Tampilkan postingan dengan label Tasauf. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tasauf. Tampilkan semua postingan

Jumat, 19 Januari 2024

Tiga perkara yang tidak terputus apabila ajal tiba

 

Ada tiga perkara yang tidak terputus apabila seseorang sudah meninggalkan alam fana ini, yakni sadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang saleh yang berdoa kepada ibu bapaknya. Penjelasan ini merupakan kandungan makna harfiyah dari hadits di bawah ini. Nabi SAW bersabda:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Apabila seorang manusia menimpa ajalnya, maka amalnya terputus kecuali tiga perkara, yaitu sadaqah jariah, ilmu yang dimanfaatkan orang lain dan anak shaleh yang berdoa untuknya. (H.R. Muslim)

 

Al-Iraqi mengatakan hadits ini telah diriwayat oleh Muslim, Abu Daud dan al-Turmudzi. Al-Turmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih.(Takrij Ahadits Ihya Ulumuddin, karya al-Zabidiy: I/79)

Tafsir hadits

Bila kita ingin memahami lebih dalam makna hadits ini, ada beberapa penjelasan berikut ini yang perlu diketengahkan di sini, yaitu:

1.   Yang terputus bukanlah amal sebagaimana makna dhahirnya. Karena tidak ada makna penegasan putus amal, karena nyawa seseorang apabila sudah meninggalkan raganya, tentunya tidak dapat beramal tanpa ada pengecualian. Karena itu, para ulama memahami bahwa yang terputus dalam hadits ini adalah pahala amal, bukan amalnya. Dalam kitab  I’anah al-Thalibin disebutkan:

وقوله انقطع عمله، أي ثواب عمله

Sabda Nabi SAW: terputus amalnya, artinya terputus pahala amalnya (I’anah al-Thalibin: III/186)

 

Dalam penjelasan Imam al-Nawawi tentang hadits ini, beliau mengatakan,

قَالَ الْعُلَمَاءُ مَعْنَى الْحَدِيثِ أَنَّ عَمَلَ الْمَيِّتِ يَنْقَطِعُ بِمَوْتِهِ وَيَنْقَطِعُ تَجَدُّدُ الْثوَابِ لَهُ إِلَّا فِي هَذِهِ الْأَشْيَاءِ الثَّلَاثَةِ لِكَوْنِهِ كَانَ سَبَبَهَا فَإِنَّ الْوَلَدَ مِنْ كَسْبِهِ وَكَذَلِكَ الْعِلْمُ الَّذِي خَلَّفَهُ مِنْ تَعْلِيمٍ أَوْ تَصْنِيفٍ وَكَذَلِكَ الصَّدَقَةُ الْجَارِيَةُ وَهِيَ الْوَقْفُ

Para ulama mengatakan, makna hadits ini adalah amal orang yang sudah mati terputus dengan sebab mati dan terputus mengalir pahala yang baru baginya kecuali pada tiga perkara ini, karena ia merupakan sebab bagi tiga perkara tersebut. Anak merupakan hasil usahanya, demikian juga ilmu yang ia tinggalkan dalam bentuk mengajar atau tulisan. Dan demikian juga sadaqah jariah, yakni waqaf.(Syarah Muslim: XI/85)

 

2.   Sebagaimana lafazh hadits di atas, yang teputus adalah pahala amal yang pernah dilakukan si mati pada masa hidupnya. Karena itu, hadits ini tidak dapat dijadi hujjah untuk menafikan pahala amal orang yang masih hidup yang diperuntukkan bagi si mati seperti doa bagi si mati, sadaqah yang diniatkan pahalanya untuk si mati, haji badal dan lain-lain.

3.   Pengertian sadaqah jariah adalah sadaqah yang pahalanya terus mengalir. Pahalanya bukan hanya pahala sekali beramal sebagaimana umumnya ibadah lainnya, akan tetapi setelah diperuntukkan suatu pahala karena sadaqahnya tersebut, bagi yang melakukannya terus menerus mengalir pahala yang sama selama sadaqahnya itu dimanfaatkan (tajaddud tsawab) dan itu tidak terputus dengan sebab kematian. Sadaqah model ini adalah sadaqah dalam bentuk waqaf sebagaimana penafsiran Imam al-Nawawi di atas. Karena itu tidak heran kalau para ulama mensyaratkan waqaf haruslah dalam bentuk kekal bendanya, tidak boleh seperti makanan yang hilang wujud bendanya apabila dimanfaatkan dengan memakannya.

4.   Pengertian ilmu yang dimanfaatkan oleh orang lain adalah seperti mengajar dan mengarang. Namun menurut Imam al-Subkiy mengarang lebih utama dibandingkan mengajar, karena tulisan dalam bentuk karangan lebih lama bertahan dalam perjalanan masanya. Al-Munawi mengutip perkataan al-Subkiy sebagai berikut:

والتصنيف أقوى لطول بقائه على ممر الزمان

Mengarang lebih kuat karena lama kekalnya dalam perjalanan masanya. (Faidh al-Qadir, karangan al-Munawi: I/437)

 

Namun demikian, al-Munawi menyambung pernyataan al-Subkiy di atas dengan perkataan beliau:

لكن شرط بعض شراح مسلم لدخول التصنيف فيه اشتماله على فوائد زائدة على ما في الكتب المتقدمة فإن لم يشتمل إلا على نقل ما فيها فهو تحبير للكاغد فلا يدخل في ذلك وكذا التدريس فإن لم يكن في الدرس زيادة تستفاد من الشيخ مزيدة على ما دونه الماضون لم يدخل

Akan tetapi sebagian pensyarah hadits Muslim untuk masuk mengarang di dalam “Ilmu yang dimanfaatkan orang lain” mensyaratkan harus mencakup faedah-faedah yang merupakan tambahan dari kitab-kitab yang lebih duluan ada. Karena itu, apabila karangan tersebut hanya merupakan kutipan dari kitab-kitab sebelumnya, maka itu hanya tinta pada kertas. Karenanya tidak masuk dalam “ilmu yang dimanfaatkan orang lain”. Demikian juga mengajar apabila dalam pengajaran tersebut tidak ada tambahan dari apa yang diterima dari gurunya melebihi dari apa yang sudah pernah dibukukan oleh orang-orang sebelumnya, maka juga tidak termasuk dalamnya. (Faidh al-Qadir, karangan al-Munawi: I/437)

 

