Ketika Kerajaan Aceh telah mencapai puncak kejayaannya (abad XVII) banyak dikunjungi para cendikiawan (ulama dan pujangga), baik dari manca negara maupun domestik. Di antara mereka yang datang ini ada yang kemudian menetap di Aceh dan ada pula yang kembali ke negeri asalnya. Selama di Aceh mereka ada yang berprofesi guru sebagai pengajar khususnya dalam ilmu agama dan ada juga sebagai pengarang buku tentang berbagai cabang ilmu pengetahuan. Karena banyaknya guru dan pengarang yang berdomisili di Aceh menjadikan Aceh sebagai "kiblat" studi tentang Islam dan ilmu pengetahuan lainnya di Nusantara pada waktu itu.
Berikut ini dipaparkan sejumlah mereka (guru dan pujangga) yang pernah berkiprah di Aceh pada kurun waktu tersebut di atas. Di antaranya adalah Muhammad Azhari sebagai pengajar ilmu metafisika; Syeikh Abdul Khair ibn Syeikh ibn Al Hajar pengarang kitab AZaif al Qathi, seorang yang ahli dalam masalah dogmatic dan mystic; Muhammad Yamani seorang guru dalam ilmu usul. Selain itu terdapat pula Syeikh Muhammad Jailani ibn Hasan ibn Muhammad Hamid yang berasal dari Gujarat pengajar ilmu Mantik, Ma'ani, bayan, ilmu usul dan ilmu Fiqh.1 Selain itu juga Syeikh Bokhari al Jauhari, pengarang kitab Tajussalatin atau mahkota segala Raja-raja. Kitab ini mempunyai nilai-nilai keagamaan dan merupakan pedoman untuk raja-raja yang memerintah kerajaan pada waktu itu. Kitab ini demikian besar pengaruhnya di Kepulauan Nusantara, sehingga sampai abad XIX di kalangan kraton-kraton Jawa Tengah dan Semenanjung Tanah Melayu masih digunakan.2
Guru lainnya yang cukup dikenal dan menjadi bahan studi para ilmuwan dan sastrawan sampai sekarang ini ialah Hamzah Fansuri. Ia dilahirkan di Fansur, sebuah desa yang letaknya diperkirakan tidak seberapa jauh dari Barus dan dekat letaknya dengan Singkel sekarang. Kemudian ia mengembara, antara lain, sampai ke ibukota Bandar Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Muda Ali Riayat Syah (1604-1607) dan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Ia merupakan seorang pujangga dan guru agama yang terkenal dengan ajaran tasawuf Wujudiyah.3 Jasanya yang paling menonjol dalam bidang pendidikan adalah usahanya memperkaya bahasa Melayu dengan kata-kata Arab, sehingga bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu pengetahuan yang tidak kalah dengan bahasa-bahasa ilmu pengetahuan dunia lainnya pada waktu itu. Karenanya, Hamzah Fansuri dapat dianggap sebagai perintis pertama dalam mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu pengetahuan yang sampai sekarang maju pesat (bahasa Indonesia dan bahasa Melayu). Di antara karya-karyanya yang berbentuk prosa ialah Asrar al-Arifin fi Bayan 'ilmu al Suluk wal Tauhid, Syarb al Asyikin wa Zinatul Muwahidin dan Al Muntahi. Ketiga kitab itu ditulis dalam bahasa Melayu dan pada dasarnya membahas masalah-masalah Tauhid, syari'ah, tarekat, hakekat, ma'rifat dan paham wujudiyah. Sebagai seorang pujangga, Hamzah Fansuri juga menulis syair-syair, di antaranya yang terkenal ialah Syair si Burung Pungguk, Syair si Burung Pungai, Syair si Dang Fakir dan Syair Perahu, serta Ruba'i Hamzah Fansuri.4
Guru penting lainnya yang juga menjabat Qadli Malikul Adil dalam pemerintahan Sultan Iskandar Muda ialah Syamsuddin as Sumathrani atau lebih terkenal dengan nama Syamsuddin Pasei. Seperti terlihat dari namanya itu, ia dilahirkan di Samudra Pasei, tetapi tahun kelahirannya tidak jelas diketahui; dan meninggal pada 12 Rajab 1039 H (1630 M). Ia adalah murid dari Hamzah Fansuri dan yang memperkembang-kan paham Wujudiyah di Aceh.5 Kitab-kitab yang ditulis Syamsuddin Pasei adalah Durrat al Fara'id, Hidayah al Habib, Miratul Mukmin, Miratul Muhakikin, Miratul Al Qulub, Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri (pembahasan mengenai Ruba'i Hamzah Fansuri) dan beberapa karya Sifat Dua Puluh dan Martabat Tujuh.6 Studi yang dilakukan para ahli terhadapnya antara lain: C.A.O. Nieuwenhuise, Sjamsuldin van Pasai dan Raymond le Roy Archer dalam Muhammadan Mysticism in Sumatra menunjukkan bahwa ia jua termasuk salah seorang ulama besar pada masanya, sehingga tidak mengherankan apabila ia berhasil menduduki jabatan penting di pusat Kerajaan Aceh.
