10. Masalah ism (nama) dan musammaa
(yang dinamakan)
Sebagian
pengikut Imam al-Maturidi mengatakan, ism
dan musamma adalah satu. Sedangkan
al-Asy’ari berpendapat bahwa ada perbedaan antara ism, musamma dan tasmiah
(penamaan). Sebagian lain membedakan ism
kepada tiga pembagian, yakni ism
merupakan ‘ain musamma, ism berbeda
dengan ‘ain musamma dan ism bukan ‘ain musamma dan bukan pula lain ‘ain musamma.
Sa’id
Abdul Lathif Fudah menjelaskan kepada kita, tidak diragukan bahwa ism adalah
lafazh yang menunjuki kepada suatu makna yang bukan makna yang ditunjuki oleh
musamma dan sedangkan ism setiap sesuatu adalah yang menunjuki atas sesuatu. Adapun
musamma adalah sesuatu yang dijadikan ism supaya menunjuki atasnya. Berdasarkan
ini, maka apa saja yang terbenar dengan kata-kata ism, maka terbenar pula
atasnya kata-kata musamma. Karena itu, apabila ditinjau dari segi maasadaq-nya
(satuannya), maka sahlah dikatakan, ism dan musamma adalah satu. Adapun apabila
ditinjau dari sisi perbedaan maknanya (mafhum), maka dapat dikatakan bahwa
keduanya berbeda.
Lebih
lanjut, Sa’id Abdul Lathif Fudah menjelaskan bahwa dalam konteks ism Allah
Ta’ala, dapat dikatagori dalam tiga pembagian, yakni :
a. Ism
yang menunjuki kepada diri Zat dari aspek zat itu merupakan zat atau i’tibar.
Contohnya : syai’ dan maujud. Kedua ini menunjuki kepada zat
tanpa ada tinjuan aspek lain. Karena itu, dikatakan, ism ini adalah ‘ain zat
(‘ain musamma)
b. Ism
yang menunjuki kepada Zat dari aspek zat itu bersifat dengan sifat maknawi.
Contohnya : qadirun dan ‘alimun. Kedua ini menunjuki kepada zat
dari aspek zat itu bersifat dengan sifat qudrah atau ilmu yang berdiri pada
zat. (sifat maknawi). Maka ism ini menunjuki kepada musamma dari aspek zat
bersifat dengan ini sifat. Tetapi apabila ditinjau dari aspek ism itu menunjuki
kepada qudrah (misalnya), maka ia termasuk dalam bukan ‘ain musamma dan bukan pula lain musamma.
c.
Ism yang menunjuki kepada Zat dari
aspek zat itu merupakan pelaku suatu perbuatan (fa’il). Contohnya : khaliqun,
raazaq dan mun’im. Keduanya ini
menunjuki kepada zat dari aspek zat itu yang menciptakan, member rezeki atau
yang memberi nikmat. Namun ketiga perbuatan ini adalah baharu. Karena itu,
tidak sah zat yang qadim bersifat dengan tiga sifat ini. Karenanya, pembagian
ini dikatagorikan ism bukan musamma.
Mengomentari penjelasan di atas, Sa’id Abdul Lathif
Fudah menyimpulkan bahwa perbedaan pendapat antara sebagian pengikut
al-Maturidi dan al-Asy’ari di atas merupakan perbedaan yang kembali kepada
perbedaan dalam memahami makna sifat-sifat Allah dan al-asma’ al-husna. Namun perbedaan ini bukanlah perbedaan pokok,
tapi hanya bersifat furu’
11. Laki-laki
syarat seorang nabi
Al-Maturudi mengatakan, seorang nabi haruslah
laki-laki. Karena itu, perempuan tidak boleh menjadi nabi. Sedangkan al-Asy’ari
mengatakan, boleh seorang perempuan menjadi nabi.
Al-Asy’ari sebagaimana dijelaskan di atas berpendapat
boleh seorang perempuan menjadi nabi, bahkan Ibnu Fura’ pernah menaqal pendapat
al-Asy’ari yang mengatakan ada empat orang nabi dari golongan perempuan. Sepakat
antara al-Maturudi dan al-Asy’ari seorang rasul tidak boleh dari seorang
perempuan.
Menurut penjelasan Sa’id Abdul Lathif Fudah,
perbedaan pendapat ini karena berbeda dalam mengartikan mafhum nubuwah. Bagi yang
berpendapat bahwa nubuwah adalah wahyu secara mutlaq, maka perempuan seperti
ibu Nabi Musa, Hajar, Sarah, Hawa dan Asiah adalah nabi. Adapun yang
berpendapat bahwa nubuwah adalah wahyu berkenaan dengan alam nyata dan ghaib
serta hukum-hukum ilahiyah yang tidak diketahui oleh manusia kecuali dengan
perantaran wahyu dari Allah, maka mereka yang tersebut di atas bukanlah seorang
nabi. Dengan demikian, maka khilaf ini bukanlah khilaf hakiki.
12. Masalah
fi’l (perbuatan) dan kasab (usaha)
Al-Maturudi mengatakan perbuatan hamba dinamakan usaha,
bukan khalq (menciptakan). Sedangkan perbuatan Allah dinamakan khalq, bukan
usaha. Adapun fi’l (membuat) mencakup keduanya. Adapun al-Asy’ari berpendapat fi’l
adalah ‘ibarat dari menjadikan sesuatu (iijad)
pada hakikat. Usaha hamba dapat juga disebut dengan fi’l, tetapi secara majaz
(kiasan).
Sepakat kedua imam ini khalq bermakna menjadikan
sesuatu dari tidak ada dan sepakat pula bahwa tidak ada khaaliq kecuali Allah. Karena
itu, mustahil khalq dengan makna ini bersifat pada hamba. Sepakat juga kedua
imam ini bahwa perbuatan hamba dinamakan dengan kasab dan perbuatan Allah
dinamakan dengan khalq. Perbedaan pendapat hanya dalam mengartikan perkataan fi’l.
al-Asy’ari yang mengartikan fi’l sebagai menjadikan sesuatu dari tidak ada,
berpendapat mensifati Allah dengan fa’il (yang membuat) merupakan hakikat
secara bahasa dan apabila disifati fa’il itu kepada hamba, maka merupakan
majaz. Adapun al-Maturidi berpendapat bahwa perkataan fi’l yang dimaknai dengan
khalq dan kasab merupakan hakikat secara bahasa. Dengan demikian, maka
perbedaan ini hanyalah khilaf lafzhi.
====selesai====