2.
Sebagian kaum Salek Buta mempunyai ajaran nikah batin, yaitu nikah tanpa
wali dan saksi sebagaimana lazimnya sebuah pernikahan menurut syari’at. Mereka mengatakan,
walinya adalah Allah Ta’ala dan saksinya para malaikat.
Bantahan
Menurut
hemat kami, ajaran nikah batin ini merupakan turunan dari ajaran kaum
al-Bathiniyah dari kelompok Syi’ah Isma’iliyah. Kaum al-Bathiniyah merupakan
kelompok ajaran yang tidak mau menggunakan nash-nash syara’ secara dhahir. Mereka
menakwilkan dhahir semua perintah Allah dan Nabi-Nya kepada makna yang sesuai
dengan hawa nafsu mereka, yang pada ujungnya menghilangkan semua perintah dan
larangan syara’. Ibnu Abdurrahman al-Multhi (w. 377 H) menyebut dalam kitabnya,
al-Tanbih wal Rad ‘ala Ahlul
Ahwa wal bid’i sebagai berikut :
”Termasuk dari golongan Rafidhah (Syi’ah) adalah golongan yang mendakwa
bahwa nikah mut’ah adalah halal, nikah tanpa wali dan saksi serta tidak ada
mahar. Mereka mengatakan, Allah walinya, para malaikat saksinya dan Islam
adalah maharnya.»[1]
Kami
menduga ajaran nikah batin ini mereka ilhami dari dakwaan mengikuti perkawinan Nabi
Adam a.s dan Hawa yang dinikahkan oleh Allah SWT sendiri tanpa ikut campur
makhluq lain dan mereka juga merujuk kepada riwayat palsu yang mengabarkan
bahwa Ali bin Abi Thalib dan Fatimah pernah dinikahkan oleh Allah secara ghaib.
Riwayat yang dinisbah kepada Ibnu Abbas ini berbunyi : Rasulullah SAW bersabda :
يا علي ان الله زوجك فاطمة وجعل صداقها الارض فمن مشي عليها مبغضا لك مشي
حراما
Artinya : Hai Ali, sesungguhnya Allah telah mengawinkanmu dengan Fatimah,
sedangkan bumi adalah maharnya. karena itu, barangsiapa yang berjalan di muka
bumi dengan marah kepadamu, maka ia berjalan dalam keadaan haram.
Al-Zahabi
telah menyebut riwayat ini dalam kitabnya, Talkhis al-Mauzhu’at. Beliau
mengatakan, riwayat ini dipalsukan (maudhu’) oleh al-Zaari’.[2] Al-Suyuthi juga telah
mengatakan riwayat ini maudhu’.[3] Riwayat senada dengan ini
namun lebih detil kisahnya adalah riwayat yang dinisbahkan kepada Ibnu Mas’ud.
Dalam riwayat ini dikisahkan Allah memerintah Jibril meminang Fatimah untuk Ali
sekaligus mengawinkan Ali dengan Fatimah. Riwayat ini juga menurut keterangan
al-Suyuthi adalah maudhu’ alias palsu.[4]
Adapun
argumentasi mereka ini dapat kita bantah sebagai berikut :
1). Para ulama sepakat bahwa pernikahan tidak boleh dilakukan
secara sembunyi-sembunyi, cuma mereka berbeda pendapat apakah pernikahan yang
disaksikan hanya dua orang termasuk pernikahan tersembunyi atau tidak. Malik
mengatakan pernikahan itu tersembunyi. Karena itu, menurut Malik meskipun
pernikahan itu sah, namun wajib di beritahukan kemudian kepada masyarakat
seperti dengan mengadakan pesta atau lainnya. Namun apabila kedua belah pihak
mewasiatkan menyembunyikan akad pernikahan tersebut, maka nikahnya tidak sah.
Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat pernikahan dengan disaksikan dua saksi
bukan pernikahan tersembunyi. Karena itu memadai dengan kesaksian dua orang
saksi dan tidak wajib diberitahukan kepada masyarakat.[5] Adapun dalil akad nikah wajib
dilaksanakan tidak secara sembunyi-sembunyi dan harus ada saksi adalah berdasarkan
riwayat dari Amir bin
Abdullah bin al-Zubir dari bapaknya :
أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ :
أَعْلِنُوا اَلنِّكَاحَ
Artinya : Bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sebarkanlah
berita pernikahan. (H.R.Ahmad dan
shahih menurut al-Hakim)[6]
dan hadits dari Aisyah
r.a. berbunyi :
أَن النَّبِي صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لَا نِكَاح إِلَّا ولِي وشاهدي عدل وَمَا كَانَ
من نِكَاح عَلَى غير ذَلِك فَهُوَ بَاطِل فَإِن تشاجروا فالسلطان ولي من لَا ولي
لَهُ رَوَاهُ ابْن حبَان فِي صَحِيحه وَقَالَ لَا يَصح فِي ذكر الشَّاهِدين غَيره
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW bersabda : Tidak pernikahan kecuali
dengan wali dan dua saksi yang adil. Pernikahan yang bukan atas jalan demikian,
maka batil. Seandainya mereka berbantahan, maka sulthan yang menjadi wali
orang-orang yang tidak mempunyai wali. (H.R. Ibnu Hibban dalam Shahihnya.
Beliau mengatakan, tidak ada hadits yang shahih dalam penyebutan dua orang
saksi kecuali hadits ini.)[7]
Dan juga riwayat dari Amran bin Hushain r.a., sesungguhnya
Rasulullah SAW bersabda :
لاَنِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ
Artinya : Tidak pernikahan
kecuali dengan wali dan dua orang saksi.
Hadits ini telah diriwayat oleh
Ahmad dalam musnadnya, Baihaqi, al-Thabrani, Darulquthni dan Imam Syafi’i. Imam
Syafi’i mengatakan, hadits ini meskipun munqathi’, tetapi kebanyakan ahli ilmu
berpendapat dengan kandungan hadits tersebut.[8] Demikian juga disepakati para ulama tidak sah
sebuah akad nikah kecuali dengan ada wali berdasarkan hadits-hadits di atas,
kecuali dari kalangan Hanafiyah yang tidak mensyaratkankan wali untuk keabsahan
nikah.[9] Berdasarkan penjelasan di atas
diketahui bahwa para ulama sepakat sebuah akad nikah tanpa wali dan saksi
adalah batal alias tidak sah. Dengan demikian ajaran nikah batin yang
dipraktekkan oleh sebagian kaum Salek Buta ini merupakan ajaran sesat
menyesatkan yang bertentangan dengan kesepakatan para ulama yang bersumber dari
Sunnah Rasul sebagaimana telah dikemukakan di atas.
2). Memang ada sebuah pendapat yang dihikayahkan dari
Daud al-Dhahiri yang membenarkan akad nikah tanpa wali dan saksi. Seandainya
hikayah ini benar, maka para ulama telah sepakat bahwa pendapat Daud al-Dhahiri
ini merupakan pendapat syaz (ganjil) dan dianggap sudah tergelincir dari
kebenaran. Karena itu, pendapat ini tidak boleh diamalkan oleh kaum muslimin
dan pendapat ini juga tidak menjadi timbangan yang dapat merusak kesepakatan
ulama di atas. Berikut ini
penjelasan ulama berkenaan dengan pendapat Daud al-Dhahiri di atas, yakni
sebagai berikut :
a. Dalam al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, Ibnu Hajar
al-Haitamy mengatakan :
لايجوز تقليد داود فى النكاح بلا ولى ولاشهود، ومن وطئ فى نكاح خال عنهما وجب
عليه حدّ الزنا على المنقول المعتمد
“Tidak boleh mengikuti pendapat
Dawud al-Dhahiri dalam nikah tanpa wali dan saksi, barang siapa berhubungan
badan atas nikah tanpa wali dan saksi, wajib baginya di had (hukuman) seperti
hukuman bagi pelaku zina sesuai pendapat yang mu'tamad.”[10]
Setelah itu, Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan :
فَلَوْ فُرِضَ أَنَّ
دَاوُد قَائِلٌ بِحِلِّ ذلك لم يُلْتَفَتُ إلَيْهِ على أَنَّ كَثِيرِينَ من
أَصْحَابِنَا مَنَعُوا من تَقْلِيدِهِ كَسَائِرِ الظَّاهِرِيَّةِ لِأَنَّهُمْ
لِإِنْكَارِهِمْ الْقِيَاسَ الْجَلِيَّ يَرْتَكِبُونَ السَّفْسَافَ من الْآرَاءِ
فلم يُعْتَدَّ بِآرَائِهِمْ
Artinya :
Seandainya ditaqdirkan bahwa Daud berpendapat dengan demikian itu (boleh nikah tanpa
wali dan saksi), maka tidak boleh memperhatikannya karena kebanyakan ashab kita
melarang taqlidnya sebagaimana halnya golongan Dhahiriyah lainnya, karena
mereka mengingkari qiyas jalii (qiyas yang terang) dan mereka dihinggapi
pikiran yang buruk, sehingga tidak diperhitungkan pendapat mereka.[11]
b. Imam Haramain mengatakan :
ان المحققين لا
يقيمون لخلاف اهل الظاهر وزنا
Artinya : Sesungguhnya ulama muhaqqiq tidak menjadi timbangan bagi
khilaf Ahlu Dhahir.[12]
3). Adapun hadits yang menceritakan bahwa Ali bin Abi Thalib dan Fatimah pernah dinikahkan oleh Allah secara ghaib
adalah hadits yang diada-adakan oleh kaum Bathiniyah sebagaimana telah
dijelaskan di atas. Jadi tidak perlu dikomentari lagi, karena hadits palsu
jangankan untuk diamalkan, untuk diriwayatkan saja haram hukumnya kecuali
diriwayat untuk menjelaskan kepalsuannya.