Pengutamaan mengarang dari mengajar ini tidak berlaku mutlaq. Menurut ‘Ali Syibran al-Malasiy, apabila di sebuah kawasan tertentu tidak terdapat seorang pengajar, maka dalam kondisi seperti ini, mengajar akan menjadi lebih utama dari mengarang. Tersebut dalam Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj:

وَاَلَّذِي يُتَّجَهُ أَنَّهُ إنْ كَانَ ثَمَّ مَنْ يَقُومُ عَنْهُ بِالتَّعْلِيمِ كَانَ التَّصْنِيفُ أَوْلَى وَإِلَّا فَالتَّعْلِيمُ أَوْلَى اهـ.ع ش

Pendapat yang dianggap kuat adalah apabila terdapat orang yang mampu mengajar, maka mengarang lebih utama. Adapun jika tidak ada, maka mengajar lebih utama. Demikian dari ‘Ali Syibran al-Malasiy (Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj: VI/236)

 

5.   Pengertian anak shaleh yang berdoa untuknya. Pengertian shaleh di sini adalah muslim, baik dia shaleh atau tidak. Disebut shaleh di sini karena ghalibnya hanya anak yang shaleh yang mau berdoa kepada orangtuanya. Dalam kitab  I’anah al-Thalibin disebutkan:

وقوله أي مسلم، أي أن المراد بالصالح: المسلم، فأطلق الخاص وأراد العام

Perkataan pengarang “maksudnya muslim” bermakna sesungguhnya makna shaleh adalah muslim. Di sini disebut khusus, akan tetapi maksudnya umum.(I’anah al-Thalibin: III/187)

 

Sejatinya doa bukan hanya dari anak kepada orangtuanya saja dapat bermanfaat, tetapi bisa juga dari yang bukan anaknya. Di sini ada penyebutan secara khusus pada anak karena dalam rangka menggerakkan hati anak untuk sungguh-sungguh berdoa kepada orangtuanya. Ini sebagaimana dikemukakan oleh Abu Bakar Syatha di berikut ini:

(قوله أو ولد) فائدة التقييد به، مع أن دعاء الغير ينفعه، تحريض الولد على الدعاء لأصله.

Sabda Nabi SAW: ”atau anak…”. Faedah mengkhususkan dengan anak, sementara doa selain anak juga bermanfaat karena menggerakkan anak untuk berdoa kepada orangtuanya. .(I’anah al-Thalibin: III/187)

 

Alhasil, anak yang beriman dan berakidah muslim, baik shaleh maupun tidak, yang berdoa untuk orangtuanya dapat bermanfaat doanya itu untuk orangtua dan termasuk dalam tiga perkara yang tidak terputus pahala amal seseorang yang dilakukan pada masa hidupnya. Dinyatakan sebagai amal orangtuanya karena orangtua menjadi sebab wujud anaknya, menjadi sebab keshalihannya dan terpetunjuk kepada kebenaran. Al-Munawi mengatakan,

(أو ولد صالح) أي مسلم (يدعو له) لأنه هو السبب لوجوده وصلاحه وإرشاده إلى الهدى

Atau anak yang shaleh, yaitu seorang muslim yang berdoa untuknya. Karena dia menjadi sebab wujud anaknya, keshalihan dan terpetunjuknya kepada kebenaran. (Faidh al-Qadir, karangan al-Munawi: I/437)

 

Suatu doa disebut bermanfaat apabila tujuan doanya itu berhasil diraih. Ini tentunya apabila Allah Ta’ala menjawab doanya, sedangkan jawaban terhadap doa hanya semata-mata merupakan karunia Allah Ta’ala. Adapun pahala berdoa itu sendiri karena doa merupakan suatu ibadah hanya diperuntukkan untuk orang yang berdoa. Namun memperhatikan hadits di atas, khusus doa anak yang shaleh untuk orangtuanya, manfaatnya bukan hanya jawaban doa dari Allah, akan tetapi pahala berdoa juga bisa sampai kepada orangtua. Berdasarkan ini, maka ada dua manfaat doa seorang anak kepada orangtuanya, yaitu jawaban Allah atas doa yang dituju kepada orangtua (syafaat doa) dan pahala berdoa itu sendiri. Jadi di sini ada dua variabel yaitu syafaat doa dan pahala berdoa itu sendiri. Berbeda dengan doa orang lain, menfaatnya hanya syafa’at doa, tidak pahala berdoanya. Abu Bakar Syatha mengatakan,

أما نفس الدعاء وثوابه فهو للداعي، لانه شفاعة أجرها للشافع، ومقصودها للمشفوع له نعم، دعاء الولد يحصل ثوابه نفسه للوالد الميت، لان عمل ولده لتسببه في وجوده من جملة عمله، كما صرح به خبر ينقطع عمل ابن آدم إلا من ثلاث ثم قال: أو ولد صالح، أي مسلم، يدعو له حمل دعاءه من عمل الوالد

Adapun doa itu sendiri dan pahalanya adalah untuk diri orang yang berdoa, karena doa adalah syafaat dimana pahalanya bagi yang memberi syafaat, sedangkan tujuan syafaat diperuntukkan bagi yang diberikan syafaat. Akan tetapi doa seorang anak, pahala doanya itu sendiri juga diperuntukkan bagi orangtuanya yang sudah mati, karena amalan anaknya termasuk dalam katagori amalan orangtua karena orangtua menjadi sebab wujud anaknya sebagaimana diterangkan dalam hadits “Terputus amal anak Adam kecuali tiga perkara, kemudian berkata, “atau anak shaleh (muslim) yang berdoa kepadanya, maka dipertempatkan doa anak  dalam amalan orangtuanya. .(I’anah al-Thalibin: III/257)

 

Wallahua’lam bisshawab

Kamis, 21 September 2023

Memuji belum tentu terpuji

 

Pujian biasanya diberikan sebagai bentuk pengakuan dan penghargaan yang tulus atas sesuatu yang dianggap baik, yang telah dilakukan seseorang. Tidak dapat dipungkiri, manusia pasti memiliki keinginan untuk dipuji oleh orang lain atas kebaikan yang dilakukan atau keberhasilan yang telah diraih. Selain itu, manusia juga kerap memuji kebaikan atau keberhasilan orang lain. Biasanya, pujian dapat memberikan dampak yang positif bagi si penerima. Namun, terkadang memuji orang lain justru bisa menjadi suatu sikap tercela yang tidak baik bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Oleh karena itu, pujian dapat diibaratkan seperti madu dan racun, karena terasa manis di mulut ketika diucapkan tetapi mengandung racun yang dapat membuat orang yang dipuji menjadi binasa.

