ثم أخذت فى بيان متعلق خطاب الوضع من سبب وغيره فقلت ( وَالسَّبَبُ ) الشرعى هنا ( وَصْفٌ ) وجودى أوعدمى ( ظَاهِرٌ مُنْضَبِطٌ مُعَرِّفٌ لِلْحُكْمِ ) الشرعى لامؤثر فيه بذاته أو بإذن الله أوباعث عليه كما قال بكل قائل كما سيأتى بيانها فى معنى العلة وهذا التعريف مبين لمفهوم السبب وبه عرف المصنف فى شرح المختصركالآمدى وعرفه فى الأصل بما يبين خاصته ولذلك عدلت عنه الى الأول والمعبر عنه هنا بالسبب هو المعبر عنه فى القياس بالعلة كالزنا لوجوب الجلد والزوال لوجوب الظهر والإسكار لحرمة الخمر ومن قال لا يسمى الوقت السببى كالزوال علة نظر الى اشتراط المناسبة فى العلة وسيأتى انها لايشترط فيها بناء على انها المعرف وهو الحق وخرج بمعرف الحكم المانع وسيأتى
Kemudian aku masuk dalam menjelaskan objek ta’alluq khitab wazh’i berupa sebab dan lainnya, maka aku katakan : (Sebab) syar’i di sini adalah sifat, baik yang bersifat wujud ataupun yang bersifat ‘adami/tidak ada (yang zhahir,(1) terukur (2) dan dapat memperkenalkan hukum) syar’i, bukan berarti sifat itu memberi bekas kepada hukum dengan zatnya atau dengan izin Allah ataupun sifat itu yang memotifasi munculnya hukum,(3) sebagaimana dikatakan demikian itu oleh yang mengatakannya sebagaimana penjelasannya nanti pada makna ‘illat. Devinisi ini menjelaskan pengertian sebab. Dengannya, pengarang mendevinisikannya dalam Syarah Mukhtashar sebagaimana halnya al-Amady. Pengarang mendevinisikan sebab dalam Asal dengan sifat yang menjelaskan kekhususannya, karena itu, aku beralih darinya kepada devinisi pertama. Makna yang ‘ibarat di sini dengan sebab merupakan yang ‘ibarat dengan ‘illat dalam bab qiyas,(4) seperti zina merupakan sebab kewajiban cambuk, tergelincir matahari merupakan sebab wajib dhuhur dan memabukkan merupakan sebab keharaman khamar.(5) Orang-orang yang berpendapat bahwa waktu yang bersifat sebagai sebab seperti tergelincir matahari tidak dinamakan sebagai ‘illat, mereka meninjau kepada disyaratkan munasabah pada ‘illat. Nanti akan datang penjelasannya bahwa tidak disyaratkan munasabah pada ‘illat, karena didasarkan bahwa ‘illat itu adalah yang memperkenalkan hukum. Pendapat ini merupakan pendapat yang benar. Dengan perkataan “mu’arrif al-hukm” keluarlah al-mani’. Nanti akan datang penjelasannya.
Penjelasannya
(1).Karena itu, sifat yang tersembunyi tidak dapat dijadikan sebagai sebab, seperti ‘uluq (segumpal darah sebagai bakal bayi) dinisbahkan kepada ‘iddah. ‘Uluq seorang wanita bukan suatu yang dhahir, karena mengetahui ada ‘uluq seorang wanita tidak dapat diketahui secara mudah oleh semua orang. Oleh karena itu, yang menjadi sebab ‘iddah adalah haruslah sesuatu yang dhahir, yaitu jatuh thalaq.1 Dengan demikian, kapan ada thalaq, waktu itu ada ‘iddah, meskipun tidak ada ‘uluq.
(2).Maksudnya, sifat tersebut wujud pada setiap kasus, seperti perjalanan dengan jarak empat burud (perjalanan panjang) merupakan sebab qashar shalat. Kesukaran tidak dapat menjadi sebab qashar shalat, karena kesukaran kadang-kadang wujud pada satu kasus, tetapi tidak wujud dalam kasus yang lain,2 seperti perjalanan panjang dengan menggunakan pesawat terbang
(3).Pendapat mengenai devinisi sebab ini muncul empat pendapat, yaitu :
a.Jumhur Ahlussunnah wal Jama’ah, mengatakan sebab itu adalah suatu sifat yang memperkenalkan hukum atau dengan kata lain, sebab merupakan tanda yang dapat dikenal hukum dengan sebabnya.
b.Mu’tazilah, mengatakan sebab adalah suatu sifat yang dapat memberi ta’tsir bi zatihi (memberi bekas dengan zatnya sendiri) kepada hukum
c.Al-Ghazali, mengatakan sebab adalah suatu sifat yang dapat memberi ta’tsir kepada hukum dengan izin Allah Ta’ala
d.Al-Amady, mengatakan sebab adalah suatu sifat yang memotifasi munculnya suatu ketetapan hukum 3
(4).Al-Banany mengatakan, Alhasil apa saja yang terbenar sebab atasnya, maka terbenar ‘illat atasnya.4
(5).Yang pertama merupakan contoh sebab dalam bentuk perbuatan untuk hukum wajib dan yang kedua adalah contoh sebab dalam bentuk bukan perbuatan juga untuk hukum wajib. Sedangkan yang ketiga adalah contoh sebab untuk hukum haram.5
DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Banani, Hasyiah al-Banani ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 96
2.Al-Banani, Hasyiah al-Banani ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 96
3.Al-Banani, Hasyiah al-Banani ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 94-95
4.Al-Banani, Hasyiah al-Banani ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 95
5.Al-Banani, Hasyiah al-Banani ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 95
Minggu, 31 Juli 2011
Ghayatul Wushul (terjemahan & penjelasannya), hukum mandub, Hal. 12-13
)وَوَجَبَ ) إتمامه ( فِى النُّسُكِ ) من حج أوعمرة ( لأِنَّهُ
كَفَرْضِهِ نِيَّةً ) فإنها فى كل منهما قصد الدخول فى النسك أى التلبس به (
وَغَيْرَهَا ) ككفارة فإنها تجب فى كل منهما بالوطء المفسد له وكانتفاء الخروج
بالفساد فإن كلا منهما لايحصل الخروج منه بفساده بل يجب المضى فى فاسده وغير النسك
ليس نفله كفرضه فيما ذكر فالنية فى نفل الصلاة والصوم غيرهما فى فرضهما والكفارة
فى فرض الصوم دون نفله ودون الصلاة مطلقا وبفسادهما يحصل الخروج منهما مطلقا ففارق
النسك المندوب غيره من باقى المندوب فى وجوب إتمامه وتعبيرى بالنسك اعم من تعبيره
بالحج
(Dan wajib) menyempurnakan mandub (pada ibadah) berupa haji dan umrah,(1) (karena mandubnya sama dengan fardhunya pada niat.)(2) Niat pada haji dan umrah, baik yang wajib atau sunat adalah qashad memasuki dalam al-nusuk, yakni bersifat dengannya (dan pada lainnya) seperti kifarat, sesungguhnya kifarat tersebut wajib pada haji dan umrah, baik yang wajib atau sunat dengan sebab bersetubuh yang dapat memfasidkannya. Dan juga seperti tidak dibenarkan keluar dengan sebab fasid al-nusuk, karena itu haji dan umrah, baik yang wajib atau sunat tidak berhasil keluar dengan semata-mata fasidnya, bahkan wajib berlalu dalam fasidnya. Sedangkan selain al-nusuk, maka sunatnya tidak sama dengan fardhunya dalam perkara-perkara yang telah disebutkan. Maka niat pada pada shalat dan puasa sunat berbeda dengan fardhu keduanya. Dan kifarat hanya ada pada puasa fardhu, tidak ada pada puasa sunat dan tidak ada pada shalat secara mutlaq. Dan dengan semata-mata sebab fasid shalat dan puasa, maka berhasil keluar dari keduanya secara mutlaq. Oleh karena itu, al-nusuk yang mandub berbeda dengan mandub lainnya dalam perkara kewajiban menyempurnakannya. ’Ibarat saya dengan lafazh ”al-nusuk” lebih umum dari ’ibarat Asal dengan lafazh ”haji”.
Penjelasan
(1).Haji adalah ibadah dengan kaifiat tertentu yang dilakukan dengan qashad ka’bah. Sedangkan umrah adalah ibadah yang kaifiatnya seperti haji, kecuali pada umrah tidak ada wuquf di Arafah.1
(2).Ini adalah qiyas syibhun, yakni mandub haji dan umrah boleh jadi dikembalikan hukumnya kepada dua asal, yaitu fardhu haji dan umrah atau mandub bukan haji dan umrah. Maka dikembalikan kepada yang banyak kesamaannya, yaitu fardhu haji dan umrah. 2
DAFTAR PUSTAKA
1.Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri, al-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 308
2.Al-Banani, Hasyiah al-Banani ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 94
Ghayatul Wushul (terjemahan & penjelasannya), hukum mandub, Hal. 12
( وَ ) الأصح ( أَنَّهُ ) أى المندوب ( لاَيَجِبُ ) بالشروع فيه ( إِتْمَامُهُ ) لأن المندوب يجوز تركه وترك إتمامه المبطل لما فعل منه ترك له وقالت الحنفية يجب إتمامه لقوله تعالى " ولا تبطلوا أعمالكم " حتى يجب بترك الصلاة والصوم منه إعادتهما وعورض فى الصوم بخبر " الصائم المتطوع أمير نفسه ان شاء صام وان شاء أفطر " رواه الترمذى وغيره وصحح الحاكم إسناده ويقاس بالصوم الصلاة فلا تشملهما الآية جمعا بين الأدلة
(Dan) pendapat yang lebih shahih (sesungguhnya) yaitu mandub (tidak wajib menyempurnakannya), dengan sebab masuk dalamnya, karena mandub boleh ditinggalkannya, sedangkan meninggalkan penyempurnaannya yang dapat membatalkan apa yang yang telah dilakukan termasuk katagori meninggalkannya. Golongan Hanafiyah berpendapat wajib menyempurnakannya, karena firman Allah : “Dan jangan kamu batalkan amalan kamu”(1) sehingga dengan sebab meninggalkan shalat dan puasa, wajib mengulangi keduanya. Dan dikritik pendapat terakhir ini khusus mengenai puasa dengan khabar, “Orang yang berpuasa sunnat memerintah hatinya, jika menginginkan, maka berpuasa dan jika meninginginkan, maka berbuka”. Hadits riwayat Turmidzi dan lainnya.(2) Hakim telah mentashhih sanadnya. Diqiyas shalat kepada puasa. Jadi, ayat tersebut tidak mencakup puasa dan shalat karena penyesuaian antara dalil-dalil itu.
Penjelasannya
1. Q.S. Muhammad :33
2. Dalam Kitab Sunan al-Turmidzi, hadits ini berbunyi :
الصائم المتطوع أمين نفسه ان شاء صام وان شاء أفطر
Artinya : Orang yang berpuasa sunnat mempercayai hatinya, jika menginginkan, maka berpuasa dan jika meninginginkan, maka berbuka”(H.R. Turmidzi).1
DAFTAR PUSTAKA
1.Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 118, No. Hadits : 728
(Dan) pendapat yang lebih shahih (sesungguhnya) yaitu mandub (tidak wajib menyempurnakannya), dengan sebab masuk dalamnya, karena mandub boleh ditinggalkannya, sedangkan meninggalkan penyempurnaannya yang dapat membatalkan apa yang yang telah dilakukan termasuk katagori meninggalkannya. Golongan Hanafiyah berpendapat wajib menyempurnakannya, karena firman Allah : “Dan jangan kamu batalkan amalan kamu”(1) sehingga dengan sebab meninggalkan shalat dan puasa, wajib mengulangi keduanya. Dan dikritik pendapat terakhir ini khusus mengenai puasa dengan khabar, “Orang yang berpuasa sunnat memerintah hatinya, jika menginginkan, maka berpuasa dan jika meninginginkan, maka berbuka”. Hadits riwayat Turmidzi dan lainnya.(2) Hakim telah mentashhih sanadnya. Diqiyas shalat kepada puasa. Jadi, ayat tersebut tidak mencakup puasa dan shalat karena penyesuaian antara dalil-dalil itu.
Penjelasannya
1. Q.S. Muhammad :33
2. Dalam Kitab Sunan al-Turmidzi, hadits ini berbunyi :
الصائم المتطوع أمين نفسه ان شاء صام وان شاء أفطر
Artinya : Orang yang berpuasa sunnat mempercayai hatinya, jika menginginkan, maka berpuasa dan jika meninginginkan, maka berbuka”(H.R. Turmidzi).1
DAFTAR PUSTAKA
1.Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 118, No. Hadits : 728
Ghayatul Wushul (terjemahan & penjelasannya), Pengertian hukum-hukum Islam, Hal. 11-12
( كَالْمَنْدُوْبِ ) أى كما ان الأصح ترادف ألفاظ المندوب ( وَالْمُسْتَحَبِّ وَالتَّطَوُّعِ وَالسُّنَّةِ ) والحسن والنفل والمرغب فيه أى مسماها واحد وهوكما علم من حد الندب الفعل غير الكف المطلوب طلبا غير جازم ونفى القاضى حسين وغيره ترادفهما فقالوا هذا الفعل ان واظب عليه النبى صلى الله عليه وسلم فهو السنة والا كأن فعله مرة أومرتين فهو المستحب أولم يفعله وهو ما ينشئه الإنسان باختياره من الأوراد فهو التطوع ولم يتعرضوا للبقية لعمومها للأقسام الثلاثة ( وَالْخُلُفُ ) فى المسئلتين ( لَفْظِيٌّ ) أى عائد الى اللفظ والتسمية اذ حاصله فى الثانية ان كلا من الأقسام الثلاثة كما يسمى باسم من الأسماء الثلاثة كما ذكر هل يسمى بغيره منها فقال القاضى وغيره لا اذ السنة الطريقة والعادة والمستحب المحبوب والتطوع الزيادة والأكثر نعم ويصدق على كل من الأقسام انه طريقة وعادة فى الدين ومحبوب للشارع وزائد على الواجب وفى الأولى ان ماثبت بقطعى كما يسمى فرضا هل يسمى واجبا وماثبت بظنى كما يسمى واجبا هل يسمى فرضا فعند الحنفية لا أخذا للفرض من فرض الشئ حزه أى قطع بعضه وللواجب من وجب الشئ وجبة سقط وماثبت بظنى ساقط من قسم المعلوم وعندنا نعم أخذا من فرض الشئ قدّره ووجب الشئ وجوبا ثبت وكل من المقدر والثابت أعم من ان يثبت بقطعى أوظنى ومأخذنا أكثر استعمالا مع أنهم نقضوا أصلهم فى أشياء منها جعلهم مسح ربع الرأس والقعدة فى آخر الصلاة والوضوء من الفصد فرضا مع أنها لم تثبت بدليل قطعى وما مر من ان ترك الفاتحة من الصلاة لا يفسدها عندهم أى دوننا لا يضر فى ان الخلف لفظى لأنه حكم فقهى لادخل له فى التسمية
(Demikian juga halnya lafazh mandub) artinya, demikian juga halnya menurut pendapat yang lebih shahih taraduf lafazh mandub, (mustahab, tathawu’, sunnah), al-hasan, al-nafl dan murghab fihi, yaitu maknanya adalah satu, yaitu sebagaimana dimaklumi dari devinisi nadab adalah perbuatan yang bukan meninggalkan yang dituntut sebagai tuntutan yang tidak mesti. Qadhi Husain dan lainnya menafikan taraduf lafazh-lafazh tersebut, mereka mengatakan, perbuatan ini jika sering dilakukan oleh Nabi SAW, maka adalah sunnah. Jika tidak sering, seperti dilakukannya satu kali atau dua kali, maka adalah mustahab atau Nabi SAW tidak melakukannya, yaitu wirid-wirid yang dilakukan oleh manusia dengan ikhtiyarnya sendiri maka adalah tathawu’. Mereka tidak mendatangkan sisanya, karena mencakupnya dalam pembagian yang tiga.(1) (Khilaf) pada dua masalah tersebut (adalah lafzhi), artinya kembali kepada lafazh dan penamaan. Karena kesimpulannya pada masalah kedua, sesungguhnya semuanya dari pembagian yang tiga sebagaimana dinamakan dengan tiga nama sebagaimana disebutkan, maka apakah dinamakan dengan lainnya dari yang tiga tersebut ?. Berkata Qadhi dan lainnya : “Tidak”. Karena sunnah adalah jalan dan kebiasaan, mustahab adalah perbuatan yang disukai dan tathawu’ adalah tambahan. Kebanyakan ulama mengatakan : “Ya”. Karena terbenar atas setiap pembagian merupakan jalan dan kebiasaan dalam agama, disukai oleh syara’ dan tambahan atas wajib. Pada masalah pertama, sesungguhnya hukum yang ditetapkan dengan dalil qath’i sebagaimana dinamakan dengan fardhu, apakah dinamakan dengan wajib? dan hukum yang ditetapkan dengan dalil dhanni sebagaimana dinamakan dengan wajid, apakah dinamakan dengan fardhu?. Menurut Hanafiah : “tidak”, karena pengambilan perkataan fardhu dari : “Faradha al-syai-a hazzahu” artinya dia memotong sebagian sesuatu dan pengambilan perkataan wajib dari : “wajaba al-syai-u wajbatan” bermakna gugur. Hukum yang ditetapkan dengan dalil dhanni gugur dari pembagian yang diketahui dengan yakin. Menurut kita : “ya”, karena pengambilannya dari : “Faradha al-syai-a” dengan makna mengqadarkan sesuatu dan “wajaba sl-syai-u wujuban”dengan makna penetapan. Sedangkan masing-masing dari yang qadarkan dan yang ditetapkan lebih umum maknannya dari yang ditetapkan dengan dalil qath’i atau dalil dhanni, lagi pula tempat pengambilan kita lebih banyak pemakaiannya. Disamping itu, mereka menggugurkan ushul mereka dalam beberapa hal. Diantaranya, mereka menjadikan menyapu seperempat kepala, duduk pada akhir shalat dan wudhu’ karena berbekam sebagai fardhu, padahal itu tidak ditetapkan dengan dalil qath’i. Hal-hal yang telah lalu yaitu meninggalkan fatihah dalam shalat tidak memfasidkan shalat menurut mereka, yaitu bukan menurut kita, hal itu tidak memudharatkan bahwa khilaf adalah lafzhi, karena hal itu adalah hukum fiqh, tidak masuk dalam penamaan.
Penjelasannya
(1). Yang dimaksud dengan sisanya di sini adalah nama-nama lain selain sunnah, mustahab dan tathawu’, yaitu mandub, al-hasan, al-nafl dan murghab fihi. Nama-nama ini terakhir ini masuk dalam katagori yang tiga , yaitu sunnah, mustahab dan tathawu’
(Demikian juga halnya lafazh mandub) artinya, demikian juga halnya menurut pendapat yang lebih shahih taraduf lafazh mandub, (mustahab, tathawu’, sunnah), al-hasan, al-nafl dan murghab fihi, yaitu maknanya adalah satu, yaitu sebagaimana dimaklumi dari devinisi nadab adalah perbuatan yang bukan meninggalkan yang dituntut sebagai tuntutan yang tidak mesti. Qadhi Husain dan lainnya menafikan taraduf lafazh-lafazh tersebut, mereka mengatakan, perbuatan ini jika sering dilakukan oleh Nabi SAW, maka adalah sunnah. Jika tidak sering, seperti dilakukannya satu kali atau dua kali, maka adalah mustahab atau Nabi SAW tidak melakukannya, yaitu wirid-wirid yang dilakukan oleh manusia dengan ikhtiyarnya sendiri maka adalah tathawu’. Mereka tidak mendatangkan sisanya, karena mencakupnya dalam pembagian yang tiga.(1) (Khilaf) pada dua masalah tersebut (adalah lafzhi), artinya kembali kepada lafazh dan penamaan. Karena kesimpulannya pada masalah kedua, sesungguhnya semuanya dari pembagian yang tiga sebagaimana dinamakan dengan tiga nama sebagaimana disebutkan, maka apakah dinamakan dengan lainnya dari yang tiga tersebut ?. Berkata Qadhi dan lainnya : “Tidak”. Karena sunnah adalah jalan dan kebiasaan, mustahab adalah perbuatan yang disukai dan tathawu’ adalah tambahan. Kebanyakan ulama mengatakan : “Ya”. Karena terbenar atas setiap pembagian merupakan jalan dan kebiasaan dalam agama, disukai oleh syara’ dan tambahan atas wajib. Pada masalah pertama, sesungguhnya hukum yang ditetapkan dengan dalil qath’i sebagaimana dinamakan dengan fardhu, apakah dinamakan dengan wajib? dan hukum yang ditetapkan dengan dalil dhanni sebagaimana dinamakan dengan wajid, apakah dinamakan dengan fardhu?. Menurut Hanafiah : “tidak”, karena pengambilan perkataan fardhu dari : “Faradha al-syai-a hazzahu” artinya dia memotong sebagian sesuatu dan pengambilan perkataan wajib dari : “wajaba al-syai-u wajbatan” bermakna gugur. Hukum yang ditetapkan dengan dalil dhanni gugur dari pembagian yang diketahui dengan yakin. Menurut kita : “ya”, karena pengambilannya dari : “Faradha al-syai-a” dengan makna mengqadarkan sesuatu dan “wajaba sl-syai-u wujuban”dengan makna penetapan. Sedangkan masing-masing dari yang qadarkan dan yang ditetapkan lebih umum maknannya dari yang ditetapkan dengan dalil qath’i atau dalil dhanni, lagi pula tempat pengambilan kita lebih banyak pemakaiannya. Disamping itu, mereka menggugurkan ushul mereka dalam beberapa hal. Diantaranya, mereka menjadikan menyapu seperempat kepala, duduk pada akhir shalat dan wudhu’ karena berbekam sebagai fardhu, padahal itu tidak ditetapkan dengan dalil qath’i. Hal-hal yang telah lalu yaitu meninggalkan fatihah dalam shalat tidak memfasidkan shalat menurut mereka, yaitu bukan menurut kita, hal itu tidak memudharatkan bahwa khilaf adalah lafzhi, karena hal itu adalah hukum fiqh, tidak masuk dalam penamaan.
Penjelasannya
(1). Yang dimaksud dengan sisanya di sini adalah nama-nama lain selain sunnah, mustahab dan tathawu’, yaitu mandub, al-hasan, al-nafl dan murghab fihi. Nama-nama ini terakhir ini masuk dalam katagori yang tiga , yaitu sunnah, mustahab dan tathawu’
Ghayatul Wushul (terjemahan & penjelasannya), Pengertian hukum-hukum Islam, Hal. 11
( وَالأَصَحُّ تَرَادُفُ ) لفظى ( الْفَرْضِ وَالْوَاجِبِ ) أى مسماهما واحد وهو كما علم من حد الإيجاب الفعل غير الكف المطلوب طلبا جازما ولاينافى هذا ما ذكره ائمتنا من الفرق بينهما فى مسائل كما قالوا فيمن قال الطلاق واجب علىّ تطلق أوفرض علىّ لاتطلق اذ ذاك ليس للفرق بين حقيقتيهما بل لجريان العرف بذلك أولاصطلاح آخر كما بينته مع زيادة تحقيق فى الحاشية ونفت الحنفية ترادفهما فقالوا هذا الفعل ان ثبت بدليل قطعى كالقرآن فهو الفرض كقراءة القرآن فى الصلاة الثابتة بقوله تعالى" فاقرؤا ما تيسر من القرآن " أو بدليل ظنى كخبر الواحد فهو الواجب كقراءة الفاتحة فى الصلاة الثابتة بخبر الصحيحين "لاصلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب" فيأثم بتركها ولا تفسد به صلاته بخلاف ترك القراءة
(Menurut pendapat yang lebih shahih taraduf (1)) kedua lafazh, (fardhu dan wajib) artinya makna keduanya adalah satu. Ia sebagaimana dimaklumi dari devinsi ijaab, adalah perbuatan yang bukan meninggalkan yang dituntut sebagai tuntutan yang mesti. Ini tidak menafikan apa yang telah disebut oleh imam-imam kita, yakni perbedaan diantara keduanya dalam beberapa masalah sebagaimana yang mereka katakan pada orang yang mengatakan : “Thalaq wajib atasku” bahwa itu terthalaq atau yang mengatakan : “Thalaq itu fardhu atasku” bahwa itu tidak terthalaq. Karena yang demikian itu bukan perbedaan diantara hakikat keduanya, tetapi karena berlaku ‘uruf (2) demikian atau karena istilah lain(3) sebagaimana telah saya jelaskan dengan tambahan tahqiq dalam al-Hasyiah. Kalangan Hanafiah menafikan taraduf keduanya. Mereka mengatakan, perbuatan ini jika ditetapkan dengan dalil qath’i seperti al-Qur’an, maka adalah fardhu, misalnya membaca al-Qur’an dalam shalat yang ditetapkan dengan firman Allah Ta’ala “Maka bacalah apa yang mudah dari al-Qur’an”(4) dan jika ditetapkan dengan dalil dhanni seperti seperti hadits ahad, maka adalah wajib, misalnya membaca Fatihah dalam shalat yang ditetapkan dengan hadits shahihain “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihah Kitab”.(5) Maka seseorang menjadi berdosa dengan sebab meninggalkan Fatihah, tetapi tidak memfasidkan shalat, berbeda dengan meninggalkan bacaan ayat.(6)
Penjelasannya
(1)Taraduf adalah lafazh yang lebih dari satu, tetapi hanya mempunyai satu makna 1 Dalam Bahasa Indonesia disebut sinonim.
(2)Menurut ‘uruf, makna wajib pada perkataan “Thalaq wajib atasku” akibat hukumnya jatuh thalaq dan makna fardhu pada perkataan “Thalaq itu fardhu atasku” akibat hukumnya tidak jatuh thalaq. Sedangkan yang dimaksud dalam pembahasan ushul fiqh adalah ‘uruf khas.2
(3)Dalam contoh di atas, yaitu masalah thalaq berlaku istilah khusus yang berbeda denga istilah yang berlaku di sini, dalam ushul fiqh. Dalam bab haji, wajib adalah kewajiban apabila ditinggalkan harus diganti dengan dam dan rukun adalah sebaliknya. Sedangkan fardhu mencakup keduanya.3
(4). Q.S. al-Muzammil : 20
(5). Lihat Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. I, Hal 151-152, No. Hadits : 756
(6).Meninggalkan membaca ayat dalam shalat menurut Hanafiah dapat membatalkan shalat.