4). Adapun penyandaran
kaum Salek Buta kepada perkawinan Nabi Adam a.s dan Hawa yang dinikahkan oleh
Allah SWT sendiri tanpa ikut campur makhluq lain, maka apabila ini benar dapat dijawab sebagai
berikut :
a. Telah terjadi
khilaf ulama dalam hal syari’at sebelum Nabi Muhammad SAW (syara’ man qablana) untuk
diikuti oleh umat Islam, umat Nabi Muhammad SAW. Khilafiyah ini merujuk kepada
khilafiyah apakah Nabi Muhammad SAW ber’ubudiyah
sesudah kenabian dengan syari’at sebelumnya (syara’ man qablana) atau tidak. Dalam
hal ini, para ulama terbagi dalam empat pendapat sebagaimana telah disebut oleh
Zarkasyi dalam kitab al-Bahr al-Muhith, yakni pertama tidak mengamalkannya
(berta’abbud), bahkan terlarang mengamalkannya, Kedua mengamalkannya kecuali
yang telah dinasakh oleh syari’at Nabi Muhammad SAW, Ketiga tidak
mengamalkannya, baik perintah maupun larangan, Keempat tawaquf (tidak
berpendapat mengamalkannya atau tidak).[13]
b. Perkawinan Adam
a.s dan Hawa merupakan syari’at sebelum Nabi Muhammad SAW. Karena itu, untuk
pengamalannya apabila merujuk kepada pendapat ulama di atas, maka dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a). Apabila kita
berpegang kepada pendapat pertama dan ketiga, maka sudah jelas bahwa syari’at
Nabi Adam a.s. ini tidak boleh kita ikuti. Karena Nabi Muhammad SAW sendiri
yang menjadi ikutan kita, beliau tidak pernah ber’ubudiyah dengan syari’at
sebelumnya.
b). Apabila kita
berpegang dengan pendapat keempat, maka tentu kebolehan beramal dengan syari’at
Nabi Adam a.s. perlu keterangan yang membolehkan mengamalkannya. Padahal sebagaimana
dimaklumi berdasarkan hadits-hadits di atas, umat Islam wajib melakukan akad nikah
dengan cara tidak sembunyi-sembunyi.
c). Apabila kita
berpegang dengan pendapat ketiga, maka akad nikah model Nabi Adam a.s ini sudah
dinyatakan mansukh oleh syaria’at kita sebagaimana dijelaskan oleh
hadits-hadits Nabi SAW di atas.
c. Alhasil, dapat
disimpulkan bahwa model perkawinan Adam a.s dan Hawa tidak boleh diikuti oleh
umat Islam, umat Nabi Muhammad SAW. Maka jelaslah tersesat kaum Salek Buta yang
menghalakan nikah batin untuk melampiaskan nafsu syahwat mereka.