Dalam membahas tentang memuji orang lain ini, Imam al-Nawawi dalam al-Azkar membaginya dalam dua golongan, yaitu memuji orang lain di hadapannya dan memuji orang lain tanpa kehadirannya atau tidak di hadapannya. Imam al-Nawawi mengatakan,

اعلم أنَّ مدح الإِنسان والثناءَ عليه بجميل صفاته قد يكون في وجه الممدوح، وقد يكون بغير حضوره، فأما الذي في غير حضورِه فلا منعَ منه إلا أن يُجازف المادحُ ويدخل في الكذب فيحرُم عليه بسبب الكذب لا لكونه مدحًا، ويُستحبُّ هذا المدح الذي لا كذبَ فيه إذا ترتب عليه مصلحةٌ ولم يجرّ إلى مفسدة بأن يبلغَ الممدوحَ فيفتتن به، أو غير ذلك

Ketahuilah, sesungguhnya pujian manusia dan sanjungan atasnya dengan menyebut kebaikan sifat-sifatnya, kadang-kadang dihadapannya dan kadang tanpa kehadirannya, Adapun pujian tanpa kehadirannya, maka tidak ada larangan kecuali yang memuji secara serampangan dan dapat masuk dalam katagori berdusta. Maka haram atasnya dengan sebab kedustaannya bukan dengan sebab memuji. Dianjurkan memuji seperti ini yang tidak ada unsur dusta apabila datang kemuslihatan padanya dan tidak akan terjadi mafsadah (kerusakan), yaitu sampai berita pujian tersebut kepada orang yang dipuji, lalu muncullah fitnah dengan sebabnya atau lainnya. (Al-Azkar : 433)

 

Sebagaimana penjelasan Imam al-Nawawi di atas, bahwa tidak ada larangan memuji orang lain apabila memujinya itu  tidak di hadapannya atau tanpa kehadirannya. Namun demikian apabila memujinya ini ada unsur dusta, maka ini menjadi haram. Adapun keharamannya itu bukan karena memuji, tetapi karena unsur dusta. Bahkan memuji orang lain tanpa ada unsur dusta menjadi suatu yang dianjurkan apabila ada kemuslihatan dengan pujiannya itu dan tidak mengakibatkan suatu yang tidak baik. Misalnya seorang ayah memuji pekerjaan anaknya, dimana dengan pujiannya itu diharapkan dapat menambah motivasi dia bekerja. Ini tentu suatu yang dianjurkan dan baik. .

Kemudian Imam al-Nawawi melanjutkan,

وأما المدحُ في وجه الممدوح فقد جاءت فيه أحاديث تقتضي إباحتَه أو استحبابه، وأحاديث تقتضي المنع منه. قال العلماء وطريق الجمع بين الأحاديث أن يُقال: إن كان الممدوحُ عنده كمالُ إيمان وحسنُ يقين ورياضةُ نفس ومعرفةٌ تامة بحيث لا يفتتن ولا يغترّ بذلك ولا تلعبُ به نفسُه فليس بحرام ولا مكروه، وإن خيف عليه شيءٌ من هذه الأمور كُرِهَ مدحُه كراهةً شديدة

Adapun  memuji orang yang berada di hadapan kita ada beberapa hadits yang memberi petunjuk membolehkannya atau menganjurkannya dan ada pula hadits-hadits yang melarangnya. Para ulama berkata, cara mengkompromikan beberapa hadis tersebut adalah bila orang yang dipuji sempurna keimanannya, keyakinannya bagus, terlatih jiwanya dan pengetahuannya sempurna, sekira-kira tidak ada fitnah dan lalai bila dipuji dan hatinya juga tidak goyah, maka memuji tidak haram dan tidak pula makruh. Kalau dikhawatirkan hal-hal seperti itu akan terjadi, sangat dimakruhkan memujinya. (Al-Azkar : 433-435)


Adapun hadits-hadits yang disebut oleh Imam al-Nawawi dalam Kitab al-Azkar antara lain :

1.  Hadits yang melarang memuji orang lain :

a.  Nabi SAW bersabda :

إِذَا رأيْتُم المَدَّاحِينَ فاحْثُوا في وُجُوهِهِمْ التُّرابَ

Apabila kalian melihat orang yang memuji, maka taburlah debu di wajahnya. (H.R. Muslim)

 

b.  Dari Abu Musa al-Asy’ariy r.a, beliau berkata :

سمع النبيُّ صلعم رجلًا يُثني على رجل ويُطريه في المِدْحَةِ، فقال أَهْلَكْتُمْ أوْ قَطَعْتُمْ ظَهْرَ الرَّجُلِ

Nabi SAW pernah mendengar seseorang menyanjung temannya yang lain, dia berlebihan memujinya. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Kalian telah binasa” atau “Kamu telah memotong punggung laki-laki itu” (Muttafaqun ‘alaihi)

 

c.  Dari riwayat Abu Bakrah r.a. menceritakan,

أن رجلًا ذُكِرَ عندَ النبيّ  صلعم فأثى عليه رجلٌ خيرًا، فقال النبيّ صلعم وَيْحَكَ قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ ـ يقوله مرارًا ـ إنْ كانَ أحَدُكُمْ مادِحًا لَا مَحَالَةَ فَلْيَقُلْ: أحْسِبُ كَذَا وكَذَا إنْ كانَ يَرَى أنَّهُ كَذَلِكَ وَحَسِيبُهُ اللَّهُ وَلا يُزَكِّي على اللَّهِ أحَدًا

Ada seseorang di hadapan Nabi SAW menyanjung kebaikan orang lain, maka Nabi SAW bersabda “Celaka engkau, engkau telah memotong leher temanmu (berulang kali beliau mengucapkan perkataan itu). Jika salah seorang di antara kalian harus memuji, maka ucapkanlah, “Saya kira si fulan demikian kondisinya”. Jika dia menganggapnya demikian. Adapun yang mengetahui kondisi sebenarnya adalah Allah dan janganlah mensucikan seorang di hadapan Allah. (Muttafaqun ‘alaihi)

 

2.  Hadits yang mengisyaratkan kebolehan memuji orang lain :

a.  Rasulullah SAW pernah bersabda :

