secara berlebihan sebagaimana dipahami dari hadits di atas.

3.   Masuk air dalam lobang telinga terdalam tanpa sengaja pada saat mandi yang bukan perintah syariat seperti mandi sekedar mendinginkan tubuh meskipun mandinya bukan dengan cara menyelam. Demikan juga pada saat mandi wajib yang dilakukan dengan cara menyelam. Karena makruh hukumnya menyelam pada saat puasa. Abubakar Syatha menyimpulkan hukum kemasukan air tanpa sengaja ke dalam rongga dengan perkataan beliau berikut ini :

)والحاصل) أن القاعدة عندهم أن ما سبق لجوفه من غير مأمور به، يفطر به، أو من مأمور به ولو مندوبا لم يفطر.ويستفاد من هذه القاعدة ثلاثة أقسام: الأول: يفطر مطلقا بالغ أو لا وهذا فيما إذا سبق الماء إلى جوفه في غير مطلوب كالرابعة، وكانغماس في الماء لكراهته للصائم وكغسل تبرد أو تنظف.الثاني: يفطر إن بالغ، وهذا فيما إذا سبقه الماء في نحو المضمضة المطلوبة في نحو الوضوء.الثالث: لا يفطر مطلقا، وإن بالغ، وهذا عند تنجس الفم لوجوب المبالغة في غسل النجاسة على الصائم وعلى غيره لينغسل كل ما في حد الظاهر

Alhasil, sesungguhnya aturannya menurut para ulama, kemasukan air tanpa sengaja ke dalam rongga dimana memasukkan air tersebut bukanlah merupakan perintah syariat membatalkan puasa atau merupakan perintah meskipun perintah tersebut hanya sunnah, maka tidak membatalkan puasa. Berdasarkan qaidah ini dipahami tiga pembagian, Pertama, membatalkan secara mutlaq, baik dengan mubalaghah (berlebihan) atau tidak. Ini berlaku pada kemasukan air tanpa sengaja ke dalam rongga pada bukan perintah seperti mandi kali ke-empat dan seperti menyelam dalam air karena makruh bagi orang puasa atau seperti mandi untuk menyegarkan tubuh ataupun membersihkn tubuh. Kedua, membatalkan puasa, jika dilakukan secara mubalaghah. Ini berlaku apabila kemasukan air tanpa sengaja pada seperti berkumur-berkumur yang diperintahkan pada wudhu’. Ketiga, tidak membatalkan secara mutlaq, meskipun dilakukan secara mubalaghah. Ini berlaku pada saat membasuh mulut yang bernajis, karena wajib atas orang puasa dan yang tidak puasa mubalaghah membasuh najisnya agar terbasuh semua yang ada pada batasan dhahir mulut. (I’anah al-Thalibin: II/265)

 

4.   Muntah dengan sengaja

Sabda Nabi SAW:

من ذرَعه القيء فليس عليه قضاء ، ومن استقاء عمداً فَلْيَقض

Barangsiapa terpaksa muntah tidaklah wajib mengqadha puasanya dan barangsiapa yang muntah dengan sengaja, maka hendaklah dia mengqadha puasanya. (Hadits hasan riwayat al-Darimy, Sunan yang empat dan Ibnu Hibban)

 

Adapun yang tidak membatalkan puasa, antara lain:

1.   Memakai obat tetes mata pada saat puasa.  Dalam Minhaj al-Thalibin berserta syarahnya al-Mahalli disebutkan :

)وَلَا) ‌يَضُرُّ (‌الِاكْتِحَالُ وَإِنْ وَجَدَ طَعْمَهُ) أَيْ الْكُحْلِ (بِحَلْقِهِ) لِأَنَّهُ لَا مَنْفَذَ مِنْ الْعَيْنِ إلَى الْحَلْقِ وَالْوَاصِلِ إلَيْهِ مِنْ الْمَسَامِّ

Dan tidak bermasalah memakai celak mata, meskipun ditemukan rasa celak di tenggorokannya, karena tidak ada rongga penghubung dari mata ke tenggorokan. Yang sampai di tenggorokan adalah dari pori-pori (Hasyiah Qalyubi wa ‘Amirah ‘ala Syarh al-Mahalli: II/72)

Menggunakan obat tetes mata dapat disamakan dengan menggunakan celak mata. Karena rasanya seandainya masuk ke tenggorokan, maka itu melalui pori-pori, bukan melalui rongga penghubung antara mata dan tenggorokan.