DAFTAR PUSTAKA
1.Ahmad al-Malwy, Syarah al-Sulam, dicetak pada hamisy Hasyiah al-Shabban, al-Haramain, Singapura, Hal. 75.
2.Lihat Syarbaini, Taqrir al-Syarbaini, dicetak pada hamisy Hasyiah al-Banany ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 88
3.Al-Jauhari, Hasyiah al-Jauhari ‘ala Ghayatul Wushul, dicetak dalam Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 11
(Menurut pendapat yang lebih shahih taraduf (1)) kedua lafazh, (fardhu dan wajib) artinya makna keduanya adalah satu. Ia sebagaimana dimaklumi dari devinsi ijaab, adalah perbuatan yang bukan meninggalkan yang dituntut sebagai tuntutan yang mesti. Ini tidak menafikan apa yang telah disebut oleh imam-imam kita, yakni perbedaan diantara keduanya dalam beberapa masalah sebagaimana yang mereka katakan pada orang yang mengatakan : “Thalaq wajib atasku” bahwa itu terthalaq atau yang mengatakan : “Thalaq itu fardhu atasku” bahwa itu tidak terthalaq. Karena yang demikian itu bukan perbedaan diantara hakikat keduanya, tetapi karena berlaku ‘uruf (2) demikian atau karena istilah lain(3) sebagaimana telah saya jelaskan dengan tambahan tahqiq dalam al-Hasyiah. Kalangan Hanafiah menafikan taraduf keduanya. Mereka mengatakan, perbuatan ini jika ditetapkan dengan dalil qath’i seperti al-Qur’an, maka adalah fardhu, misalnya membaca al-Qur’an dalam shalat yang ditetapkan dengan firman Allah Ta’ala “Maka bacalah apa yang mudah dari al-Qur’an”(4) dan jika ditetapkan dengan dalil dhanni seperti seperti hadits ahad, maka adalah wajib, misalnya membaca Fatihah dalam shalat yang ditetapkan dengan hadits shahihain “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihah Kitab”.(5) Maka seseorang menjadi berdosa dengan sebab meninggalkan Fatihah, tetapi tidak memfasidkan shalat, berbeda dengan meninggalkan bacaan ayat.(6)
Penjelasannya
(1)Taraduf adalah lafazh yang lebih dari satu, tetapi hanya mempunyai satu makna 1 Dalam Bahasa Indonesia disebut sinonim.
(2)Menurut ‘uruf, makna wajib pada perkataan “Thalaq wajib atasku” akibat hukumnya jatuh thalaq dan makna fardhu pada perkataan “Thalaq itu fardhu atasku” akibat hukumnya tidak jatuh thalaq. Sedangkan yang dimaksud dalam pembahasan ushul fiqh adalah ‘uruf khas.2
(3)Dalam contoh di atas, yaitu masalah thalaq berlaku istilah khusus yang berbeda denga istilah yang berlaku di sini, dalam ushul fiqh. Dalam bab haji, wajib adalah kewajiban apabila ditinggalkan harus diganti dengan dam dan rukun adalah sebaliknya. Sedangkan fardhu mencakup keduanya.3
(4). Q.S. al-Muzammil : 20
(5). Lihat Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. I, Hal 151-152, No. Hadits : 756
(6).Meninggalkan membaca ayat dalam shalat menurut Hanafiah dapat membatalkan shalat.
DAFTAR PUSTAKA
1.Ahmad al-Malwy, Syarah al-Sulam, dicetak pada hamisy Hasyiah al-Shabban, al-Haramain, Singapura, Hal. 75.
2.Lihat Syarbaini, Taqrir al-Syarbaini, dicetak pada hamisy Hasyiah al-Banany ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 88
3.Al-Jauhari, Hasyiah al-Jauhari ‘ala Ghayatul Wushul, dicetak dalam Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 11
Sabtu, 30 Juli 2011
KEUTAMAAN SEGERA BERBUKA PUASA
Pengantar :
Berikut merupakan terjemahan dari Kitab Riyadhusshalihin, karya Imam al-Nawawi, bab
Keutamaan Segera Berbuka Puasa
KEUTAMAAN SEGERA BERBUKA PUASA
1. Dari Sahl bin Sa’ad ra. bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda : “Manusia selalu dalam kebaikan, selama mereka segera berbuka .”(HR.Bukhari dan Muslim)
2. Dari Abu Athiyyah ra., ia berkata : “Saya bersama Masruq datang kepada ‘Aisyah ra. kemudian Masruq berkata kepadanya : “Ada dua sahabat Nabi Muhammad saw. Yang masing-masing ingin mengejar kebaikan, di mana salah seorang dari keduanya itu segera mengerjakan salat Maghrib dan berbuka, sedangkan yang lain berbuka dulu kemudian salat Maghrib.” Aisyah bertanya : “Siapakah yang segera mengerjakan salat Maghrib dan berbuka ?”Masruq menjawab : “ Abdullah bin Mas’ud.” Kemudian Aisyah berkata : “Demikianlah yang diperbuat oleh Rasulullah saw.”(HR.Muslim)
3. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : “Allah Azza wa Jalla berfirman : “Hamba-hamba-Ku yang paling Aku sukai adalah yang paling cepat kalau berbuka puasa .”(HR.Turmudzi)
4. Dari Umar bin Khaththab ra., ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : “Apabila waktu malam telah datang dari sini, dan waktu siang telah berlalu dari sini, serta matahari telah terbenam maka orang yang berpuasa boleh berbuka.”(HR.Bukhari dan Muslim)
5. Dari Abu Ibrahim Abdullah bin Auf ra., ia berkata : “Kami pergi bersama-sama dengan Rasulullah saw. Sedangkan beliau sedang berpuasa. Ketika matahari terbenam beliau bersabda kepada salah seorang di antara para sahabat : “Wahai Fulan, turunlah dan buatkan makanan untuk kami.” Ia menjawab : “Wahai Rasulullah, nanti sore saja .” Beliau bersabda lagi : “Turunlah dan buatkan makanan untuk kami .” Ia berkata : “Sesungguhnya hari masih siang.” Beliau bersabda lagi : “Turunlah dan buatkan makanan untuk kami .”Abu Ibrahim berkata : “Kemudian si Fulan turun dan membuatkan makanan untuk para sahabat. Rasulullah saw. minum lantas bersabda : “Apabila kamu sekalian mengetahui bahwa waktu malam telah datang dari sini, maka orang yang berpuasa boleh berbuka.” Beliau menunjuk ke arah timur.”(HR.Bukhari dan Muslim)
6. Dari Salman bin Amr Adl Dlabiy Ash Shahabiy ra. dari Nabi saw., beliau bersabda : “Apabila salah seorang di antara kalian berbuka puasa maka berbukalah dengan kurma, apabila tidak ada kurma hendaknya berbuka dengan air, karena sesungguhnya air itu dapat membersihkan.”(HR.Abu Dawud dan Turmudzi)
7. Dari Anas ra., ia berkata :Rasulullah saw. selalu berbuka dengan beberapa biji kurma yang baru masak sebelum salat. Apabila tidak ada biji kurma yang kering, maka beliau meneguk air beberapa teguk .”(HR.Abu Dawud dan Turmudzi)
Berikut merupakan terjemahan dari Kitab Riyadhusshalihin, karya Imam al-Nawawi, bab
Keutamaan Segera Berbuka Puasa
KEUTAMAAN SEGERA BERBUKA PUASA
1. Dari Sahl bin Sa’ad ra. bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda : “Manusia selalu dalam kebaikan, selama mereka segera berbuka .”(HR.Bukhari dan Muslim)
2. Dari Abu Athiyyah ra., ia berkata : “Saya bersama Masruq datang kepada ‘Aisyah ra. kemudian Masruq berkata kepadanya : “Ada dua sahabat Nabi Muhammad saw. Yang masing-masing ingin mengejar kebaikan, di mana salah seorang dari keduanya itu segera mengerjakan salat Maghrib dan berbuka, sedangkan yang lain berbuka dulu kemudian salat Maghrib.” Aisyah bertanya : “Siapakah yang segera mengerjakan salat Maghrib dan berbuka ?”Masruq menjawab : “ Abdullah bin Mas’ud.” Kemudian Aisyah berkata : “Demikianlah yang diperbuat oleh Rasulullah saw.”(HR.Muslim)
3. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : “Allah Azza wa Jalla berfirman : “Hamba-hamba-Ku yang paling Aku sukai adalah yang paling cepat kalau berbuka puasa .”(HR.Turmudzi)
4. Dari Umar bin Khaththab ra., ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : “Apabila waktu malam telah datang dari sini, dan waktu siang telah berlalu dari sini, serta matahari telah terbenam maka orang yang berpuasa boleh berbuka.”(HR.Bukhari dan Muslim)
5. Dari Abu Ibrahim Abdullah bin Auf ra., ia berkata : “Kami pergi bersama-sama dengan Rasulullah saw. Sedangkan beliau sedang berpuasa. Ketika matahari terbenam beliau bersabda kepada salah seorang di antara para sahabat : “Wahai Fulan, turunlah dan buatkan makanan untuk kami.” Ia menjawab : “Wahai Rasulullah, nanti sore saja .” Beliau bersabda lagi : “Turunlah dan buatkan makanan untuk kami .” Ia berkata : “Sesungguhnya hari masih siang.” Beliau bersabda lagi : “Turunlah dan buatkan makanan untuk kami .”Abu Ibrahim berkata : “Kemudian si Fulan turun dan membuatkan makanan untuk para sahabat. Rasulullah saw. minum lantas bersabda : “Apabila kamu sekalian mengetahui bahwa waktu malam telah datang dari sini, maka orang yang berpuasa boleh berbuka.” Beliau menunjuk ke arah timur.”(HR.Bukhari dan Muslim)
6. Dari Salman bin Amr Adl Dlabiy Ash Shahabiy ra. dari Nabi saw., beliau bersabda : “Apabila salah seorang di antara kalian berbuka puasa maka berbukalah dengan kurma, apabila tidak ada kurma hendaknya berbuka dengan air, karena sesungguhnya air itu dapat membersihkan.”(HR.Abu Dawud dan Turmudzi)
7. Dari Anas ra., ia berkata :Rasulullah saw. selalu berbuka dengan beberapa biji kurma yang baru masak sebelum salat. Apabila tidak ada biji kurma yang kering, maka beliau meneguk air beberapa teguk .”(HR.Abu Dawud dan Turmudzi)
KEUTAMAAN MEMBERI BUKA (MAKAN) ORANG BERPUASA DAN I'TIKAF
Pengantar :
Berikut merupakan terjemahan dari Kitab Riyadhusshalihin, karya Imam al-Nawawi, bab
Keutamaan Memberi Buka (Makan) Orang Berpuasa dan bab I’tikaf
KEUTAMAAN MEMBERI BUKA (MAKAN) ORANG
BERPUASA
1. Dari Yazid bin Khalid Al Juhanniy ra. dari Nabi saw. Beliau bersabda : “Barangsiapa memberi buka (makan) orang yang berpuasa, maka ia memperoleh pahala seperti pahala orang yang berpuasa tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang berpuasa itu.”(H.R Turmudzi)
2. Dari Ummu Umarah Al Anshariy ra. bahwasanya Nabi saw. datang ke rumah Ummu Umarah dan menghidangkan makanan kepada beliau, kemudian beliau bersabda : “Makanlah wahai Ummu Ummarah. “Ia menjawab: “Saya sedang berpuasa.” Rasulullah saw. bersabda : “Sesungguhnya orang yang berpuasa itu selalu didoakan oleh malaikat jika ada orang makan di tempatnya sampai selesai makan.” Atau beliau bersabda : “Sampai orang yang makan itu merasa kenyang.”(H.R Turmudzi)
3. Dari Anas ra. bahwasanya Nabi saw. datang ke tempat Sa’ad bin Ubadah ra. kemudian ia menghidangkan roti dan mentega, maka beliau pun memakannya serta bersabda : “Telah berbuka di tempatmu orang-orang yang berpuasa, dan memakan makananmu orang-orang yang baik serta malaikat mendoakan kamu.”(H.R Abu Dawud)
I’TIKAF
1. Dari Ibnu Umar ra. ia berkata : Rasulullah saw. Selalu ber’itikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.”(H.R Bukhari dan Muslim)
2. Dari ‘Aisyah ra. bahwasanya Rasulullah saw. selalu beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sehingga beliau dipanggil oleh Allah Ta’ala (wafat). Setelah beliau wafat, isteri-isterinya meneruskan kebiasaan i’tikaf yang selalu dikerjakan oleh beliau.”(H.R Bukhari dan Muslim)
3. Dari Abu Hurairah ra. ia berkata : “Nabi saw. Biasanya beri’tikaf pada sepuluh hari setiap bulan Ramadhan. Kemudian pada tahun dimana beliau wafat, beliau beri’tikaf dua puluh hari.”(H.R Bukhari)
Berikut merupakan terjemahan dari Kitab Riyadhusshalihin, karya Imam al-Nawawi, bab
Keutamaan Memberi Buka (Makan) Orang Berpuasa dan bab I’tikaf
KEUTAMAAN MEMBERI BUKA (MAKAN) ORANG
BERPUASA
1. Dari Yazid bin Khalid Al Juhanniy ra. dari Nabi saw. Beliau bersabda : “Barangsiapa memberi buka (makan) orang yang berpuasa, maka ia memperoleh pahala seperti pahala orang yang berpuasa tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang berpuasa itu.”(H.R Turmudzi)
2. Dari Ummu Umarah Al Anshariy ra. bahwasanya Nabi saw. datang ke rumah Ummu Umarah dan menghidangkan makanan kepada beliau, kemudian beliau bersabda : “Makanlah wahai Ummu Ummarah. “Ia menjawab: “Saya sedang berpuasa.” Rasulullah saw. bersabda : “Sesungguhnya orang yang berpuasa itu selalu didoakan oleh malaikat jika ada orang makan di tempatnya sampai selesai makan.” Atau beliau bersabda : “Sampai orang yang makan itu merasa kenyang.”(H.R Turmudzi)
3. Dari Anas ra. bahwasanya Nabi saw. datang ke tempat Sa’ad bin Ubadah ra. kemudian ia menghidangkan roti dan mentega, maka beliau pun memakannya serta bersabda : “Telah berbuka di tempatmu orang-orang yang berpuasa, dan memakan makananmu orang-orang yang baik serta malaikat mendoakan kamu.”(H.R Abu Dawud)
I’TIKAF
1. Dari Ibnu Umar ra. ia berkata : Rasulullah saw. Selalu ber’itikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.”(H.R Bukhari dan Muslim)
2. Dari ‘Aisyah ra. bahwasanya Rasulullah saw. selalu beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sehingga beliau dipanggil oleh Allah Ta’ala (wafat). Setelah beliau wafat, isteri-isterinya meneruskan kebiasaan i’tikaf yang selalu dikerjakan oleh beliau.”(H.R Bukhari dan Muslim)
3. Dari Abu Hurairah ra. ia berkata : “Nabi saw. Biasanya beri’tikaf pada sepuluh hari setiap bulan Ramadhan. Kemudian pada tahun dimana beliau wafat, beliau beri’tikaf dua puluh hari.”(H.R Bukhari)
ORANG BERPUASA HARUS MENJAGA LIDAH DAN ANGGOTA BADANNYA
Pengantar :
Berikut merupakan terjemahan dari Kitab Riyadhusshalihin, karya Imam al-Nawawi, bab Orang Berpuasa Harus Menjaga Lidah dan Anggota Badannya
ORANG BERPUASA HARUS MENJAGA LIDAH
DAN ANGGOTA BADANNYA
1. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : “Apabila salah seorang di antara kalian berpuasa, maka janganlah berkata kotor dan gaduh. Jika ada seseorang memakinya atau memusuhinya, hendaklah ia (orang yang berpuasa) mengucapkan : “Sesungguhnya saya sedang berpuasa .”(HR.Bukhari dan Muslim)
2. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Nabi saw. bersabda : “Barangsiapa tidak mau meninggalkan omongan bohong dan memperbuatnya, maka tidak ada kebutuhan bagi Allah dalam diri orang yang berpuasa meninggalkan makanan dan minumannya .”(HR.Bukhari)
Berikut merupakan terjemahan dari Kitab Riyadhusshalihin, karya Imam al-Nawawi, bab Orang Berpuasa Harus Menjaga Lidah dan Anggota Badannya
ORANG BERPUASA HARUS MENJAGA LIDAH
DAN ANGGOTA BADANNYA
1. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : “Apabila salah seorang di antara kalian berpuasa, maka janganlah berkata kotor dan gaduh. Jika ada seseorang memakinya atau memusuhinya, hendaklah ia (orang yang berpuasa) mengucapkan : “Sesungguhnya saya sedang berpuasa .”(HR.Bukhari dan Muslim)
2. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Nabi saw. bersabda : “Barangsiapa tidak mau meninggalkan omongan bohong dan memperbuatnya, maka tidak ada kebutuhan bagi Allah dalam diri orang yang berpuasa meninggalkan makanan dan minumannya .”(HR.Bukhari)
KEUTAMAAN SEGERA BERBUKA PUASA
Pengantar :
Berikut merupakan terjemahan dari Kitab Riyadhusshalihin, karya Imam al-Nawawi, bab Keutamaan Segera Berbuka Puasa
KEUTAMAAN SEGERA BERBUKA PUASA
1. Dari Sahl bin Sa’ad ra. bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda : “Manusia selalu dalam kebaikan, selama mereka segera berbuka .”(HR.Bukhari dan Muslim)
2. Dari Abu Athiyyah ra., ia berkata : “Saya bersama Masruq datang kepada ‘Aisyah ra. kemudian Masruq berkata kepadanya : “Ada dua sahabat Nabi Muhammad saw. Yang masing-masing ingin mengejar kebaikan, di mana salah seorang dari keduanya itu segera mengerjakan salat Maghrib dan berbuka, sedangkan yang lain berbuka dulu kemudian salat Maghrib.” Aisyah bertanya : “Siapakah yang segera mengerjakan salat Maghrib dan berbuka ?”Masruq menjawab : “ Abdullah bin Mas’ud.” Kemudian Aisyah berkata : “Demikianlah yang diperbuat oleh Rasulullah saw.”(HR.Muslim)
3. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : “Allah Azza wa Jalla berfirman : “Hamba-hamba-Ku yang paling Aku sukai adalah yang paling cepat kalau berbuka puasa .”(HR.Turmudzi)
4. Dari Umar bin Khaththab ra., ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : “Apabila waktu malam telah datang dari sini, dan waktu siang telah berlalu dari sini, serta matahari telah terbenam maka orang yang berpuasa boleh berbuka.”(HR.Bukhari dan Muslim)
5. Dari Abu Ibrahim Abdullah bin Auf ra., ia berkata : “Kami pergi bersama-sama dengan Rasulullah saw. Sedangkan beliau sedang berpuasa. Ketika matahari terbenam beliau bersabda kepada salah seorang di antara para sahabat : “Wahai Fulan, turunlah dan buatkan makanan untuk kami.” Ia menjawab : “Wahai Rasulullah, nanti sore saja .” Beliau bersabda lagi : “Turunlah dan buatkan makanan untuk kami .” Ia berkata : “Sesungguhnya hari masih siang.” Beliau bersabda lagi : “Turunlah dan buatkan makanan untuk kami .”Abu Ibrahim berkata : “Kemudian si Fulan turun dan membuatkan makanan untuk para sahabat. Rasulullah saw. minum lantas bersabda : “Apabila kamu sekalian mengetahui bahwa waktu malam telah datang dari sini, maka orang yang berpuasa boleh berbuka.” Beliau menunjuk ke arah timur.”(HR.Bukhari dan Muslim)
6. Dari Salman bin Amr Adl Dlabiy Ash Shahabiy ra. dari Nabi saw., beliau bersabda : “Apabila salah seorang di antara kalian berbuka puasa maka berbukalah dengan kurma, apabila tidak ada kurma hendaknya berbuka dengan air, karena sesungguhnya air itu dapat membersihkan.”(HR.Abu Dawud dan Turmudzi)
7. Dari Anas ra., ia berkata :Rasulullah saw. selalu berbuka dengan beberapa biji kurma yang baru masak sebelum salat. Apabila tidak ada biji kurma yang kering, maka beliau meneguk air beberapa teguk .”(HR.Abu Dawud dan Turmudzi)
Berikut merupakan terjemahan dari Kitab Riyadhusshalihin, karya Imam al-Nawawi, bab Keutamaan Segera Berbuka Puasa
KEUTAMAAN SEGERA BERBUKA PUASA
1. Dari Sahl bin Sa’ad ra. bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda : “Manusia selalu dalam kebaikan, selama mereka segera berbuka .”(HR.Bukhari dan Muslim)
2. Dari Abu Athiyyah ra., ia berkata : “Saya bersama Masruq datang kepada ‘Aisyah ra. kemudian Masruq berkata kepadanya : “Ada dua sahabat Nabi Muhammad saw. Yang masing-masing ingin mengejar kebaikan, di mana salah seorang dari keduanya itu segera mengerjakan salat Maghrib dan berbuka, sedangkan yang lain berbuka dulu kemudian salat Maghrib.” Aisyah bertanya : “Siapakah yang segera mengerjakan salat Maghrib dan berbuka ?”Masruq menjawab : “ Abdullah bin Mas’ud.” Kemudian Aisyah berkata : “Demikianlah yang diperbuat oleh Rasulullah saw.”(HR.Muslim)
3. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : “Allah Azza wa Jalla berfirman : “Hamba-hamba-Ku yang paling Aku sukai adalah yang paling cepat kalau berbuka puasa .”(HR.Turmudzi)
4. Dari Umar bin Khaththab ra., ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : “Apabila waktu malam telah datang dari sini, dan waktu siang telah berlalu dari sini, serta matahari telah terbenam maka orang yang berpuasa boleh berbuka.”(HR.Bukhari dan Muslim)
5. Dari Abu Ibrahim Abdullah bin Auf ra., ia berkata : “Kami pergi bersama-sama dengan Rasulullah saw. Sedangkan beliau sedang berpuasa. Ketika matahari terbenam beliau bersabda kepada salah seorang di antara para sahabat : “Wahai Fulan, turunlah dan buatkan makanan untuk kami.” Ia menjawab : “Wahai Rasulullah, nanti sore saja .” Beliau bersabda lagi : “Turunlah dan buatkan makanan untuk kami .” Ia berkata : “Sesungguhnya hari masih siang.” Beliau bersabda lagi : “Turunlah dan buatkan makanan untuk kami .”Abu Ibrahim berkata : “Kemudian si Fulan turun dan membuatkan makanan untuk para sahabat. Rasulullah saw. minum lantas bersabda : “Apabila kamu sekalian mengetahui bahwa waktu malam telah datang dari sini, maka orang yang berpuasa boleh berbuka.” Beliau menunjuk ke arah timur.”(HR.Bukhari dan Muslim)
6. Dari Salman bin Amr Adl Dlabiy Ash Shahabiy ra. dari Nabi saw., beliau bersabda : “Apabila salah seorang di antara kalian berbuka puasa maka berbukalah dengan kurma, apabila tidak ada kurma hendaknya berbuka dengan air, karena sesungguhnya air itu dapat membersihkan.”(HR.Abu Dawud dan Turmudzi)
7. Dari Anas ra., ia berkata :Rasulullah saw. selalu berbuka dengan beberapa biji kurma yang baru masak sebelum salat. Apabila tidak ada biji kurma yang kering, maka beliau meneguk air beberapa teguk .”(HR.Abu Dawud dan Turmudzi)
KEWAJIBAN DAN KEUTAMAAN PUASA BULAN RAMADHAN
Pengantar :
Berikut merupakan terjemahan dari Kitab Riyadhusshalihin, karya Imam al-Nawawi, bab Kewajiban dan Keutamaan Puasa Bulan Ramadhan dan Memperbanyak Amal Kebaikan Pada Sepuluh Malam Terakhir Ramadhan
KEWAJIBAN DAN KEUTAMAAN PUASA BULAN
RAMADHAN
1. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : “Allah Azza wa Jalla berfirman : “Setiap anak Adam (manusia) itu membawa manfaat bagi dirinya sendiri kecuali puasa, karena puasa adalah untuk-Ku dan Aku sendirilah yang akan membalasnya. Puasa itu adalah perisai. Apabila ada hari puasa salah seorang di antara kalian, maka janganlah ia berkata kotor dan gaduh. Jika seseorang memakinya atau memusuhinya, hendaklah ia mengatakan : “Sesungguhnya aku sedang berpuasa.” Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada dalam genggaman-Nya, bau mulut orang yang sedang
berpuasa bagi Allah lebih harum daripada bau minyak Kasturi. Orang yang berpuasa mengalami dua kegembiraan, yaitu : kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika bertemu Tuhannya karena besarnya pahala puasa.”(HR.Bukhari dan Muslim)
Dan di dalam riwayat Bukhari dikatakan : “Ia meninggalkan makan,minum, dan kesenangan syahwatnya demi Aku. Puasa adalah untuk-Ku, dan Aku sendirilah yang akan membalasnya. Kebaikan itu dibalas dengan sepuluh kali lipat.
Dan di dalam riwayat Muslim dikatakan : “Setiap amal anak Adam (manusia) itu dilipatkan (pahalanya), satu kebaikan dengan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus lipat. Allah Ta’ala berfirman : “Kecuali puasa, karena puasa adalah untuk-Ku, dan Aku sendirilah yang akan membalasnya. Orang yang berpuasa itu meninggalkan nafsunya dan makannya demi Aku. Orang yang berpuasa itu mengalami dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya. Dan sesungguhnya, bau mulut orang yang berpuasa lebih harum menurut Allah daripada bau minyak Kasturi.”
2. Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda : “Barangsiapa bersedekah sepasang di jalan Allah, maka ia akan dipanggil dari pintu-pintu surga : “Hai hamba Allah, inilah yang lebih baik.” Barangsiapa yang termasuk golongan orang-orang yang mengerjakan salat, maka ia akan dipanggil dari pintu salat. Barangsiapa yang termasuk golongan orangorang yang melakukan pintu jihad, maka ia akan dipanggil dari pintu jihad. Dan barangsiapa yang termasuk golongan orang-orang yang mengerjakan puasa, maka ia akan dipanggil dari pintu Ar Rayyan (pintu kesegaran). Dan barangsiapa yang termasuk golongan orang-orang yang suka bersedekah, maka ia akan dipanggil dari pintu sedekah. Abu Bakar ra. berkata : “Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, bukankah ada orang yang dipanggil pintu-pintu itu karena darurat ? Maka apakah ada seseorang yang dipanggil dari semua pintu itu ?” Beliau menjawab : “Ya,ada, aku mengharapkan semoga kamu termasuk dari golongan mereka itu.”(HR.Bukhari dan Muslim)
3. Dari Sahal bin Sa’ad ra. dari Nabi saw., beliau bersabda : “Sesungguhnya di dalam surga ada pintu yang bernama ArRayyan (pintu kesegaran), dimana nanti pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa akan masuk lewat pintu itu dan tidak seorang pun yang dapat masuk lewat pintu itu selain mereka, di mana penjaga pintu mengucapkan : “Mana orangorang yang berpuasa ?” Kemudian mereka pun berdiri, tidak ada seorang pun selain mereka yang boleh masuk lewat pintu itu. Apabila mereka telah masuk pintu surga, maka ditutuplah pintu itu. Maka dari itu tidak ada seorang pun yang dapat masuk lewat pintu itu selain mereka yang ahli berpuasa .”(HR.Bukhari dan Muslim)
4. Dari Abu Sa’id Al Khudriy ra., ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : “Tidaklah seorang hamba yang mengerjakan puasa karena Allah, melainkan Allah menjauhkan dirinya dari neraka sejauh perjalanan tujuh puluh tahun karena puasanya yang sehari itu .”(HR.Bukhari dan Muslim)
5. Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw., beliau bersabda : “Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala kepada Allah, maka diampuni dosanya yang telah lampau.”(HR.Bukhari dan Muslim)
6. Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda : “Apabila bulan Ramadhan datang, maka dibukalah pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka serta dibelenggulah setan-setan .”(HR.Bukhari dan Muslim)
7. Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda : “Berpuasalah kalian karena melihat hilal (bulan) dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika hilal itu samara atas kalian, maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari .”(HR.Bukhari dan Muslim)
Dan di dalam riwayat Muslim dikatakan : “Apabila hilal tertutup atas kalian, maka berpuasalah tiga puluh hari .”
MEMPERBANYAK AMAL KEBAIKAN
PADA SEPULUH MALAM TERAKHIR RAMADHAN
1. Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata : “Rasulullah saw. adalah orang yang paling pemurah, lebih-lebih pada bulan Ramadhan di mana beliau selalu ditemui Jibril, dan setiap malam di bulan Ramadhan, Jibril datang untuk membacakan Al-Qur’an. Jika Rasulullah saw. bertemu Jibril, maka beliau lebih pemurah daripada angin yang bertiup .”(HR.Bukhari dan Muslim)
2. Dari ‘Aisyah ra., ia berkata : “Apabila sudah masuk sepuluh hari yang terakhir (dari bulan Ramadhan), maka Rasulullah saw. selalu menghidup-hidupkan malam (dengan beribadah) dan membangunkan keluarganya serta mengikatkan sarungnya (tidak menggauli istrinya).”(HR.Bukhari dan Muslim)
Berikut merupakan terjemahan dari Kitab Riyadhusshalihin, karya Imam al-Nawawi, bab Kewajiban dan Keutamaan Puasa Bulan Ramadhan dan Memperbanyak Amal Kebaikan Pada Sepuluh Malam Terakhir Ramadhan
KEWAJIBAN DAN KEUTAMAAN PUASA BULAN
RAMADHAN
1. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : “Allah Azza wa Jalla berfirman : “Setiap anak Adam (manusia) itu membawa manfaat bagi dirinya sendiri kecuali puasa, karena puasa adalah untuk-Ku dan Aku sendirilah yang akan membalasnya. Puasa itu adalah perisai. Apabila ada hari puasa salah seorang di antara kalian, maka janganlah ia berkata kotor dan gaduh. Jika seseorang memakinya atau memusuhinya, hendaklah ia mengatakan : “Sesungguhnya aku sedang berpuasa.” Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada dalam genggaman-Nya, bau mulut orang yang sedang
berpuasa bagi Allah lebih harum daripada bau minyak Kasturi. Orang yang berpuasa mengalami dua kegembiraan, yaitu : kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika bertemu Tuhannya karena besarnya pahala puasa.”(HR.Bukhari dan Muslim)
Dan di dalam riwayat Bukhari dikatakan : “Ia meninggalkan makan,minum, dan kesenangan syahwatnya demi Aku. Puasa adalah untuk-Ku, dan Aku sendirilah yang akan membalasnya. Kebaikan itu dibalas dengan sepuluh kali lipat.
Dan di dalam riwayat Muslim dikatakan : “Setiap amal anak Adam (manusia) itu dilipatkan (pahalanya), satu kebaikan dengan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus lipat. Allah Ta’ala berfirman : “Kecuali puasa, karena puasa adalah untuk-Ku, dan Aku sendirilah yang akan membalasnya. Orang yang berpuasa itu meninggalkan nafsunya dan makannya demi Aku. Orang yang berpuasa itu mengalami dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya. Dan sesungguhnya, bau mulut orang yang berpuasa lebih harum menurut Allah daripada bau minyak Kasturi.”
2. Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda : “Barangsiapa bersedekah sepasang di jalan Allah, maka ia akan dipanggil dari pintu-pintu surga : “Hai hamba Allah, inilah yang lebih baik.” Barangsiapa yang termasuk golongan orang-orang yang mengerjakan salat, maka ia akan dipanggil dari pintu salat. Barangsiapa yang termasuk golongan orangorang yang melakukan pintu jihad, maka ia akan dipanggil dari pintu jihad. Dan barangsiapa yang termasuk golongan orang-orang yang mengerjakan puasa, maka ia akan dipanggil dari pintu Ar Rayyan (pintu kesegaran). Dan barangsiapa yang termasuk golongan orang-orang yang suka bersedekah, maka ia akan dipanggil dari pintu sedekah. Abu Bakar ra. berkata : “Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, bukankah ada orang yang dipanggil pintu-pintu itu karena darurat ? Maka apakah ada seseorang yang dipanggil dari semua pintu itu ?” Beliau menjawab : “Ya,ada, aku mengharapkan semoga kamu termasuk dari golongan mereka itu.”(HR.Bukhari dan Muslim)
3. Dari Sahal bin Sa’ad ra. dari Nabi saw., beliau bersabda : “Sesungguhnya di dalam surga ada pintu yang bernama ArRayyan (pintu kesegaran), dimana nanti pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa akan masuk lewat pintu itu dan tidak seorang pun yang dapat masuk lewat pintu itu selain mereka, di mana penjaga pintu mengucapkan : “Mana orangorang yang berpuasa ?” Kemudian mereka pun berdiri, tidak ada seorang pun selain mereka yang boleh masuk lewat pintu itu. Apabila mereka telah masuk pintu surga, maka ditutuplah pintu itu. Maka dari itu tidak ada seorang pun yang dapat masuk lewat pintu itu selain mereka yang ahli berpuasa .”(HR.Bukhari dan Muslim)
4. Dari Abu Sa’id Al Khudriy ra., ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : “Tidaklah seorang hamba yang mengerjakan puasa karena Allah, melainkan Allah menjauhkan dirinya dari neraka sejauh perjalanan tujuh puluh tahun karena puasanya yang sehari itu .”(HR.Bukhari dan Muslim)
5. Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw., beliau bersabda : “Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala kepada Allah, maka diampuni dosanya yang telah lampau.”(HR.Bukhari dan Muslim)
6. Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda : “Apabila bulan Ramadhan datang, maka dibukalah pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka serta dibelenggulah setan-setan .”(HR.Bukhari dan Muslim)
7. Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda : “Berpuasalah kalian karena melihat hilal (bulan) dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika hilal itu samara atas kalian, maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari .”(HR.Bukhari dan Muslim)
Dan di dalam riwayat Muslim dikatakan : “Apabila hilal tertutup atas kalian, maka berpuasalah tiga puluh hari .”
MEMPERBANYAK AMAL KEBAIKAN
PADA SEPULUH MALAM TERAKHIR RAMADHAN
1. Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata : “Rasulullah saw. adalah orang yang paling pemurah, lebih-lebih pada bulan Ramadhan di mana beliau selalu ditemui Jibril, dan setiap malam di bulan Ramadhan, Jibril datang untuk membacakan Al-Qur’an. Jika Rasulullah saw. bertemu Jibril, maka beliau lebih pemurah daripada angin yang bertiup .”(HR.Bukhari dan Muslim)
2. Dari ‘Aisyah ra., ia berkata : “Apabila sudah masuk sepuluh hari yang terakhir (dari bulan Ramadhan), maka Rasulullah saw. selalu menghidup-hidupkan malam (dengan beribadah) dan membangunkan keluarganya serta mengikatkan sarungnya (tidak menggauli istrinya).”(HR.Bukhari dan Muslim)
Jumat, 29 Juli 2011
Menyimpan patung di dalam rumah sebagai hiasan
Menyimpan patung dalam rumah, hukumnya adalah haram. Dalilnya antara lain :
1. Menyimpan patung dalam rumah merupakan perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliah. Sedangkan menyerupai perbuatan jahiliah adalah terlarang sebagaimana firman Allah :
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
Artinya : Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu. (Q.S. Al Ahzab : 33).
2. Sabda Nabi SAW :
إِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَا تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ الصُّورَةُ
Artinya : Sesungguhnya para malaikat tidak akan masuk dalam sebuah rumah yang di dalamnya ada patung (H.R. Bukhari)1
3. Sabda Nabi SAW :
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الدَّمِ وَثَمَنِ الْكَلْبِ وَكَسْبِ الْبَغِيِّ وَلَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ وَالْمُصَوِّرَ
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW melarang dari harga darah, harga anjing dan usaha pelacuran dan melaknat pemakan riba, wakilnya, pembuat tato, yang memintanya dan pembuat patung (H.R.Bukhari)2
4. Sabda Nabi SAW :
مَنْ صَوَّرَ صُورَةً فِي الدُّنْيَا كُلِّفَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنْ يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ وَلَيْسَ بِنَافِخٍ
Artinya : Barangsiapa yang membuat patung di dunia, maka pada hari kiamat, diperintahkan kepadanya meniup ruh pada patung itu, padahal dia tidak mampu meniupnya. (H.R. Bukhari)3
5. Sabda Nabi SAW
.أن لا تدع تمثالا إلا طمسته ولا قبرا مشرفا إلا سويته
Artinya : Janganlah engkau tinggalkan patung kecuali engkau telah membuatnya menjadi tidak berbentuk, dan jangan pula meninggalkan kuburan yang menjulang tinggi kecuali engkau meratakannya )H.R. Muslim) 4
Menurut Imam Nawawi, hadits di atas menunjukkan adanya perintah merobah patung hewan yang bernyawa”.5 Maksudnya perintah merobah patung dari bentuknya kepada bentuk yang tidak sebut lagi sebagai patung. Dengan demikian, dipahami dari makna hadits ini, bahwa gambar makhluk hidup yang tidak timbul, hanya dalam bentuk tulisan dan goresan tidak termasuk dalam katagori yang diharamkan. Pemahaman seperti ini lebih tegas lagi dapat dipahami dari hadits dari Abu Hurairah yang tersebut dalam sunan-sunan hadits, yaitu hadits telah ditashihkan oleh Turmidzi dan Ibnu Hibban, yakni sabda Rasulullah SAW :
أتاني جبريل فقال: أتيتك البارحة فلم يمنعني أن أكون دخلت إلا أنه كان على الباب تماثيل، وكان في البيت قرام ستر فيه تماثيل، وكان في البيت كلب، فمر برأس التمثال الذي على باب البيت يقطع فيصير كهيئة الشجرة، ومر بالستر فليقطع فليجعل منه وسادتان منبوذتان توطآن، ومر بالكلب فليخرج، ففعل رسول الله صلى الله عليه وسلم
Artinya : Jibril pernah mendatangiku sambil berkata : “Aku mendatangimu semalam. Tidak ada yang menghalangiku masuk kecuali ada patung di pintu rumah dan di dalam rumah terdapat kain tirai yang ada patung dan juga ada anjing di dalamnya, maka suruhlah untuk menghilangkan kepala patung yang ada di rumah itu sehingga menjadi seperti bentuk pohon dan suruhlah potong tirai itu dengan dijadikan menjadi dua bantal yang dijadikan sandaran serta suruh keluarkan anjing tersebut. Kemudian Rasulullah SAW melakukan semuanya itu 6
Berdasarkan dua hadits terakhir ini dan sesuai pula menurut pemahaman Imam al-Nawawi di atas, maka keharaman membuat atau menyimpan patung tersebut tidaklah mencakup patung-patung yang sudah dirobah sehingga tidak berbentuk lagi sebagai layaknya sebuah patung. Demikian juga halnya gambar, lukisan makhluk hidup yang hanya dalam bentuk tulisan dan goresan-goresan. Dengan demikian, maka ia tidak termasuk dalam katagori yang diharamkan.
DAFTAR PUSTAKA
1.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 168, No. Hadits : 5958
2.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 169, No. Hadits : 5962
3.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 169, No. Hadits : 5963
4.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 666, No. Hadits : 969
5.An-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya at-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz VII,Hal. 36
6.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barri, Maktabah Syamilah, Juz.10, Hal.392
1. Menyimpan patung dalam rumah merupakan perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliah. Sedangkan menyerupai perbuatan jahiliah adalah terlarang sebagaimana firman Allah :
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
Artinya : Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu. (Q.S. Al Ahzab : 33).
2. Sabda Nabi SAW :
إِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَا تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ الصُّورَةُ
Artinya : Sesungguhnya para malaikat tidak akan masuk dalam sebuah rumah yang di dalamnya ada patung (H.R. Bukhari)1
3. Sabda Nabi SAW :
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الدَّمِ وَثَمَنِ الْكَلْبِ وَكَسْبِ الْبَغِيِّ وَلَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ وَالْمُصَوِّرَ
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW melarang dari harga darah, harga anjing dan usaha pelacuran dan melaknat pemakan riba, wakilnya, pembuat tato, yang memintanya dan pembuat patung (H.R.Bukhari)2
4. Sabda Nabi SAW :
مَنْ صَوَّرَ صُورَةً فِي الدُّنْيَا كُلِّفَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنْ يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ وَلَيْسَ بِنَافِخٍ
Artinya : Barangsiapa yang membuat patung di dunia, maka pada hari kiamat, diperintahkan kepadanya meniup ruh pada patung itu, padahal dia tidak mampu meniupnya. (H.R. Bukhari)3
5. Sabda Nabi SAW
.أن لا تدع تمثالا إلا طمسته ولا قبرا مشرفا إلا سويته
Artinya : Janganlah engkau tinggalkan patung kecuali engkau telah membuatnya menjadi tidak berbentuk, dan jangan pula meninggalkan kuburan yang menjulang tinggi kecuali engkau meratakannya )H.R. Muslim) 4
Menurut Imam Nawawi, hadits di atas menunjukkan adanya perintah merobah patung hewan yang bernyawa”.5 Maksudnya perintah merobah patung dari bentuknya kepada bentuk yang tidak sebut lagi sebagai patung. Dengan demikian, dipahami dari makna hadits ini, bahwa gambar makhluk hidup yang tidak timbul, hanya dalam bentuk tulisan dan goresan tidak termasuk dalam katagori yang diharamkan. Pemahaman seperti ini lebih tegas lagi dapat dipahami dari hadits dari Abu Hurairah yang tersebut dalam sunan-sunan hadits, yaitu hadits telah ditashihkan oleh Turmidzi dan Ibnu Hibban, yakni sabda Rasulullah SAW :
أتاني جبريل فقال: أتيتك البارحة فلم يمنعني أن أكون دخلت إلا أنه كان على الباب تماثيل، وكان في البيت قرام ستر فيه تماثيل، وكان في البيت كلب، فمر برأس التمثال الذي على باب البيت يقطع فيصير كهيئة الشجرة، ومر بالستر فليقطع فليجعل منه وسادتان منبوذتان توطآن، ومر بالكلب فليخرج، ففعل رسول الله صلى الله عليه وسلم
Artinya : Jibril pernah mendatangiku sambil berkata : “Aku mendatangimu semalam. Tidak ada yang menghalangiku masuk kecuali ada patung di pintu rumah dan di dalam rumah terdapat kain tirai yang ada patung dan juga ada anjing di dalamnya, maka suruhlah untuk menghilangkan kepala patung yang ada di rumah itu sehingga menjadi seperti bentuk pohon dan suruhlah potong tirai itu dengan dijadikan menjadi dua bantal yang dijadikan sandaran serta suruh keluarkan anjing tersebut. Kemudian Rasulullah SAW melakukan semuanya itu 6
Berdasarkan dua hadits terakhir ini dan sesuai pula menurut pemahaman Imam al-Nawawi di atas, maka keharaman membuat atau menyimpan patung tersebut tidaklah mencakup patung-patung yang sudah dirobah sehingga tidak berbentuk lagi sebagai layaknya sebuah patung. Demikian juga halnya gambar, lukisan makhluk hidup yang hanya dalam bentuk tulisan dan goresan-goresan. Dengan demikian, maka ia tidak termasuk dalam katagori yang diharamkan.
DAFTAR PUSTAKA
1.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 168, No. Hadits : 5958
2.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 169, No. Hadits : 5962
3.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 169, No. Hadits : 5963
4.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 666, No. Hadits : 969
5.An-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya at-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz VII,Hal. 36
6.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barri, Maktabah Syamilah, Juz.10, Hal.392
Kamis, 28 Juli 2011
Hadiah pahala untuk orang yang sudah meninggal
Sudah menjadi kebiasaan umat Islam di Indonesia dan Aceh khususnya, apabila ada orang meninggal, maka dilakukan tahlilan atau samadiyah. Tahlilan adalah membaca kalimat la ilaha illallah dan Surat al-Ikhlas. Kadang-kadang juga diiringi dengan membaca Surat Yasin dan ayat-ayat lain. Pembacaan ini dimaksudkan untuk dihadiahkan pahalanya kepada orang yang sudah meninggal. Lalu apakah tindakan menghadiahkan pahala kepada orang yang sudah meninggal ada dasarnya dalam hukum Islam dan sampaikah pahala tersebut kepada orang yang sudah meninggal ?
Ada beberapa macam amalan yang sering dilakukan yang bermanfaat kepada mayat, antara lain :
1.Shadaqah dan do’a.
Telah terjadi ijmak ulama bermanfaat kedua amalan ini kepada mayat. Berikut keterangan ulama mengenai ini, antara lain :
1). Dalam al-Fatawa al-Nawawi disebutkan :
“Sampai kepada mayat pahala do’a dan shadaqah dengan ijmak ulama.”1
2). Berkata Zainuddin al-Malibary :
“Shadaqah dan do’a bermanfa’at bagi mayat, baik dilakukan oleh ahli waris atau lainnya karena ijmak Ulama”.2
Dalil doa bermanfat bagi mayat antara lain firman Allah Ta’ala :
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ
Artinya : Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami (Q.S.Al-Hasyr: 10)
Dalil shadaqah bermanfa’at bagi mayat antara lain hadist yang berbunyi :
أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه و سلم فقال يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها ؟ قال نعم
Artinya :Seorang laki-laki mendatangi Nabi SAW dengan berkata : “Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku membiarkan dirinya tidak melakukan wasiat, menurut dugaanku, kalau dia berkata, maka pasti bersadaqah, maka apakah ia mendapat pahala kalau aku bersadaqah untuknya. Rasulullah menjawab :”ya”. (H.R. Muslim)3
2.Ibadah haji dengan ijmak ulama 4, sesuai dengan sabda Rasululullah SAW :
ان إمرأة من جهينة جائت الى نبي صلعم فقالت ان أمي نذرت ان تحج ولم تحج حتى ماتت أفأحج عنها قال حجي عنها أريت لو كان على أمك دين أقاضيتها أقضوا الله فالله أحق بالوفاء
ِArtinya : Sesungguhnva wanita dari Juhainah datang kepada Nabi SAW dan berkata, "sesungguhnya ibuku pernah bernadzar untuk haji. dan tidak sempat melaksanakannya sehingga meninggal, apakah aku harus menghajikannya?" Beliau bersabda, "Hajikanlah ia, bagaimanap pendapatmu seandainva ibumu mempunyai hutang, apakah engkau wajib membayarkannya. Maka bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak dibayar.(H.R. Bukhari)5
3.Ibadah puasa
من مات وعليه صيام صام عنه وليه
Artinya : Barangsiapa meninggal, sedangkan dia berhutang puasa, maka walinya menggantikannya. (H.R. Muslim) 6
Adapun firman Allah
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
Artinya : Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (Q.S. an-Najm : 39)
diantara ulama ada yang menerangkan kepada kita bahwa ayat ini ditakhshis dengan ijmak tersebut diatas. Maksud ayat tersebut berdasarkan ini adalah selain sadaqah dan doa tidak bermanfa’at apapun bagi seorang manusia kecuali hasil usahanya sendiri. Namun kesimpulan ini tentunya bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang menjelaskan bahwa pahala haji dan puasa yang dilakukan orang lain juga dapat bermanfa’at bagi seseorang. Ada ulama yang mengatakan ayat pertama diatas menasakhkan ayat ini. Ada juga yang menta’wilkan dari dhahir makna ayat. Ta’wilnya antara lain, ayat ini di pertempatkan bagi orang kafir. Ada juga yang mengartikan ayat ini ″Tidak berhaq bagi manusia kecuali apa yang menjadi usahanya″. Adapun apa yang diperbuat orang untuknya adalah semata-mata fadhal bukan haq.7 Keterangan serupa dengan yang terakhir ini juga telah dikemukakan oleh Ibnu Shalah, beliau berkata :
“Nash tersebut (Q.S. al-Najm : 39) tidak membatalkan pendapat yang mengatakan hadiah pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayat. Karena maksud ayat tersebut adalah tidak berhak dan tidak ada balasan baginya kecuali menurut usahanya, maka tidak masuk dalam pengertian ayat tersebut perbuatan tabaru’ (hadiah secara suka rela) dari pihak lain, berupa bacaan al-Qur’an ataupun do’a”.8
Al-Qurthubi yang terkenal dengan tafsirnya, Tafsir al-Qurthubi dalam al-Tazkirah 9 dalam menjelaskan kedudukan ayat di atas, menyebut beberapa takwil yang dikemukakan oleh ulama, yaitu sebagai berikut :
1). Ayat ini menurut riwayat dari Ibnu Abbas sudah dinasakh dengan
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
Artinya : Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka (Q.S. al-Thuur : 21)
Berdasarkan ayat ini, maka anak anak yang mengikuti keimanan orang tuanya, akan mendapatkan syafa’at dari orangtuanya kelak.
2). Rabi’ bin Anas mengatakan bahwa ayat al-Najm : 39 di atas, khusus berlaku atas orang kafir
3). Ayat ini juga bermungkinan bermakna khusus pada amalan jahat. Buktinya amalan yang baik, sebagai janji Allah, akan dibalas dengan sepuluh bandingan amalannya. Jadi seseorang yang melakukan amalan baik, dia bukan hanya menerima pahala sebagaimana amalannya, tetapi juga mendapat pahala tambahan sebagai kurnia Allah sebagaimana firman-Nya :
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَى إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
Artinya : Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat Maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). (Q.S. al-An’am : 160)
4. Bacaan ayat al-Qur’an
Adapun membaca ayat al-Qur’an seperti surat al-Ikhlas dan tahlil dengan niat menghadiahkan pahalanya kepada mayat, telah terjadi khilaf ulama tentang ini. Diantara ulama yang menyatakan sampai hadiah pahala kepada mayat adalah ulama Hanafiah, Hanabilah, Mutaakhirin Syafi’iyah dan Malikiyah dengan catatan apabila dilakukannya dihadapan mayat atau dengan dido’akan setelah membacanya, meskipun berada di kejauhan. 10
Berikut pendapat ulama mengenai ini, yaitu :
1). Dalam al-Fatawa disebutkan :
“Terjadi khilaf ulama mengenai pahala bacaan al-Qur’an. Ahmad dan sebagian ashhab Syafi’i mengatakan sampai pahala tersebut kepada mayat. Syafi’i dan kebanyakan ulama mengatakan tidak sampai.”11
2). Imam Nawawi dalam Syarah Muslim mengatakan :
“Yang masyhur dari mazhab Syafi’i tidak sampai pahala qira-ah kepada mayat”. 12
3). Ibnu Abdussalam dalam sebagian fatawanya berkata :
“Tidak boleh menjadikan pahala qira-ah bagi mayat karena tindakan tersebut merupakan pengelolaan pahala tanpa izin syara’ ”.13
4). Berkata Ibnu Shilah :
“Sepatutnya dipastikan (jazam) bermanfa’at dengan mengatakan allahumma ausil tsawaba ma qara’tuhu artinya semisalnya, maka itulah maksudnya”14
5). Imam an-Nawawi dalam al-Azkar mengatakan :
“Dan para ulama telah berbeda pendapat mengenai sampainya pahala bacaan al-Quran (kepada si mati). Maka pendapat yang masyhur daripada mazhab Syafi`i dan sekumpulan ulama bahawasanya pahala bacaan al-Quran tersebut tidak sampai kepada si mati. Imam Ahmad bin Hanbal serta sekumpulan ulama yang lain dan sekumpulan ashab Syafi`i (yakni para ulama mazhab Syafi`i) berpendapat bahawa pahala tersebut sampai. Maka (pendapat) yang terpilih adalah si pembaca al-Quran tersebut hendaklah berdoa setelah bacaannya : "Ya Allah sampaikanlah pahala apa-apa yang telah aku bacakan kepada si polan." 15
6). Berkata Ibnu Hajar Haitamy :
“ Tidak sepatutnya berdo’a untuk orang lain yang masih hidup atau untuk mayat dengan pahala orang yang berdo’a atau pahala orang lain yang mengizinkan baginya, karena sesungguhnya pahala manusia tidak dapat berpindah kepada orang lain dengan sebab do’a. Maka doa yang demikian menyalahi kejadian dan oleh sebab itu terlarang. Adapun do’a dengan menghasilkan yang semisal (yang sebanding) demikian pahala, bagi orang lain adalah (laa baksa bihi) dibolehkan, karena itu termasuk do’a bagi saudara yang muslim untuk mendhahirkan ghaib dan hadits-hadits menunjukkan diterimanya dengan ini dan lainnya, sedangkan padanya tidak ada mahzur (sesuatu yang mencegah), maka tidak ada satu aspekpun untuk pelarangannya. Bahkan kalau orang yang berdo’a menyebut “pahala” dan maksudnya adalah semisal pahala, tidak terlarang pula, karena menyembunyi perkataan “misal” pada yang seperti ini dibolehkan, masyhur dan banyak terjadi”16
Kesimpulan
Sesuai dengan penjelasan Imam an-Nawawi dan Ibnu Hajar al-Haitamy dan ulama lainnya di atas, maka hadiah pahala bacaan al-Qur’an kepada mayat adalah sampai kepada si mayat dengan catatan :
1.hendaklah berdoa setelah bacaannya, misalnya : "Ya Allah sampaikanlah pahala apa-apa yang telah aku bacakan kepada si polan”
2.yang didoakan sampai kepada si mayat bukanlah pahala bacaan, tetapi pahala yang sebanding dengannya.