يا أبا بَكْرٍ لا تَبْكِ، إنَّ أمَنَّ النَّاسِ عَليَّ في صُحْبَتِهِ وَمَالِهِ أبُو بَكْرٍ، وَلَوْ كُنتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيلًا لاتَّخَذْتُ أبا بَكْرٍ خَلِيلًا

Wahai Abu Bakar, jangalah kamu menangis. Sesungguhnya manusia yang paling terpercaya di hadapanku dalam persahabatannya dan hartanya adalah Abu Bakar. Seandainya aku boleh mengambil kekasih dari ummatku, tentulah Abu Bakar orangnya.(H.R. Bukhari)

b.Rasulullah SAW bersabda :

دَخَلْتُ الجَنَّةَ فَرأيْتُ قَصْرًا، فَقُلْتُ: لِمَنْ هَذَا؟ قالُوا: لِعُمَرَ، فأرَدْتُ أنْ أدْخُلَهُ فَذَكَرْتُ غَيْرَتَكَ فقال عمر رضي الله عنه: بأبي وأمي يا رسول الله, أعليك أغار؟

Aku masuk ke dalam surga. Aku melihat di dalamnya istana. Aku berkata : Milik siapakah ini? Mereka berkata: itu milik Umar. Aku pun hendak memasukinya. Kemudian aku ingat kecemburuanmu  Maka Umar pun menangis dan berkata: wahai Rasulullah, apakah terhadap anda pantas untuk dicemburui? (Muttafaqun ‘alaihi)


Sebagaimana sudah dijelaskan Imam al-Nawawi di atas, kandungan makna dua kelompok hadits ini dapat dikompromikan sebagai berikut :

1.  Memuji orang lain dihadapannya apabila diduga pujian tersebut tidak membahayakan keimanan dan ketaqwaan orang yang dipuji, misalnya keadaan orang yang dipuji tersebut keimanannya kuat, keyakinannya bagus, terlatih jiwanya dan sempurna pengetahuannya,  sehingga diduga tidak akan memunculkan penyakit hati seperti ‘ujub, takabbur dan tidak memunculkan fitnah serta tidak goyang hatinya dengan sebab pujian, maka pujian tersebut tidak haram dan tidak juga makruh.

2.  Kalau ada kekuatiran hal-hal seperti itu akan terjadi, maka sangat dimakruhkan memujinya.

Dampak negatif pujian

Dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin, Imam al-Ghazali membagi dampak negatif pujian dalam dua kelompok, yaitu dampak negatif dari sisi orang yang memuji dan dampak negatif dari sisi orang yang dipuji.

Adapun dampak negatif dari sisi orang yang memuji adalah sebagai berikut :

1.  Pujian itu kadang-kadang dilakukan berlebihan sehingga sampai dalam katagori berdusta dengan pujiannya itu.

2.  Kadang-kadang dalam pujiannya itu masuk unsur ria. Karena terkadang yang memuji melahirkan rasa kasih sayang yang tidak sesuai dengan yang dia sembunyikan dalam hatinya. Maka jadilah dia orang yang ria dan bersikaf munafiq

3.  Kadang yang dikatakannya itu suatu yang tidak diselidiki kebenarannya dan tidak ada jalan baginya untuk mengetahuinya. Diriwayatkan seseorang memuji orang lain di hadapan Nabi SAW. Lalu Nabi SAW bersabda :

ويحك قطعت عنق صاحبك لو سمعها ما أفلح ثم قال إن كان أحدكم لا بد مادحا أَخَاهُ فَلْيَقُلْ أَحْسَبُ فُلَانًا وَلَا أُزَكِّي عَلَى الله أحد حسيبه الله إن كان يرى أنه كذلك

Celaka kamu, telah kamu potong leher temanmu. Kalaulah dia mendengarnya, sungguh dia tidak mendapat kemenangan. Kemudian Nabi SAW melanjutkan, kalau ada seseorang di antara kamu harus memuji, maka hendaknya mengatakan, “Aku menduga si fulan begitu dan aku tidak mensucikan seseorang di hadapan Allah. Maka cukuplah Allah baginya seandainya Allah mengetahuinya seperti itu”.(H.R. Ibnu al-Dun’ya)

 

4.  Kadang-kadang dengan sebab pujiannya menjadikan kegembiraan bagi orang yang dipujinya, padahal yang dipujinya itu adalah orang dhalim dan fasik. Nabi SAW bersabda :

إن الله تعالى يغضب إذا مدح الفاسق

Sesungguhnya Allah akan marah apabila orang fasik dipuji.(H.R. al-Baihaqi dan Ibnu Abi Dun’ya)

 

Adapun dampak negatif dari sisi orang yang dipuji adalah sebagai berikut :

1.  Pujian berpotensi mendatangkan kesombongan dan kebanggaan, sedangkan keduanya ini merupakan sikap yang dapat membinasakan seseorang.

2.  Terkadang orang apabila dipuji dengan suatu kebaikan, dia akan merasa gembira dan lemah dari berbuat kebaikan serta merasa puas dengan diri sendiri. Orang yang menyombong dirinya, maka sedikitlah kesungguhan amalnya. Sesungguhnya orang yang rajin beramal adalah orang yang melihat dirinya serba kekurangan. Adapun apabila sudah lancar lisan orang memujinya, maka dia menyangka sudah mendapatkan kedudukan yang tinggi.

(Ihya ‘Ulumuddin : III/159-160)

 

Selasa, 19 September 2023

Ghibah, pengertian dan hukumnya

 

Pengertian Ghibah

Ghibah atau menggunjing adalah tindakan menceritakan keburukan seseorang kepada orang lain, yang jika orang itu mendengarnya tidak merasa senang. Dalam ghibah keburukan yang diceritakan itu adalah kondisi yang benar. Jika cerita keburukan itu tidak benar, maka termasuk fitnah atau bohong. Pengertian seperti sebagaimana ditegaskan Hadits Nabi SAW bersabda :

أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟ قالوا: اللهُ وَرَسُولُهُ أعْلَمُ، قَالَ: ذِكْرُكَ أخَاكَ بِما يَكْرَهُ قِيلَ: أفَرَأيْتَ إنْ كَانَ في أخِي مَا أقُولُ؟ قَالَ: إنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ، فقد اغْتَبْتَهُ، وإنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah?, Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Rasulullah bersabda, “Membicarakan saudaramu dengan apa yang dibencinya”. Ada yang menimpali, “Apa pendapatmu ya Rasulullah, jika aku mengatakan sesuatu yang benar pada saudaraku”. Rasulullah menjawab, “Jika benar apa yang kamu katakan, maka kamu sudah melakukan ghibah dan jika tidak benar apa yang kamu katakan, maka kamu sudah melakukan kebohongan”. (H.R. Muslim)