2.   memasukkan sesuatu dalam bukan rongga terbuka seperti memasukkan obat cair melalui suntikan.

3.   Berpuasa dalam keadaan berjunub. Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan:

قد كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يدركه الفجر في رمضان وهو جنب من غيرحلم فيغتسل ويصوم

Rasulullah SAW pernah mendapati fajar pada bulan Ramadhan, sedangkan beliau dalam keadaan berjunub bukan karena mimpi, lalu beliau mandi dan kemudian melaksanakan puasa.(H.R. Muslim)

Wallahua’lam bisshawab




 

 

 

 

 

 

 

Rabu, 26 April 2023

Penafsiran hadits keutamaan puasa enam hari bulan Syawal

 

1.  Dari Ayyub al-Anshariy menceritakan bahwa Nabi SAW bersabda :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ ‌أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan enam hari pada bulan Syawal, maka seolah-olah puasa sepanjang tahun. (H.R. Muslim)

 

Imam al-Nawawi dalam mengomentari hadits ini mengatakan,

قَالَ الْعُلَمَاءُ وَإِنَّمَا كَانَ ذَلِكَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ لِأَنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا فَرَمَضَانُ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَالسِّتَّةُ بِشَهْرَيْنِ

Para ulama menjelaskan disebut seolah-olah puasa setahun, karena kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat pahalanya. Karena itu, puasa bulan Ramadhan digandakan pahalanya menjadi sepuluh bulan dan puasa enam hari digandakan dua bulan.(Syarah Muslim VIII/56)

 

Apabila sebuah kebaikan mendapat pahala 10, maka puasa 1 bulan, pahalanya adalah 1 bulan x 10 = 10 bulan. Demikian juga puasa 6 hari mendapat pahalanya : 6 hari x 10 = 60 hari (2 bulan).  Alhasil 10 bulan + 2 bulan =  1 tahun.

Berdasarkan penjelasan ini, maka “al-dahri” dalam hadits di atas bermakna setahun

2.  Hadits diriwayat secara mauquf, Ayyub al-Anshariy mengatakan,

 مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ فَكَأَنَّمَا صَامَ السَّنَةَ كُلَّهَا

Barang siapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan enam hari pada bulan Syawal, maka seolah-olah puasa sepanjang tahun.(H.R. Ibnu Abd al-Bar dalam al-Istizkaar III/379)

 

3.  Dari Tsauban maula Rasulullah SAW, sesungguhnya beliau pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda :

جَعَلَ اللَّهُ الْحَسَنَةَ بِعَشْرٍ فَشَهْرُ رَمَضَانَ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَسِتَّةُ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ تَمَامُ السَّنَةِ

Allah menjadikan kebaikan dengan sepuluh kali lipat pahalanya. Maka satu bulan Ramadhan digandakan menjadi sepuluh bulan dan dengan enam hari sesudah Aidil Fitri sempurnalah  setahun. .(H.R. Ibnu Abd al-Bar dalam al-Istizkaar III/380)

 

4.  Sabda Nabi SAW  dengan sanad hasan :

صيام شَهْرُ رَمَضَانَ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَ صيام سِتَّةُ أَيَّامٍ بَبشهرين فذالك صيام السنة

Puasa bulan Ramadhan digandakan pahalanya sepuluh bulan dan puasa enam hari digandakan menjadi dua bulan, maka menjadi puasa setahun (H.R. al-Nisa-i, Mulla al-Qari dalam Mirqah al-Mafaatih Syarah Misykah al-Mashabiih : IV/1416)

 

Hadits-hadits nomor 2,3 dan 4 di atas menegaskan penafsiran yang dikemukakan oleh Imam al-Nawawi di atas.

Selasa, 18 April 2023

Apakah dosa berbuat maksiat di Bulan Ramadhan, berlipat ganda?

 

Pada dasarnya, Allah Ta’ala memberikan pahala kepada hambanya dengan berlipat ganda sebagai karunia dan kasih dan sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang bertaqwa dan sebaliknya hal tersebut tidak berlaku pada kejahatan yang dilakukan hamba-Nya, Allah Ta’ala hanya membalasnya dengan siksaan sesuai dengan kejahatannya tanpa ada penggandaannya sebagaimana firman Allah Ta’ala berbunyi :

مَن جَاء بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَن جَاء بِالسَّيِّئَةِ فَلاَ يُجْزَى إِلاَّ مِثْلَهَا وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ

Barang siapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barang siapa yang membawa perbuatan jahat, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan) (QS. Al-An’am: 160).