Kesimpulan ini sesuai dengan keterangan yang dipilih pleh Imam Nawawi dan Ibnu Hajar al-Haitamy (Nawawi adalah salah seorang ulama mujtahid tarjih dan Ibnu Hajar al-Haitamy adalah seorang ulama besar dalam mazhab Syafi’i yang menjadi ikutan orang-orang bermazhab Syafi’i).
Perlu juga dicatat bahawa qaul masyhur yang dinisbahkan kepada Imam Syafi`i tersebut tidaklah bermakna bahwa itulah satu-satunya qaul Imam Syafi`i. Bahkan ini memberi pemahaman bahwa Imam Syafi`i mempunyai qaul lain yang berpendapat sebaliknya. Juga perlu kita tekankan bahwa qaul masyhur tidak semestinya qaul yang dimuktamadkan dalam mazhab. Dengan keterangan Imam Nawawi dalam al-Azkar di atas, dipahami bahwa yang mu’tamad dalam Mazhab Syafi’i adalah qaul yang menyatakan sampai hadiah pahala kepada si mayat dengan syarat yang telah disebutkan.
Disamping sebagaimana keterangan di atas, ada juga yang mengatakan bahwa qaul yang masyhur dari syafi’i tersebut di atas diposisikan apabila membaca al-Qur’an tidak dihadapan mayat dan tidak meniatkan pahala bagi mayat atau ada meniatkannya, tetapi tidak mendo’akannya. Pemahaman ini berdasarkan amalan yang diriwayat dari Imam Syafi’i, bahwa beliau sendiri pernah berziarah ke makam Imam al-Laits bin bin Sa’ad dan pada saat itu beliau membaca zikir dan al-Qur’an al-Karim. Muhyiddin Abdusshamad telah mengutip riwayat ini dari Kitab al-Dzakirah al-Tsaminah Halaman enam puluh empat 17. Imam Syafi’i sendiri juga pernah menyatakan pendapat yang bersesuaian dengan riwayat di atas, yaitu :
“Dianjurkan membaca sesuatu dari al-Qur’an pada kuburan dan jika dengan khatam, maka itu lebih baik.”18
Dalil-dalil yang menyatakan bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an dapat sampai kepada mayat, antara lain :
1. Menghadiahkan pahala kepada mayat termasuk dalam katagori do’a. Oleh karena itu, termasuk dalam maksud Q.S. al-Mukmin : 60
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Artinya : Dan Tuhanmu berfirman : "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina.(Q.S. al-Ghafir : 60)
2.Hadits riwayat Ibnu Abbas dari Nabi SAW :
أَنَّهُ مَرَّ بِقَبْرَيْنِ يُعَذَّبَانِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ ثُمَّ أَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا بِنِصْفَيْنِ ثُمَّ غَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ صَنَعْتَ هَذَا فَقَالَ لَعَلَّهُ أَنْ يُخَفَّفَ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا
Artinya : Nabi SAW pernah melewati dua buah kuburan, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya dua mayat ini sedang disiksa, namun bukan karena dosa besar. Yang satu disiksa karena tidak membersihkan dirinya dari air kencingnya, sedang yang lainnya ia dahulu suka mengadu domba”. Kemudian beliau meminta pelepah kurma yang masih basah dan dibelahnya menjadi dua. Setelah itu beliau menancapkan salah satunya pada sebuah kuburan dan yang satunya lagi pada kuburan yang lain seraya bersabda: “Semoga pelepah itu dapat meringankan siksanya, selama belum kering”.(H.R. Bukhari 19 dan Muslim 20)
Al-Qurthubi mengatakan :
“Ulama kita mengatakan, kalau kayu saja dapat meringankan azab kubur (bermanfaat kepada mayat), maka apalagi bacaan al-qur’an yang dilakukan oleh seorang mukmin?.”21
3.Menghadiahkan pahala kepada mayat termasuk sadaqah, karena sadaqah tidak hanya dalam bentuk harta. Sadaqah bisa saja dalam bentuk tahlil, tasbih dan lainnya. Sedangkan sadaqah dapat bermanfaat bagi mayat dengan ijmak ulama sebagaimana dijelaskan di atas. Keterangan bahwa sadaqah tidak hanya dalam bentuk harta adalah hadits Nabi SAW riwayat Huzaifah berbunyi :
كل معروف صدقة
Artinya : Setiap yang ma’ruf adalah sadaqah (H.R. Muslim) 22
Dan hadits Nabi SAW riwayat Abu Zar berbunyi :
ان بكل تسبيحة صدقة وكل تكبيرة صدقة وكل تحميدة صدقة و كل تحليلة صدقة
Artinya : Sesungguhnya setiap tasbih adalah sadaqah, setiap takbir sadaqah, setiap tahmid sadaqah dan setiap tahlil adalah sadaqah. (H.R. Muslim) 23
Pendalilian ini telah disebut oleh al-Qurthubi dalam al-Tazkirah 24
4. Hadits dari Abu Sa'id Al Khudri r.a., beliau berkata :
أَنَّ رَهْطًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْطَلَقُوا فِي سَفْرَةٍ سَافَرُوهَا حَتَّى نَزَلُوا بِحَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ فَاسْتَضَافُوهُمْ فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمْ فَلُدِغَ سَيِّدُ ذَلِكَ الْحَيِّ فَسَعَوْا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لَا يَنْفَعُهُ شَيْءٌ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَوْ أَتَيْتُمْ هَؤُلَاءِ الرَّهْطَ الَّذِينَ قَدْ نَزَلُوا بِكُمْ لَعَلَّهُ أَنْ يَكُونَ عِنْدَ بَعْضِهِمْ شَيْءٌ فَأَتَوْهُمْ فَقَالُوا يَا أَيُّهَا الرَّهْطُ إِنَّ سَيِّدَنَا لُدِغَ فَسَعَيْنَا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لَا يَنْفَعُهُ شَيْءٌ فَهَلْ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْكُمْ شَيْءٌ فَقَالَ بَعْضُهُمْ نَعَمْ وَاللَّهِ إِنِّي لَرَاقٍ وَلَكِنْ وَاللَّهِ لَقَدْ اسْتَضَفْنَاكُمْ فَلَمْ تُضَيِّفُونَا فَمَا أَنَا بِرَاقٍ لَكُمْ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا فَصَالَحُوهُمْ عَلَى قَطِيعٍ مِنْ الْغَنَمِ فَانْطَلَقَ فَجَعَلَ يَتْفُلُ وَيَقْرَأُ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ حَتَّى لَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ فَانْطَلَقَ يَمْشِي مَا بِهِ قَلَبَةٌ قَالَ فَأَوْفَوْهُمْ جُعْلَهُمْ الَّذِي صَالَحُوهُمْ عَلَيْهِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ اقْسِمُوا فَقَالَ الَّذِي رَقَى لَا تَفْعَلُوا حَتَّى نَأْتِيَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَذْكُرَ لَهُ الَّذِي كَانَ فَنَنْظُرَ مَا يَأْمُرُنَا فَقَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرُوا لَهُ فَقَالَ وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ أَصَبْتُمْ اقْسِمُوا وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ بِسَهْمٍ
Artinya : Sesungguhnya sekelompok sahabat Nabi SAW berkunjung ke salah satu suku Arab. Tetapi mereka tidak mau menghormati sahabat-sahabat Nabi SAW tersebut. Ketika itu, pemimpin suku tadi disengat oleh kalajengking. Mereka telah mengusahakan mengobatinya , tetapi tidak manjur sedikitpun. Sebagian mereka berkata, kalau kalian mendatangi kelompok yang pernah mengunjungi kamu, mudah-mudahan disisi sebagian mereka ada sesuatu yang dapat mengobatinya. Karena itu, datangilah mereka. Mereka bertanya kepada para sahabat Nabi SAW : "Hai kelompok itu, sesungguhnya pemimpin kami telah disengat kalajengking dan kami telah mengobatinya, tetapi tidak bermanfaat sedikitpun. Apakah di antara kalian ada yang membawa obatnya". Para sahabat Nabi SAW itu menjawab: “Ya, demi Allah kami dapat menjampinya. Tetapi berhubung kami pernah minta kalian jamu, namun kamu tidak menjamu kami, maka apa yang akan kami lakukan haruslah mendapatkan upah atau imbalan". Akhirnya mereka melakukan negoisasi dengan menyediakan imbalan berupa seekor kambing. Salah seorang sahabat Nabi SAW maju ke depan dan meniup dengan ludahnya dan membaca Alhamdulillahhirabbil’alamin, maka sembuhlah pemimpin suku tersebut seolah-olah dia bangkit dari ikatan tali dan berjalan dengan melakukan gerakan, sambil berkata, “Tunaikanlah upah mereka sebagaimana telah kalian janjikan dengan mereka”. Berkata sebagian sahabat Nabi SAW, bagikanlah kambing itu !. Tetapi sahabat yang menjampi tadi berkata, "Kita belum bisa menerimanya begitu saja sehingga kita mendatangi Rasulullah SAW dan mengabarinya apa yang telah terjadi, lalu kita tunggu apa yang diperintahkannya. Maka Para sahabat Nabi SAW menghadap Rasulullah SAW dan mengabarinya, maka Rasulullah SAW bersabda : “Tidak tahukah kamu ,bahwasannya Alhamdulillahhirabbil’alamin itu merupakan jampi?. Maka bagilah kambing itu dan berikan untukku satu bagian".(H.R. Bukhari)25
Hadits ini menceritakan bahwa Sahabat Nabi SAW pernah menjampi-jampi orang kena sengat kalajengking dengan Surat al-Fatihah dan Nabi SAW mentaqrirkannya (mengakuinya). Jadi, kalau ayat al-Qur’an bermanfa’at untuk pengobatan orang kena sengat kalajengking, tentunya untuk mayat lebih patut bermanfa’at.
5. Sabda Nabi SAW :
من دخل المقابر فقرأ سورة يس خفف عنهم له مثله وكان له لعدد من فيه حسنات
Artinya : Barang siapa yang memasuki pekuburan dengan membaca Surat Yasin, maka akan diringankan orang dalam pekuburan itu sebanding dengannya dan baginya sejumlah kebaikan (H.R. Abu Bakar Abdul Aziz) 26
6. Sabda Nabi SAW :
من زار قبر والديه كل جمعة أو أحدهما فقرأ عندهما يس والقرآن الحكيم غفر له بعدد كل آية وحرف
Artinya : Barangsiapa yang menziarahi kuburan kedua ibu bapaknya atau keduanya pada setiap Jum’at dengan membaca Yasin dan al-Qur’an al-Hakim, maka akan diampuninya sebanding setiap ayat dan huruf.(H.R. Ibnu Hibban dan Ibnu ‘Ady) 27
Ada sebagian orang menentang tahlil atau samadiyah dengan berargumentasi dengan hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah, yang berbunyi :
إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة إلا من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
Artinya : Apabila meninggal seorang manusia, maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang mau berdo’a untuknya. (H.R. Muslim) 28
Perlu dicatat bahwa hadits ini hanya membicarakan amalan orang yang sudah meninggal. Sedangkan tahlil dan samadiyah ini merupakan amalan orang masih hidup, dimana orang yang masih hidup mendo’akan sebagaimana pahala bacaan ayat al-Qur’an didapatinya supaya juga diberikan Allah kepada orang yang sudah meninggal. Berkata Ibnu Shalah dalam Fatawanya :
“Demikian juga hadits tersebut (hadits di atas) tidak menunjukkan batal pendapat yang mengatakan sampai hadiah pahala bacaan, karena hadits tersebut mengenai amalan simati. Sedangkan ini (hadiah pahala) merupakan amalan orang lain” 29
Penafsiran hadits ini secara ringkas adalah sebagai berikut :
a.Seseorang yang sudah meninggal, maka pahala amalannya semua terputus kecuali tiga yang disebut dalam hadits. Yang terputus di sini bukan amalannya, tetapi pahala amalan, karena amalan seseorang apabila dia meninggal akan terputus tanpa kecuali. 30
b.Tiga yang dikecualikan tersebut adalah amalan orang sudah meninggal, yaitu Pertama, sadaqah jariah, yakni waqaf yang dilakukan pada seseorang masih hidup. Pahalanya terus mengalir meskipun orang itu sudah meninggal. Kedua, ilmu yang bermanfaat, yakni ilmu yang pernah diberikan kepada orang lain tatkala dia masih hidup akan terus mengalir pahalanya kepada orang tersebut sepanjang ilmu itu masih dimanfaatkan orang. Ketiga, anak yang shaleh mau yang berdo’a kepadanya, yakni anak yang shaleh yang merupakan hasil usaha bimbingannya pada waktu dia masi hidup.
Dengan demikian, jelaslah bahwa hadits ini tidak relevan dengan masalah tahlil atau baca samadiyah. Karena tahlil atau samadiyah merupakan amalan orang yang masih hidup.
Dalil lain yang biasa dibawa oleh orang-orang yang menentang tahlil atau samadiyah adalah Q.S. al-Baqarah : 286, yaitu :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Q.S. al-Baqarah : 268)
Ayat ini hanya menjelaskan kepada kita bahwa setiap orang melakukan sebuah amalan, maka pahala amalannya itu menjadi hak orang yang melakukannya itu. Artinya tidak bisa kita yang melakukan, orang lain yang mendapatkannya. Namun karena ini menjadi hak orang yang melakukan amalan tersebut, maka dapat saja dia menghadiahkannya untuk orang lain dalam pengertian mendo’akan supaya orang lain juga mendapat pahala yang sama dengan pahala yang didapatinya. Ayat ini tidak boleh dipahami bahwa seseorang yang sudah meninggal dunia tidak dapat memperoleh pahala dari amalan orang lain, karena pemahaman seperti itu bertentangan dengan ijmak ulama sebagaimana uraian di atas bahwa telah terjadi ijmak ulama, sadaqah, do’a dan ibadah haji bermanfaat untuk orang yang sudah meninggal.
DAFTAR PUSTAKA
1.An-Nawawi, al-Fatawa, Hal. 47
2.Zainuddin al-Malibary, Fathul Muin, dicetak pada hamisy ‘I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 219
3.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 696, No. Hadits : 1004
4.Dr Wahbah Zuhaili, Fiqh Islami wa Adillatuhu, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 550
5.Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 146
6.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 803, No. Hadits : 153
7.Al-Bakry al-Damyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 219
8.Ibnu Shalah, Fatawa Ibnu Shalah, Dar al-Hadits, Kairo, Hal. 42
9.Al-Qurthubi, al-Tazkirah, Maktabah Dar al-Minhaj, Riyadh, Juz. I, Hal. 289-291
10.Dr Wahbah Zuhaili, Fiqh Islami wa Adillatuhu, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 551
11.An-Nawawi, al-Fatawa, Hal. 47
12.Zainuddin al-Malibary, Fathul Muin, dicetak pada hamisy ‘I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 220-221
13.Al-Bakry al-Damyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 220
14.Zainuddin al-Malibary, Fathul Muin, dicetak pada hamisy ‘I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 222
15.An-Nawawi, al-Azkar, al-Haramain, Hal. 150
16.Ibnu Hajar Haitamy, Fatawa al-Kubra al-fiqhiah, Darul Fikri, Beirut, Juz IV, Hal. 20
17.Muhyiddin Abdusshamad, al-Hujjaj al-Qathi’ah fi Shihah al-Mu’taqidaat wal-Amaliyaat al-Nahdliyah, Khalista, Surabaya, Hal. 166.
18.An-Nawawi, Riyadhusshalihin, Dar Ibnu al-Jauzy, Hal. 363
19.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. II, Hal. 95-96, No. Hadits : 1361
20.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 240-241, No. Hadits : 292
21.Al-Qurthubi, Tazkirah, Darul Minhaj, Riyadh, Juz. I, Hal. 276
22.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 697, No. Hadits : 1005
23.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 697, No. Hadits : 1006
24.Al-Qurthubi, al-Tazkirah, Maktabah Dar al-Minhaj, Riyadh, Juz. I, Hal. 277-279
25.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 133, No. Hadits : 5749
26.Al-Shakawy, al-Ajwabah al-Mardhiah, Darul Rayyah, Riyadh, Juz. I, Hal. 169
27.Al-Shakawy, al-Ajwabah al-Mardhiah, Darul Rayyah, Riyadh, Juz. I, Hal. 171
28.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1255, No. Hadits : 1631
29.Ibnu Shalah, Fatawa Ibnu Shalah, Dar al-Hadits, Kairo, Hal. 43
30.Lihat Al-Bakri al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 157
Ada beberapa macam amalan yang sering dilakukan yang bermanfaat kepada mayat, antara lain :
1.Shadaqah dan do’a.
Telah terjadi ijmak ulama bermanfaat kedua amalan ini kepada mayat. Berikut keterangan ulama mengenai ini, antara lain :
1). Dalam al-Fatawa al-Nawawi disebutkan :
“Sampai kepada mayat pahala do’a dan shadaqah dengan ijmak ulama.”1
2). Berkata Zainuddin al-Malibary :
“Shadaqah dan do’a bermanfa’at bagi mayat, baik dilakukan oleh ahli waris atau lainnya karena ijmak Ulama”.2
Dalil doa bermanfat bagi mayat antara lain firman Allah Ta’ala :
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ
Artinya : Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami (Q.S.Al-Hasyr: 10)
Dalil shadaqah bermanfa’at bagi mayat antara lain hadist yang berbunyi :
أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه و سلم فقال يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها ؟ قال نعم
Artinya :Seorang laki-laki mendatangi Nabi SAW dengan berkata : “Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku membiarkan dirinya tidak melakukan wasiat, menurut dugaanku, kalau dia berkata, maka pasti bersadaqah, maka apakah ia mendapat pahala kalau aku bersadaqah untuknya. Rasulullah menjawab :”ya”. (H.R. Muslim)3
2.Ibadah haji dengan ijmak ulama 4, sesuai dengan sabda Rasululullah SAW :
ان إمرأة من جهينة جائت الى نبي صلعم فقالت ان أمي نذرت ان تحج ولم تحج حتى ماتت أفأحج عنها قال حجي عنها أريت لو كان على أمك دين أقاضيتها أقضوا الله فالله أحق بالوفاء
ِArtinya : Sesungguhnva wanita dari Juhainah datang kepada Nabi SAW dan berkata, "sesungguhnya ibuku pernah bernadzar untuk haji. dan tidak sempat melaksanakannya sehingga meninggal, apakah aku harus menghajikannya?" Beliau bersabda, "Hajikanlah ia, bagaimanap pendapatmu seandainva ibumu mempunyai hutang, apakah engkau wajib membayarkannya. Maka bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak dibayar.(H.R. Bukhari)5
3.Ibadah puasa
من مات وعليه صيام صام عنه وليه
Artinya : Barangsiapa meninggal, sedangkan dia berhutang puasa, maka walinya menggantikannya. (H.R. Muslim) 6
Adapun firman Allah
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
Artinya : Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (Q.S. an-Najm : 39)
diantara ulama ada yang menerangkan kepada kita bahwa ayat ini ditakhshis dengan ijmak tersebut diatas. Maksud ayat tersebut berdasarkan ini adalah selain sadaqah dan doa tidak bermanfa’at apapun bagi seorang manusia kecuali hasil usahanya sendiri. Namun kesimpulan ini tentunya bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang menjelaskan bahwa pahala haji dan puasa yang dilakukan orang lain juga dapat bermanfa’at bagi seseorang. Ada ulama yang mengatakan ayat pertama diatas menasakhkan ayat ini. Ada juga yang menta’wilkan dari dhahir makna ayat. Ta’wilnya antara lain, ayat ini di pertempatkan bagi orang kafir. Ada juga yang mengartikan ayat ini ″Tidak berhaq bagi manusia kecuali apa yang menjadi usahanya″. Adapun apa yang diperbuat orang untuknya adalah semata-mata fadhal bukan haq.7 Keterangan serupa dengan yang terakhir ini juga telah dikemukakan oleh Ibnu Shalah, beliau berkata :
“Nash tersebut (Q.S. al-Najm : 39) tidak membatalkan pendapat yang mengatakan hadiah pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayat. Karena maksud ayat tersebut adalah tidak berhak dan tidak ada balasan baginya kecuali menurut usahanya, maka tidak masuk dalam pengertian ayat tersebut perbuatan tabaru’ (hadiah secara suka rela) dari pihak lain, berupa bacaan al-Qur’an ataupun do’a”.8
Al-Qurthubi yang terkenal dengan tafsirnya, Tafsir al-Qurthubi dalam al-Tazkirah 9 dalam menjelaskan kedudukan ayat di atas, menyebut beberapa takwil yang dikemukakan oleh ulama, yaitu sebagai berikut :
1). Ayat ini menurut riwayat dari Ibnu Abbas sudah dinasakh dengan
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
Artinya : Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka (Q.S. al-Thuur : 21)
Berdasarkan ayat ini, maka anak anak yang mengikuti keimanan orang tuanya, akan mendapatkan syafa’at dari orangtuanya kelak.
2). Rabi’ bin Anas mengatakan bahwa ayat al-Najm : 39 di atas, khusus berlaku atas orang kafir
3). Ayat ini juga bermungkinan bermakna khusus pada amalan jahat. Buktinya amalan yang baik, sebagai janji Allah, akan dibalas dengan sepuluh bandingan amalannya. Jadi seseorang yang melakukan amalan baik, dia bukan hanya menerima pahala sebagaimana amalannya, tetapi juga mendapat pahala tambahan sebagai kurnia Allah sebagaimana firman-Nya :
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَى إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
Artinya : Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat Maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). (Q.S. al-An’am : 160)
4. Bacaan ayat al-Qur’an
Adapun membaca ayat al-Qur’an seperti surat al-Ikhlas dan tahlil dengan niat menghadiahkan pahalanya kepada mayat, telah terjadi khilaf ulama tentang ini. Diantara ulama yang menyatakan sampai hadiah pahala kepada mayat adalah ulama Hanafiah, Hanabilah, Mutaakhirin Syafi’iyah dan Malikiyah dengan catatan apabila dilakukannya dihadapan mayat atau dengan dido’akan setelah membacanya, meskipun berada di kejauhan. 10
Berikut pendapat ulama mengenai ini, yaitu :
1). Dalam al-Fatawa disebutkan :
“Terjadi khilaf ulama mengenai pahala bacaan al-Qur’an. Ahmad dan sebagian ashhab Syafi’i mengatakan sampai pahala tersebut kepada mayat. Syafi’i dan kebanyakan ulama mengatakan tidak sampai.”11
2). Imam Nawawi dalam Syarah Muslim mengatakan :
“Yang masyhur dari mazhab Syafi’i tidak sampai pahala qira-ah kepada mayat”. 12
3). Ibnu Abdussalam dalam sebagian fatawanya berkata :
“Tidak boleh menjadikan pahala qira-ah bagi mayat karena tindakan tersebut merupakan pengelolaan pahala tanpa izin syara’ ”.13
4). Berkata Ibnu Shilah :
“Sepatutnya dipastikan (jazam) bermanfa’at dengan mengatakan allahumma ausil tsawaba ma qara’tuhu artinya semisalnya, maka itulah maksudnya”14
5). Imam an-Nawawi dalam al-Azkar mengatakan :
“Dan para ulama telah berbeda pendapat mengenai sampainya pahala bacaan al-Quran (kepada si mati). Maka pendapat yang masyhur daripada mazhab Syafi`i dan sekumpulan ulama bahawasanya pahala bacaan al-Quran tersebut tidak sampai kepada si mati. Imam Ahmad bin Hanbal serta sekumpulan ulama yang lain dan sekumpulan ashab Syafi`i (yakni para ulama mazhab Syafi`i) berpendapat bahawa pahala tersebut sampai. Maka (pendapat) yang terpilih adalah si pembaca al-Quran tersebut hendaklah berdoa setelah bacaannya : "Ya Allah sampaikanlah pahala apa-apa yang telah aku bacakan kepada si polan." 15
6). Berkata Ibnu Hajar Haitamy :
“ Tidak sepatutnya berdo’a untuk orang lain yang masih hidup atau untuk mayat dengan pahala orang yang berdo’a atau pahala orang lain yang mengizinkan baginya, karena sesungguhnya pahala manusia tidak dapat berpindah kepada orang lain dengan sebab do’a. Maka doa yang demikian menyalahi kejadian dan oleh sebab itu terlarang. Adapun do’a dengan menghasilkan yang semisal (yang sebanding) demikian pahala, bagi orang lain adalah (laa baksa bihi) dibolehkan, karena itu termasuk do’a bagi saudara yang muslim untuk mendhahirkan ghaib dan hadits-hadits menunjukkan diterimanya dengan ini dan lainnya, sedangkan padanya tidak ada mahzur (sesuatu yang mencegah), maka tidak ada satu aspekpun untuk pelarangannya. Bahkan kalau orang yang berdo’a menyebut “pahala” dan maksudnya adalah semisal pahala, tidak terlarang pula, karena menyembunyi perkataan “misal” pada yang seperti ini dibolehkan, masyhur dan banyak terjadi”16
Kesimpulan
Sesuai dengan penjelasan Imam an-Nawawi dan Ibnu Hajar al-Haitamy dan ulama lainnya di atas, maka hadiah pahala bacaan al-Qur’an kepada mayat adalah sampai kepada si mayat dengan catatan :
1.hendaklah berdoa setelah bacaannya, misalnya : "Ya Allah sampaikanlah pahala apa-apa yang telah aku bacakan kepada si polan”
2.yang didoakan sampai kepada si mayat bukanlah pahala bacaan, tetapi pahala yang sebanding dengannya.
