Assalamualaikum wr. wb
Mohon penjelasan syariat Islam tentang nadzar dan
hukum menunaikan jika bentuk nadzar tidak ada unsur pendekatan kepada Allah
atau bahkan dilarang agama. Ada kasus nazar, jika dikarunia anak, di sembelih
kambing di tengah mesjid. Ini kan bahaya, membuat tempat suci bernajis. Kedua
mungkin unsur mubah, namun agak aneh, nadzar jika anak sehat dan tidak kurang
sesuatu apapun, ketika 'turun mandi anak' keluar lewat tulak angen (ventilasi
udara) rumah. Terima kasih atas jawabannya
Wa’alaikumussalam wr.wb
Nadzar secara
bahasa adalah janji (melakukan hal) baik atau buruk. Sedangkan nazar menurut
pengertian syara’ adalah:
الْتِزَامُ قُرْبَةٍ لَمْ تَتَعَيَّنْ أَيْ شَأْنُهُ ذَلِكَ،
Mewajibkan menyanggupi melakukan qurbah (perbuatan taat kepada
Allah) yang bukan merupakan hal fardhu ‘ain bagi seseorang, yakni substansinya bukan
fardhu ‘ain. (Qalyubi ‘ala al-Syarh al-Mahalli: IV/289)
Nadzar ini terbagi dua macam, yaitu nadzar lajjaaj dan
nadzar tabarrur.
1. Nadzar lajaaj adalah nadzar
yang muncul dari seseorang dalam kondisi marah bertujuan untuk memotivasi
seseorang agar melakukan suatu hal, atau mencegah seseorang atau orang lain melakukan
suatu hal, atau meyakinkan kebenaran sebuah kabar yang disampaikan oleh
seseorang. Pengarang Tuhfah
al-Muhtaj adalah:
وَهُوَ أَنْ يَمْنَعَ نَفْسَهُ أَوْ غَيْرَهَا مِنْ شَيْءٍ
أَوْ يَحُثَّ عَلَيْهِ أَوْ يُحَقِّقَ خَبَرًا غَضَبًا بِالْتِزَامِ
قُرْبَةٍ
Yaitu
seseorang dalam keadaan kondisi marah mencegah dirinya atau selain dirinya dari
sesuatu atau memotivasi melakukan sesuatu ataupun meyakinkan kebenaran sebuah
berita dengan cara membenani dirinya dengan suatu qurbah (perbuatan taat).
Contoh nadzar lajaaj yang berupa
pencegahan, seperti ketika seseorang mengatakan “Jika aku berbicara lagi dengan
fulan, maka karena Allah, atasku puasa
satu hari”. Nadzar ini dimaksudkan agar dirinya tidak lagi berhubungan dengan fulan.
Sebab jika ia melakukan hal tersebut maka ia terkena beban kewajiban melaksanakan
puasa. Sehingga nadzar ini dimaksudkan agar seseorang tercegah untuk melakukan
suatu hal yang tidak ia senangi. Adapun contoh bertujuan untuk memotivasi
seseorang agar melakukan suatu hal, seperti seseorang mengatakan, “Jika aku tidak
berbicara lagi dengan fulan, maka karena Allah, atasku puasa satu hari”. Nadzar
ini dimaksudkan agar dirinya termotivasi tetap berhubungan dengan fulan. Sebab
jika ia tidak melakukan hal tersebut maka ia terkena beban kewajiban melaksanakan
puasa. Sedangkan contoh nadzar lajaaj yang bertujuan untuk meyakinkan
orang lain akan kebenaran suatu berita yang disampaikan oleh seseorang,
misalnya seseorang setelah mengabarkan suatu berita pada orang lain mengatakan
“Jika kabar yang aku sampaikan ini tidak benar, niscaya wajib bagiku untuk berpuasa
satu hari”. Dengan ucapan ini, orang yang diajak bicara diharapkan akan merasa
yakin atas kebenaran berita yang disampaikan olehnya.
