11. Nash Imam Syafi’i bahwa Allah di langit
Diantara nash Imam
Syafi’i yang sering digunakan sebagai pendukung pendapat Wahabi Salafi dalam
membenarkan akidahnya adalah kutipan dari kitab ‘Ulu al-Aliy al-Ghafar karya
al-Zahabi diriwayatkan dari jalur Abu Hasan al-Hakkari dengan sanadnya kepada
Abu Tsur dan Abu Syu’aib, keduanya dari Imam Syafi’i, beliau berkata :
القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا عليها اصحاب الحديث الذين
رأيتهم فأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بشهادة ان لااله الا الله وان
محمدا رسول الله وذكر شيئا ثم قال وان الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف
شاء وان الله تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء وذكر سائر الاعتقاد
Perkataan dalam al-Sunnah yang aku dan sahabat-sahabat kami serta ahli
hadits meyakininya, juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya :
“Kami mengakui dengan syahadah bahwa tidak ada yang disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Syafi’i
mengatakan, “Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas
langit-Nya, dimana Allah dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki.
Allah Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau
menyebutkan beberapa i’tiqad lainnya.
Ibnu Qayyim al-Jauzi juga telah mengutip perkataan Imam Syafi’i di atas dalam
kitabnya, Ijtima’ al-Juyus al-Islamiyah dari perkataan Ibnu Abi Hatim al-Razi juga dengan sanad Abu
Syu’aib dan Abu Tsur.
Dalam kitabnya, al-Arasy, al-Zahabi mengutip perkataan ini dari riwayat Abd
al-Ghani al-Maqdisi dan al-Hakaari dengan sanadnya kepada Abu Tsur dan Abu
Syu’aib.
Untuk menelusuri apakah perkataan di atas benar merupakan perkataan Imam
Syafi’i atau penisbatan perkataan ini kepada Imam Syafi’i merupakan pendustaan
kepada beliau, maka berikut ini analisis
terhadap sanad riwayat di atas, yakni sebagai berikut :
1). Abu al-Hasan al-Hakaari
Abu al-Hasan al-Hakaari dengan nama Ali bin Ahmad Abu al-Hasan al-Hakaari ini
adalah orang yang dituduh (tuhmah) sebagai pemalsu hadits. Al-Zahabi sendiri
yang meriwayat perkataan ini dari al-Hakaari mengatakan dalam kitabnya, Mizan
al-I’tidal, berkata Abu al-Qasim ibn ‘Asakir : “al-Hakaari tidak dapat
dipercaya”. Ibn al-Najaar berkata : “Dia dituduh sebagai pemalsu hadits dan
yang mengada-adakan sanad.”
Ibnu Hajar al-Asqalany dalam kitabnya, Lisan al-Mizan juga telah menyebut perihal
al-Hakaari ini sebagaimana kutipan al-Zahabi di atas. Selanjutnya beliau
menambahkan : “Kebanyakan haditsnya ghariib dan mungkar dan dalam haditsnya ada
beberapa yang palsu. Aku telah melihat tulisan sebagian ahli hadits yang
menyebutkan al-Hakaari sering melakukan pemalsuan hadits di Ashfahan.”
2). Abu Syu’aib yang didakwa mendengar perkataan di atas dari Imam Syafi’i
lahir dua tahun setelah Imam Syafi’i wafat. Karena Abu Syu’aib ini lahir pada
tahun 206 H.
Sedangkan Imam Syafi’i sebagaimana dimaklumi wafat pada tahun 204 H. Dengan
demikian, Abu Syu’aib tidak pernah ketemu dengan Imam Syafi’i.
3). Ibnu Abi Hatim al-Razi yang dikutip oleh Ibnu Qayyim al-Jauzi di atas merupakan
anak dari ahli hadits terkenal, Abu Hatim. Ibnu Abi Hatim ini wafat pada tahun
327 H dengan usia beliau ketika itu 80 tahun lebih.
Seandainya maksud 80 tahun lebih ini adalah 89 tahun, maka beliau lahir pada
tahun 238 H. Sedangkan Abu Tsur wafat pada tahun 240 H.
Dengan demikian, pada ketika Abu Tsur wafat, Ibnu Abi Hatim al-Razi masih
berusia 2 tahun. Dengan demikian, dapat dipastikan Ibnu Abi Hatim tidak
menerima riwayat dari Abu Tsur.
4). Abd al-Ghani al-Maqdisi yang wafat pada tahun 541 H ini adalah
penganut aliran mujassimah yang telah dihalalkan darahnya pada masa hidupnya
oleh para fuqaha Mesir.
Berdasarkan keterangan di atas, maka di sini dapat kita dijelaskan sebagai berikut :
a. Perkataan Abu Hasan
al-Hakaari tidak dapat dijadikan pegangan, karena al-Hakaari ini disebut
sebagai pemalsu hadits dan Abu Syu’aib yang didakwa pernah mendengar perkataan
Imam Syafi’i tidak pernah bertemu dengan Imam Syafi’i, karena beliau lahir
setelah dua tahun Imam Syafi’i wafat.
b. Ibnu Abi Hatim tidak
menerima riwayat dari Abu Tsur, karena Ibnu Abi Hatim masih berumur dua tahun
ketika Abu Tsur wafat (Ini seandainya kita maknai umurnya 80 tahun lebih
beermakna 89 tahun)
c. Al-Zahabi tidak menyebut
sanad Abd al-Ghani al-Maqdisi, sehingga sanadnya ini tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Lagi pula Abd al-Ghani al-Maqdisi ini adalah penganut
mujassimah yang pernah dihukum halal darahnya oleh para fuqaha zamannya.
Berdasarkan keterangan di atas, dapat dipastikan bahwa perkataan tersebut
bukanlah peerkataan Imam Syafi’i, akan tetapi hanya riwayat palsu dengan
mengatasnamakan Imam Syafi’i. Upaya orang-orang fanatik mazhab seperti pengikut
mujassimah memalsukan perkataan ulama besar untuk mendukung mazhabnya ini memang sering terjadi. Hal ini juga
terjadi pada Imam Syafi’i. Karena itu, kita bisa memahami kenapa pemalsuan
riwayat dari Imam Syafi’i dapat terjadi juga sebagaimana perkataan yang
dinisbatkan kepada beliau di atas. Al-Zahabi dalam ketika menjelaskan biografi Abu
Thalib al- ‘Asyaari mengatakan : “Dengan mengatasnamakan al-‘Asyaari, mereka
memasukkan sesuatu, maka didatangkannya dengan kesenangan bathin, diantaranya hadits
maudhu’ pada fadhilah malam ‘Asyura dan diantaranya akidah Imam Syafi’i.”