Tampilkan postingan dengan label Tafsir al-Qur'an. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tafsir al-Qur'an. Tampilkan semua postingan

Kamis, 18 Januari 2024

Membaca ta’awudz dan basmalah sebelum ayat al-Qur’an Ketika berhujjah

 

Sebelum mulai membaca ayat-ayat suci dalam al-Qur'an, umat Islam biasanya mengawali dengan ucapan ta'awudz dan basmalah, meskipun pembacaan ayat al-Qur’an tersebut dimulai di pertengahan surat. Pengertian ta’awudz di sini adalah ucapan, “a’uu dzubillahi minassyaithanirrajiim” dan pengertian basmalah adalah ucapan “bismillahirrahmanirrahiim”.

Anjuran membaca ta’awudz dapat dipahami antara lain dalam firman Allah Ta’ala:

فَإِذَا قَرَأْتَ ٱلْقُرْءَانَ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ ٱلرَّجِيمِ

Apabila kamu membaca Al-Qur'an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (Q.S. An-Nahl ayat: 98)

Adapun dalil anjuran membaca basmalah berdasarkan keumuman hadits Nabi SAW berbunyi:

كل أمر ذي بال لايبدأ فيه ببسم الله فهو أقطع

Sesuatu pekerjaan yang penting yang tidak dimulai dengan menyebut nama Allah adalah buntung, yakni tidak ada hasilnya. (H.R. Abu Daud)

 

Imam al-Nawawi mengatakan, hadits ini kualitasnya hasan.(al-Azkar/103). Sesuai dengan maksud hadits ini, Zainuddin al-Malibary mengatakan dalam kitabnya:

تسن التسمية لتلاوة القران و لو من اثناء سورة فى صلاة او خارجها و لغسل و تيمم و ذبح

Disunnahkan membaca basmalah ketika membaca al-Qur'an meskipun berada di tengah-tengah surat baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Sunnah juga ketika mandi, tayamum dan menyembelih. (Fathul Muin, (dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin): I/44)

 

Dalam Kitabusshalah kitab Fathul Muin juga, Zainuddin al-Malibarry bahkan menegaskan bahwa kesunnahan membaca basmallah ketika mulai membaca di tengah-tengah surat merupakan nash dari Imam Syafi’i. Perkataan al-Malibarry tersebut adalah :

ويسن لمن قرأها من أثناء السورة البسملة نص عليه الشافعي

Sunnah membaca basmallah bagi orang-orang yang membacanya pada tengah-tengah surat. Ini merupakan nash Imam Syafi’i. (Fathul Muin, (dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin): I/49)      

                                     

Sebagian umat Islam anjuran membaca ta’awudz dan basmalah ini dipahami sampai melebar kepada ketika membaca ayat al-Qur’an dalam rangka berhujjah dan mengemukan dalil dalam diskusi maupun ceramah agama lainnya. Ucapan dalam berhujjah biasanya dengan mengucapkan, “Qaalallahu Ta’ala fiil qur’anilkarim” atau dalam Bahasa Indonesia “Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an yang mulia” atau yang semakna dengannya, kemudian membaca ta’awudz, kemudian membaca basmalah. Ada juga membaca ta’awudz saja atau basmalah saja. Sesudah itu baru membaca ayat al-Qur’an yang ingin dibacakan. Untuk lebih memahami rangkain kalam ini, perhatikan contoh berikut ini:

“Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an, Surat al-Baqarah, ayat 2: A’uu dzubillahi minassyaithanirrajiim, Bismillahirrahmanirrahiim,

ذَٰلِكَ ٱلْكِتَٰبُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ

Rangkaian kalam seperti ini, tentunya akan mengakibatkan kerancuan maknanya serta dapat mengakibatkan kesalahpahaman pendengar dalam menentukan mana yang menjadi firman Allah Ta;ala. Karena penempatan ta’awudz dan basmalah sesudah ucapan ““Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an” telah menempatkan ta’awudz dan basmalah termasuk dalam rangkaian firman Allah. Ini tentu menyalahi dengan yang sebenarnya. Karena itu, Imam al-Suyuthi dalam kitab al-Hawi lil Fatawi, beliau mengatakan, 

