Pertanyaan
dari TGK H JAFAR SIDDIQ ST HT
Tgk ada yg minta fatwa , nikah lari
( karena tidak di setuju i oleh wali ) maka mereka lari jauh lebih dari dua
marhalah . dam mentahkim kan diri di negri rantau pada wali hakim ( khadi ) atau
KUA atau Iman di tempat tersebut ... apakah sah nikah nya ?
sementara syarat sah nikah ada 5
- waniat
- pria
- Wali
- maskawin
- saksi yg adil
tapi mereka di atas cuman wali nya di tahkim sendiri .
sahkah ?
tapi bila di lihat dari pendapat ke 4 mashab ada yg memboleh kan . bila umaur
lebih dari 21 tahun bagi wanit untuk menkahkan diri nya
tapi bila umur di bawah 21 tahun maka wali sangat berhaq menikahkan putri nya .
makasih wasalam
Jawab
Adanya wali merupakan salah satu rukun sebuah
akad pernikahan, sehingga tidak sah sebuah pernikahan tanpa wali, sebagaimana
hadits di bawah ini :
ﻻ ﻨﻜﺎﺡ ﺇﻻ
ﺒﻭﻠﻲ
Artinya :
Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali (H.R. at-Turmidzi)
Dan hadits dari
Aisyah berbunyi :
لَا نِكَاح إِلَّا بولِي وشاهدي عدل
Artinya : Tidak sah pernikahan
kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.(H.R. Ibnu Hibban)
Ibnu Mulaqqan mengatakan,
yang lebih shahih hadits ini adalah dari jalur Abu Hatim ibn Hibban dalam
Shahihnya.
Dalam kitab Minhaj
al-Thalibin dan Syarahnya, al-Mahally, kitab fiqh yang lazim digunakan sebagai
rujukan dalam Mazhab Syafi’i, disebutkan urutan wali nikah adalah
sebagai berikut:
1. Ayah
kandung
2. Kakek,
atau ayah dari ayah
3. Ayah
kakek, meskipun ke atas
4. Saudara
se-ayah dan se-ibu
5. Saudara
se-ayah saja
6. Anak
laki-laki dari saudara yang se-ayah dan se-ibu, meskipun ke bawah
7. Anak
laki-laki dari saudara yang se-ayah saja, meskipun ke bawah
8. Paman (saudara
laki-laki ayah)
9. Anak
laki-laki dari paman, meskipun kebawah
10. Orang
yang memerdekakannya apabila perempuan tersebut pernah menjadi hamba sahaya
11. ‘Ashabah
orang yang memerdekakannya
12.
Sulthan
atau penggantinya (qadhi).
Daftar urutan wali di atas tidak boleh dilangkahi atau
diacak-acak. Sehingga bila ayah kandung masih hidup, maka tidak boleh hak
kewaliannya itu diambil alih oleh wali pada nomor urut berikutnya kecuali persyaratan wali padanya tidak terpenuhi
Lalu bagaimana posisi wali tahkim dalam sebuah pernikahan
?
Pada dasarnya apabila seorang perempuan tidak mempunyai wali nasab maupun
wali al-mu’tiq (yang memerdekakannya apabila dia pernah menjadi hamba
sahaya) adalah sulthan atau qadhi sebagaimana hadits Turmidzi berikut :
أن رسول الله صلعم
قال أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل
فنكاحها باطل فإن دخل بها فله المهر بما إستحل من فرجها فإن اشتجروا
فالسلطان ولي من لا ولي له
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Wanita mana saja yang dinikahkan
tanpa izin walinya, maka nikah itu bathil. Nikah itu bathil. Jika seseorang menggaulinya,
maka wanita berhak mendapatkan mahar, sehingga ia dihalalkan terhadap kemaluannya.
jika mereka terlunta lunta (tidak mempunyai wali) maka sulthan adalah wali bagi siapa
yang tidak mempunyai wali.(H.R. At-Turmidzi)
Hadits ini telah diriwayat oleh Turmidzi serta
menshahihkannya, Ibnu Hibban dan al-Hakim dimana keduanya juga menyatakan
shahih.
Lebih lanjut mari kita simak keterangan para ulama mengenai persoalan tahkim berikut
ini :
1.
Al-Nawawi dalam al-Minhaj menyebutkan
:
“
Sulthan
menikahkan seorang perempuan apabila keberadaan wali yang karib jauh dua
marhalah.”
2.
Qalyubi dalam Hasyiah Qalyubi :
“Sesungguhnya
dimaklumi dari apa yang telah disebutkan bahwa seorang perempuan tidak dapat
mewakilkan pada perkawinannya secara mutlaq sebagaimana yang telah lalu, namun
demikian, dibolehkan bagi perempuan mentahkim bersama suaminya kepada orang
yang akan menikahkannya dengan syarat orang tersebut adalah mujtahid mutlaq
atau bukan mujtahid mutlaq tetapi tidak ada qadhi, meskipun qadhi itu qadhi
dharurat atau tawaquf melapor kepada qadhi tersebut kepada pemberian harta
kepadanya (tidak ada proses perkara kalau tidak memberi sejumlah harta).”