Tokoh guru dan pujangga Islam lain yang pernah pula menetap di Kerajaan Aceh Darussalam ialah Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Nama lengkapnya ialah Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid Ar-Raniri al-Quraisyi asy-Syafi'i, keturunan Arab, dilahirkan di Ranir dekat Surat di Gujarat (India).7 Setelah menjadi ulama, hijrah ke Aceh dan mendapat kedudukan penting dalam badan pemerintahan Sultan Iskandar Tsani (1636-1641) dan juga pada awal pemerintahan Sultan Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675). Tampaknya ia, bersama dengan Syekh Abdurrauf Syiah Kuala, merupakan tokoh pendidikan yang paling berpengaruh di Aceh selama abad XVII dan karenanya telah mengundang sejumlah ahli untuk mengadakan studi terhadap dirinya.8 Ia di Aceh penentang ajaran wujudiyah yang diajarkan Hamzah Fansuri dan yang dikembangkan Syamsuddin Pasei, karena ajaran itu dianggap menyesatkan ajaran Islam. Dengan bantuan sultan Aceh pada masanya (Iskandar Tsani), Nuruddin Ar-Raniri berhasil memberantas ajaran wujudiyah dengan membakar kitab-kitab karangan Hamzah fansuri dan Syamsuddin Pasei di muka Mesjid Baiturrahman Bandar Aceh Darussalam9; dan juga dengan membunuh beberapa pengikut ajaran tersebut.10 Selama di Aceh Nuruddin Ar-Raniri paling produktif menulis kitab-kitab mengenai ilmu Islam, baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa Melayu klasik. Sehubungan dengan ini A.Daudy telah berhasil mengumpulkan tidak kurang dari 29 judul karangannya (termasuk yang ditulis di luar Aceh) yang meliputi berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti ilmu fiqh, hadist, tauhid, sejarah, tasawuf, firaq (sekte-sekte agama); dan sebagain besar karangannya itu ditulis untuk menyanggah ajaran wujudiyah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumathrani.11 Di antara tulisan-tulisannya itu adalah Al-Shirath al Mustaqim, Hidayat al- Habib fi Al Targhib wal-Tarhib, Nubdzah fi Da'wa al-zhill ma'a Shahibihi, Asrar al-Insan fi Ma'rifat al-Ruh wa al Rahman, Ma'ul Hayat li Ahl al-Mamat, Syifa' 'ul-Qulub, Hujjat al-Shiddiq lidaf 'i al-Zindiq, Al-Lama'an fi Takfir man Qala bin Khalq al Qur'an dan Bustanus Salatin. Yang tersebut terakhir adalah merupakan karya sastra Nuruddin Ar-Raniri yang terbesar dan paling tinggi mutunya dalam kesusastraan Melayu klasik.12 Kitab ini selain mengandung nilai-nilai keagamaan, juga mempunyai nilai-nilai sejarah, khususnya mengenai sejarah Kerajaan Aceh.
Setelah lama menetap di Aceh, pada tahun 1644 Nuruddin Ar-Raniri kembali ke kampung kelahirannya (Ranir, India) dan pada tanggal 21 September 1658 tokoh yang sebagian besar usianya diabdikan kepada ilmu pengetahuan ini meninggal dunia di sana. Untuk mengenang jasa-jasanya selama di Aceh, sekarang namanya diabadikan pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniri di Darussalam, Banda Aceh.