 

Point penting yang perlu dipahami, bahwa kandungan pembicaraan dalam ghibah ini adalah suatu yang benar dengan kenyataan. Karena jika tidak benar, maka termasuk dalam katagori menyebar berita bohong. Berdasarkan ini, keliru anggapan sebagian orang awam bahwa membicarakan suatu kekurangan apa adanya (yang sebenarnya) yang ada pada seseorang bukanlah ghibah. Dalam merespon anggapan awam ini, Ibrahim al-Bajuri mengatakan,

ومن الضلال قول بعض العامة ليس هذا غيبة انما هو اخبار بالواقع

Termasuk salah satu kesesatan adalah perkataan sebagian awam, “Ini bukanlah ghibah, tetapi hanya menyampaikan yang sebenarnya.” (Tuhfah al-Murid ‘ala Jauharah al-Tauhid serta Ta’liq ‘Ali Jum’ah : 331)

 

Imam al-Ghazali menjelaskan pengertian ghibah sebagai berikut :

اعْلَمْ أَنَّ حَدَّ الْغِيبَةِ أَنْ تَذْكُرَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُهُ لَوْ بلغه سواء ذَكَرْتَهُ بِنَقْصٍ فِي بَدَنِهِ أَوْ نَسَبِهِ أَوْ فِي خُلُقِهِ أَوْ فِي فِعْلِهِ أَوْ فِي قَوْلِهِ أَوْ فِي دِينِهِ أَوْ فِي دُنْيَاهُ حَتَّى فِي ثَوْبِهِ وَدَارِهِ وَدَابَّتِهِ

Ketahuilah, sesungguhnya devinisi ghibah adalah membicarakan saudaramu dengan apa yang dibencinya bila sampai perkataanmu itu kepadanya, baik kamu menyebut kekurangan pada badan, nasab, kejadian, perbuatan, perkataan, agama dan dunianya sehingga perihal pakaian, rumah dan kenderaannya. (Ihya Ulumuddin : III/143)

 

Ibnu Hajar al-Asqalaniy yang hidup setelah al-Ghazali menjelaskan,

الْغَيْبَة هُوَ ذكر الرجل بِمَا يكره ذكره مِمَّا هُوَ فِيهِ

Ghibah adalah membicarakan seseorang dengan apa yang dibencinya, yaitu kekurangan  yang ada padanya. (Fathulbarri : I/164)

Ghibah tidak hanya dengan lisan

Yang dihukum sebagai ghibah tidaklah hanya melalui ucapan yang keluar dari lisan seseorang, akan tetapi bisa saja dalam bentuk tulisan atau isyarah ataupun dalam bentuk lainnya asal dapat dipahami sebagai pengungkapan kekurangan orang lain. Ibrahim al-Bajuri mengatakan,

وليس الغيبة مختصة بالذكر بل ضابطها كل ما افهمت به غيرك نقصان مسلم بلفظك او كتابتك او أشرت اليه بعينك او يدك او رأسك او نحو ذالك

Ghibah itu tidak khusus dengan lisan saja, akan tetapi ketentuannya adalah setiap yang dapat memberi pemahaman kepada selainmu kekurangan seorang muslim, baik dengan lisan, tulisan atau isyarat dengan matamu kepadanya, tangan, kepala atau lainnya. (Tuhfah al-Murid ‘ala Jauharah al-Tauhid serta Ta’liq ‘Ali Jum’ah : 331)

 

Dalam rangka berargumentasi bahwa ghibah tidak hanya dengan lisan, Imam al-Ghazali  mengatakan,

اعلم أن الذكر باللسان إنما حرم لأن فيه تفهيم الغير نقصان أخيك وتعريفه بما يكرهه فالتعريض بِهِ كَالتَّصْرِيحِ وَالْفِعْلُ فِيهِ كَالْقَوْلِ وَالْإِشَارَةِ وَالْإِيمَاءِ وَالْغَمْزِ وَالْهَمْزِ وَالْكِتَابَةِ وَالْحَرَكَةِ وَكُلُّ مَا يُفْهِمُ الْمَقْصُودَ فَهُوَ دَاخِلٌ فِي الْغِيبَةِ وَهُوَ حَرَامٌ فمن ذلك قول عائشة رضي الله عنها دخلت علينا امرأة فلما ولت أومأت بيدي أنها قصيرة فقال صلعم اغتبتيها ومن ذلك المحاكاة يمشي متعارجاً أو كما يمشي فهو غيبة بل هو أشد من الغيبة لأنه أعظم في التصوير والتفهيم

Ketahuilah, sesungguhnya membicarakan secara lisan, hukumnya haram karena padanya ada memberikan pemahaman kepada orang lain ada kekurangan saudaramu dan memperkenalkan saudaramu dengan kekurangan yang dibencinya. Karena itu, menyindir sama seperti penegasan, perbuatan sama seperti perkataan. Demikian juga isyarah, penunjukan dengan tangan, kedipan mata, penunjukan dengan kaki, tulisan, gerakan dan setiap yang dipahami maksudnya. Maka semua itu masuk dalam ghibah yang diharamkan. Termasuk dalam katagori ghibah perkataan ‘Aisyah r.a., “Masuk menemui kami, seorang perempuan. Manaakala ia berpaling, aku isyaratkan dengan tanganku bahwa ia pendek. Lalu Nabi SAW bersabda. “Kamu telah melakukan ghibah kepadanya”. Termasuk ghibah meniru berjalan pincang sebagaimana halnya seseorang berjalan. Maka itu ghibah, bahkan lebih berat dari ghibah, karena lebih kuat kesannya dalam menggambarkannya dan memberikan pemahaman. (Ihya Ulumuddin : III/144-145)

Al-‘Iraqi mengatakan, hadits ‘Aisyah r.a. ini telah ditakhrij oleh Ibnu Abi Dun’ya dan Ibnu Mardawiih dari riwayat Hisaan bin Makhariq. Ibnu Hiban menghukumnya terpercaya. Adapun perawi lainnya terpercaya. (Takhrij Ahadits Ihya Ulumuddin karya al-Zabidiy : IV/1753)