Kesimpulan ini sesuai dengan keterangan yang dipilih pleh Imam Nawawi dan Ibnu Hajar al-Haitamy (Nawawi adalah salah seorang ulama mujtahid tarjih dan Ibnu Hajar al-Haitamy adalah seorang ulama besar dalam mazhab Syafi’i yang menjadi ikutan orang-orang bermazhab Syafi’i).
Perlu juga dicatat bahawa qaul masyhur yang dinisbahkan kepada Imam Syafi`i tersebut tidaklah bermakna bahwa itulah satu-satunya qaul Imam Syafi`i. Bahkan ini memberi pemahaman bahwa Imam Syafi`i mempunyai qaul lain yang berpendapat sebaliknya. Juga perlu kita tekankan bahwa qaul masyhur tidak semestinya qaul yang dimuktamadkan dalam mazhab. Dengan keterangan Imam Nawawi dalam al-Azkar di atas, dipahami bahwa yang mu’tamad dalam Mazhab Syafi’i adalah qaul yang menyatakan sampai hadiah pahala kepada si mayat dengan syarat yang telah disebutkan.
Disamping sebagaimana keterangan di atas, ada juga yang mengatakan bahwa qaul yang masyhur dari syafi’i tersebut di atas diposisikan apabila membaca al-Qur’an tidak dihadapan mayat dan tidak meniatkan pahala bagi mayat atau ada meniatkannya, tetapi tidak mendo’akannya. Pemahaman ini berdasarkan amalan yang diriwayat dari Imam Syafi’i, bahwa beliau sendiri pernah berziarah ke makam Imam al-Laits bin bin Sa’ad dan pada saat itu beliau membaca zikir dan al-Qur’an al-Karim. Muhyiddin Abdusshamad telah mengutip riwayat ini dari Kitab al-Dzakirah al-Tsaminah Halaman enam puluh empat 17. Imam Syafi’i sendiri juga pernah menyatakan pendapat yang bersesuaian dengan riwayat di atas, yaitu :
“Dianjurkan membaca sesuatu dari al-Qur’an pada kuburan dan jika dengan khatam, maka itu lebih baik.”18
Dalil-dalil yang menyatakan bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an dapat sampai kepada mayat, antara lain :
1. Menghadiahkan pahala kepada mayat termasuk dalam katagori do’a. Oleh karena itu, termasuk dalam maksud Q.S. al-Mukmin : 60
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Artinya : Dan Tuhanmu berfirman : "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina.(Q.S. al-Ghafir : 60)
2.Hadits riwayat Ibnu Abbas dari Nabi SAW :
أَنَّهُ مَرَّ بِقَبْرَيْنِ يُعَذَّبَانِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ ثُمَّ أَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا بِنِصْفَيْنِ ثُمَّ غَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ صَنَعْتَ هَذَا فَقَالَ لَعَلَّهُ أَنْ يُخَفَّفَ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا
Artinya : Nabi SAW pernah melewati dua buah kuburan, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya dua mayat ini sedang disiksa, namun bukan karena dosa besar. Yang satu disiksa karena tidak membersihkan dirinya dari air kencingnya, sedang yang lainnya ia dahulu suka mengadu domba”. Kemudian beliau meminta pelepah kurma yang masih basah dan dibelahnya menjadi dua. Setelah itu beliau menancapkan salah satunya pada sebuah kuburan dan yang satunya lagi pada kuburan yang lain seraya bersabda: “Semoga pelepah itu dapat meringankan siksanya, selama belum kering”.(H.R. Bukhari 19 dan Muslim 20)
Al-Qurthubi mengatakan :
“Ulama kita mengatakan, kalau kayu saja dapat meringankan azab kubur (bermanfaat kepada mayat), maka apalagi bacaan al-qur’an yang dilakukan oleh seorang mukmin?.”21
3.Menghadiahkan pahala kepada mayat termasuk sadaqah, karena sadaqah tidak hanya dalam bentuk harta. Sadaqah bisa saja dalam bentuk tahlil, tasbih dan lainnya. Sedangkan sadaqah dapat bermanfaat bagi mayat dengan ijmak ulama sebagaimana dijelaskan di atas. Keterangan bahwa sadaqah tidak hanya dalam bentuk harta adalah hadits Nabi SAW riwayat Huzaifah berbunyi :
كل معروف صدقة
Artinya : Setiap yang ma’ruf adalah sadaqah (H.R. Muslim) 22
Dan hadits Nabi SAW riwayat Abu Zar berbunyi :
ان بكل تسبيحة صدقة وكل تكبيرة صدقة وكل تحميدة صدقة و كل تحليلة صدقة
Artinya : Sesungguhnya setiap tasbih adalah sadaqah, setiap takbir sadaqah, setiap tahmid sadaqah dan setiap tahlil adalah sadaqah. (H.R. Muslim) 23
Pendalilian ini telah disebut oleh al-Qurthubi dalam al-Tazkirah 24
4. Hadits dari Abu Sa'id Al Khudri r.a., beliau berkata :
أَنَّ رَهْطًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْطَلَقُوا فِي سَفْرَةٍ سَافَرُوهَا حَتَّى نَزَلُوا بِحَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ فَاسْتَضَافُوهُمْ فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمْ فَلُدِغَ سَيِّدُ ذَلِكَ الْحَيِّ فَسَعَوْا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لَا يَنْفَعُهُ شَيْءٌ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَوْ أَتَيْتُمْ هَؤُلَاءِ الرَّهْطَ الَّذِينَ قَدْ نَزَلُوا بِكُمْ لَعَلَّهُ أَنْ يَكُونَ عِنْدَ بَعْضِهِمْ شَيْءٌ فَأَتَوْهُمْ فَقَالُوا يَا أَيُّهَا الرَّهْطُ إِنَّ سَيِّدَنَا لُدِغَ فَسَعَيْنَا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لَا يَنْفَعُهُ شَيْءٌ فَهَلْ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْكُمْ شَيْءٌ فَقَالَ بَعْضُهُمْ نَعَمْ وَاللَّهِ إِنِّي لَرَاقٍ وَلَكِنْ وَاللَّهِ لَقَدْ اسْتَضَفْنَاكُمْ فَلَمْ تُضَيِّفُونَا فَمَا أَنَا بِرَاقٍ لَكُمْ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا فَصَالَحُوهُمْ عَلَى قَطِيعٍ مِنْ الْغَنَمِ فَانْطَلَقَ فَجَعَلَ يَتْفُلُ وَيَقْرَأُ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ حَتَّى لَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ فَانْطَلَقَ يَمْشِي مَا بِهِ قَلَبَةٌ قَالَ فَأَوْفَوْهُمْ جُعْلَهُمْ الَّذِي صَالَحُوهُمْ عَلَيْهِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ اقْسِمُوا فَقَالَ الَّذِي رَقَى لَا تَفْعَلُوا حَتَّى نَأْتِيَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَذْكُرَ لَهُ الَّذِي كَانَ فَنَنْظُرَ مَا يَأْمُرُنَا فَقَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرُوا لَهُ فَقَالَ وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ أَصَبْتُمْ اقْسِمُوا وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ بِسَهْمٍ
Artinya : Sesungguhnya sekelompok sahabat Nabi SAW berkunjung ke salah satu suku Arab. Tetapi mereka tidak mau menghormati sahabat-sahabat Nabi SAW tersebut. Ketika itu, pemimpin suku tadi disengat oleh kalajengking. Mereka telah mengusahakan mengobatinya , tetapi tidak manjur sedikitpun. Sebagian mereka berkata, kalau kalian mendatangi kelompok yang pernah mengunjungi kamu, mudah-mudahan disisi sebagian mereka ada sesuatu yang dapat mengobatinya. Karena itu, datangilah mereka. Mereka bertanya kepada para sahabat Nabi SAW : "Hai kelompok itu, sesungguhnya pemimpin kami telah disengat kalajengking dan kami telah mengobatinya, tetapi tidak bermanfaat sedikitpun. Apakah di antara kalian ada yang membawa obatnya". Para sahabat Nabi SAW itu menjawab: “Ya, demi Allah kami dapat menjampinya. Tetapi berhubung kami pernah minta kalian jamu, namun kamu tidak menjamu kami, maka apa yang akan kami lakukan haruslah mendapatkan upah atau imbalan". Akhirnya mereka melakukan negoisasi dengan menyediakan imbalan berupa seekor kambing. Salah seorang sahabat Nabi SAW maju ke depan dan meniup dengan ludahnya dan membaca Alhamdulillahhirabbil’alamin, maka sembuhlah pemimpin suku tersebut seolah-olah dia bangkit dari ikatan tali dan berjalan dengan melakukan gerakan, sambil berkata, “Tunaikanlah upah mereka sebagaimana telah kalian janjikan dengan mereka”. Berkata sebagian sahabat Nabi SAW, bagikanlah kambing itu !. Tetapi sahabat yang menjampi tadi berkata, "Kita belum bisa menerimanya begitu saja sehingga kita mendatangi Rasulullah SAW dan mengabarinya apa yang telah terjadi, lalu kita tunggu apa yang diperintahkannya. Maka Para sahabat Nabi SAW menghadap Rasulullah SAW dan mengabarinya, maka Rasulullah SAW bersabda : “Tidak tahukah kamu ,bahwasannya Alhamdulillahhirabbil’alamin itu merupakan jampi?. Maka bagilah kambing itu dan berikan untukku satu bagian".(H.R. Bukhari)25
Hadits ini menceritakan bahwa Sahabat Nabi SAW pernah menjampi-jampi orang kena sengat kalajengking dengan Surat al-Fatihah dan Nabi SAW mentaqrirkannya (mengakuinya). Jadi, kalau ayat al-Qur’an bermanfa’at untuk pengobatan orang kena sengat kalajengking, tentunya untuk mayat lebih patut bermanfa’at.
5. Sabda Nabi SAW :
من دخل المقابر فقرأ سورة يس خفف عنهم له مثله وكان له لعدد من فيه حسنات
Artinya : Barang siapa yang memasuki pekuburan dengan membaca Surat Yasin, maka akan diringankan orang dalam pekuburan itu sebanding dengannya dan baginya sejumlah kebaikan (H.R. Abu Bakar Abdul Aziz) 26
6. Sabda Nabi SAW :
من زار قبر والديه كل جمعة أو أحدهما فقرأ عندهما يس والقرآن الحكيم غفر له بعدد كل آية وحرف
Artinya : Barangsiapa yang menziarahi kuburan kedua ibu bapaknya atau keduanya pada setiap Jum’at dengan membaca Yasin dan al-Qur’an al-Hakim, maka akan diampuninya sebanding setiap ayat dan huruf.(H.R. Ibnu Hibban dan Ibnu ‘Ady) 27
Ada sebagian orang menentang tahlil atau samadiyah dengan berargumentasi dengan hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah, yang berbunyi :
إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة إلا من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
Artinya : Apabila meninggal seorang manusia, maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang mau berdo’a untuknya. (H.R. Muslim) 28
Perlu dicatat bahwa hadits ini hanya membicarakan amalan orang yang sudah meninggal. Sedangkan tahlil dan samadiyah ini merupakan amalan orang masih hidup, dimana orang yang masih hidup mendo’akan sebagaimana pahala bacaan ayat al-Qur’an didapatinya supaya juga diberikan Allah kepada orang yang sudah meninggal. Berkata Ibnu Shalah dalam Fatawanya :
“Demikian juga hadits tersebut (hadits di atas) tidak menunjukkan batal pendapat yang mengatakan sampai hadiah pahala bacaan, karena hadits tersebut mengenai amalan simati. Sedangkan ini (hadiah pahala) merupakan amalan orang lain” 29
Penafsiran hadits ini secara ringkas adalah sebagai berikut :
a.Seseorang yang sudah meninggal, maka pahala amalannya semua terputus kecuali tiga yang disebut dalam hadits. Yang terputus di sini bukan amalannya, tetapi pahala amalan, karena amalan seseorang apabila dia meninggal akan terputus tanpa kecuali. 30
b.Tiga yang dikecualikan tersebut adalah amalan orang sudah meninggal, yaitu Pertama, sadaqah jariah, yakni waqaf yang dilakukan pada seseorang masih hidup. Pahalanya terus mengalir meskipun orang itu sudah meninggal. Kedua, ilmu yang bermanfaat, yakni ilmu yang pernah diberikan kepada orang lain tatkala dia masih hidup akan terus mengalir pahalanya kepada orang tersebut sepanjang ilmu itu masih dimanfaatkan orang. Ketiga, anak yang shaleh mau yang berdo’a kepadanya, yakni anak yang shaleh yang merupakan hasil usaha bimbingannya pada waktu dia masi hidup.
Dengan demikian, jelaslah bahwa hadits ini tidak relevan dengan masalah tahlil atau baca samadiyah. Karena tahlil atau samadiyah merupakan amalan orang yang masih hidup.
Dalil lain yang biasa dibawa oleh orang-orang yang menentang tahlil atau samadiyah adalah Q.S. al-Baqarah : 286, yaitu :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Q.S. al-Baqarah : 268)
Ayat ini hanya menjelaskan kepada kita bahwa setiap orang melakukan sebuah amalan, maka pahala amalannya itu menjadi hak orang yang melakukannya itu. Artinya tidak bisa kita yang melakukan, orang lain yang mendapatkannya. Namun karena ini menjadi hak orang yang melakukan amalan tersebut, maka dapat saja dia menghadiahkannya untuk orang lain dalam pengertian mendo’akan supaya orang lain juga mendapat pahala yang sama dengan pahala yang didapatinya. Ayat ini tidak boleh dipahami bahwa seseorang yang sudah meninggal dunia tidak dapat memperoleh pahala dari amalan orang lain, karena pemahaman seperti itu bertentangan dengan ijmak ulama sebagaimana uraian di atas bahwa telah terjadi ijmak ulama, sadaqah, do’a dan ibadah haji bermanfaat untuk orang yang sudah meninggal.
DAFTAR PUSTAKA
1.An-Nawawi, al-Fatawa, Hal. 47
2.Zainuddin al-Malibary, Fathul Muin, dicetak pada hamisy ‘I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 219
3.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 696, No. Hadits : 1004
4.Dr Wahbah Zuhaili, Fiqh Islami wa Adillatuhu, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 550
5.Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 146
6.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 803, No. Hadits : 153
7.Al-Bakry al-Damyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 219
8.Ibnu Shalah, Fatawa Ibnu Shalah, Dar al-Hadits, Kairo, Hal. 42
9.Al-Qurthubi, al-Tazkirah, Maktabah Dar al-Minhaj, Riyadh, Juz. I, Hal. 289-291
10.Dr Wahbah Zuhaili, Fiqh Islami wa Adillatuhu, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 551
11.An-Nawawi, al-Fatawa, Hal. 47
12.Zainuddin al-Malibary, Fathul Muin, dicetak pada hamisy ‘I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 220-221
13.Al-Bakry al-Damyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 220
14.Zainuddin al-Malibary, Fathul Muin, dicetak pada hamisy ‘I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 222
15.An-Nawawi, al-Azkar, al-Haramain, Hal. 150
16.Ibnu Hajar Haitamy, Fatawa al-Kubra al-fiqhiah, Darul Fikri, Beirut, Juz IV, Hal. 20
17.Muhyiddin Abdusshamad, al-Hujjaj al-Qathi’ah fi Shihah al-Mu’taqidaat wal-Amaliyaat al-Nahdliyah, Khalista, Surabaya, Hal. 166.
18.An-Nawawi, Riyadhusshalihin, Dar Ibnu al-Jauzy, Hal. 363
19.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. II, Hal. 95-96, No. Hadits : 1361
20.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 240-241, No. Hadits : 292
21.Al-Qurthubi, Tazkirah, Darul Minhaj, Riyadh, Juz. I, Hal. 276
22.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 697, No. Hadits : 1005
23.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 697, No. Hadits : 1006
24.Al-Qurthubi, al-Tazkirah, Maktabah Dar al-Minhaj, Riyadh, Juz. I, Hal. 277-279
25.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 133, No. Hadits : 5749
26.Al-Shakawy, al-Ajwabah al-Mardhiah, Darul Rayyah, Riyadh, Juz. I, Hal. 169
27.Al-Shakawy, al-Ajwabah al-Mardhiah, Darul Rayyah, Riyadh, Juz. I, Hal. 171
28.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1255, No. Hadits : 1631
29.Ibnu Shalah, Fatawa Ibnu Shalah, Dar al-Hadits, Kairo, Hal. 43
30.Lihat Al-Bakri al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 157
Selasa, 26 Juli 2011
hukuman Ta'zir
Menurut Qalyubi, ta’zir pada syara’ adalah memberi adab kepada pelaku dosa yang tidak had dan kifarat pada kebiasaan.1 Senada dengan pengertian ta’zir di atas pernyataan Imam An-Nawawi :
“Dita’zir setiap maksiat yang tidak ada had dan kifarat dengan memenjarakan, memukul, menempeleng, atau menghina dengan kalam. Imam berijtihad tentang jenis dan qadarnya”2 .
Berdasarkan dua pernyataan ulama besar di atas dan keterangan lainnya, ta’zir dilaksanakan oleh pemerntah atau lainnya yang diberikan kewenangan syara’ atasnya terhadap pelaku pelanggaran yang berakibat dosa yang tidak ada hukuman hudud dan kifarat pada kebiasaan. Sedangkan jenis dan kadar ta’zir diserahkan pada ijtihad pemerintah. Qaid “pada kebiasaan” ini karena ada juga terdapat hukuman ta’zir atas seseorang yang tidak melaku dosa, namun syara’ memerintahkan hukuman ta’zir atasnya, seperti memukul ringan terhadap anak-anak yang tidak mau shalat, padahal anak-anak tentunya tidak berkewajiban melaksanakan shalat
Adapun dalil dalil pelaksanaan ta’zir sebagai berikut :
1. Firman Allah Q.S. An-Nisa’ : 34.
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya : Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.( Q.S. An-Nisa’ : 34)
Zakariya Anshary menyebut Q.S. An-Nisa’ : 34 di atas sebagai dalil ta’zir sebelum terjadi ijmak.3
2. Qiyas.
Perintah kepada suami melakukan ta’zir atas isterinya apabila melakukan nusyuz pada ayat di atas adalah karena suami ada hak wilayat atas isterinya. Dengan demikian, pemerintah (imam) terhadap rakyatnya juga sama halnya dengan posisi suami terhadap isterinya.
3. Ijmak Ulama,
Sebagaimana telah disebut oleh Zakariya Anshary dalam Kitab Fathul Wahab 4, Ibnu Munzir mengatakan :
“Ijmak ulama bahwa seseorang laki-laki apabila berkata kepada lainnya : “Hai Yahudi atau Hai Nasrany”, atasnya ta’zir dan tidak ada hudud”.
Pada halaman berikutnya beliau berkata :
“Ijmak ulama bahwa bagi imam berhak menta’zir pada sebagian perkara”.5
4. Hadits Nabi SAW
من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان
Artinya : Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka hendaklah merobahnya dengan kekuasaannya, jika tidak mampu, hendaklah merobahnya dengan lisan dan jika tidak mampu juga, hendaklah merobahnya dengan hati. Yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.(H.R. Muslim)6
DAFTAR PUSTAKA
1.Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal 205
2.An-Nawawi, Minhaj at-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, , Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia , Juz. IV, Hal 205
3.Zakariya Anshary, Fath al-Wahab, dicetak pada hamisy Bujairumy, Darul Fikri, Juz. IV, Hal. 236
4.Zakariya Anshary, Fathul Wahab, dicetak pada hamisy Bujairumy, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 236.
5.Ibnu Munzir, Al-Ijmak, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 70 dan 71
6.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 69, No. Hadits : 49
“Dita’zir setiap maksiat yang tidak ada had dan kifarat dengan memenjarakan, memukul, menempeleng, atau menghina dengan kalam. Imam berijtihad tentang jenis dan qadarnya”2 .
Berdasarkan dua pernyataan ulama besar di atas dan keterangan lainnya, ta’zir dilaksanakan oleh pemerntah atau lainnya yang diberikan kewenangan syara’ atasnya terhadap pelaku pelanggaran yang berakibat dosa yang tidak ada hukuman hudud dan kifarat pada kebiasaan. Sedangkan jenis dan kadar ta’zir diserahkan pada ijtihad pemerintah. Qaid “pada kebiasaan” ini karena ada juga terdapat hukuman ta’zir atas seseorang yang tidak melaku dosa, namun syara’ memerintahkan hukuman ta’zir atasnya, seperti memukul ringan terhadap anak-anak yang tidak mau shalat, padahal anak-anak tentunya tidak berkewajiban melaksanakan shalat
Adapun dalil dalil pelaksanaan ta’zir sebagai berikut :
1. Firman Allah Q.S. An-Nisa’ : 34.
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya : Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.( Q.S. An-Nisa’ : 34)
Zakariya Anshary menyebut Q.S. An-Nisa’ : 34 di atas sebagai dalil ta’zir sebelum terjadi ijmak.3
2. Qiyas.
Perintah kepada suami melakukan ta’zir atas isterinya apabila melakukan nusyuz pada ayat di atas adalah karena suami ada hak wilayat atas isterinya. Dengan demikian, pemerintah (imam) terhadap rakyatnya juga sama halnya dengan posisi suami terhadap isterinya.
3. Ijmak Ulama,
Sebagaimana telah disebut oleh Zakariya Anshary dalam Kitab Fathul Wahab 4, Ibnu Munzir mengatakan :
“Ijmak ulama bahwa seseorang laki-laki apabila berkata kepada lainnya : “Hai Yahudi atau Hai Nasrany”, atasnya ta’zir dan tidak ada hudud”.
Pada halaman berikutnya beliau berkata :
“Ijmak ulama bahwa bagi imam berhak menta’zir pada sebagian perkara”.5
4. Hadits Nabi SAW
من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان
Artinya : Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka hendaklah merobahnya dengan kekuasaannya, jika tidak mampu, hendaklah merobahnya dengan lisan dan jika tidak mampu juga, hendaklah merobahnya dengan hati. Yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.(H.R. Muslim)6
DAFTAR PUSTAKA
1.Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal 205
2.An-Nawawi, Minhaj at-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, , Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia , Juz. IV, Hal 205
3.Zakariya Anshary, Fath al-Wahab, dicetak pada hamisy Bujairumy, Darul Fikri, Juz. IV, Hal. 236
4.Zakariya Anshary, Fathul Wahab, dicetak pada hamisy Bujairumy, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 236.
5.Ibnu Munzir, Al-Ijmak, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 70 dan 71
6.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 69, No. Hadits : 49
Makan bersama dalam satu tempat makanan
Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin 1 mengatakan :
“Adab ketujuh saat berhadapan dengan hidangan makanan adalah berusaha memperbanyak tangan pada makanan, meskipun dari keluarga atau anaknya.”
Selanjutnya al-Ghazali menyebut tiga buah hadits sebagai dalil kesimpulan beliau tersebut, yaitu :
1.Sabda Rasulullah SAW :
فاجتمعوا على طعامكم يبارك لكم فيه
Artinya : Berkumpullah kalian pada makanan kalian, niscaya makan kalian akan diberkahi.
Hadits ini menurut keterangan Zainuddin al-Iraqi, sanadnya hasan.2 Bunyi hadits ini secara lengkap terdapat dalam Sunan Abu Daud, yaitu hadits dari Wahsyi bin Harb dari bapaknya dari kakeknya, beliau berkata :
أن أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم قالوا يارسول الله إننا نأكل ولا نشبع قال فلعلكم تفترقون؟ قالوا نعم قال فاجتمعوا على طعامكم واذكروا اسم الله عليه يبارك لكم فيه
Artinya : Para sahabat Nabi SAW mengatakan : “Ya RAsululah, sesungguhnya kami makan dan tidak merasa kenyang”. Beliau menjawab : “Mungkin kalian makan sambil tercerai berai”. Mereka mengatakan : “Benar”. Beliau bersabda :“ Berkumpullah kalian pada makanan kalian dan sebutlah nama Allah niscaya makan kalian akan diberkahi”. (H.R.Abu Daud)3
2.Hadits Anas, beliau berkata :
كان رسول الله صلى الله عليه و سلم لا يأكل وحده
Artinya : Rasulullah SAW tidak pernah makan sendiri
Zainuddin al-Iraqi mengatakan :
“Hadits ini diriwayat oleh al-Kharaithy dalam al-Makarim al-Akhlaq dengan sanad dha’if.” 4
3.Sabda Rasulullah SAW :
خير الطعام ما كثرت عليه الأيدي
Artinya : Sebaik-baik makanan adalah yang banyak tangan atasnya
Hadits lain yang memperkuat kesimpulan al-Ghazali di atas, antara lain hadits Jabir bin Abdillah r.a, beliau berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda
طعام الواحد يكفي الاثنين وطعام الاثنين يكفي الأربعة وطعام الأربعة يكفي الثمانية
Artinya : Makanan untuk seorang cukup untuk dua orang, makanan dua orang cukup untuk empat orang dan makanan empat orang cukup untuk delapan orang (H.R. Muslim)5
DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 4 -5
2.Zainudin Al-Iraqi, Takhrij Ihya, dicetak dalam Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 4
3.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 373, No. Hadits : 3764
4.Zainudin Al-Iraqi, Takhrij Ihya, dicetak dalam Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 5
5.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1630, No. Hadits : 2059
“Adab ketujuh saat berhadapan dengan hidangan makanan adalah berusaha memperbanyak tangan pada makanan, meskipun dari keluarga atau anaknya.”