5). Apabila mereka mengatakan, nikah batin
adalah nikah hakikat yang dapat dilakukan oleh orang-orang yang sudah sampai
maqam hakikat, maka ini kita bantah bahwa hakikat apabila bertentangan syari’at
adalah batil dan zindiq. Berikut keterangan para
ulama Ahlussunnah wal Jama’ah mengenai hubungan syari’at dan hakikat, antara lain :
a. Al-Qurthubi, salah seorang ahli tafsir terkenal dan ulama dari kalangan
Ahlussunah wal Jama’ah, mengatakan :
“Mereka mengatakan hukum syari’at ini yang bersifat umum, hanya
berlaku atas orang-orang bodoh dan ‘awam. Adapun para aulia dan ahli khusus, mereka ini
tidak memerlukan nash-nash itu. Telah datang kutipan perkataan mereka :
“Mintalah fatwa kepada hatimu, meskipun telah difatwa oleh para mufti”. Mereka
berargumentasi untuk ini dengan peristiwa al-Khizhir bahwa al-Khizhir dengan sebab
ilmu-ilmu yang tajalli kepadanya tidak membutuhkan pemahaman-pemahaman yang ada
pada Musa. Perkataan ini adalah zindiq dan kufur, dibunuh yang mengatakannya
dan tidak diminta taubat serta tidak perlu dilakukan soal dan jawab. Karena
darinya lazim ini hukum dan mengitsbat nabi sesudah Nabi Muhammad SAW.” [14]
b. Al-Ghazali, seorang sufi besar dalam sejarah Islam dalam Ihya Ulumuddin
berkata :
“Barangsiapa
yang berkata sesungguhnya hakikat menyalahi syari’at atau bathin bertentangan
dengan dhahir, maka dia lebih dekat kepada kufur dibandingkan kepada iman”.
[15]
c.
Imam
Malik mengatakan :
“Barangsiapa yang bertasauf tanpa berpegang kepada
fiqh, maka dia zindiq, barang siapa yang berpegang kepada fiqh tanpa bertasauf,
maka sungguh dia fasiq dan barangsiapa
yang mengumpulkan keduanya, maka sungguh dia itu tahqiq (mendapatkan sesuatu
yang pasti).”[16]
d.
Syeikh
Nawawi al-Bantany al-Jawi mengatakan :
“Syari’at tanpa hakikat kosong dan hakikat tanpa syari’at batil”[17]
Dari keterangan empat ulama besar di atas, dengan jelas dan terang
benderang dikatakan bahwa anggapan hakikat dan syari’at suatu hal yang
bertentangan merupakan i’tiqad batil dan menyesatkan.
[1] Ibnu Abdurrahman al-Multhi, al-Tanbih wal Rad ‘ala Ahlul Ahwa wal bid’i, Maktabah Madbuli, Kairo, Hal. 118
[3] Al-Suyuthi, al-Lala-i al-Masnu’ah Fi Ahadits al-Maudhu’ah, Darul Ma’rifah,
Beirut, Juz. I, Hal. 396
[4] Al-Suyuthi, al-Lala-i al-Masnu’ah Fi Ahadits al-Maudhu’ah, Darul Ma’rifah,
Beirut, Juz. I, Hal. 398-399
[5] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Usaha Keluarga,
Semarang, Juz II, Hal. 13
[6]. Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulugul Maram,
(Tahqiq Samiir bin Amin al-Zahiry), Hal. 296
[7] Ibnu al-Mulaqqan, Tuhfah al-Muhtaj ‘ala Adallah
al-Minhaj, Darul Hira’, Makkah, Hal. 363-364, No. Hadits : 1427
[8] Ibnu al-Mulaqqin, Badrul Munir, Maktabah
Syamilah, Juz. VII, Hal. 542.
[9]. Lihat Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid,
Usaha keluarga, Semarang, Juz. II, Hal. 6-9
[11] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah,
Darul Fikri, Juz. IV, Hal. 105
[12] Alawi bin Ahmad al-Saqaf , al-Fawaid al-Makkiyah, dicetak
dalam kitab Sab’ah al-Kutub al-Mufidah, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 69
[13] Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith, Wazarah l-Auqaf
wa al-Syu-un al-Islamiyah, Kuwait, Juz.
VI, Hal. 41-44
[14] Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Dar
Alim al-Kutub, Riyadh, Juz. VII, Hal. 39
[15]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I,
Hal.100
[16] Ibnu ‘Ajibah, Iqadh al-Hamam fi Syarh
al-Hikam, al-Haramain, Hal. 6
[17] Nawawi al-Bantany al-Jawi, Muraqi
al-Ubudiyah, Raja Murah, Pekalongan, Hal. 4