 

Namun demikian, ada beberapa keterangan yang menjelaskan kepada kita bahwa ada tempat dan zaman tertentu yang Allah lipat-gandakan dosa kejahatan yang dilakukan seorang hamba Allah pada tempat dan zaman tersebut. Misalnya kejahatan yang dilakukan pada bulan Ramadhan. Nabi SAW bersabda :

فَاتَّقُوا شَهْرَ رَمَضَانَ فَإِنَّ الْحَسَنَاتِ تُضَاعَفُ فِيهِ ما لا تضاعف فيما سواه  وَكَذَلِكَ السَّيِّئَاتُ

Takutlah kalian terhadap bulan Ramadhan. Karena pada bulan ini, pahala kebaikan dilipat-gandakan yang tidak dilipat-gandakan pada bulan lain sebagaimana dosa kejahatan juga dilipat-gandakan.(H.R. at-Thabrani)

 

Ibnu Hajar al-Haitamiy menjelaskan, seyogyanya pengertian dilipat-gandakan di sini bermakna kualitas dosa kejahatannya dan kualitas balasan siksaan yang diterimanya, sehingga tidak bertentangan dengan maksud ayat “maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya”. Karena ayat ini membicarakan kuantitas balasannya tidak dilipat-gandakan, meskipun kualitasnya bisa saja dilebihkan karena faktor tempat dan zaman.(Fathul Mubin bi Syarh al-Arba’in : 589)

Senada dengan penjelasan al-Haitamiy di atas, Ibnu ‘Alan mengatakan, kadang-kadang dosa menjadi besar sebab kemuliaan zaman dan tempatnya seperti kejahatan yang dilakukan pada bulan-bulan haram, bulan Ramadhan dan di negeri Makkah atau sebab tinggi derajat pelakunya ataupun kuat ma’rifah dan kedekatannya dengan Allah Ta’ala. Kemudian Ibnu ‘Alan mengatakan :

فإن من عصا السلطان على بساطه أعظم جرماً ممن عصاه على بعده

Sesungguhnya orang yang membangkang rajanya di hamparan permadani raja lebih besar kesalahannya dibanding pembangkangan dari kejauhan.(Dalil al-Falihiin li Thuruqi Riyadhusshalihiin I/82)

 

Contoh lain dilipat-gandakan dosanya sebagaimana dilipat-gandakan pahalanya adalah orang yang merencanakan kejahatan secara dhalim di negeri Makkah. Allah Ta’ala berfirman :

وَمَن يُرِدۡ فِيهِ بِإِلۡحَادِۭ بِظُلۡمٖ نُّذِقۡهُ مِنۡ عَذَابٍ أَلِيمٖ 

Barangsiapa yang bermaksud di dalamnya (negeri Makkah) melakukan kejahatan secara dhalim niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih (Q.S. al-Hajj : 25)

 

Baru sebatas keinginan berbuat kedhaliman di Makkah saja, Allah sudah memberikan ancaman siksa yang pedih. Padahal di sisi lain, kalau itu dilakukan di luar tanah haram (Makkah), Allah tidak akan menghukumnya kecuali kedhaliman itu sudah dilakukan. Dari pemahaman ayat ini, Ibnu Abbas dan lainnya mengatakan,

إنَّ السَّيِّئَاتِ تُضَاعَفُ بِهَا كَمَا تُضَاعَفُ الْحَسَنَاتُ

Sesungguhnya dosa kejahatan dilipat-gandakan di negeri Makkah sebagaimana dilipat-gandakan kebaikannya.

 

Maksudnya, kualitas dosa kejahatannya di Makkah lebih besar dibandingkan kejahatan pada negeri lain, bukan kuantitasnya, agar tidak bertentangan dengan ayat dan hadits yang menerangkan tidak ada dilipat-gandakan kuantitas dosa kejahatan.(Tuhfah al-Muhtaj : IV/65)

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa perbuatan dosa di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, kualitas dosanya menjadi lebih besar dibandingkan di bulan-bulan lain  sebagaimana halnya pahala kebaikannya juga berlipat ganda. Apalagi kalau kejahatan tersebut bertepatan dengan malam Lailatul qadar yang penuh berkah. Namun perlu menjadi catatan bahwa berlipat ganda dosa kejahatan di bulan Ramadhan bermakna kualitas dosanya, bukan kuantitasnya sebagaimana sudah dijelaskan di atas.

Wallahua’lam bisshawab