Selanjutnya al-Ghazali menyebut tiga buah hadits sebagai dalil kesimpulan beliau tersebut, yaitu :
1.Sabda Rasulullah SAW :
فاجتمعوا على طعامكم يبارك لكم فيه
Artinya : Berkumpullah kalian pada makanan kalian, niscaya makan kalian akan diberkahi.
Hadits ini menurut keterangan Zainuddin al-Iraqi, sanadnya hasan.2 Bunyi hadits ini secara lengkap terdapat dalam Sunan Abu Daud, yaitu hadits dari Wahsyi bin Harb dari bapaknya dari kakeknya, beliau berkata :
أن أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم قالوا يارسول الله إننا نأكل ولا نشبع قال فلعلكم تفترقون؟ قالوا نعم قال فاجتمعوا على طعامكم واذكروا اسم الله عليه يبارك لكم فيه
Artinya : Para sahabat Nabi SAW mengatakan : “Ya RAsululah, sesungguhnya kami makan dan tidak merasa kenyang”. Beliau menjawab : “Mungkin kalian makan sambil tercerai berai”. Mereka mengatakan : “Benar”. Beliau bersabda :“ Berkumpullah kalian pada makanan kalian dan sebutlah nama Allah niscaya makan kalian akan diberkahi”. (H.R.Abu Daud)3
2.Hadits Anas, beliau berkata :
كان رسول الله صلى الله عليه و سلم لا يأكل وحده
Artinya : Rasulullah SAW tidak pernah makan sendiri
Zainuddin al-Iraqi mengatakan :
“Hadits ini diriwayat oleh al-Kharaithy dalam al-Makarim al-Akhlaq dengan sanad dha’if.” 4
3.Sabda Rasulullah SAW :
خير الطعام ما كثرت عليه الأيدي
Artinya : Sebaik-baik makanan adalah yang banyak tangan atasnya
Hadits lain yang memperkuat kesimpulan al-Ghazali di atas, antara lain hadits Jabir bin Abdillah r.a, beliau berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda
طعام الواحد يكفي الاثنين وطعام الاثنين يكفي الأربعة وطعام الأربعة يكفي الثمانية
Artinya : Makanan untuk seorang cukup untuk dua orang, makanan dua orang cukup untuk empat orang dan makanan empat orang cukup untuk delapan orang (H.R. Muslim)5
DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 4 -5
2.Zainudin Al-Iraqi, Takhrij Ihya, dicetak dalam Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 4
3.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 373, No. Hadits : 3764
4.Zainudin Al-Iraqi, Takhrij Ihya, dicetak dalam Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 5
5.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1630, No. Hadits : 2059
Hukum mengkikir gigi, menyambung rambut dan menipis alis
Bagi wanita, mempercantik diri adalah hal yang biasa bahkan menjadi kebutuhannya. Islam memandang jika tujuannya untuk menyenangkan hati suami maka itu akan dinilai sebagai ibadah. Mempercantik diri, selama dengan cara yang wajar dan tanpa merubah ciptaan Allah Ta’ala dalam diri kita, tidaklah mengapa. Namun, ketika sudah ada yang ditambah-tambahkan atau dikurang-kurangkan maka itu terlarang, sebab seakan dia tidak mensyukuri nikmat yang ada pada dirinya.
Berikut pendapat ulama mengenai hukum memotong gigi, meyambung rambut dan menipis alis, antara lain :
1.Berkata al-Bakri ad-Damyathi :
“Haram memperhalus dan menjarangkan gigi dengan alat kikir dan seumpamanya supaya nampak cantik ” 1
2.Berkata Zainuddin al-Malibary :
“Haram memperhalus gigi dan meyambung rambut dengan rambut lain yang bernajis atau rambut manusia dan mengikat dengannya,tidak haram mengikat dengan sutera atau wol”.2
3.Salah seorang ulama Aceh terkenal, Syekh Muda Wali al-Khalidy berkata :
“Haram memotong gigi kalau untuk hendak bagus, tetapi kalau karena ada hajad seperti untuk obat, boleh”. 3
Dalilnya adalah sebagai berikut :
1.Allah berfirman mengkisahkan tentang ucapan Iblis:
وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآَمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آَذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآَمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا
Artinya : Dan Aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan Aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya. barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. (QS. An-Nisaa’: 119).
2.Hadits Nabi SAW :
أن جارية من الأنصار تزوجت، وأنها مرضت فتمعط شعرها، فأرادوا أن يصلوها، فسألوا النبي صلى الله عليه وسلم فقال: لعن الله الواصلة والمستوصلة
Artinya : Seorang wanita Anshar hendak menikah, dia dalam keadaan sakit dan rambutnya rontok, mereka hendak menyambungkan rambutnya, lalu mereka bertanya kepada Rasulullah SAW, Beliau menjawab: “Allah melaknat wanita penyambung rambut dan yang disambung rambutnya.” (HR. Bukhari 4 dan Muslim 5 )
Berkata Qadhi ‘Iyadh :
“Dipahami dari hadits tersebut bahwa meyambung rambut termasuk dosa besar yang laknat pelakunya dan yang membantu yang haram berserikat dalam dosa dengan pelakunya sebagaimana orang membantu perbuatan ta’at berserikat pada pahalanya”. 6
3.hadits Nabi SAW :
سألت امرأة النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله، إن ابنتي أصابتها الحصبة، فامرق شعرها، وإني زوجتها، أفأصل فيه؟ فقال: لعن الله الواصلة والمستوصلة
.Artinya : Ada seorang wanita bertanya kepada Rasulullah SAW : “Wahai Rasulullah, anak gadis saya terkena penyakit yang membuat rontok rambutnya dan saya hendak menikahkannya, apakah boleh saya sambung rambutnya?” Beliau bersabda: “Allah melaknat wanita penyambung rambut dan yang disambung rambutnya.” (HR. Bukhari )7
4.Hadits Nabi SAW :
لعن الله الواصلة والمستوصلة والواشمة والمستوشمة
Artinya : Allah melaknat wanita penyambung rambut dan yang disambung rambutnya, dan wanita pembuat tato dan yang bertato. (HR. Bukhari)8
5. Hadits dari Abdullah bin Mas’ud r.a., beliau berkata:
لعن الله الواشمات والمستوشمات والمتنمصات والمتفلجات للحسن المغيرات خلق الله
Artinya : Allah melaknat wanita pembuat tato dan yang bertato, wanita yang dicukur alis, dan dikikir giginya, dengan tujuan mempercantik diri mereka merubah ciptaan Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari)9
6. Hadits Nabi SAW :
لعن الله الواشمات والمستوشمات والنامصات والمتنمصات والمتفلجات للحسن المغيرات خلق الله
Artinya : Allah melaknat wanita pembuat tato dan yang bertato, wanita yang mencukur alis dan yang dicukur alisnya, dan dikikir giginya, dengan tujuan mempercantik diri, mereka merubah ciptaan Allah Ta’ala.(H.R. Muslim)10
Berkata Ibnu Hajar al-Asqalany :
“Almutafalijat adalah jamak dari mutafalijah artinya membuat atau menciptakan belahan (pembagian). Alfalj dengan fa, lam, dan jim adalah membuat jarak antara dua hal, Altafalluj adalah membagi antara dua hal yang berdempetan dengan menggunakan alat kikir dan semisalnya, secara khusus biasanya pada gigi yang double dan bagian depan di antara taring”.11
Jadi, al-Mutafalijat adalah upaya merenggangkan gigi yang tadinya berdempetan, agar kelihatan lebih bagus.
Berkata Imam Nawawi dalam Syarah Muslim :
“Adapun namishah dengan shad muhmalah adalah perempuan yang menghilangkan bulu pada wajahnya dan muntamishah adalah yang meminta dilakukan menghilangkannya. Perbuatan ini adalah haram kecuali apabila tumbuh jenggot dan kumis pada perempuan, maka tidak haram menghilangkannya bahkan disunnatkan menurut mazhab kita. Ibnu Jarir mengatakan : “Tidak boleh mencukur jenggot, kumis dan rambut di bawah bibirnya, dan tidak boleh pula merubah bentuknya, baik dengan penambahan atau pengurangan.” Madzhab kita, sebagaimana yang telah kami kemukakan, menganjurkan menghilangkan jenggot, kumis, dan rambut di bawah bibir . Sesungguhnya larangan hanya berlaku untuk alis dan bagian tepi dari wajah.”
Seterusnya Imam Nawawi menjelaskan :
“Adapun sabda Nabi SAW muflijaat lil husn, maknanya adalah dilakukan itu untuk kelihatan cantik. Ini mengisyaratkan yang diharamkan adalah yang dilakukan untuk kelihatan cantik. Adapun kalau karena ada hajad seperti karena obat atau aib pada gigi dan seumpamanya, maka tidak mengapa”. 12
Ibnu Hajar al-Asqalany dalam Fathul Bary mengutip perkataan Imam Ath Thabari yaitu :
“Dikecualikan dari hal itu, yakni apa-apa yang bisa mendatangkan bahaya dan gangguan seperti wanita yang memiliki gigi yang lebih atau kepanjangan (tonggos) yang dapat menghalanginya ketika makan.”13
7. Dari Ibnu Abbas r.a, beliau berkata :
لعنت الواصلة والمستوصلة، والنامصة والمتنمصة، والواشمة والمستوشمة من غير داء.
Artinya : Dilaknat wanita yang menyambung rambut dan yang disambung rambutnya, wanita yang menipiskan alis dan yang ditipiskan alisnya serta wanita pembuat tato dan yang bertato, kecuali karena berobat.”(HR. Abu Daud) 14
Kesimpulan
1.Memperhalus atau merenggang gigi yang doeble agar kelihatan bagus, meyambung rambut dan menipis alis, hukumnya adalah haram.
2.menyambung rambut, hukumnya haram apabila disambung dengan rambut yang najis atau dengan rambut manusia.
3.bagi perempuan yang tumbuh kumis, jenggot dan bulu di bawah bibir, boleh mencukurkannya, bahkan hukumnya sunnat
4.memiliki gigi yang lebih atau panjang yang dapat menghalangi makan ataupun menjadi suatu aib, boleh dipotong.
DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Bakri ad-Damyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 340
2.Zainuddin al-Malibary, Fathul Muin, dicetak pada hamisy I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 340
3.Syekh Muda Wali al-Khalidy, al-Fatawa, Nusantara, Bukit Tinggi, hal. 6
4.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 165, No. Hadits : 5934
5.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1677, No. Hadits : 2123
6.Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. XIV, Hal 105
7.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 166, No. Hadits : 5941
8.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 165, No. Hadits : 5937
9.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 167, No. Hadits : 5948
10.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1678, No. Hadits : 2125
11.Ibnu Hajar Al-Asqalany, Fathul Bari, Darul Fikri, Beirut, Juz. X, Hal. 372
12.Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. XIV, Hal 106-107
13.Ibnu Hajar Al-Asqalany, Fathul Bari, Darul Fikri, Beirut, Juz. X, Hal. 377
14.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 477, No. Hadits : 4170
Berikut pendapat ulama mengenai hukum memotong gigi, meyambung rambut dan menipis alis, antara lain :
1.Berkata al-Bakri ad-Damyathi :
“Haram memperhalus dan menjarangkan gigi dengan alat kikir dan seumpamanya supaya nampak cantik ” 1
2.Berkata Zainuddin al-Malibary :
“Haram memperhalus gigi dan meyambung rambut dengan rambut lain yang bernajis atau rambut manusia dan mengikat dengannya,tidak haram mengikat dengan sutera atau wol”.2
3.Salah seorang ulama Aceh terkenal, Syekh Muda Wali al-Khalidy berkata :
“Haram memotong gigi kalau untuk hendak bagus, tetapi kalau karena ada hajad seperti untuk obat, boleh”. 3
Dalilnya adalah sebagai berikut :
1.Allah berfirman mengkisahkan tentang ucapan Iblis:
وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآَمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آَذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآَمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا
Artinya : Dan Aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan Aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya. barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. (QS. An-Nisaa’: 119).
2.Hadits Nabi SAW :
أن جارية من الأنصار تزوجت، وأنها مرضت فتمعط شعرها، فأرادوا أن يصلوها، فسألوا النبي صلى الله عليه وسلم فقال: لعن الله الواصلة والمستوصلة
Artinya : Seorang wanita Anshar hendak menikah, dia dalam keadaan sakit dan rambutnya rontok, mereka hendak menyambungkan rambutnya, lalu mereka bertanya kepada Rasulullah SAW, Beliau menjawab: “Allah melaknat wanita penyambung rambut dan yang disambung rambutnya.” (HR. Bukhari 4 dan Muslim 5 )
Berkata Qadhi ‘Iyadh :
“Dipahami dari hadits tersebut bahwa meyambung rambut termasuk dosa besar yang laknat pelakunya dan yang membantu yang haram berserikat dalam dosa dengan pelakunya sebagaimana orang membantu perbuatan ta’at berserikat pada pahalanya”. 6
3.hadits Nabi SAW :
سألت امرأة النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله، إن ابنتي أصابتها الحصبة، فامرق شعرها، وإني زوجتها، أفأصل فيه؟ فقال: لعن الله الواصلة والمستوصلة
.Artinya : Ada seorang wanita bertanya kepada Rasulullah SAW : “Wahai Rasulullah, anak gadis saya terkena penyakit yang membuat rontok rambutnya dan saya hendak menikahkannya, apakah boleh saya sambung rambutnya?” Beliau bersabda: “Allah melaknat wanita penyambung rambut dan yang disambung rambutnya.” (HR. Bukhari )7
4.Hadits Nabi SAW :
لعن الله الواصلة والمستوصلة والواشمة والمستوشمة
Artinya : Allah melaknat wanita penyambung rambut dan yang disambung rambutnya, dan wanita pembuat tato dan yang bertato. (HR. Bukhari)8
5. Hadits dari Abdullah bin Mas’ud r.a., beliau berkata:
لعن الله الواشمات والمستوشمات والمتنمصات والمتفلجات للحسن المغيرات خلق الله
Artinya : Allah melaknat wanita pembuat tato dan yang bertato, wanita yang dicukur alis, dan dikikir giginya, dengan tujuan mempercantik diri mereka merubah ciptaan Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari)9
6. Hadits Nabi SAW :
لعن الله الواشمات والمستوشمات والنامصات والمتنمصات والمتفلجات للحسن المغيرات خلق الله
Artinya : Allah melaknat wanita pembuat tato dan yang bertato, wanita yang mencukur alis dan yang dicukur alisnya, dan dikikir giginya, dengan tujuan mempercantik diri, mereka merubah ciptaan Allah Ta’ala.(H.R. Muslim)10
Berkata Ibnu Hajar al-Asqalany :
“Almutafalijat adalah jamak dari mutafalijah artinya membuat atau menciptakan belahan (pembagian). Alfalj dengan fa, lam, dan jim adalah membuat jarak antara dua hal, Altafalluj adalah membagi antara dua hal yang berdempetan dengan menggunakan alat kikir dan semisalnya, secara khusus biasanya pada gigi yang double dan bagian depan di antara taring”.11
Jadi, al-Mutafalijat adalah upaya merenggangkan gigi yang tadinya berdempetan, agar kelihatan lebih bagus.
Berkata Imam Nawawi dalam Syarah Muslim :
“Adapun namishah dengan shad muhmalah adalah perempuan yang menghilangkan bulu pada wajahnya dan muntamishah adalah yang meminta dilakukan menghilangkannya. Perbuatan ini adalah haram kecuali apabila tumbuh jenggot dan kumis pada perempuan, maka tidak haram menghilangkannya bahkan disunnatkan menurut mazhab kita. Ibnu Jarir mengatakan : “Tidak boleh mencukur jenggot, kumis dan rambut di bawah bibirnya, dan tidak boleh pula merubah bentuknya, baik dengan penambahan atau pengurangan.” Madzhab kita, sebagaimana yang telah kami kemukakan, menganjurkan menghilangkan jenggot, kumis, dan rambut di bawah bibir . Sesungguhnya larangan hanya berlaku untuk alis dan bagian tepi dari wajah.”
Seterusnya Imam Nawawi menjelaskan :
“Adapun sabda Nabi SAW muflijaat lil husn, maknanya adalah dilakukan itu untuk kelihatan cantik. Ini mengisyaratkan yang diharamkan adalah yang dilakukan untuk kelihatan cantik. Adapun kalau karena ada hajad seperti karena obat atau aib pada gigi dan seumpamanya, maka tidak mengapa”. 12
Ibnu Hajar al-Asqalany dalam Fathul Bary mengutip perkataan Imam Ath Thabari yaitu :
“Dikecualikan dari hal itu, yakni apa-apa yang bisa mendatangkan bahaya dan gangguan seperti wanita yang memiliki gigi yang lebih atau kepanjangan (tonggos) yang dapat menghalanginya ketika makan.”13
7. Dari Ibnu Abbas r.a, beliau berkata :
لعنت الواصلة والمستوصلة، والنامصة والمتنمصة، والواشمة والمستوشمة من غير داء.
Artinya : Dilaknat wanita yang menyambung rambut dan yang disambung rambutnya, wanita yang menipiskan alis dan yang ditipiskan alisnya serta wanita pembuat tato dan yang bertato, kecuali karena berobat.”(HR. Abu Daud) 14
Kesimpulan
1.Memperhalus atau merenggang gigi yang doeble agar kelihatan bagus, meyambung rambut dan menipis alis, hukumnya adalah haram.
2.menyambung rambut, hukumnya haram apabila disambung dengan rambut yang najis atau dengan rambut manusia.
3.bagi perempuan yang tumbuh kumis, jenggot dan bulu di bawah bibir, boleh mencukurkannya, bahkan hukumnya sunnat
4.memiliki gigi yang lebih atau panjang yang dapat menghalangi makan ataupun menjadi suatu aib, boleh dipotong.
DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Bakri ad-Damyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 340
2.Zainuddin al-Malibary, Fathul Muin, dicetak pada hamisy I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 340
3.Syekh Muda Wali al-Khalidy, al-Fatawa, Nusantara, Bukit Tinggi, hal. 6
4.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 165, No. Hadits : 5934
5.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1677, No. Hadits : 2123
6.Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. XIV, Hal 105
7.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 166, No. Hadits : 5941
8.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 165, No. Hadits : 5937
9.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 167, No. Hadits : 5948
10.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1678, No. Hadits : 2125
11.Ibnu Hajar Al-Asqalany, Fathul Bari, Darul Fikri, Beirut, Juz. X, Hal. 372
12.Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. XIV, Hal 106-107
13.Ibnu Hajar Al-Asqalany, Fathul Bari, Darul Fikri, Beirut, Juz. X, Hal. 377
14.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 477, No. Hadits : 4170
Menjilati sisa makanan pada jari tangan setelah makan.
Menjilati sisa makanan pada jari tangan setelah makan termasuk sunnah. Imam al-Ghazali menagatakan :
“Hal-hal yang disunnatkan sesudah makan adalah berhenti sebelum kenyang dan menjilati jari tangannya”.1
Kesimpulan ini berdasarkan dalil-dalil berikut :
1.Hadits riwayat Ibnu Abbas, beliau berkata : Bahwa Rasulullah SAW bersabda :
إذا أكل أحدكم طعاما فلا يمسح يده حتى يلعقها أو يلعقها
Artinya : Apabila salah seorang diantara kalian makan, maka janganlah dia mengelap tangannya hingga dia menjilatnya atau dijilatkan kepada orang lain (H.R. Muslim)2
2.Hadits dari Ibnu Ka’ab bin Malik dari bapaknya, beliau berkata :
رأيت النبي صلى الله عليه و سلم يلعق أصابعه الثلاث من الطعام
Artinya : Aku pernah melihat Nabi SAW menjilat jari-jarinya yang tiga dari makanan (H.R. Muslim) 3
Abu Daud juga ada meriwayat hadits ini dari Ibnu Ka’ab bin Malik dari bapaknya, dengan lafazh :
أن النبي صلى الله عليه و سلم كان يأكل بثلاث أصابع ولا يمسح يده حتى يلعقها . صحيح
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW ketika makan, beliau mempergunakan tiga jari dan tidak mengelap tangannya sehingga menjilatinya dulu (H.R. Abu Daud, beliau berkata : “Hadits ini sahih”).4
DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 6
2.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1605, No. Hadits : 2031
3.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1605, No. Hadits : 2032
4.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Juz. 393, No. Hadits : 3848
“Hal-hal yang disunnatkan sesudah makan adalah berhenti sebelum kenyang dan menjilati jari tangannya”.1
Kesimpulan ini berdasarkan dalil-dalil berikut :
1.Hadits riwayat Ibnu Abbas, beliau berkata : Bahwa Rasulullah SAW bersabda :
إذا أكل أحدكم طعاما فلا يمسح يده حتى يلعقها أو يلعقها
Artinya : Apabila salah seorang diantara kalian makan, maka janganlah dia mengelap tangannya hingga dia menjilatnya atau dijilatkan kepada orang lain (H.R. Muslim)2
2.Hadits dari Ibnu Ka’ab bin Malik dari bapaknya, beliau berkata :
رأيت النبي صلى الله عليه و سلم يلعق أصابعه الثلاث من الطعام
Artinya : Aku pernah melihat Nabi SAW menjilat jari-jarinya yang tiga dari makanan (H.R. Muslim) 3
Abu Daud juga ada meriwayat hadits ini dari Ibnu Ka’ab bin Malik dari bapaknya, dengan lafazh :
أن النبي صلى الله عليه و سلم كان يأكل بثلاث أصابع ولا يمسح يده حتى يلعقها . صحيح
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW ketika makan, beliau mempergunakan tiga jari dan tidak mengelap tangannya sehingga menjilatinya dulu (H.R. Abu Daud, beliau berkata : “Hadits ini sahih”).4
DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 6
2.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1605, No. Hadits : 2031
3.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1605, No. Hadits : 2032
4.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Juz. 393, No. Hadits : 3848
Memakai Inai bagi Laki-Laki
Memakai inai bagi laki-laki, hukumnya adalah haram. Hal ini sesuai dengan keterangan Ibnu Hajar al-Haitamy, beliau berkata :
“Hukum memakai inai pada tangan dan kaki laki-laki tanpa ada keadaan darurat adalah haram berdasarkan pendapat muktamad di sisi Nawawi dan lainnya, karena itu termasuk perhiasan perempuan. Sesungguhnya Nabi SAW dalam hadits yang shahih telah melaknat orang-orang yang menyerupai dengan perempuan” .1
Hadits yang dimaksud Ibnu Hajar di atas adalah :
لعن رسول الله صلعم المتشبهين من الرجال بالنساء والمتشبهات من النساء بالرجال
Artinya : Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki (H.R. Bukhari)2
DAFTAR PUSTAKA
1.Ibnu Hajar Haitamy, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 257
2.Mushtafa Muhammad Imarah, Jawahir Bukhary, al-Haramain, Singapura, Hal. 431
“Hukum memakai inai pada tangan dan kaki laki-laki tanpa ada keadaan darurat adalah haram berdasarkan pendapat muktamad di sisi Nawawi dan lainnya, karena itu termasuk perhiasan perempuan. Sesungguhnya Nabi SAW dalam hadits yang shahih telah melaknat orang-orang yang menyerupai dengan perempuan” .1
Hadits yang dimaksud Ibnu Hajar di atas adalah :
لعن رسول الله صلعم المتشبهين من الرجال بالنساء والمتشبهات من النساء بالرجال
Artinya : Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki (H.R. Bukhari)2
DAFTAR PUSTAKA
1.Ibnu Hajar Haitamy, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 257
2.Mushtafa Muhammad Imarah, Jawahir Bukhary, al-Haramain, Singapura, Hal. 431
Niat zikir pada takbir intiqalat secara jihar bagi imam shalat
Berikut pendapat ulama Syafi’iyah mengenai niat zikir pada takbir intiqalat (takbir untuk berpindah dari rukun shalat kepada rukun lain) secara jihar bagi imam shalat
1.Zainuddin al-Malibary mengatakan :
“Disunatkan jihar takbir intiqalat sama halnya dengan takbiratul-ihram bagi imam, demikian juga bagi muballigh jika membutuhkannya, tetapi jika ada niat zikir atau niat zikir dan memperdengarkannya. Dan jika tidak, maka batal shalatnya sebagaimana yang telah dikatakan oleh Syaikhuna dalam syarah al-Minhaj.” 1
2.Batal shalat sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Zainuddin al-Malibari di atas, oleh al-Bakri al-Damyathi menyebut alasannya karena posisi seseorang sebagai imam mengeluarkan keadaan takbir itu dari posisi sebagai zikir kepada posisi berbicara dengan manusia. 2
3.Ibrahim al-Bajuri mengatakan
“Pada takbir intiqalat, Imam dan muballiqh mengqashad zikir saja atau zikir dan memberitahu, tidak memberitahu saja, karena itu mudharat. Demikian juga secara mutlaq pada haq orang alim berbeda halnya dengan orang awam. Untuk itu, tidak boleh tidak qashad zikir pada setiap takbir menurut al-Ramli dan memadai qashadnya pada takbir pertama menurut al-Khathib.” 3
Sebagaimana dikemukakan oleh al-Bakri al-Damyathi di atas, kewajiban niat zikir pada takbir intiqalat imam yang dilakukan secara jihar, karena posisi seseorang sebagai imam mengeluarkan keadaan takbir itu dari posisi sebagai zikir kepada posisi berbicara dengan manusia, sedangkan berbicara dalam shalat tidak dibolehkan dan dapat membatalkan shalat seseorang . Oleh karena itu, supaya tidak keluar takbir tersebut sebagai zikir, maka diharuskan niat zikir.