Hukum ghibah

Tidak diragukan lagi dalam Islam, ghibah merupakan perbuatan tercela dan diharamkan. Dalam al-Qur’an, Allah Ta’ala mencela ghibah dengan firman-Nya :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. (Q. S. al-Hujurat : 12)

Dalam hadits Nabi SAW dijelaskan,

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ ثُمَّ أَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ صنعت هَذَا فقَالَ لَعَلَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا

Dari Ibnu Abbas r.a, ia berkata: Rasulullah SAW melewati dua buah kuburan. Lalu beliau bersabda, ”Sungguh keduanya sedang disiksa. Mereka disiksa bukan karena perkara besar (dalam pandangan keduanya). Salah satu dari dua orang ini, (semasa hidupnya) tidak menjaga diri dari kencing. Sedangkan yang satunya lagi, dia keliling menebar namiimah (menebar berita untuk menciptakan permusuhan).” Kemudian Beliau mengambil pelepah basah. Beliau belah menjadi dua, lalu Beliau tancapkan di atas masing-masing kubur satu potong. Para sahabat bertanya,”Wahai, Rasulullah. Mengapa Rasul melakukan ini?” Beliau menjawab,”Semoga mereka diringankan siksaannya, selama keduanya belum kering” (Muttafaqun ‘alaihi)

 

Imam al-Nawawi dalam pembahasan keharaman ghibah dan namimah dalam kitabnya, al-Azkar mengatakan sebagai berikut :

اعلم أن هاتين الخصلتين من أقبح القبائح وأكثرها انتشاراً في الناس، حتى ما يسلمُ منهما إلا القليل من الناس

Ketahuilah bahwa dua perkara ini (ghibah dan namimah) termasuk sejahat-jahat dari perilaku yang jahat. Kebanyakannya bertebarakan pada manusia sehingga tidak ada yang selamat darinya kecuali sedikit manusia. (Al-Azkar : 336)

Kemudian Imam al-Nawawi menegaskan :

وأما حكمهما، فهما محرّمتان بإجماع المسلمين

Adapun hukum keduanya (ghibah dan namimah) haram dengan ijmak kaum muslimin. (Al-Azkar : 336)

 

Ibrahim al-Bajuri mengatakan,

حكم الغيبة التجريم بالاجماع

Hukum ghibah adalah haram dengan ijmak ulama. (Tuhfah al-Murid ‘ala Jauharah al-Tauhid serta Ta’liq ‘Ali Jum’ah : 331)

 

Kemudian pada halaman berikutnya, Ibrahim al-Bajuri menjelaskan telah terjadi khilaf ulama dalam hal apakah ghibah termasuk dosa besar atau bukan?. Al-Quthubi salah seorang ulama Malikiyah berpendapat ghibah merupakan dosa besar tanpa khilaf dalam mazhabnya. Pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama Syafi’iyah. Pendapat lain mengatakan, ghibah merupakan dosa kecil. Pendapat ini adalah pendapat pengarang Kitab al-Iddah dan ulama-ulama yang mengikutinya. Alasanya, karena sudah sangat umum dan sedikit orang yang selamat dari ghibah. Adapun pendapat yang ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Haitamiy dalam Kitab Syarah al-Syamail, bahwa ghibah yang dilakukan orang yang berilmu dan orang yang mendalami al-Qur’an adalah dosa besar. Adapun ghibah yang dilakukan selainnya adalah dosa kecil. Menurut Ibrahim al-Bajuri, pendapat ini merupakan yang mu’tamad (yang kuat dalam mazhab). Selanjutnya beliau menegaskan, sebagaimana haram melakukan ghibah maka haram juga atas orang yang mendengarnya menyimak dan mengiyakan ghibah tersebut. Karena itu, wajib atas orang yang mendengar ghibah yang diharamkan melarangnya apabila tidak ada kekuatiran yang nyata. (Tuhfah al-Murid ‘ala Jauharah al-Tauhid serta Ta’liq ‘Ali Jum’ah : 332)

Ghibah yang dibolehkan

Sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa ijmak ulama  ghibah adalah haram. Namun demikian dalam kondisi tertentu, ghibah dapat dibenarkan dalam agama dengan sebab beberapa pertimbangan. Imam al-Ghazali mengatakan,

اعلم أن المرخص في ذكر مساوي الغير هو غرض صحيح في الشرع لا يمكن التوصل إليه إلا به فيدفع ذلك إثم الغيبة وهي ستة أمور

Ketahuilah, hal yang membolehkan menyebut keburukan orang adalah sebuah tujuan yang dibenarkan menurut syar’i di mana tujuan tidak tercapai tanpa penyebutan tersebut. Hal itu adalah enam perkara.

Kemudian Imam al-Ghazali merincikan beberapa faktor yang menyebabkan ghibah  dibenarkan syara’, yaitu :

1.  Ghibah dalam rangka mengadukan kedhaliman. Orang yang didhalimi boleh mengadukan kedhaliman yang diterimanya kepada penguasa, hakim, dan lainnya yang memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk memberikan keadilan dari orang yang mendhaliminya.

2.  Ghibah dalam rangka minta pertolongan mengubah kemungkaran. Seseorang mengatakan kepada orang yang diharap bisa mengubah kemungkaran itu, “Fulan melakukan ini, maka cegahlah darinya”, dan sejenisnya.

3.  Ghibah dalam rangka meminta Fatwa. Seseorang mengatakan kepada mufti, “Bapakku, atau saudaraku, atau suamiku telah menzalimiku. Bolehkah dia melakukan itu? Bagaimana cara saya agar bisa terlepas dari kezaliman tersebut?,” Namun Perkataan seperti ini dibolehkan hanya ukuran seperlunya saja.

4.  Ghibah dalam rangka mengingatkan dari sebuah keburukan dan menasehati. Ini bisa terjadi dengan beberapa bentuk. Di antaranya, keburukan seorang ahli fiqh yang berbuat bid’ah atau kefasikan, dimana dikuatirkan bid’ah dan kefasikannya itu dapat menular kepada orang lain. Contohnya lain menceritakan aib barang jual beli, karena diamnya dapat merugikan si pembeli.

5.  Ghibah dalam rangka mengenalkan. Jika seseorang dikenal dengan julukan tertentu, maka boleh mengenalkan dengan julukan itu. Seperti si fulan yang buta matanya, si fulan yang pincang kakinya. Tapi, penyebutan itu tidak dboleh dilakukan dalam rangka menghina, hanya sekedar untuk mudah mengenali. Yang lebih baik adalah mengenalinya dengan sebutan-sebutan yang baik.