وإن قال أعوذ بالله من الشيطان الرجيم وذكر الآية ففيه من الفساد جعل الاستعاذة مقولا الله وليست من قوله

Jika seseorang mengatakan, “Auu’dzu billahi minassyaithanirrajiim, kemudian menyebut ayat, maka di sini muncul kerancuan sebab menjadikan ta’awudz bagian dari firman Allah, sedangkan ia bukan firman Allah.(al-Hawi lil Fatawi; I/353)

 

Hal yang sama tentunya juga berlaku apabila seseorang membaca basmalah sebelum pengucapan ayat al-Qur’an dalam berhujjah sebagaimana pengucapan ta’awudz sebelum pengucapan ayat al-Qur’an. Karena akan menempatkan basmalah menjadi bagian dari ayat al-Qur’an yang dibaca.

Pada halaman sebelumnya, Imam al-Suyuthi mengatakan,        

فأقول الذي ظهر لي من حيث النقل والاستدلال أن الصواب أن يقول قال الله تعالى ويذكر الآية ولا يذكر الاستعاذة فهذا هو الثابت في الأحاديث والآثار من فعل النبي صلى الله عليه وسلم والصحابة والتابعين فمن بعدهم

Aku mengatakan, pendapat yang dhahir menurutku setelah memperhatikan dalil naqli dan pendaliliannya, maka yang benar adalah seseorang mengatakan, “Allah Ta’ala berfirman”, kemudian menyebut ayat al-Qur’an, tanpa menyebut ta’awudz. Inilah yang shahih dalam hadits-hadits dan atsar berupa perbuatan Nabi SAW, para Sahabat dan Tabi’in serta ulama-ulama sesudahnya.(al-Hawi lil Fatawi; I/352)

 

Imam al-Suyuthi menyebut beberapa hadits yang dapat dijadikan contoh pengucapan ayat al-Qur’an tanpa ucapan ta’awudz sebelumnya dalam mengemukakan dalil dalam bentuk ucapan “Allah Ta’ala berfirman” atau sejenisnya sebelum pengucapan ayat al-Qur’an, antara lain:

عن أنس قال: قال: أبو طلحة يا رسول الله إن الله يقول لن تنالوا البر حتى تنفقوا مما تحبون وإن أحب أموالي إلي بيرحاء

Dari Anas, beliau berkata, Abu Thalhah berkata, Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah berfirman, “Kalian tidak akan mendapat kebaikan sehingga kalian infaqkan dari apa yang kalian cintai.” dan sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah Bairuha' itu (H.R. Ahmad, Bukhari, Muslim dan al-Nisa’i)

 

عن علي قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من ملك زادا وراحلة ولم يحج بيت الله فلا يضره مات يهوديا أو نصرانيا وذلك بأن الله تعالى يقول ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا ومن كفر فإن الله غني عن العالمين

Dari Ali berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang memiliki bekal dan kendaraan yang cukup untuk dijadikan bekal ke Baitullah, namun dia tidak pergi haji, aku tidak peduli jika dia mati dalam keadaan Yahudi atau Nasrani. Karena Allah berfirman: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah dan siapa saja yang mengingkarinya, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari sekalian alam” (H.R. Turmidzi)

عن سماك بن الوليد أنه سأل ابن عباس ما تقول في سلطان علينا يظلمونا ويعتدون علينا في صدقاتنا أفلا نمنعهم قال لا الجماعة الجماعة إنما هلكت الأمم الخالية بتفرقها أما سمعت قول الله واعتصموا بجبل الله جميعا ولا تفرقوا

Dari Samaak bin al-Waliid sesungguh beliau menanyakan kepada Ibnu Abbas,”Apa pendapatmu tentang sulthan yang berbuat aniaya dan melampaui batas terhadap sadaqah kita, apakah engkau tidak mencegahnya?” Ibnu Abbas menjawab: “Tidak, jama’ah adalah jama’ah, sesungguhnya umat sebelumnya celaka dengan sebab mereka bercerai berai. Apakah engkau tidak mendengar firman Allah: “Berpeganglah kalian semua kepada tali Allah dan jangan bercerai berai”.(H.R. Ibnu Abi Hatim)