Berbicara dalam shalat dapat membatalkan shalat adalah berdasarkan hadits Nabi SAW :
إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيهَا شَىْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ
Artinya : Sesungguhnya shalat itu tidak pantas disertai dengan percakapan manusia. Yang layak dalam shalat adalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an (H.R. Muslim) 4
DAFTAR PUSTAKA
1.Zainuddin al-Malibary, Fath al-Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 154
2.Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 154
3.Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri, A-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 170
4.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 70, No. Hadits : 1227
1.Zainuddin al-Malibary mengatakan :
“Disunatkan jihar takbir intiqalat sama halnya dengan takbiratul-ihram bagi imam, demikian juga bagi muballigh jika membutuhkannya, tetapi jika ada niat zikir atau niat zikir dan memperdengarkannya. Dan jika tidak, maka batal shalatnya sebagaimana yang telah dikatakan oleh Syaikhuna dalam syarah al-Minhaj.” 1
2.Batal shalat sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Zainuddin al-Malibari di atas, oleh al-Bakri al-Damyathi menyebut alasannya karena posisi seseorang sebagai imam mengeluarkan keadaan takbir itu dari posisi sebagai zikir kepada posisi berbicara dengan manusia. 2
3.Ibrahim al-Bajuri mengatakan
“Pada takbir intiqalat, Imam dan muballiqh mengqashad zikir saja atau zikir dan memberitahu, tidak memberitahu saja, karena itu mudharat. Demikian juga secara mutlaq pada haq orang alim berbeda halnya dengan orang awam. Untuk itu, tidak boleh tidak qashad zikir pada setiap takbir menurut al-Ramli dan memadai qashadnya pada takbir pertama menurut al-Khathib.” 3
Sebagaimana dikemukakan oleh al-Bakri al-Damyathi di atas, kewajiban niat zikir pada takbir intiqalat imam yang dilakukan secara jihar, karena posisi seseorang sebagai imam mengeluarkan keadaan takbir itu dari posisi sebagai zikir kepada posisi berbicara dengan manusia, sedangkan berbicara dalam shalat tidak dibolehkan dan dapat membatalkan shalat seseorang . Oleh karena itu, supaya tidak keluar takbir tersebut sebagai zikir, maka diharuskan niat zikir.
Berbicara dalam shalat dapat membatalkan shalat adalah berdasarkan hadits Nabi SAW :
إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيهَا شَىْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ
Artinya : Sesungguhnya shalat itu tidak pantas disertai dengan percakapan manusia. Yang layak dalam shalat adalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an (H.R. Muslim) 4
DAFTAR PUSTAKA
1.Zainuddin al-Malibary, Fath al-Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 154
2.Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 154
3.Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri, A-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 170
4.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 70, No. Hadits : 1227
Senin, 25 Juli 2011
Ghayatul Wushul (terjemahan & penjelasannya), Pengertian hukum-hukum Islam, Hal. 11
( وَ ) بما ذكر (عُرِفَتْ حُدُوْدُهَا ) أى حدود المذكورات من اقسام خطاب التكليف فحد الإيجاب مثلا الخطاب المقتضى لفعل غير كف اقتضاء جازما واما حدود اقسام خطاب الوضع فتعرف من حده المشهور الذى قدمته وهو الخطاب الوارد بكون الشئ سببا الخ فحد السببى منه مثلا الخطاب الوارد بكون الشئ سببا لحكم شئ واما حدود السبب وغيره من اقسام متعلق خطاب الوضع فسيأتى وكذا حد الحد بالجامع المانع الدافع للإعتراض بأن ما عرّف رسوم لاحدود لأن المميز فيها خارج عن الماهية
(Dan) berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan, (dapat diketahui devinisi-devinisinya) yaitu devinisi tersebut yakni pembagian khithab taklif. Dengan demikian sebagai contoh, maka devinisi ijab adalah titah yang menuntut sebuah perbuatan yang bukan meninggalkan sebagai tuntutan yang mesti(1) dan adapun devinisi pembagian khithab wadh’i, dapat diketahui dari devinisinya yang masyhur yang telah kami dahulukannya, yaitu titah yang datang menyatakan sesuatu sebagai sebab dan seterusnya. Maka sebagai contoh, devinisi al-sababiy adalah titah yang datang menyatakan sesuatu sebagai sebab bagi hukum sesuatu.(2) Adapun devinisi sebab dan pembagian tempat ta’alluq khithab wadh’i akan datang pembahasannya, demikian juga devinisi dari devinisi/hadd dengan jaami’ dan maani’(3) guna menolak kritikan bahwa yang sudah didevinisikan itu adalah rasm, bukan hadd,(4) karena yang menjadi pembeda dalam devinisi tersebut adalah yang keluar dari mahiah.(5)
Penjelasannya
(1). Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa :
a. Nadab adalah : titah yang menuntut sebuah perbuatan yang bukan meninggalkan sebagai tuntutan yang tidak mesti.
b. Tahrim adalah : titah yang menuntut meninggalkan suatu perbuatan sebagai tuntutan yang mesti
c. Karahah adalah : titah yang menuntut meninggalkan suatu perbuatan sebagai tuntutan yang tidak mesti dengan larangan yang diqashadkan
d. Khilaf aula adalah : titah yang menuntut meninggalkan suatu perbuatan sebagai tuntutan yang tidak mesti dengan larangan yang tidak diqashadkan
(2). Berdasarkan ini, dapat dipahami bahwa devinisi maani’, syarthiy, shahihiy dan fasidiy sebagai khithab wadh’i, yaitu :
a. Maani’iy adalah titah yang datang menyatakan sesuatu sebagai penghalang berlaku hukum sesuatu.
b. Syarthiy adalah titah yang datang menyatakan sesuatu sebagai syarat bagi hukum sesuatu.
c. Shahihiy adalah titah yang datang menyatakan sesuatu itu shahih
d. Fasidiy adalah titah yang datang menyatakan sesuatu itu fasid
(3). Pengertian Jaami’ dalam devinisi hadd di atas adalah lafazh yang mencakup semua satuan-satuan dari lafazh yang didevinisikan. Sedangkan maanii’ adalah yang mencegah masuknya selain satuan dari lafazh yang didevinisikan dalam lafazh yang didevinisikan.1 Pada contoh manusia adalah hewan yang berbicara, maka lafazh “hewan” sebagai jaami’ dan “yang berbicara” sebagai maani’.
(4). Jadi pengertian hadd di sini bukanlah hadd sebagaimana yang dimaklumi, tetapi dengan pengertian ta’rif yang masuk didalamnya hadd dan juga rasm.
(5). Mahiah adalah diri sesuatu. Dalam kitab Hasyiah al-Hufni ‘ala Syarah Isaaghuji disebut sebagai “maa bihi al-syai-u huwa huwa”.2 Dengan demikian, yang keluar dari mahiah adalah sifat sesuatu atau pada yang baharu sering disebut dengan ‘aradh.
DAFTAR PUSTAKA
1.Ahmad Damanhuri, Idhah al-Mubham min Ma’ani al-Sulam, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Hal. 29
2.Al-Hufni, Hasyiah al-Hufni ‘ala Syarah Isaaghuji, Badar al-Saqaf, Surabaya, Hal. 25
(Dan) berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan, (dapat diketahui devinisi-devinisinya) yaitu devinisi tersebut yakni pembagian khithab taklif. Dengan demikian sebagai contoh, maka devinisi ijab adalah titah yang menuntut sebuah perbuatan yang bukan meninggalkan sebagai tuntutan yang mesti(1) dan adapun devinisi pembagian khithab wadh’i, dapat diketahui dari devinisinya yang masyhur yang telah kami dahulukannya, yaitu titah yang datang menyatakan sesuatu sebagai sebab dan seterusnya. Maka sebagai contoh, devinisi al-sababiy adalah titah yang datang menyatakan sesuatu sebagai sebab bagi hukum sesuatu.(2) Adapun devinisi sebab dan pembagian tempat ta’alluq khithab wadh’i akan datang pembahasannya, demikian juga devinisi dari devinisi/hadd dengan jaami’ dan maani’(3) guna menolak kritikan bahwa yang sudah didevinisikan itu adalah rasm, bukan hadd,(4) karena yang menjadi pembeda dalam devinisi tersebut adalah yang keluar dari mahiah.(5)
Penjelasannya
(1). Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa :
a. Nadab adalah : titah yang menuntut sebuah perbuatan yang bukan meninggalkan sebagai tuntutan yang tidak mesti.
b. Tahrim adalah : titah yang menuntut meninggalkan suatu perbuatan sebagai tuntutan yang mesti
c. Karahah adalah : titah yang menuntut meninggalkan suatu perbuatan sebagai tuntutan yang tidak mesti dengan larangan yang diqashadkan
d. Khilaf aula adalah : titah yang menuntut meninggalkan suatu perbuatan sebagai tuntutan yang tidak mesti dengan larangan yang tidak diqashadkan
(2). Berdasarkan ini, dapat dipahami bahwa devinisi maani’, syarthiy, shahihiy dan fasidiy sebagai khithab wadh’i, yaitu :
a. Maani’iy adalah titah yang datang menyatakan sesuatu sebagai penghalang berlaku hukum sesuatu.
b. Syarthiy adalah titah yang datang menyatakan sesuatu sebagai syarat bagi hukum sesuatu.
c. Shahihiy adalah titah yang datang menyatakan sesuatu itu shahih
d. Fasidiy adalah titah yang datang menyatakan sesuatu itu fasid
(3). Pengertian Jaami’ dalam devinisi hadd di atas adalah lafazh yang mencakup semua satuan-satuan dari lafazh yang didevinisikan. Sedangkan maanii’ adalah yang mencegah masuknya selain satuan dari lafazh yang didevinisikan dalam lafazh yang didevinisikan.1 Pada contoh manusia adalah hewan yang berbicara, maka lafazh “hewan” sebagai jaami’ dan “yang berbicara” sebagai maani’.
(4). Jadi pengertian hadd di sini bukanlah hadd sebagaimana yang dimaklumi, tetapi dengan pengertian ta’rif yang masuk didalamnya hadd dan juga rasm.
(5). Mahiah adalah diri sesuatu. Dalam kitab Hasyiah al-Hufni ‘ala Syarah Isaaghuji disebut sebagai “maa bihi al-syai-u huwa huwa”.2 Dengan demikian, yang keluar dari mahiah adalah sifat sesuatu atau pada yang baharu sering disebut dengan ‘aradh.
DAFTAR PUSTAKA
1.Ahmad Damanhuri, Idhah al-Mubham min Ma’ani al-Sulam, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Hal. 29
2.Al-Hufni, Hasyiah al-Hufni ‘ala Syarah Isaaghuji, Badar al-Saqaf, Surabaya, Hal. 25
Ghayatul Wushul (terjemahan & penjelasannya), Pengertian hukum,-hukum Islam, Hal. 10-11
( فَإِنِْ اقْتَضَىْ ) أى طلب الخطاب الذى هو كلام الله النفسى ( فِعْلاً غَيْرَ كَفٍّ ) من المكلف ( إِقْتِضَاءً جَازِمًا ) بأن لم يجز تركه ( فَإيْجَابٌ ) أى فهذا الخطاب يسمى إيجابا ( أَوْ ) اقتضاء ( غَيْرَ جَازِمٍ ) بأن جوز تركه ( فَنَدْبٌ أَوْ ) اقتضى ( كَفًّا ) اقتضاء ( جَازِمًا )بأن لم يجز فعله( فَتَحْرِيْمٌ أَوْ ) اقتضاء ( غَيْرَ جَازِمٍ بِنَهْيٍ مَقْصُوْدٍ ) لشئ كالنهى فى خبر الصحيحين " اذا دخل أحدكم المسجد فلا يجلس حتى يصلى ركعتين ( فَكَرَاهَةٌ ) أى فالخطاب المدلول عليه بالمقصود يسمى كراهة ولا يخرج عن المقصود دليل المكروه اجماعا أوقياسا لأنه فى الحقيقة مستند الإجماع أودليل المقيس عليه وذلك من المقصود وقد يعبرون عن الإيجاب والتحريم بالوجوب والحرمة لأنهما أثرهما وقد يعبرون عن الخمسة بمتعلقاتها من الأفعال كالعكس تجوزا فيقولون فى الأول الحكم اما واجب أو مندوب الخ وفى الثانى الفعل اما ايجاب أو ندب الخ ( أَوْ بِغَيْرِ مَقْصُوْدٍ ) وهو النهى عن ترك المندوبات المستفاد من أوامرها اذ الأمر بشئ يفيد النهى عن تركه ( فَخِلاَفُ الأَوْلَىْ ) أى فالخطاب المدلول عليه بغير المقصود يسمى خلاف الأولى كما يسماه متعلقه فعلا غير كف كان كفطر مسافر لا يتضرر بالصوم كما سيأتى أوكفا كترك صلاة الضحى والفرق بين قسمى المقصود وغيره ان الطلب فى المقصود اشد منه فى غيره والقسم الثانى وهو واسطة بين الكراهة والإباحة زاده جماعة من متأخرى الفقهاء منهم امام الحرمين على الأصوليين وأما المتقدمون فيطلقون المكروه على القسمين وقد يقولون فى الأول مكروه كراهة شديدة كما يقال فى قسم المندوب سنة مؤكدة وعلى ماعليه الأصوليون يقال أوغير جازم فكراهة ( أَوْ خُيِّرَ ) الخطاب بين الفعل المذكور والكف عنه ( فَإِبَاحَةٌ ) وتعبيرى بخير سالم مما يرد على تعبيره بالتخيير من انه يقتضى ان فى الإباحة اقتضاء وليس كذلك وان كان عن الإيراد جواب وزدت غير كف لأسلم من مقابلة الفعل بالكف الذى عبر عنه الأصل بالترك وهو لايقابل به اذ الكف فعل والترك فعل هو كف كما سيأتى
(Dengan demikian, jika menuntut) artinya titah yang merupakan kalam Allah yang bersifat nafsi menuntut (perbuatan yang bukan meninggalkan) dari mukallaf (sebagai tuntutan yang mesti,) dengan makna tidak boleh meninggalkannya (maka adalah ijab) yakni Khithab ini dinamakan dengan ijab )atau) sebagai tuntutan (yang tidak mesti) yakni boleh meninggalkannya (maka adalah nadab atau) menuntut (meninggalkannya) sebagai tuntutan (yang mesti) yakni tidak boleh melakukannya (maka adalah tahrim atau) sebagai tuntutan (yang tidak mesti dengan larangan yang diqashadkan) bagi sesuatu seperti larangan pada hadits Shahihain “Apabila salah seorang kamu memasuki masjid, maka jangan duduk sehingga melakukan shalat dua raka’at”(1) (maka adalah karahah).Maka titah yang ditunjuki atasnya dengan yang diqashadkan dinamakan karahah. Dalil makruh dalam bentuk ijmak dan qiyas tidak keluar dari yang diqashadkan, karena titah yang ditunjuki atasnya dengan yang diqashadkan, pada hakikatnya adalah sandaran ijmak atau dalil maqis ‘alaihi.(2) Sedangkan hal itu termasuk dari yang diqashadkan. Kadang-kadang mereka meng’ibaratkan untuk ijab dan tahrim dengan wujub dan haram, karena wujud dan haram merupakan akibat dari ijab dan tahrim. Kadang-kadang mereka meng’ibaratkan untuk yang lima itu dengan perbuatan yang merupakan tempat ta’alluq-nya demikian juga sebaliknya dengan jalan majaz.(3) Maka mereka mengatakan pada masalah pertama, “hukum adakalanya wajib atau mandub” dan seterusnya dan pada masalah kedua, “Perbuatan adakalanya ijab atau nadab” dan seterusnya(4) (atau dengan larangan yang tidak diqashadkan) yaitu larangan dari meninggalkan perbuatan sunnat yang dipahami dari perintah melakukannya, karena perintah sesuatu menunjukkan kepada larangan meninggalkannya (maka adalah khilaf aula). Maka titah yang ditunjuki atasnya dengan yang tidak diqashadkan dinamakan dengan khilaf aula, sebagaimana dinamakan tempat ta’alluqnya dengan khilaf aula pula, baik perbuatan yang bukan meninggalkan seperti berbuka puasa musafir yang tidak mudharat dengan sebab puasa sebagaimana yang akan datang atau perbuatan meninggalkan seperti meninggalkan shalat dhuha. Perbedaan diantara dua pembagian, yakni yang diqashadkan dengan yang tidak diqashadkan adalah tuntutan pada yang diqashadkan lebih berat dari pada tuntutan pada yang tidak diqashadkan. Pembagian kedua yang merupakan perantara antara karahah dan ibahah, telah ditambah oleh satu jama’ah dari mutaakhirun fuqaha atas pembagian Ushuliyun. Termasuk dari mutaakhirun itu adalah Imam Haramain. (atau membuat pilihan) oleh titah tersebut antara perbuatan yang telah disebutkan atau meninggalkannya (maka adalah ibahah) ‘Ibaratku dengan khaiyara selamat dari hal-hal yang mendatangkan kritikan atas ‘ibarat Ashal dengan takhyir yaitu ‘ibarat dengan takhyir menghendaki tuntutan pada ibahah,(5) padahal tuntutan itu tidak ada, meskipun untuk kritikan itu ada jawabannya. Saya lebihkan perkatakan “ghairu kaff/bukan meninggalkan” karena saya selamatkan dari lawan perbuatan meninggalkan yang di’ibaratkan oleh Ashal dengan tark. Tark itu tidak berlawanan dengan perbuatan, karena kaff adalah perbuatan dan tark juga perbuatan yang dianya itu adalah kaff sebagaimana akan datang.
Penjelasannya
(1)Hadits ini diriwayat oleh Bukhari 1 dan Muslim 2 dalam Shahihain
(2)Maqis ‘alaihi adalah asal yang menjadi tempat qiyas kasus yang tidak nash dari syara’(furu’).3 Contoh hukum makruh dengan ijmak adalah berpaling dalam shalat.4 Yang menjadi tinjauan apakah larangan di sini termasuk larangan yang diqashadkan adalah sandaran dalil dari ijmak ini, yaitu hadits riwayat Anas, beliau berkata : Rasulullah SAW bersabda kepadaku :
اياك والالتفات في الصلاة
Artinya : Jauhkan berpaling dalam shalat (H.R. Turmidzi) 5
Sedangkan contoh hukum makruh dengan dalil qiyas adalah makruh memasuki masjid orang yang berbau mulut karena makan makanan yang berbau keji karena qiyas kepada makruh memasuki masjid orang yang makan bawang putih6 yang ditetapkan berdasarkan hadits :
من أكل من هذه الشجرة فلا يقربن مسجدنا ولا يؤذينا بريح الثوم
Artinya : Barangsiapa yang makan pohon ini, maka jangan mendekati masjid kami dan jangan menyakiti kami dengan bau bawang putih (H.R. Muslim) 7
Yang menjadi tinjauan apakah larangan di sini termasuk larangan yang diqashadkan adalah dalil maqis ‘alaihi, yaitu hadits di atas.
(3)Majaz yang dimaksud di sini adalah majaz mursal, yaitu menggunakan sebuah lafazh kepada yang bukan makna aslinya karena ada ‘alaqah (hubungan) yang tidak serupa seperti menggunakan lafazh kul untuk makna sebagian, sebab untuk akibat, keadaan untuk sesuatu yang menjadi tempat berdiri keadaan itu dan sebaliknya dan lain-lain.8 Meng’ibaratkan untuk ijab dan tahrim dengan wujub dan haram merupakan majaz mursal dengan ‘alaqah-nya menyebut suatu lafazh dengan makna lazimnya dan meng’ibarat untuk yang lima yaitu ijab, nadab, tahrim, ibahah dan karahah dengan perbuatan yang merupakan tempat ta’alluq-nya, yaitu wajib, mandub, mahdhurah, mubah dan makruh, demikian juga sebaliknya adalah majaz mursal dengan alaqah-nya menyebut sesuatu yang menjadi tempat berdiri keadaan dengan makna keadaan
(4)Masalah pertama adalah meng’ibaratkan untuk yang lima, yaitu ijab, nadab, tahrim, ibahah dan karahah dengan perbuatan yang merupakan tempat ta’alluq-nya dan masalah kedua adalah sebaliknya
(5)Kalau di’ibarat dengan takhyir, maka takhyir tersebut di-athaf atas fi’lan ghaira kaffin, tentunya menghendaki ada tuntutan pada ibahah. Karena menjadi makna kalam : “kalau titah itu menuntut pilihan…dan seterusnya.” Diantara jawaban yang dikemukan untuk menjawab kritikan terhadap ‘ibarat takhyir antara lain ;
a.Iqtizha’ bermakna ifadah, bukan khusus tuntutan. Namun di sini menghendaki berhimpunnya hakikat dan majaz pada satu kata.
b.Iqtizha’ ada bermakna a’lama dan ada bermakna addaa. Di sini menghendaki pemakaian satu lafazh musytarak pada dua makna. 9
DAFTAR PUSTAKA
1.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. II, Hal. 56, No. Hadits 1163
2.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 495, No. Hadits : 714
3.Zakariya Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 111
4.Ibnu Abd al-Bar, Ijmak Ibnu Abd al-Bar, Dar al-Qasim, Riyadh, Hal. 70
5.Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqh Islami wa Adillatuhu, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 777
6.Zarkasyi, I’lam al-Sajid bi Ahkam al-mMsjid, Kairo, Hal. 329
7.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 394, No. Hadits : 563
8.Ahmad Damanhuri, Syarah Haliah al-Labb al-Mashun, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Hal. 147-148
9.Jalaluddin al-Mahalli dan Syaikh al-‘Ithar, Syarah Jam’u al-Jawami’ dan Hasyiahnya, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 117
(Dengan demikian, jika menuntut) artinya titah yang merupakan kalam Allah yang bersifat nafsi menuntut (perbuatan yang bukan meninggalkan) dari mukallaf (sebagai tuntutan yang mesti,) dengan makna tidak boleh meninggalkannya (maka adalah ijab) yakni Khithab ini dinamakan dengan ijab )atau) sebagai tuntutan (yang tidak mesti) yakni boleh meninggalkannya (maka adalah nadab atau) menuntut (meninggalkannya) sebagai tuntutan (yang mesti) yakni tidak boleh melakukannya (maka adalah tahrim atau) sebagai tuntutan (yang tidak mesti dengan larangan yang diqashadkan) bagi sesuatu seperti larangan pada hadits Shahihain “Apabila salah seorang kamu memasuki masjid, maka jangan duduk sehingga melakukan shalat dua raka’at”(1) (maka adalah karahah).Maka titah yang ditunjuki atasnya dengan yang diqashadkan dinamakan karahah. Dalil makruh dalam bentuk ijmak dan qiyas tidak keluar dari yang diqashadkan, karena titah yang ditunjuki atasnya dengan yang diqashadkan, pada hakikatnya adalah sandaran ijmak atau dalil maqis ‘alaihi.(2) Sedangkan hal itu termasuk dari yang diqashadkan. Kadang-kadang mereka meng’ibaratkan untuk ijab dan tahrim dengan wujub dan haram, karena wujud dan haram merupakan akibat dari ijab dan tahrim. Kadang-kadang mereka meng’ibaratkan untuk yang lima itu dengan perbuatan yang merupakan tempat ta’alluq-nya demikian juga sebaliknya dengan jalan majaz.(3) Maka mereka mengatakan pada masalah pertama, “hukum adakalanya wajib atau mandub” dan seterusnya dan pada masalah kedua, “Perbuatan adakalanya ijab atau nadab” dan seterusnya(4) (atau dengan larangan yang tidak diqashadkan) yaitu larangan dari meninggalkan perbuatan sunnat yang dipahami dari perintah melakukannya, karena perintah sesuatu menunjukkan kepada larangan meninggalkannya (maka adalah khilaf aula). Maka titah yang ditunjuki atasnya dengan yang tidak diqashadkan dinamakan dengan khilaf aula, sebagaimana dinamakan tempat ta’alluqnya dengan khilaf aula pula, baik perbuatan yang bukan meninggalkan seperti berbuka puasa musafir yang tidak mudharat dengan sebab puasa sebagaimana yang akan datang atau perbuatan meninggalkan seperti meninggalkan shalat dhuha. Perbedaan diantara dua pembagian, yakni yang diqashadkan dengan yang tidak diqashadkan adalah tuntutan pada yang diqashadkan lebih berat dari pada tuntutan pada yang tidak diqashadkan. Pembagian kedua yang merupakan perantara antara karahah dan ibahah, telah ditambah oleh satu jama’ah dari mutaakhirun fuqaha atas pembagian Ushuliyun. Termasuk dari mutaakhirun itu adalah Imam Haramain. (atau membuat pilihan) oleh titah tersebut antara perbuatan yang telah disebutkan atau meninggalkannya (maka adalah ibahah) ‘Ibaratku dengan khaiyara selamat dari hal-hal yang mendatangkan kritikan atas ‘ibarat Ashal dengan takhyir yaitu ‘ibarat dengan takhyir menghendaki tuntutan pada ibahah,(5) padahal tuntutan itu tidak ada, meskipun untuk kritikan itu ada jawabannya. Saya lebihkan perkatakan “ghairu kaff/bukan meninggalkan” karena saya selamatkan dari lawan perbuatan meninggalkan yang di’ibaratkan oleh Ashal dengan tark. Tark itu tidak berlawanan dengan perbuatan, karena kaff adalah perbuatan dan tark juga perbuatan yang dianya itu adalah kaff sebagaimana akan datang.
Penjelasannya
(1)Hadits ini diriwayat oleh Bukhari 1 dan Muslim 2 dalam Shahihain
(2)Maqis ‘alaihi adalah asal yang menjadi tempat qiyas kasus yang tidak nash dari syara’(furu’).3 Contoh hukum makruh dengan ijmak adalah berpaling dalam shalat.4 Yang menjadi tinjauan apakah larangan di sini termasuk larangan yang diqashadkan adalah sandaran dalil dari ijmak ini, yaitu hadits riwayat Anas, beliau berkata : Rasulullah SAW bersabda kepadaku :
اياك والالتفات في الصلاة
Artinya : Jauhkan berpaling dalam shalat (H.R. Turmidzi) 5
Sedangkan contoh hukum makruh dengan dalil qiyas adalah makruh memasuki masjid orang yang berbau mulut karena makan makanan yang berbau keji karena qiyas kepada makruh memasuki masjid orang yang makan bawang putih6 yang ditetapkan berdasarkan hadits :
من أكل من هذه الشجرة فلا يقربن مسجدنا ولا يؤذينا بريح الثوم
Artinya : Barangsiapa yang makan pohon ini, maka jangan mendekati masjid kami dan jangan menyakiti kami dengan bau bawang putih (H.R. Muslim) 7
Yang menjadi tinjauan apakah larangan di sini termasuk larangan yang diqashadkan adalah dalil maqis ‘alaihi, yaitu hadits di atas.