6.  Ghibah dengan membicarakan perbuatan fasik seseorang yang dilakukan secara terang-terangan. Misalnya, orang yang secara terang-terangan minum khamar dan melakukan tindakan-tindakan bathil lainya, orang berperilaku seperti ini boleh digunjing tentang keburukan yang dia kerjakan secara terang-terangan. al-Hasan berkata :

ثلاثة لا غيبة لهم صاحب الهوى والفاسق المعلن بفسقه والإمام الجائر

Ada tiga orang yang tidak mengapa menghibahinya, yaitu pelaku bid’ah (yang terang-terangan bid’ahnya), orang fasik yang terang-terangan fasiknya dan pemimpin yang dhalim.

 

Selanjutnya, Imam al-Ghazali menjelaskan,

فهؤلاء الثلاثة يجمعهم أنهم يتظاهرون به وربما يتفاخرون به فكيف يكرهون ذلك وهم يقصدون إظهاره

Golongan tiga orang ini secara terang-terangan melakukan keburukannya, bahkan barangkali mereka bangga dengan keburukannya itu. Bagaimana mungkin mereka membencinya, sedangkan mereka sendiri mempunyai niat menampakkannya.

 

Namun demikian, tidak boleh menggunjing aib-aibnya yang lain kecuali jika ada sebab lain yang membolehkannya. (Ihya Ulumuddin : III/152-153)

Sebab-sebab yang memotivasi ghibah

Dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin, Imam al-Ghazali merangkum sebelas penyebab seseorang melakukan ghibah. Tujuh di antaranya berlaku secara umum, sedangkan sisanya tiga lagi  berlaku pada ahli agama. Adapun tujuh yang berlaku umum adalah sebagai berikut :

1.  Memuaskan rasa marah. Marah terhadap orang lain membuat seseorang ingin membeberkan aibnya kepada saudaranya yang lain. Jika kemarahan yang luar biasa, atau sebab kemarahan yang lama dipendam di dalam benaknya lalu ditumpahkan, biasanya seseorang mengeskpresikannya dengan membongkar aib orang yang ia jadikan objek kemarahan.

2.  Agar diterima dalam pergaulan Salah satu cara agar bisa diterima dalam suatu kelompok adalah mengikuti kebiasaan mereka. Secara tak sadar, sering kita masuk di suatu percakapan yang ternyata di dalamnya sedang membicarakan orang lain. Tentu tidak mudah untuk menghentikan obrolan itu karena kitia pasti dianggap berlebihan, kita justru turut larut dalam percakapan membahas aib orang lain.

3.  Merasa terhakimi Bila seseorang hendak menyerang atau membicarakan keburukan, langkah antisipasi biasanya balik menyerang duluan. Hal ini dilakukan agar seseorang yang hendak menyerangnya sudah jatuh terlebih dahulu derajat dan posisinya di mata publik. Agar publik tak mempercayai ucapan dan informasi yang disampaikannya tentang keburukan tersebut.

4.  Merasa tersudut dengan suatu tuduhan. Untuk melepaskan dirinya, melemparkan tuduhan tersebut kepada orang lain yang telah melakukannya. Sebenarnya upaya melepaskan dirinya bisa saja dilakukan tanpa perlu membawa serta nama orang lain. Atau membawa serta nama orang lain yang sama-sama ikut serta melakukannya, dengan harapan kesalahan yang dilakukan dapat dimaafkan.

5.  Keinginan untuk meninggikan dirinya. Keinginan tersebut dijelmakan dengan menyebut kekurangan orang lain. Seperti mengatakan, sipulan bodoh, pemahamannya kacau atau kalamnya lemah. Maksud ucapannya ini tidak lain untuk menunjukkan bahwa dia lebih hebat atau lebih berilmu dari sipulan atau dia lebih berhak untuk dihormati.

6.  Rasa dengki atau iri. Biasanya rasa dengki atau iri ini yang tersimpan tertuju pada orang yang populer dan dicintai oleh banyak orang. Rasa iri tersebut akan berdampak pada keinginan untuk menjatuhkan objek atau orang yang populer tersebut. Salah satu cara menurunkan reputasinya adalah dengan membuka aib-aibnya.

7.  Bercanda, bercengkrama dan menghabiskan waktu untuk tertawa. Salah satu cara membuat orang di depannya tertawa adalah dengan membicarakan keburukan orang lain. Sumbernya adalah ‘ujub dan takabbur.

8.  Meremehkan dan menghina Kadang-kadang seseorang meremehkan orang lain atau merendahkannya bisa dilakukan di depan orang tersebut atau juga di belakangnya. Jika melakukannya di belakang, maka caranya adalah dengan menyebutkan keburukan-keburukannya.

Selanjutnya tiga sebab yang hanya berlaku pada ahli agama, sebab-sebab ini sangat samar dan tersembunyi. Karena itu, kejahatan-kejahatannya disembunyikan setan dalam bingkai kebaikan. Di dalamnya ada kebaikan, akan tetapi setan mencampurinya dengan kejahatan. Adapun sebab-sebab tersebut adalah sebagai berikut :

1.  Digerak dari agama oleh faktor keheranan dalam mengingkari kemungkaran dan kesalahan dalam agama. Lalu dia mengatakan, “Aku heran apa yang aku lihat kemungkaran yang dilakukan si pulan”. Kadang dia benar dengan ucapannya itu. Adalah haknya merasa heran, akan tetapi itu dapat dilakukan tanpa menyebut nama. Namun dia dilalaikan setan, sehingga dia telah melakukan ghibah dan perbuatan dosa tanpa disadarinya. Termasuk dalam katagori ini perkataan seseorang, “Aku heran, bagaimana mungkin dia mencintai hamba sahayanya, padahal ia itu jelek” atau “Bagaimana mungkin dia sering menemui si pulan, padahal si pulan itu bodoh”.

2.  Rasa kasih sayang. Berduka cita dengan keburukan yang menimpa seseorang. Lalu ia mengatakan, “Kasian, sungguh melarat hidup si pulan, aku turut berduka cita dengan musibah yang menimpanya”. Dia benar dengan duka citanya, namun dia dilalaikan dari akibat buruk menyebut nama si pulan itu. Dengan sebabnya menjadikan dia sebagai orang yang melakukan ghibah tanpa disadarinya. Maka hilanglah pahala duka citanya.