 

Kemudian pada halaman berikutnya, Imam al-Suyuthi menegaskan,

فالصواب الاقتصار على إيراد الآية من غير استعاذة اتباعا للوارد في ذلك فإن الباب باب اتباع، والاستعاذة المأمور بها في قوله تعالى (فإذا قرأت القرآن فاستعذ) إنما هي عند قراءة القرآن للتلاوة أما إيراد آية منه للاحتجاج والاستدلال على حكم فلا

Maka yang benar adalah mencukupi mendatangkan ayat tanpa ada ta’awudz karena ittiba’ (mengikuti) hadits yang datang tentang itu. Sesungguhnya bab ini adalah bab ittiba’. Adapun pengucapan ta’awudz yang diperintahkan berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Apabila kamu membaca al-Qur’an, maka mintalah perlindungan (membaca ta’awudz)”, ayat ini hanya diposisikan ketika membaca al-Qur’an secara tilawah. Adapun ketika mendatangkan ayat al-Qur’an dalam rangka berhujjah dan mengemukakan dalil atas suatu hukum, maka tidak dianjurkannya. (al-Hawi lil Fatawi; I/353)

Kesimpulan

1.   Membaca basmalah dan ta’awudz sebelum pembacaan ayat al-Qur’an dalam berhujjah dan mengemukakan dalil seperti mengucapkan, “Qaalallahu Ta’ala fiil qur’anilkarim” atau dalam Bahasa Indonesia “Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an yang mulia” atau yang semakna dengannya, kemudian membaca ta’awudz, kemudian membaca basmalah, kemudian baru membaca ayat al-Qur’an telah menempatkan ta’awudz dan basmalah termasuk dalam rangkaian firman Allah yang dibacakan. Ini tentu menyalahi dengan yang sebenarnya.

2.   Tidak ada contoh dari perbuatan Nabi SAW, atsar para sahabat dan ulama sesudahnya membaca basmalah dan ta’awudz sebelum pembacaan ayat al-Qur’an dalam berhujjah dan mengemukakan dalil, bahkan sebagaimana yang dipahami dari penjelasan Imam al_Suyuthi di atas, yang benar adalah pengucapan ayat al-Qur’an tanpa basmalah dan ta’awudz sebelumnya.

3.   Adapun ayat yang memerintah membaca ta’awudz sebelum membaca ayat al-Qur’an  hanya diposisikan ketika membaca al-Qur’an secara tilawah tidak dalam berhujjah atau mengemukakan dalil hukum.

Wallahua’lam bisshawab

 

 

 

Sabtu, 24 Februari 2018

Kisah Kaum Gay (Homosex) dalam al-Qur’an


1.    Firman Allah Ta’ala berbunyi   
وَلَمَّا جَاءَتْ رُسُلُنَا لُوطًا سِيءَ بِهِمْ وَضَاقَ بِهِمْ ذَرْعًا وَقَالَ هَذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ (77) وَجَاءَهُ قَوْمُهُ يُهْرَعُونَ إِلَيْهِ وَمِنْ قَبْلُ كَانُوا يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ قَالَ يَا قَوْمِ هَؤُلَاءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَلَا تُخْزُونِ فِي ضَيْفِي أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ (78) قَالُوا لَقَدْ عَلِمْتَ مَا لَنَا فِي بَنَاتِكَ مِنْ حَقٍّ وَإِنَّكَ لَتَعْلَمُ مَا نُرِيدُ (79) قَالَ لَوْ أَنَّ لِي بِكُمْ قُوَّةً أَوْ آَوِي إِلَى رُكْنٍ شَدِيدٍ (80) قَالُوا يَا لُوطُ إِنَّا رُسُلُ رَبِّكَ لَنْ يَصِلُوا إِلَيْكَ فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِنَ اللَّيْلِ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ أَحَدٌ إِلَّا امْرَأَتَكَ إِنَّهُ مُصِيبُهَا مَا أَصَابَهُمْ إِنَّ مَوْعِدَهُمُ الصُّبْحُ أَلَيْسَ الصُّبْحُ بِقَرِيبٍ (81) فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ (82) مُسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَ وَمَا هِيَ مِنَ الظَّالِمِينَ بِبَعِيدٍ (83(
Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan dia berkata: “Ini adalah hari yang amat sulit. Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk. Luth berkata: “Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki.” Luth berkata: “Seandainya aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).” Para utusan (malaikat) berkata: “Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Rabbmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorangpun di antara kamu yang tertinggal, kecuali isterimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?. Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Rabbmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang dhalim (Q.S. Huud : 77- 83)