Tokoh pendidikan lain yang namanya juga diabadikan pada sebuah universitas negeri di Darussalam, Banda Aceh, yaitu Universitas Syiah Kuala ialah Syekh Abdurrauf Singkel atau yang lebih dikenal dengan nama Syiah Kuala. Penamaan ini mumgkin berkaitan dengan kuburnya yang terletak di Kuala Krueng (sungai) Aceh (kira-kira 4 km dari Banda Aceh) dan kemungkinan juga ia menetap di sana sambil membuka dayah, tempat ia mengajar. Nama lengkapnya ialah Andurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Singkel. Kalau dilihat pada bagian akhir namanya itu, ia agaknya sekampung dengan Hamzah Fansuri, namun faham yang dianut oleh kedua tokoh ini jauh berbeda: Hamzah Fansuri, seperti telah disebutkan penganut faham wujudiyah dan Syiah Kuala penganut paham Ahlul Sunnah wal Jama'ah. Kemudian ia pindah ke Bandar Aceh Darussalam dan menduduki jabatan penting di sana, 13 yaitu Qadli Malikul Adil dalam pemerintahan Ratu Safiatuddin (1641-1675) dan kemungkinan juga dalam pemerintahan ratu berikutnya (Ratu Nurul Alam Naqiatuddin yang memerintah sejak tahun 1675-1678). Ia sepaham dengan Nuruddin Ar-Raniri, namun penghargaan rakyat Aceh yang diberikan terhadap dirinya jauh melebihi tokoh yang berasal dari luar negeri itu. Hal ini nampak dari ungkapan yang sampai sekarang cukup populer dalam masyarakat Aceh, yaitu: Adat bak Po teu Meurohom, Hukom bak Syiah Kuala, yang artinya adat di Aceh bersumber dari Iskandar Muda, sedang hukum (Islam) bersumber dari Syekh Abdurrauf Syiah Kuala (tentu hukum yang diangkat dari Al Qur'an dan Hadist). Bahwa ia termasuk seorang besar yang berpengaruh jauh melampaui masanya terbukti juga dari beberapa studi yang diadakan oleh para ahli mengenai dirinya, seperti C. Snouck Hurgronje, D.A. Rinkes, R.O. Winstedt, P. Voorhoeve, Raymond le Roy Archer, dan lain-lain. Adapun karyanya yang sampai sekarang cukup dikenal oleh masyarakat, ialah Turjumanul Mustafid, kitab tafsir al Qur'an yang pertama dalam bahasa Melayu dan Miratuth Thullab, sebuah kitab Fiqh besar yang sekaligus menunjukkan kedalaman ilmunya. Selain itu, Bayan Tajalli, kitab yang menolak paham wujudiyah Hamzah Fansuri dan Syamddin Sumathrani; Hujjah Balighal 'ala Jum'at al Mukhasamah; Umdatul Muhtajin; Kifayat al-Muhajin dan masih banyak lagi.14
Selanjutnya, para ulama dan pujangga berikut ini dapat juga dipandang sebagai guru-guru, mengingat hasil karyanya dan kedudukannya, baik sebagai pemimpin sebuah dayah ataupun sebagai pejabat teras dalam struktur pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam. Mereka ini, ialah Syekh Jalaluddin Tursany dengan karyanya Mudharul Ajla Ila Rutbatil A'la dan kitab Safinatul Hukkam; Syekh Muhammad bin Ahmad Khatib Langien yang tulisannya antara lain, Dawaul Qulub; Syekh Abbas Al Asyi (Teungku Chiek Kuta Karang), seorang ulama dan pujangga yang cukup produktif pada bagian ke dua abad XIX, karangan-karangannya antara lain, Sirajudh Dhalam fi Ma'rifatis Sa'di wan Nahas, Kitabur Rahmah, sebuah kitab mengenai ketabiban dan kitab Tadzkiratur Rakidin, sebuah kitab yang ditulis pada tahun 1307 Hijriah yang sampai sekarang masih tersimpan pada Universiteits-bibliotheek, Leiden (Ms.Cod.Or.8038). Kemudian, ulama berikutnya ialah: Syekh Jamaluddin bin Syekh Jalaluddin bin Syekh Kamaluddin Tursany al-Asyi dengan karyanya, antara lain Hidayatul Awam; Syekh Muhammad Zain, tulisan-tulisannya antara lain Kitab Kasyful Kiram dan Takhlishul Falah; Syekh