Terjadi perbedaan pendapat para ulama
Syafi’iyah terhadap konsekwensi hukum akibat pelanggaran nadzar lajaaj
ini antara membayar kifarat sumpah atau membayar sesuai dengan yang telah
dibebankan kepada dirinya atau bebas memilih keduanya. Namun menurut Imam
al-Nawawi dan pendapat yang ditarjih oleh ulama Iraq, pendapat yang dianggap
lebih dhahir adalah memilih antara keduanya, yaitu boleh membayar kifarat dan
juga boleh membayar sesuai dengan yang telah dibebankan kepada dirinya. Karena
dari sisi membebankan qurbah, nadzar lajaaj menyerupai nadzar, sedang
dari sisi tujuannya menyerupai tujuan sumpah. Perbedaan pendapat di atas
apabila yang dibebani dalam nadzar lajaaj tersebut merupakan suatu
qurbah. Adapun apabila bukan suatu qurbah, maka wajib membayar kifarat sumpah.
Pengarang Tuhfah al-Muhtaj mengatakan,
أَمَّا إذَا الْتَزَمَ غَيْرَ قُرْبَةٍ
كَلَا آكُلُ الْخُبْزَ فَيَلْزَمُهُ كَفَّارَةُ يَمِينٍ بِلَا نِزَاعٍ
Adapun pembebanan dirinya dengan yang bukan qurbah seperti “Tidak akan aku
makan roti”, maka wajib atasnya kifarat sumpah tanpa khilaf.
2. Nadzar
tabarrur sebagaimana dikemukakan pengarang Tuhfah al-Muhtaj adalah:
)وَنَذْرُ تَبَرُّرٍ) سُمِّيَ بِهِ؛
لِأَنَّهُ لِطَلَبِ الْبِرِّ أَوْ التَّقَرُّبِ إلَى اللَّهِ تَعَالَى (بِأَنْ
يَلْتَزِمَ قُرْبَةً) أَوْ صِفَتَهَا الْمَطْلُوبَةَ فِيهَا كَمَا يَأْتِي آخِرَ
الْبَابِ
(إنْ
حَدَثَتْ نِعْمَةٌ) تَقْتَضِي سُجُودَ الشُّكْرِ كَمَا يُرْشِدُ إلَيْهِ
تَعْبِيرُهُمْ بِالْحُدُوثِ (أَوْ ذَهَبَتْ نِقْمَةٌ) تَقْتَضِي ذَلِكَ أَيْضًا،
Nadzar
tabarrur adalah mewajibkan menyanggupi
melakukan suatu qurbah atau sifat qurbah yang ada tuntutan sebagaimana nantinya
di akhir bab, jika datang suatu nikmat yang mengakibatkan disyariatkan sujud
syukur sebagaimana ‘ibarat para ulama dengan perkataan “al-huduts” ataupun
hilang suatu yang dibenci yang juga mengakibatkan sujud syukur.
(Lihat: Hasyiah
Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj: X/69-71)
Nadzar
tabarrur ini terbagi kepada dua macam, yakni nazar munajjaz,
yaitu nadzar yang sifatnya mutlaq dilakukan tanpa mengaitkannya dengan
keberhasilan melakukan sesuatu dan nadzar mu’allaq, yaitu nazar
yang mengaitkannya dengan keberhasilan melakukan sesuatu. Nadzar munajjaz wajib
dipenuhi seketika itu juga begitu lafazh nadzar diucapkan. Adapun nazdar
mu’allaq wajib dipenuhi nadzarnya apabila keadaan yang dikaidkan dalam
nadzarnya itu menjadi kenyataan. Nabi SAW bersabda:
مَن نَذَرَ أنْ
يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ، ومَن نَذَرَ أنْ يَعْصِيَهُ فلا يَعْصِهِ.