Point-point dari ayat di atas yang berhubungan dengan LGBT, yakni
a.    Nabi Luth tidak mengetahui kalau tamu yang datang kerumahnya adalah para malaikat utusan Allah yang menjelma dalam rupa pria-pria tampan yang ingin menyelamatkannya dari azab Allah yang akan ditimpa kepada kaumnya. Karena itu, Nabi Luth a.s. kuatir terhadap keselamatan tamunya dari perbuatan mungkar yang akan dilakukan kaumnya.[1]
b.    Untuk mencegah kaumnya melakukan perbuatan homoseksual kepada tamunya, Luth berkata: “Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu”. Bujukan Luth ini tidak digubris sedikitpun oleh kaumnya. Mereka malah menjawab : “Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki”. Al-Razi mengatakan terjadi khilaf ahli tafsir yang dimaksud dengan putri-putri Luth dalam ayat ini. Qatadah mengatakan, maksudnya adalah anak kandung Nabi Luth. Sedangkan Mujahid dan Sa’id bin Jubair mengatakan, maksudnya adalah wanita dari umatnya yang beriman kepadanya. Pendapat terakhir ini menjadi pilihan al-Razi. Adapun alasan al-Razi sebagai berikut :
1). Wanita-wanita itu beriman kepada Luth dan menerima dakwahnya. Karena itu dalam posisi seperti ini, maka Nabi Luth seperti ayah bagi mereka. Ahli bahasa Arab mengatakan, memadai dalam penyandaran (izhafah) yang baik dengan sebab yang paling rendah sekalipun, seperti firman firman Allah berbunyi :
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
Nabi itu hendaknya lebih utama bagi orang-orang mukmin dari pada mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. (Q.S. al-Ahzab : 6)

2). Menyerahkan anaknya kepada orang-orang berbuat mungkar dan fasiq tidak patut bagi seorang yang mempunyai marwah, maka bagaimana lagi bagi para anbiya.
3). Anak-anak kandung dari Nabi Luth tentu tidak mencukupi bagi kelompok yang banyak dari pria-pria kaum Luth. Adapun wanita-wanita umatnya mencukupi untuk mereka.
4). Telah shahih riwayat yang mengatakan bahwa Nabi Luth a.s. mempunyai dua orang anak kandung, yakni Zanta dan Za’ura. Karena itu, tidak sah menyebut lafazh banaati (jamak muannats) kepada dua orang, karena menurut pendapat yang shahih sekurang-kurang jamak adalah tiga.
Kemudian al-Razi menjelaskan, adapun ahli tafsir yang berpendapat yang dimaksud itu adalah anak kandung Nabi Luth a.s., mereka sepakat bahwa Nabi Luth bukan menghimbau mereka berzina dengan wanita, akan tetapi mengajak mereka menikah dengan para wanita. Di sini terjadi khilaf, adakalanya dengan syarat beriman lebih dahulu atau dalam syari’at Nabi Luth a.s. boleh menikah wanita mukmin dengan kafir.[2]
Pendapat Mujahid dan Said bin Jubair juga telah dikutip oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya.[3]
c.    Kisah Nabi Luth a.s. mencegah kaumnya melakukan perbuatan homoseksual kepada tamunya dengan himbauan mengambil anaknya atau wanita dari umatnya sesuai dengan perbedaan penafsiran di atas juga disebut dalam firman Allah dalam Surat al-Hijir : 71, berbunyi :
قَالَ هَؤُلَاءِ بَنَاتِي إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ
Luth berkata :“Mereka adalah anak-anakkku jika kalian hendak berbuat (Q.S. al-Hijr : 71)