3.  Marah karena Allah. Kadang-kadang seseorang marah atas kemungkaran yang dilihat atau didengarnya yang dilakukan manusia. Pada saat memuncak kemarahannya, dia menyebut nama pelaku kemungkaran tersebut. Semestinya yang wajib atasnya hanyalah memarahinya dalam rangka amar ma’ruf dan nahi mungkar, tidak perlu membicarakannya kepada orang lain atau dapat saja membicarakannya dengan menyembunyikan namanya dan tidak menyebut keburukannya itu. (Ihya Ulumuddin : III/146-147)

Tips menghindari ghibah

Imam al-Ghazali dalam menguraikan tips-tips menghindari ghibah, melakukan pendekatannya dengan dua cara, yaitu bersifat umum dan spesifik. Adapun yang bersifat umum adalah dengan menyadari bahwa jika melakukan ghibah akan menimbulkan murkanya Allah dan juga bahwa ghibah akan menghapus amal-amal kebaikan manusia. Kebaikan orang yang melakukan ghibah akan dipindahkan kepada orang yang dighibahinya dan keburukannya akan dipindahkan kepada orang yang melakukan ghibah sebagaimana banyak hadits yang menjelaskannya. Disamping itu, sering-seringlah memikirkan kekurangan diri sendiri. Dengan demikian, akan menyibuk dirinya memperbaiki kekurangan-kekurangan diri sendiri. Nabi SAW bersabda :

طُوبَى لِمَنْ شَغَلَهُ عَيْبَهُ عَنْ عُيُوبِ اَلنَّاسِ

Beruntunglah seseorang yang sibuk akan kekurangannya sendiri daripada menyibuk dirinya dengan aib orang lain.(H.R. al-Bazar)

 

Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan memahami bahwa orang yang dighibah akan merasakan tersakiti dengan sebab ghibahnya itu. Maka hal yang sama akan terjadi juga apabila ghibah itu menimpa diri kita sendiri. Apabila kita tidak ridha dighibah, maka seharusnya kita juga tidak ridha melakukan ghibah kepada orang lain.

Adapun tips-tips menghindari ghibah secara spesifik adalah dengan memperhatikan sebab-sebab yang menggerakkan ghibah yang telah disebutkan sebelum ini, kemudian menghilangkan sebab-sebab tersebut. Selanjutnya Imam al-Ghazali menjelaskan rinciannya sebagai berikut :

1.  Menghentikan marah. Biasanya saat marah dan tidak bisa melampiaskannya secara langsung, maka yang terjadi adalah menjelek-jelekkannya dari belakang sebagai ekspresi kemarahan. Kita harus sering mensugesti diri kita agar mengendalikan amarah. Hendaknya banyak memikirkan risiko jika mengeskspresikan marah dengan ghibah. Salah satu risikonya adalah mendapat murka di hari pembalasan.

2.  Menyadari bahwa Allah akan murka jika kita mencari ridha teman dengan turut mengghibahi seseorang. Seorang budak tentu lebih mendahulukan ridha tuannya daripada temannya. Sebagaimana kita sebagai seorang hamba jika benar-benar beriman pasti mendahulukan ridha Allah.

3.  Menyadari bahwa merasa lebih baik tidak perlu membicarakan orang lain. Karena sungguh, Allah akan murka jika kita melakukan ghibah.  Lalu betul-betul menyadari bahwa murka Allah lebih berat dari murka makhluq. Kesadaran itulah yang akan membuat kita hati-hati untuk membicarakan keburukan orang lain.

4.  Merenungkan perbuatan yang boleh diikuti dan tidak. Terlebih jika kita mengikuti perbuatan yang dilarang oleh Allah, salah satunya adalah ghibah hanya karena ikut-ikutan, sungguh itu merupakan tindakan bodoh. Apabila seseorang mengatakan, “Jika aku makan haram, itu karena dia juga makan haram” atau “Jika aku terima hadiah Sultan yang dhalim, itu karena dia juga menerimanya”, maka ini sungguh tindakan yang bodoh. karena sudah mengikuti orang yang tidak seharusnya diikuti.

5.  Menyadari dan memikirkan jika membicarakan orang lain justru akan merendahkan diri sendiri dan menghilangkan kelebihan diri sendiri di sisi Allah Ta’ala, Malaikat dan para Anbiya ‘alaihimussalam . Sedangkan diri kita seringkali lebih yakin kalau menjelekkan orang lain akan membuat kita terlihat unggul di mata orang lain. Padahal belum tentu orang lain akan menganggap kita unggul dengan mencela orang lain.

6.  Menyadari bahwa ghibah karena iri dan dengki, sesungguh telah mengumpulkan dua kerugian, yaitu merasa tersiksa dengan perasaan iri dan dengki di dunia dan juga mendapat siksaan di hari akhirat kelak. 

7.  Memikirkan kerugian jika kamu melakukan ghibah hanya dengan tujuan ingin merendahkan orang lain. Kamu rela merendahkan orang lain dengan imbalan justru hina di sisi Allah Ta’ala.

8.  Mengendalikan diri saat merasa kasihan ketika seseorang melakukan dosa. Memang bagus saat kita merasa kasihan dan peduli melihat orang lain melakukan dosa. Tapi bukan berarti kita bebas menghakimi dan mengurai-urai kesalahannya yang lain yang justru menghilangkan pahala kebaikan diri sendiri. Pada saat seperti ini, lalu siapa yang pantas dikasihani, apakah diri kita sendiri yang hilang pahala kebaikan ataukah orang yang kita ghibah yang mendapat transfer pahala kebaikan dari kita, karena kita melakukan ghibah kepadanya?.

9.  Marah karena melihat kemungkaran seharusnya tidak seharusnya disertai tindakan ghibah. Ketahuilah, setan menggerakkan dirimu untuk ghibah dengan harapan hilang pahala memarahi kemungkaran yang dianugerah Allah Ta’ala.

10.  Apabila keheranan atas kemungkaran yang dilakukan orang lain membuat diri kita melakukan ghibah, maka itu termasuk tindakan membinasakan diri sendiri dengan sebab agama dan dunia orang lain. Padahal kita sendiri juga belum aman dari kerugian. Bisa saja Allah membuka aib kita sendiri sebagaimana kita membuka aib orang lain. (Ihya Ulumuddin : III/149-150)