Siapa yang
bernadzar ketaatan kepada Allah, hendaknya dia melakukan ketaatannya. Dan siapa
yang bernadzar melakukan kemaksiatan, maka jangan melakukan kemaksiatannya (H.R.
Bukhari)
Nadzar dengan suatu
yang mubah
Para ulama
menyatakan bahwa jika seseorang bernazar dengan perbuatan yang mubah seperti
“Jika aku lulus UN, maka aku akan makan lontong,” maka hukum nazarnya tidak sah
dan tidak memiliki akibat apa-apa. Hal tersebut berdasarkan hadis riwayat Abu
Daud:
لَا نَذْرَ إلَّا فِيمَا اُبْتُغِيَ بِهِ
وَجْهُ اللَّهِ تَعَالَى
Tidak ada nazar
kecuali untuk hal-hal yang bertujuan mencari keredhaan Allah SWT. (H.R. Abu
Daud)
Oleh karena
itu, jika seseorang terlanjut bernadzar dengan perbuatan yang mubah, maka
menurut pendapat yang kuat, ia tidak wajib menunaikan apa yang ia nadzarkan.
Dan jika nadzar yang mubah saja tidak sah, maka apalagi nadzar dengan yang
makruh atau maksiat. Pengarang Tuhfah
al-Muhtaj mengatakan,
)وَلَوْ نَذَرَ
فِعْلَ مُبَاحٍ أَوْ تَرْكَهُ) كَأَكْلٍ وَنَوْمِ مِنْ كُلِّ مَا اسْتَوَى
فِعْلُهُ وَتَرْكُهُ أَيْ: فِي الْأَصْلِ وَإِنْ رَجَّحَ أَحَدَهُمَا بِنِيَّةِ
عِبَادَةٍ بِهِ كَالْأَكْلِ لِلتَّقَوِّي عَلَى الطَّاعَةِ (لَمْ يَلْزَمْهُ)
Jika seseorang bernadzar dengan melakukan suatu perbuatan mubah atau
meninggalkannya seperti makan, tidur atau setiap yang asalnya sama nilainya antara
melakukannya dan meninggalkannya, meskipun bisa lebih utama dengan sebab niat
ibadah seperti makan dengan tujuan berbuat taqwa kepada ketaatan, maka tidak
wajib melakukan apa yang menjadi nadzarnya itu. (Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj: X/81)
Qaidah fiqh
berbunyi:
ما ثبت بالشرع مقدم على ما ثبت بالشرط
Sesuatu yang ditetapkan dengan
syara’ lebih didahulukan dari yang ditetapkan dengan syarat (penetapan manusia)
Namun para ulama Syafi’iyah berbeda pendapat apakah wajib kifarat sumpah apabila
menyalahi nadzarnya tersebut. Namun pendapat mu’tamad (yang menjadi pegangan)
tidak ada kifarat secara mutlaq. Pendapat ini telah dibenarkan Imam al-Nawawi
dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab dan dinyatakan shahih dalam Raudhah.
(Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj: X/81)
Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan di atas dapat dijawab sebagai
berikut:
1.
Kasus nadzar “jika anak sehat ketika 'turun mandi anak', anak tersebut keluar
rumah lewat tulak angen (ventilasi udara) rumah”, hukum nadzarnya tidak sah.
Karena keluar rumah lewat tulak angen (ventilasi udara) rumah tidak termasuk
qurbah, hanya perbuatan mubah saja. Di atas telah dijelaskan, nadzar dengan
suatu yang mubah, hukum nadzarnya tidak sah.
2.
Kasus nadzar jika
dikarunia anak, maka disembelih kambing di tengah masjid, hukumnya tidak sah,
bahkan menjadi haram melepas nadzar tersebut. Karena syara’ melarang melakukan
sesuatu perbuatan yang mengakibatkan bernajis rumah Allah (masjid).
Wallahua’lam bisshawab