d.   Ibnu Katsir dalam menafsirkan firman Allah : “Dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini”, beliau mengatakan, patuhilah apa yang aku perintahkan kepadamu, yakni membatasi hanya kepada isteri-isterimu.[4]
e.    Ibnu Katsir dalam menafsirkan firman Allah : Mereka menjawab: “Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu”, beliau mengatakan, sesungguhnya kamu hai Luth sudah tahu bahwa kami tidak berkeinginan kepada isteri-isteri kami dan tidak mempunyai syawat kepada mereka.[5]
f.     Ibnu Katsir dalam menafsirkan firman Allah : “Dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki”, beliau mengatakan, tidak ada bagi kami kemauan kecuali pada pria-pria, padahal kamu mengetahuinya, apa perlu kamu mengulangi-ulangi yang demikian itu ?.[6]
2.    Pada saat Nabi Luth a.s. menyeru mereka kepada kebaikan dan mengingkari kemungkaran mereka, mereka langsung mengambil sikap terhadap Luth a.s. Allah mengisahkan dalam firman-Nya :
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ (80) إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ (81وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوهُمْ مِنْ قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ (82) فَأَنْجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلَّا امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ (83) وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِينَ (84 (
Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?” Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri.” Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.(Q.S. Al-A’raf  : 80-84)

Point-point dari ayat di atas yang berhubungan dengan LGBT, yakni
a.    Dalam menafsirkan ayat ke 80 di atas, Ibnu Katsir mengatakan Nabi Luth diutus Allah ke negeri Sodom dan sekitarnya untuk menyeru mereka beriman kepada Allah dan memerintah mereka melakukan yang ma’ruf serta melarang mereka perbuatan dosa, yang diharamkan Allah dan perbuatan-perbuatan keji yang mereka lakukan yang belum pernah dilakukan sama sekali oleh orang-orang sebelum mereka, baik anak Adam maupun lainnya, yakni berhubungan seks dengan sesama pria, tidak dengan wanita. Selanjutnya Ibnu Katsir mengatakan, belum pernah Bani Adam mengenal perilaku ini dan juga sangat asing serta tidak terlintas dalam pikiran mereka sehingga perilaku ini dilakukan oleh penduduk Sodom yang telah dilaknat Allah atas mereka.[7]
b.    Mengomentari ayat ke 80 di atas. ‘Amr bin Dinaar mengatakan, tidak pernah pria nafsu kepada pria sehingga datang kaum Luth.[8]
c.    Al-Walid bin Abd al-Malik, seorang Khalifah Bani Umayyah pada saat beliau shalat Jum’at di Damsyiq, beliau mengatakan seandainya Allah ‘Azza wa Jalla tidak mengisahkan kepada kita kisah kaum Nabi Luth, sungguh aku tidak menyangka ada pria naik atas pria.[9]
d.   Ibnu al-Haj dari kalangan Malikiyah dalam al-Madkhal menyebut riwayat ada sepuluh perkara yang menyebabkan Allah mencelakakan Kaum Luth, yang kesepuluh adalahh al-thamah al-kubra, yakni liwath.[10]
e.    Firman Allah “Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita”, menunjukkan bahwa azab Allah atas mereka bukan karena semata-mata upaya mereka mencoba memperkosa tamu Nabi Luth .as. sebagaimana dakwaan kaum pendukung LGTB, akan tetapi karena mereka mempunyai kecenderungan seksual kepada sesama pria. Hal ini karena sebagai berikut :
1). Firman Allah : “bukan kepada wanita” menunjukkan bahwa mereka tidak mempunyai syahwat dan kemauan kepada wanita
2). Penolakan terhadap anjuran Nabi Luth mengambil putrinya atau wanita dari umatnya untuk pelampiasan syahwat mereka sebagaimana disebut dalam Q.S. Huud : 79 sebelum ini, padahal ini tidak perlu dengan cara memaksa dan  membuat keributan dengan Nabi Luth a.s., menunjukkan bahwa mereka memang tidak mempunyai syahwat kepada wanita.
3.    Allah Ta’ala juga menyebutkan sikap mereka yang mendustakan Nabi-Nya sehingga layak untuk mendapatkan azab
كَذَّبَتْ قَوْمُ لُوطٍ الْمُرْسَلِينَ (160) إِذْ قَالَ لَهُمْ أَخُوهُمْ لُوطٌ أَلَا تَتَّقُونَ (161) إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ (162) فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ (163) وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ (164) أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ مِنَ الْعَالَمِينَ (165) وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ عَادُونَ (166) قَالُوا لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ يَا لُوطُ لَتَكُونَنَّ مِنَ الْمُخْرَجِينَ (167) قَالَ إِنِّي لِعَمَلِكُمْ مِنَ الْقَالِينَ (168) رَبِّ نَجِّنِي وَأَهْلِي مِمَّا يَعْمَلُونَ (169) فَنَجَّيْنَاهُ وَأَهْلَهُ أَجْمَعِينَ (170) إِلَّا عَجُوزًا فِي الْغَابِرِينَ (171) ثُمَّ دَمَّرْنَا الْآَخَرِينَ (172) وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَسَاءَ مَطَرُ الْمُنْذَرِينَ (173 (
Kaum Luth telah mendustakan rasul-rasul, ketika saudara mereka Luth, berkata kepada mereka: mengapa kamu tidak bertakwa?” Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semeta alam. Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas.”Mereka menjawab: “Hai Luth, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, benar-benar kamu termasuk orang-orang yang diusir”Luth berkata: “Sesungguhnya aku sangat benci kepada perbuatanmu.” (Luth berdoa): “Ya Tuhanku selamatkanlah aku beserta keluargaku dari (akibat) perbuatan yang mereka kerjakan.” Lalu Kami selamatkan ia beserta keluarganya semua, kecuali seorang perempuan tua (isterinya), yang termasuk dalam golongan yang tinggal. Kemudian Kami binasakan yang lain. Dan Kami hujani mereka dengan hujan (batu) maka amat jeleklah hujan yang menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan itu (Q.S. Asy-Syua’ra’ : 160-173)