(3)Majaz yang dimaksud di sini adalah majaz mursal, yaitu menggunakan sebuah lafazh kepada yang bukan makna aslinya karena ada ‘alaqah (hubungan) yang tidak serupa seperti menggunakan lafazh kul untuk makna sebagian, sebab untuk akibat, keadaan untuk sesuatu yang menjadi tempat berdiri keadaan itu dan sebaliknya dan lain-lain.8 Meng’ibaratkan untuk ijab dan tahrim dengan wujub dan haram merupakan majaz mursal dengan ‘alaqah-nya menyebut suatu lafazh dengan makna lazimnya dan meng’ibarat untuk yang lima yaitu ijab, nadab, tahrim, ibahah dan karahah dengan perbuatan yang merupakan tempat ta’alluq-nya, yaitu wajib, mandub, mahdhurah, mubah dan makruh, demikian juga sebaliknya adalah majaz mursal dengan alaqah-nya menyebut sesuatu yang menjadi tempat berdiri keadaan dengan makna keadaan
(4)Masalah pertama adalah meng’ibaratkan untuk yang lima, yaitu ijab, nadab, tahrim, ibahah dan karahah dengan perbuatan yang merupakan tempat ta’alluq-nya dan masalah kedua adalah sebaliknya
(5)Kalau di’ibarat dengan takhyir, maka takhyir tersebut di-athaf atas fi’lan ghaira kaffin, tentunya menghendaki ada tuntutan pada ibahah. Karena menjadi makna kalam : “kalau titah itu menuntut pilihan…dan seterusnya.” Diantara jawaban yang dikemukan untuk menjawab kritikan terhadap ‘ibarat takhyir antara lain ;
a.Iqtizha’ bermakna ifadah, bukan khusus tuntutan. Namun di sini menghendaki berhimpunnya hakikat dan majaz pada satu kata.
b.Iqtizha’ ada bermakna a’lama dan ada bermakna addaa. Di sini menghendaki pemakaian satu lafazh musytarak pada dua makna. 9
DAFTAR PUSTAKA
1.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. II, Hal. 56, No. Hadits 1163
2.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 495, No. Hadits : 714
3.Zakariya Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 111
4.Ibnu Abd al-Bar, Ijmak Ibnu Abd al-Bar, Dar al-Qasim, Riyadh, Hal. 70
5.Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqh Islami wa Adillatuhu, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 777
6.Zarkasyi, I’lam al-Sajid bi Ahkam al-mMsjid, Kairo, Hal. 329
7.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 394, No. Hadits : 563
8.Ahmad Damanhuri, Syarah Haliah al-Labb al-Mashun, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Hal. 147-148
9.Jalaluddin al-Mahalli dan Syaikh al-‘Ithar, Syarah Jam’u al-Jawami’ dan Hasyiahnya, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 117
Rabu, 20 Juli 2011
Ghayatul Wushul (terjemahan & penjelasannya), ta'alluq hukum ma'nawi, hal. 9-10
( وَيَتَعَلَّقُ الْخِطَابُ ) من امر أوغيره فهو أعم من قوله ويتعلق الأمر( عِنْدَنَا ) أيها الأشاعرة ( بِالْمَعْدُوْمِ تَعَلُّقًا مَعْنَوِيًّا ) بمعنى انه اذا وجد بصفة التكليف يكون مخاطبا بذلك الخطاب النفسى الأزلى لا تعلقا تنجيزيا بأن يكون حال عدمه مخاطبا اما المعتزلة فنفوا التعلق المعنوى ايضا لنفيهم الكلام النفسى
(Berhubungan titah Allah) baik dalam bentuk perintah atau lainnya, maka perkataan “yata’allaqu al-khithab” lebih umum dari perkataan Ashal “yata’allaqu al-amr”(1) (menurut kita) hai kaum Asy’ari (dengan yang belum ada sebagai ta’alluq ma’nawi) dengan makna apabila didapati seseorang dengan sifat taklif, maka ia menjadi orang yang dititahkan dengan titah nafsi yang bersifat azali tersebut, bukan sebagai ta’alluq tanjizi, (2) yakni pada ketika tidak adanya,(3) ia menjadi orang yang dititahkan. Adapun Mu’tazilah, mereka me-nafi-kan ta’alluq maknawi pula karena pe-nafi-an mereka terhadap kalam nafsi
Penjelasannya
(1)Karena perkataan “al-khithab” mencakup perintah dan lainnya. Sedangkan al-amr khusus kepada perintah saja.
(2)Pengertian ta’alluq ma’nawi, ta’alluq tanjizi, nafsi dan azali sudah dijelaskan sebelumnya
(3)Keadaan tidak adanya itu meskipun pada hukum, yakni didapati orang, tetapi tidak bersifat taklif seperti anak-anak, orang gila dan lain-lain 1
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Banani, Hasyiah al-Banani ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 78
(Berhubungan titah Allah) baik dalam bentuk perintah atau lainnya, maka perkataan “yata’allaqu al-khithab” lebih umum dari perkataan Ashal “yata’allaqu al-amr”(1) (menurut kita) hai kaum Asy’ari (dengan yang belum ada sebagai ta’alluq ma’nawi) dengan makna apabila didapati seseorang dengan sifat taklif, maka ia menjadi orang yang dititahkan dengan titah nafsi yang bersifat azali tersebut, bukan sebagai ta’alluq tanjizi, (2) yakni pada ketika tidak adanya,(3) ia menjadi orang yang dititahkan. Adapun Mu’tazilah, mereka me-nafi-kan ta’alluq maknawi pula karena pe-nafi-an mereka terhadap kalam nafsi
Penjelasannya
(1)Karena perkataan “al-khithab” mencakup perintah dan lainnya. Sedangkan al-amr khusus kepada perintah saja.
(2)Pengertian ta’alluq ma’nawi, ta’alluq tanjizi, nafsi dan azali sudah dijelaskan sebelumnya
(3)Keadaan tidak adanya itu meskipun pada hukum, yakni didapati orang, tetapi tidak bersifat taklif seperti anak-anak, orang gila dan lain-lain 1
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Banani, Hasyiah al-Banani ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 78
Ghayatul Wushul (terjemahan & penjelasannya), taklif orang yang dipaksa. hal. 8-9
) لاَ الْمُكْرَهِ ) وهو من لامندوحة له عما أكره عليه الا بالصبر على ما أكره به فلا يمتنع تكليفه بالمكره عليه وان خالف داعى الإكراه داعى الشرع ولا بنقيضه وان وافقه على الأصح فيهما لإمكان الفعل لكن لم يقع الأول مع المخالفة لخبر " رفع عن امتى الخطاء والنسيان وما استكرهوا عليه " ولا الثانى مع الموافقة قياسا على الأول وانما وقعا مع غير ذلك لقدرته على امتثال ذلك بأن يأتى بالمكره عليه لداعى الشرع كمن أكره على أداء الزكاة فنواها عند أخذها منه أوبنقيضه صابرا على ما أكره به وان لم يكلف الصبر عليه كمن أكره على شرب خمر فامتنع منه صابرا على العقوبة
(tidak orang yang dipaksa) yaitu orang-orang yang tidak ada pilihan dari apa yang dipaksakan atasnya kecuali hanya sabar atasnya. Oleh karena itu, tidak terlarang taklif orang yang dipaksa atas apa yang dipaksakan atasnya,(1) meskipun berlawanan kehendak paksaan dengan kehendak syara’(2) dan tidak terlarang taklif juga atas lawannya, meskipun sesuai kehendak paksaan dengan kehendak syara’(3) berdasarkan pendapat yang lebih shahih pada keduanya karena mungkin dilaksanakannya, tetapi taklif itu tidak terjadi pada masalah pertama yang berlawanan dengan kehendak syara’.(4) Hal ini berdasarkan hadits : “Diangkat dari umatku dosa tersalah, lupa dan dosa perbuatan karena dipaksa” dan tidak terjadi taklif juga pada masalah kedua yang sesuai dengan syara’(5) karena diqiyas kepada yang pertama. Sesungguhnya hanya terjadi taklif kedua-duanya yang selain itu,(6) karena berkemampuan menyanjungnya, yakni dengan melaksanakan(7) perbuatan yang dipaksakan itu sesuai dengan kehendak syara’ seperti orang yang dipaksa menunai zakat. Lalu meniatkan menunai zakat pada saat diambil zakat darinya atau dengan melaksanakan lawan perbuatan yang dipaksakan atasnya dengan cara sabar atas apa yang dipaksakan atasnya, meskipun tidak ditaklif untuk sabar atasnya seperti orang yang dipaksa minum khamar, maka menghindarkan dirinya dari minum khamar dengan cara sabar atas siksaan.(8)
Penjelasannya
1.Maksudnya pada akal
2.Contohnya : orang yang paksa minum khamar. Minum khamar merupakan perbuatan yang dipaksa dan berlawanan dengan kehendak syara’
3.Contohnya : Tidak minum khamar. Tidak minum khamar merupakan lawan perbuatan yang dipaksakan dan sesuai dengan kehendak syara’
4.Contohnya adalah seperti telah disebut pada point pertama
5.Contohnya adalah seperti telah disebut pada point kedua
6.Yaitu perbuatan yang dipaksa dan sesuai dengan syara’ dan lawan perbuatan yang dipaksa dan tidak sesuai dengan syara’
7.Al-Jauhari mengatakan kalam ini merupakan penjelasan “menyanjung taklif perbuatan yang dipaksakan dan naqidh-nya” atas jalan al-laff al-muratab, tanpa memperhatikan terjadi atau tidak terjadinya taklif 1
8.Pembahasan terakhir ini mengundang kritikan, yaitu kalau lawan dari perbuatan yang dipaksa (naqidh) termasuk dalam katagori yang ditaklif, maka sabar atas apa yang dipaksakan atasnya termasuk dalam katagori taklif juga, karena tidak berwujud naqidh tanpa wujud sabar. Jadi tidak boleh dikatakan “meskipun tidak ditaklif untuk sabar atasnya”. Kritikan ini telah dijawab oleh Al-Syarbaini bahwa taklif dengan naqidh, syaratnya harus diikuti dengan sabar yang terjadi karena pilihannya sendiri, artinya Allah mengkaidkan kewajiban mencegah diri seseorang dari perbuatan yang dipaksa apabila seseorang itu dengan pilihannya sendiri memilih bersabar. Jika dia tidak mau bersabar, maka tidak ada kewajiban atasnya. Ini sama halnya dengan puasa orang sakit dan musafir, jika memilih berpuasa pada saat sakit dan musafir, maka puasa tersebut menjadi puasa wajib, karena tidak ada suatu kewajiban kecuali dengan ijaab (tindakan mewajibkan) 2
وقيل يمتنع تكليفه بذلك لعدم قدرته على امتثاله اذ الفعل للإكراه لا يحصل الإمتثال به ولا يمكن الإتيان معه بنقيضه والقول الأول للأشاعرة والثانى للمعتزلة وصححه الأصل ورجع عنه الى الأول آخرا وأدرج فيماصححه امتناع تكليف المكره على القتل فاحتاج الى الجواب عن اثم القاتل المجمع عليه بأنه ليس للإكراه بل لإيثاره نفسه بالبقاء على قتيله وعلى مارجحناه لا يحتاج الى الجواب ثم ما ذكر فى تكليف المكره هو كلام الأصوليين اما الفقهاء فاضطربت أجوبتهم فيه بحسب قوة الدليل فمرة قطعوا بما يوافق عدم تكليفه كعدم صحة عقوده وحلها وكالتلفظ بكلمة الكفر وقلبه مطمئن بالإيمان ومرة قطعوا بما يوافق تكليفه كإكراه الحربى والمرتد على الإسلام ونحوه مما هو إكراه بحق ومرة رجحوا ما يوافق الأول كإكراه الصائم على الفطر وإكراه من حلف على شئ فإنه لا يفطر ولا يحنث بفعل ذلك على الراجح ومرة رجحوا ما يوافق الثانى كالإكراه على القتل فانه ياثم بالقتل اجماعا ويلزمه الضمان قودا أومالا على الراجح لايقال التعبير بالتكليف قاصر على الوجوب والحرمة بناء على ان التكليف الزام ما فيه كلفة لأنا نمنع ذلك فان ما عداهما لازم للتكليف اذ لولا وجوده لم يوجد ما عداهما ألا ترى الى انتفائه قبل البعثة كانتفاء التكليف
Dan dikatakan, terlarang taklif perbuatan yang dipaksakan dan naqidh-nya, karena tidak berkemampuan menyanjungnya. Sebab melaksanakan perbuatan karena paksaan tidak menghasilkan menyanjung perbuatan dan tidak mungkin mendatangkan naqidh-nya dalam keadaan dipaksa. Pendapat pertama adalah pendapat kaum Asy’ari (1) dan pendapat kedua adalah pendapat Muktazilah(2). Pendapat kedua ini telah ditashih oleh Ashal dan kemudian pada waktu lain telah rujuk kepada pendapat pertama. Berdasarkan pendapat yang ditashih oleh Ashal, masuklah masalah terlarang taklif atas orang yang dipaksa membunuh, maka masalah ini membutuhkan jawaban mengenai berdosa sipembunuh tersebut yang sudah menjadi ijmak, yaitu jawabannya adalah dosa tersebut bukanlah karena paksaan tetapi karena dia mengutamakan dirinya untuk tetap eksist dari pada korban pembunuhannya. Berdasarkan pendapat yang kami tarjih, maka tidak diperlukan jawaban. Kemudian hal-hal yang telah disebutkan pada masalah taklif orang yang dipaksa tersebut adalah kalam Ushuliyun. Adapun para Fuqaha, terbagi jawabannya tentang itu menurut kekuatan dalilnya. Maka kadang-kadang mereka memastikan dengan pendapat yang sesuai dengan tidak taklifnya seperti tidak sah akad dan pembatalan akad orang yang dipaksa dan seperti mengucapkan kalimat kufur, sedangkan hatinya tetap dengan keimanan. Dan pada kali lain, mereka memastikan dengan pendapat yang sesuai dengan adanya taklifnya seperti memaksa kafir harbi dan orang murtad masuk Islam dan contoh lainnya yaitu berupa paksaan-paksaan yang dilakukan secara haq.(3) Pada kali lain lagi mereka mentarjih pendapat yang sesuai dengan yang pertama seperti memaksa orang berpuasa untuk berbuka dan memaksa orang yang bersumpah melakukan sesuatu, maka orang tersebut tidak terbuka puasanya dan tidak melanggar sumpah dengan sebab melakukan perbuatan tersebut berdasarkan pendapat yang rajih. Dan pada kali lain, mereka mentarjih pendapat yang sesuai dengan yang kedua seperti dipaksa membunuh, maka pembunuh tersebut berdosa dengan sebab membunuh dengan ijmak dan lazim atasnya membayarnya, baik dalam bentuk qishas maupun harta berdasarkan pendapat yang rajih. Tidak dikatakan ‘ibarat dengan “taklif” hanya khusus pada wajib dan haram saja dengan mendasarkan kepada bahwa taklif adalah memberatkan sesuatu yang ada beban. Karena kita tidak mencegah hal itu, sesungguhnya selain wajib dan haram merupakan lazim bagi taklif, karena kalau tidak didapati taklif, maka tidak didapati juga selain keduanya. Apakah tidak kamu perhatikan, ter-nafi selain keduanya sebelum diutus Rasul sama halnya dengan ter-nafi taklif.
Penjelasannya
(1)Nama lengkap beliau adalah Syeikh Abu Hasan Ali al-Asy’ari, lahir di kota Bashrah-Iraq tahun 260-324 H. Beliaulah yang mengumpul dan merumus paham Ahlussunnah wal Jama’ah dengan mendasarkan kepada al-Qur’an dan Hadits serta i’tiqad sahabat Nabi SAW. 3
(2)Mu’tazilah merupakan sebuah mazhab dalam bidang akidah. Mazhab ini lebih mengutamakan akal dalam memahami agama. Dasar pokok kajian Mu’tazilah ada lima, yaitu tauhid, al-adl, alwa’d wal wa’id, manzilah baina manzilatain dan amar ma’ruf dan nahi munkar. Gerakan ini pada awalnya dicetus oleh Washil bin Atha’ di kota Bashrah-Iraq (meninggal 131 H) 4
(3)Seperti paksaan imam kepada rakyatnya untuk menunaikan zakat sebagaimana dijelaskan sebelumnya
DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Jauhari, Hasyiah al-Jauhari ‘ala Ghayatul Wushul, dicetak dalam Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 8
2.Al-Syarbaini, Taqrir ‘ala Jam al-Jawami’, dicetak pada hamisy Hasyiah al-Banany ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 76
3.KH. Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, Pustaka Tarbiyah, Jakarta, 2006, Hal. 2-3
4.KH. Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, Pustaka Tarbiyah, Jakarta, 2006, Hal. 193, 195 dan 199
(tidak orang yang dipaksa) yaitu orang-orang yang tidak ada pilihan dari apa yang dipaksakan atasnya kecuali hanya sabar atasnya. Oleh karena itu, tidak terlarang taklif orang yang dipaksa atas apa yang dipaksakan atasnya,(1) meskipun berlawanan kehendak paksaan dengan kehendak syara’(2) dan tidak terlarang taklif juga atas lawannya, meskipun sesuai kehendak paksaan dengan kehendak syara’(3) berdasarkan pendapat yang lebih shahih pada keduanya karena mungkin dilaksanakannya, tetapi taklif itu tidak terjadi pada masalah pertama yang berlawanan dengan kehendak syara’.(4) Hal ini berdasarkan hadits : “Diangkat dari umatku dosa tersalah, lupa dan dosa perbuatan karena dipaksa” dan tidak terjadi taklif juga pada masalah kedua yang sesuai dengan syara’(5) karena diqiyas kepada yang pertama. Sesungguhnya hanya terjadi taklif kedua-duanya yang selain itu,(6) karena berkemampuan menyanjungnya, yakni dengan melaksanakan(7) perbuatan yang dipaksakan itu sesuai dengan kehendak syara’ seperti orang yang dipaksa menunai zakat. Lalu meniatkan menunai zakat pada saat diambil zakat darinya atau dengan melaksanakan lawan perbuatan yang dipaksakan atasnya dengan cara sabar atas apa yang dipaksakan atasnya, meskipun tidak ditaklif untuk sabar atasnya seperti orang yang dipaksa minum khamar, maka menghindarkan dirinya dari minum khamar dengan cara sabar atas siksaan.(8)
Penjelasannya
1.Maksudnya pada akal
2.Contohnya : orang yang paksa minum khamar. Minum khamar merupakan perbuatan yang dipaksa dan berlawanan dengan kehendak syara’
3.Contohnya : Tidak minum khamar. Tidak minum khamar merupakan lawan perbuatan yang dipaksakan dan sesuai dengan kehendak syara’
4.Contohnya adalah seperti telah disebut pada point pertama
5.Contohnya adalah seperti telah disebut pada point kedua
6.Yaitu perbuatan yang dipaksa dan sesuai dengan syara’ dan lawan perbuatan yang dipaksa dan tidak sesuai dengan syara’
7.Al-Jauhari mengatakan kalam ini merupakan penjelasan “menyanjung taklif perbuatan yang dipaksakan dan naqidh-nya” atas jalan al-laff al-muratab, tanpa memperhatikan terjadi atau tidak terjadinya taklif 1
8.Pembahasan terakhir ini mengundang kritikan, yaitu kalau lawan dari perbuatan yang dipaksa (naqidh) termasuk dalam katagori yang ditaklif, maka sabar atas apa yang dipaksakan atasnya termasuk dalam katagori taklif juga, karena tidak berwujud naqidh tanpa wujud sabar. Jadi tidak boleh dikatakan “meskipun tidak ditaklif untuk sabar atasnya”. Kritikan ini telah dijawab oleh Al-Syarbaini bahwa taklif dengan naqidh, syaratnya harus diikuti dengan sabar yang terjadi karena pilihannya sendiri, artinya Allah mengkaidkan kewajiban mencegah diri seseorang dari perbuatan yang dipaksa apabila seseorang itu dengan pilihannya sendiri memilih bersabar. Jika dia tidak mau bersabar, maka tidak ada kewajiban atasnya. Ini sama halnya dengan puasa orang sakit dan musafir, jika memilih berpuasa pada saat sakit dan musafir, maka puasa tersebut menjadi puasa wajib, karena tidak ada suatu kewajiban kecuali dengan ijaab (tindakan mewajibkan) 2
وقيل يمتنع تكليفه بذلك لعدم قدرته على امتثاله اذ الفعل للإكراه لا يحصل الإمتثال به ولا يمكن الإتيان معه بنقيضه والقول الأول للأشاعرة والثانى للمعتزلة وصححه الأصل ورجع عنه الى الأول آخرا وأدرج فيماصححه امتناع تكليف المكره على القتل فاحتاج الى الجواب عن اثم القاتل المجمع عليه بأنه ليس للإكراه بل لإيثاره نفسه بالبقاء على قتيله وعلى مارجحناه لا يحتاج الى الجواب ثم ما ذكر فى تكليف المكره هو كلام الأصوليين اما الفقهاء فاضطربت أجوبتهم فيه بحسب قوة الدليل فمرة قطعوا بما يوافق عدم تكليفه كعدم صحة عقوده وحلها وكالتلفظ بكلمة الكفر وقلبه مطمئن بالإيمان ومرة قطعوا بما يوافق تكليفه كإكراه الحربى والمرتد على الإسلام ونحوه مما هو إكراه بحق ومرة رجحوا ما يوافق الأول كإكراه الصائم على الفطر وإكراه من حلف على شئ فإنه لا يفطر ولا يحنث بفعل ذلك على الراجح ومرة رجحوا ما يوافق الثانى كالإكراه على القتل فانه ياثم بالقتل اجماعا ويلزمه الضمان قودا أومالا على الراجح لايقال التعبير بالتكليف قاصر على الوجوب والحرمة بناء على ان التكليف الزام ما فيه كلفة لأنا نمنع ذلك فان ما عداهما لازم للتكليف اذ لولا وجوده لم يوجد ما عداهما ألا ترى الى انتفائه قبل البعثة كانتفاء التكليف
Dan dikatakan, terlarang taklif perbuatan yang dipaksakan dan naqidh-nya, karena tidak berkemampuan menyanjungnya. Sebab melaksanakan perbuatan karena paksaan tidak menghasilkan menyanjung perbuatan dan tidak mungkin mendatangkan naqidh-nya dalam keadaan dipaksa. Pendapat pertama adalah pendapat kaum Asy’ari (1) dan pendapat kedua adalah pendapat Muktazilah(2). Pendapat kedua ini telah ditashih oleh Ashal dan kemudian pada waktu lain telah rujuk kepada pendapat pertama. Berdasarkan pendapat yang ditashih oleh Ashal, masuklah masalah terlarang taklif atas orang yang dipaksa membunuh, maka masalah ini membutuhkan jawaban mengenai berdosa sipembunuh tersebut yang sudah menjadi ijmak, yaitu jawabannya adalah dosa tersebut bukanlah karena paksaan tetapi karena dia mengutamakan dirinya untuk tetap eksist dari pada korban pembunuhannya. Berdasarkan pendapat yang kami tarjih, maka tidak diperlukan jawaban. Kemudian hal-hal yang telah disebutkan pada masalah taklif orang yang dipaksa tersebut adalah kalam Ushuliyun. Adapun para Fuqaha, terbagi jawabannya tentang itu menurut kekuatan dalilnya. Maka kadang-kadang mereka memastikan dengan pendapat yang sesuai dengan tidak taklifnya seperti tidak sah akad dan pembatalan akad orang yang dipaksa dan seperti mengucapkan kalimat kufur, sedangkan hatinya tetap dengan keimanan. Dan pada kali lain, mereka memastikan dengan pendapat yang sesuai dengan adanya taklifnya seperti memaksa kafir harbi dan orang murtad masuk Islam dan contoh lainnya yaitu berupa paksaan-paksaan yang dilakukan secara haq.(3) Pada kali lain lagi mereka mentarjih pendapat yang sesuai dengan yang pertama seperti memaksa orang berpuasa untuk berbuka dan memaksa orang yang bersumpah melakukan sesuatu, maka orang tersebut tidak terbuka puasanya dan tidak melanggar sumpah dengan sebab melakukan perbuatan tersebut berdasarkan pendapat yang rajih. Dan pada kali lain, mereka mentarjih pendapat yang sesuai dengan yang kedua seperti dipaksa membunuh, maka pembunuh tersebut berdosa dengan sebab membunuh dengan ijmak dan lazim atasnya membayarnya, baik dalam bentuk qishas maupun harta berdasarkan pendapat yang rajih. Tidak dikatakan ‘ibarat dengan “taklif” hanya khusus pada wajib dan haram saja dengan mendasarkan kepada bahwa taklif adalah memberatkan sesuatu yang ada beban. Karena kita tidak mencegah hal itu, sesungguhnya selain wajib dan haram merupakan lazim bagi taklif, karena kalau tidak didapati taklif, maka tidak didapati juga selain keduanya. Apakah tidak kamu perhatikan, ter-nafi selain keduanya sebelum diutus Rasul sama halnya dengan ter-nafi taklif.
Penjelasannya
(1)Nama lengkap beliau adalah Syeikh Abu Hasan Ali al-Asy’ari, lahir di kota Bashrah-Iraq tahun 260-324 H. Beliaulah yang mengumpul dan merumus paham Ahlussunnah wal Jama’ah dengan mendasarkan kepada al-Qur’an dan Hadits serta i’tiqad sahabat Nabi SAW. 3
(2)Mu’tazilah merupakan sebuah mazhab dalam bidang akidah. Mazhab ini lebih mengutamakan akal dalam memahami agama. Dasar pokok kajian Mu’tazilah ada lima, yaitu tauhid, al-adl, alwa’d wal wa’id, manzilah baina manzilatain dan amar ma’ruf dan nahi munkar. Gerakan ini pada awalnya dicetus oleh Washil bin Atha’ di kota Bashrah-Iraq (meninggal 131 H) 4
(3)Seperti paksaan imam kepada rakyatnya untuk menunaikan zakat sebagaimana dijelaskan sebelumnya
DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Jauhari, Hasyiah al-Jauhari ‘ala Ghayatul Wushul, dicetak dalam Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 8
2.Al-Syarbaini, Taqrir ‘ala Jam al-Jawami’, dicetak pada hamisy Hasyiah al-Banany ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 76
3.KH. Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, Pustaka Tarbiyah, Jakarta, 2006, Hal. 2-3
4.KH. Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, Pustaka Tarbiyah, Jakarta, 2006, Hal. 193, 195 dan 199
Langganan:
Postingan (Atom)