Abdullah dengan kitabnya Syifaul Qulub; Syekh Jamaluddin bin Syekh Abdullah Ali Asyi yang karangannya antara lain, I'lamul Muttaqin; Syekh Daud Rumy, murib Syekh Abdurrauf Syiah Kuala, pengarang kitab Masailal muhtadi li Ikhwanil Mubtadi. Kitab ini telah dicetak berkali-kali, sampai sekarang masih diperjualbelikan di toko-toko kitab dan tersebar di gampong-gampong; isinya adalah mengenai pelajaran agama Islam tingkat permulaan dan dikarang dengan menggunakan metode tanya-jawab, sebuah metode pengajaran yang sampai kini masih dianggap cukup baik.15 Dan sebagai penutup, rasanya perlu juga diperkenalkan seorang tokoh yang tidak kurang pentingnya, yaitu Teungku Chiek Pantee Kulu (Teungku Haji Muhammad) yang namanya diabadikan pada Dayah Teungku Chiek Pantee Kulu di Darussalam Banda Aceh. Ia pengarang kitab Hikayat Prang Sabi, sebuah karya sastra dalam bahasa Aceh yang bernilai tinggi, berisi pokok-pokok ajaran perang sabil (jihad di jalan Allah) seperti yang dituntut oleh agama Islam kepada umatnya. Karya ini telah menggetarkan jiwa rakyat Aceh untuk terjun ke medan pertempuran melawan kaphee Belanda, sehingga tidak mengherankan apabila kitab ini menjadi momok bagi Belanda dan karenanya perlu diadakan razia untuk mencegah kemungkinan rakyat menyimpannya.
Demikian sekelumit paparan tentang guru dan karyanya di Aceh pada abad XVII dan XIX. Semoga tulisan ini dibaca oleh para guru sehingga dapat menjadi motivasi bagi mereka dalam mengajar dan berkarya sebagai wujud konstribusinya bagi bangsa dan negara dewasa ini.
Catatan Akhir
Lihat Nuruddin Ar-Raniri, Bustanus Salatin, disusun oleh T. Iskandar, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1966), hal 33-4 dan Ahmad Daudy, "Syeikh Nuruddin Ar Raniry", Sinar Darussalam, No. 88, Maret 1978, hal. 119.
2T. Iskandar, "Atjeh dalam Lintasan Sejarah, Suatu Tinjauan Kebudayaan", Prasaran dalam PKA II, Banda Aceh, 1972, hal. 9.
3Mengenai aliran Wujudiyah ini, lihat misalnya, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, "Raniri and the Wujudiyah of 17th Century Acheh", Monographs of the Malaysia Branch Royal Asiatic Society III, (Malaysia Printeds Ltd, Singapore, 1966).
4Ali Hasjmy, Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh. (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hal. 16.
5Lihat Syed Muhammad Naquib Al-Attas, op.cit., hal. 11.
6 T.Iskandar, op.cit., hal. 9.
7Mengenai riwayat hidup ringkas Ar-Raniri, lihat A.Daudy, op.cit., No. 88 dan No. 89, hal. 117-123 dan hal. 180-185.
8 Di antaranya Syed Muhammad Naquib Al-Attas, op.cit.; G.W.J. Drewes, "De Herkomst van Nuruddin Ar-Raniri", BKI III, 1955; Tujimah, Asrar Al-Insan fi Ma'rifat ar-Ruh wa Ar-Rahman, Jakarta, 1960.
9A.J. Gerlach, Atjih en den Atjinizen, (Armhen: 1873), hal. 42.
10Ibid.
11 A.Daudy, op.cit., No. 89, hal. 180.
12Jumlah karya Nuruddin Ar-Raniri dapat dilihat misalnya dalam Teuku Iskandar, Kesusastraan Klasik Melayu Sepanjang Abad. (Jakarta: LIBRA, 1996), hal. 402-409.
13A.Hasjmy, Bunga Rampai... op.cit., hal. 76-77; Mengenai riwayat hidup ringkas Syekh Abdurrauf Syiah Kuala, lihat misalnya dalam M. Junus Djamil, Riwayat Hidup Waliyu'l Mulki Sjech Abdu'l-Rauf bin Ali (Syiah Kuala), diperbanyak oleh Pusat Latihan Ilmu-ilmu Sosial Aceh, 1975.
14T.Iskandar, loc.cit.; A.Hasjmy, Bunga Rampai ... loc.cit.
15 Mengenai tokoh-tokoh ulama dan pujangga yang disebutkan itu, lihat lebih lanjut, A.Hasjmy, Bunga Rampai ... op.cit., hal