Point-point dari ayat di atas yang berhubungan dengan LGBT, yakni :
a.    Firman Allah dalam ayat 165 di atas yang berbunyi : “Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu”, secara terang dan gamblang Allah menjelaskan bahwa  kaum Luth .a.s. memang tidak mempunyai kecenderungan seksual kepada kaum wanita. Karena itu, mereka memaksa Nabi Luth a.s. untuk menyerahkan pria-pria tampan yang menjadi tamu beliau kepada mereka.
b.    Al-Qurthubi dalam menafsir ayat 165 di atas mengatakan, mereka menikah (berhubungan intim ) dengan para pria dengan mendatangi dubur mereka dan dalam menafsirkan ayat ke 166, beliau mengatakan, yakni kemaluan wanita, padahal Allah telah menjadikan para wanita untuk dinikahi.[11] Hal yang sama juga telah dikemukakan oleh al-Thabari dalam tafsirnya.[12]
4.    Ketika kaum Nabi Luth membujuk Nabi Luth a.s. agar menyerahkan tamunya, maka Allah menimpakan kepada mereka azab yang luar biasa. Allah berfirman :
وَلَقَدْ رَٰوَدُوهُ عَن ضَيْفِهِۦ فَطَمَسْنَآ أَعْيُنَهُمْ فَذُوقُوا۟ عَذَابِى وَنُذُرِ
Dan sesungguhnya mereka telah membujuknya (agar menyerahkan) tamunya (kepada mereka), lalu Kami butakan mata mereka, maka rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku.(Q.S. al-Qamar : 37)

B.  Bentuk Celaan dan Bencana Sebagai Hukuman atas kaum LGBT pada Kaum Luth
Adapun celaan kaum LGBT dalam al-Qur’an dan al-Hadits dapat disimak sebagai berikut :
1.    Nabi Luth a.s. menyebut perilaku LGBT sebagai perbuatan fahisyah (keji) yang belum pernah dilakukan umat manusia sebelumnya sebagaimana Allah menyebutnya sebagai perbuatan fahisyah pada perbuatan zina, sebagaimana firman Allah berbunyi :
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ
Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu) (Q.S. al-A’raf : 80)