3.
Sayyed Abdurrahman Ba’alawi dalam
Bughyatulmustarsyidin :
“Ibnu Hajar
dan Ibnu Ziyad mensyaratkan pada tahkim tidak ada wali khas, karena itu, itu
tidak boleh tahkim dimana wali dalam keadaan jauh. Al-Azra’i dan al-Radad
membolehkannya dan menunjukan (iqtidha’) kepadanya oleh kalam Ibnu Hajar dalam
al-Fatawa dan Ibnu Siraj. Abu Makhramah mengatakan, hal itu merupakan iqtidha’ kalam Syaikhaini (al-Nawawi dan al-Rafi’i).”
4.
Zainuddin al-Malibary dalam Fathul
Mu’in :
“
Kemudian
apabila tidak didapati wali yaitu dari orang-orang yang telah lalu, maka
perempuan itu dinikahkan oleh orang yang ditahkim yang adil dan merdeka dimana
perempuan tersebut bersama laki-laki peminangnya menyerahkan urusannya
kepadanya supaya menikahkan keduanya, meskipun yang ditahkim itu bukan seorang
mujtahid dengan syarat tidak ada qadhi, meskipun qadhi itu bukan ahli. Jika ada
qadhi, maka disyaratkan yang ditahkim tersebut seorang mujtahid. Syaikunaa
(Ibnu Hajar al-Haitamy) mengatakan, namun demikian, jika hakim tidak mau
menikahnya kecuali dengan beberapa dirham sebagaimana terjadi pada zaman
sekarang, maka dikuatkan boleh bagi perempuan tersebut menyerahkan urusannya
kepada seorang yang adil meskipun ada hakim”.
5.
Zainuddin al-Malibary dalam Fathul
Mu’in pada juzu’ lain :
“
Tidak boleh
tahkim dalam keadaan jauh wali, meskipun kepada musafah qashar jika ada qadhi,
berbeda dengan pendapat Ibnu ‘Imaad, karena qadhi adalah naib (ganti) dari wali
yang jauh berbeda halnya dengan orang yang ditahkim.”
Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
a.
Apabila
wali nasab dan wali mu’tiq tidak ada, maka yang menjadi wali bagi perempuan dalam pernikahannya adalah
sulthan/qadhi
b.
Sulthan/qadhi
boleh menikahkan seorang perempuan apabila keberadaan wali yang karib jauh dalam
musafah qashar
c.
Seorang
perempuan boleh bertahkim meskipun ada qadhi apabila orang yang ditahkim
tersebut seorang mujtahid mutlaq
d.
Boleh
bertahkim kepada bukan mujtahid mutlaq apabila tidak ada qadhi pada wilayah
tinggalnya atau qadhi tersebut tidak memproses perkaranya apabila tidak
diberikan sejumlah harta.
e.
Kedudukan
kebolehan tahkim hanya apabila tidak ada wali khas (wali nasab dan al-mu’tiq).
Karena itu, tidak boleh tahkim dalam keadaan jauh wali, meskipun kepada musafah
qashar, jika ada qadhi.
f.
Boleh
bertahkim apabila keberadan wali jauh yaitu dalam musafah qashar dengan syarat qadhi
tidak ada dalam wilayah tersebut atau ada, tetapi qadhi tersebut tidak
memproses perkaranya apabila tidak diberikan sejumlah harta (Kami memahami
dari keumuman atau kemutlakan keterangan-keterangan
Qalyubi dan Zainuddin al-Malibary dalam Fathul Mu’in point ketiga di atas).
Pemahaman ini juga didukung oleh fatwa Syaikh Muda Wali, seorang ulama terkenal
dari Aceh dalam kitab Fatawa beliau, halaman 88-89
Berdasarkan
penjelasan di atas, pertanyaan tgk dapat kami jawab sebagai berikut :
1). Dalam kasus di atas, apabila dia menikah pada qadhi/KUA
setempat, maka tidak perlu dengan tahkim, karena qadhi /KUA memang merupakan
pengganti wali apabila wali jauh dalam musafah qashar
2).Apabila qadhi/KUA setempat tidak mau menikahkannya kalau tidak
diberikan sejumlah harta/uang, maka boleh perempuan tersebut bertahkim kepada
seorang yang adil menurut agama. Tetapi kalau qadhi/KUA tidak meminta
uang/harta, maka hanya boleh nikah pada qadhi/KUA, tidak boleh dengan cara
tahkim.
3). Mazhab Hanafi membolehkan perempuan menikahkan dirinya sendiri
tanpa wali apabila sudah baligh. Ukuran baligh apabila sudah berhaid bagi yang
berhaid.
4). Sepengetahuan kami, berusia 21 tahun baru dianggap dewasa tidak
dikenal dalam fiqh Islam. Itu cuma dewasa menurut Undang Perkawinan tahun 1974
wassalam
At-Turmidzi, Sunan At-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz.
II, Hal. 280, No. Hadits : 1107
At-Turmidzi, Sunan At-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 281, No. Hadits : 11080