Allah menyebut zina juga sebagai fahisyah  sebagaimana dalam firman-Nya, berbunyi : 
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Dan janganlah kalian mendekati zina karena sesungguhnya zina itu adalah fahisy dan seburuk-buruk jalan (Q.S. al-Isra’ : 32)

2.    Perbuatan yang melampaui batas
Ini sesuai dengan firman Allah Taala berbunyi :
إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ
Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas (Q.S. al-A’raf : 81)

Dan firman Allah Ta’ala berbunyi :
أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ مِنَ الْعَالَمِينَ (165) وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ عَادُونَ (166(
Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas.(Q.S. al-Syu’ara’ : 165-166)

3.    Perbuatan yang dhalim.
Allah berfirman dalam al-Qur’an berbunyi :
فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ (82) مُسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَ وَمَا هِيَ مِنَ الظَّالِمِينَ بِبَعِيدٍ (83(
Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Rabbmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang dhalim (Q.S. Huud :82-83)

4.    Tidak berakal
Ini sebagaimana firman Allah berbunyi :
وَلَا تُخْزُونِ فِي ضَيْفِي أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ
Dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal? (Q.S. Huud : 78)

5.    Perbuatan yang dikutuk oleh Nabi SAW sampai tiga kali.
Ini sebagaimana Sabda Nabi SAW berbunyi :
 ملْعُونٌ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، مَلْعُونٌ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، مَلْعُونٌ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ
Terkutuk barangsiapa yang melakukan perbuatan Kaum Luth, terkutuk barangsiapa yang melakukan perbuatan Kaum Luth, terkutuk barangsiapa yang melakukan perbuatan Kaum Luth (H.R. al-Thabrani, didalam sanadnya ada Muhriz bin Harun yang didha’ifkan oleh Jumhur. Namun haditsnya telah dinyatakan hasan oleh Turmidzi. Adapun rijal yang lain shahih)[13]

Adapun bencana sebagai hukuman  atas kaum LGBT dalam al-Qur’an dapat dicatat sebagai berikut :
1.    Dibutakan mata mereka
Ini sebagaimana firman Allah berbunyi :
وَلَقَدْ رَٰوَدُوهُ عَن ضَيْفِهِۦ فَطَمَسْنَآ أَعْيُنَهُمْ فَذُوقُوا۟ عَذَابِى وَنُذُرِ
Dan sesungguhnya mereka telah membujuknya (agar menyerahkan) tamunya (kepada mereka), lalu Kami butakan mata mereka, maka rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku.(Q.S. al-Qamar : 37)

2.    Allah menjadikan bumi Kaum Nabi Luth terbalik, atas menjadi bawah dan bawah menjadi atas. Allah berfirman dalam al-Qur’an berbunyi :
فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ
Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi (Q.S. Huud : 82)

3.    Dihujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi sebagaimana dalam Q.S. Huud : 82 di atas.




[1] Al-Razi, Mafaatih al-Ghaib, Maktabah Syamilah, Juz. XVIII, Hal. 377
[2] Al-Razi, Mafaatih al-Ghaib, Maktabah Syamilah, Juz. XVIII, Hal. 378-379
[3] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Kutub al-Ilmiya, Beirut, Juz. IV, Hal. 290
[4] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Kutub al-Ilmiya, Beirut Juz. IV, Hal. 291
[5] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Kutub al-Ilmiya, Beirut Juz. IV, Hal. 291
[6] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Kutub al-Ilmiya, Beirut Juz. IV, Hal. 291
[7] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Kutub al-Ilmiya, Beirut Juz. III, Hal. 399
[8] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Kutub al-Ilmiya, Beirut Juz. III, Hal. 399
[9] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Kutub al-Ilmiya, Beirut Juz. III, Hal. 399
[10] Ibnu al-Haj, al-Madkhal, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 119.
[11] Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Maktabah Syamilah, Juz. XIII, Hal. 132
[12] Al-Thabari, Tafsir al-Thabari, Maktabah Syamilah, Juz. 19, Hal. 388
[13]Al-Haitsamy, al-Majma’’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 272, No. 10636