A.
Kenduri pada rumah kematian
Sebagaimana
telah dijelaskan pada pendahuluan tulisan ini, di Indonesia dan Aceh khususnya
ada tradisi menjamu para tamu dengan hidangan makanan setelah para tamu
tersebut membaca shamadiyah di rumah kematian, bahkan ada juga penjamuan
tersebut tanpa ada acara pembacaan shamadiyah sama sekali. Biasanya penjamuan
ini dengan maksud sadaqah dari ahli rumah dengan menghadiahkan pahalanya kepada
anggota keluarganya yang sudah meninggal. Amalan yang dilakukan ini merupakan
amalan yang baik dilakukan kaum muslimin, mengingat ini termasuk amalan sadaqah
yang pahalanya dapat bermanfat bagi mayat apabila diqashad pahalanya kepada
mayat. Dalam bab “Amalan-amalan yang bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal”
sebelum ini sudah dijelaskan telah terjadi ijmak ulama bahwa pahala sadaqah
sampai kepada mayat dan beberapa hadits yang telah kami sebutkan juga mendukung
ijmak tersebut. Adapun keutamaan sadaqah dengan memberi makanan secara khusus dapat
disimak dalam hadits-hadits berikut ini :
1.
Sabda
Nabi SAW berbunyi :
اعبدوا الرحمن وأطعيموا الطعام وافشوا السلام تدخلوا الجنة بسلام
Artinya
: Beribadahlah kepada Tuhan yang bersifat Ar-Rahman, sadaqahkanlah makanan dan
berikanlah salam, maka kamu ahan masuk syurga dengan selamat. (H.R. Turmidzi
dan Ibnu Majah)
2.
Sabda
Nabi SAW berbunyi :
عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبَسَةَ قَالَ أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا الإسْلَامُ قَالَ طِيْبُ
الْكَلَامِ وَإطْعَامُ الطَّعَامِ.
Artinya : Dari Amr bin Abasah, ia berkata, saya mendatangi Rasulullah
SAW kemudian saya bertanya, “Wahai Rasul, apakah Islam itu?” Rasulullah SAW
menjawab, “Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan makanan.” (HR Ahmad)
Jika kemudian perbuatan tersebut
dikaitkan dengan usaha untuk memberikan penghormatan kepada para tamu, maka itu
merupakan perbuatan yang dianjurkan dalam Islam. Sabda Rasulullah SAW:
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلَا
يُؤْذِ جَارَهُ مَنْ كَانَ يُؤمِنُ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَالْيُكْرِمْ
جَارَهُ وَ مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ
خَيْرًا أوْ لِيَسكت .
Artinya : Dari Abi Hurairah, ia berkata, Rasulullah
bersabda, "Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka
janganlah menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan
hari akhir, maka hormatilah tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT
dan hari akhir, hendaklah ia berkata dengan kebaikan atau (jika tidak bisa),
diam. (H.R. Muslim)
B.
Bantahan terhadap beberapa syubhat tentang hukum kenduri pada rumah kematian
Syubhat Pertama :
Kelompok anti shamadiyah
dan makan bersama pada rumah kematian mengatakan, kenduri pada rumah kematian
merupakan perbuatan bid’ah yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah SAW dan para
Salafusshalih. Karena itu, menurut mereka perbuatan ini merupakan perbuatan
mungkar yang harus dijauhi oleh umat Islam. Selanjutnya mereka mengatakan, yang
ada perintah dari syara’ justru supaya para kerabat dan para tetangga untuk
memberikan makanan kepada ahli musibah kematian sebagaimana sabda Nabi SAW
berbunyi :
اصنعوا لآل
جَعْفَر طَعَام؛ فقد جَاءَهُم أَمر يشغلهم
Artinya :
Buatlah makanan bagi keluarga Ja’far, karena mereka sudah datang kesibukan yang
menyibukan mereka (Hadits shahih riwayat Syafi’i, Ahmad, Abu Daud, Turmidzi,
Ibnu Majah dan Darulquthni)
Bantahan :
Dakwaan mereka bahwa kenduri
pada rumah kematian tidak pernah dilakukan pada masa Nabi SAW dan
Shalafulshalih adalah tidak benar. Argumentasi kita adalah sebagai berikut :
a.
Hadits di bawah ini menjelaskan kepada kita
secara gamblang bahwa Rasulullah pernah disediakan makanan oleh isteri orang
yang baru saja meninggal. Rasulullah dan para sahabat menerima dan memakannya.
Namun kemudian tiba-tiba Rasulullah mengeluarkan dari mulut beliau, karena
beliau tahu bahwa makanan tersebut berasal dari akad jual beli yang haram.
Hadits tersebut adalah :
وعن عاصم بن كليب عن
أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله
صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت
رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر
يوصي الحافرأوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه. فلما رجع استقبله داعي امرأته
فأجاب ونحن معه فجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا فنظرنا الى رسول
الله صلى الله عليه وسلم يلوك لقمة في فيه ثم قال أجد لحم شاة أخذت بغير
إذن أهلها. فأرسلت المرأة تقول يا رسول الله إني أرسلت إلى النقيع وهو موضع يباع
فيه الغنم ليشتري لي شاة فلم توجد فأرسلت إلى جارٍ لي قد اشترى شاة أن يرسل إليّ
بثمنها فلم يوجد فأرسلت إلى امرأته فأرسلت إلي بها. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أطعمي هذا الطعام الأسرى.
Artinya : Dari “Ashim bin Kulaib bin dari ayahnya dari salah seorang Ansar,
beliau berkata : Kami pergi dengan Rasul Allah SAW pada suatu pemakaman dan aku
melihat Rasulullah SAW di makam itu sedang memberi instruksi kepada penggali kuburan : “Buatlah lebar di sisi kakinya dan
juga di sisi kepalanya”. Ketika beliau kembali, beliau dihadap oleh orang yang
menyampaikan sebuah undangan dari seorang wanita. Rasulullahpun memenuhi
undangan itu dan kami menyertainya. Kami disuguhi makanan, maka Rasulullah SAW
meletakkan tangannya (yaitu mengambil sepotong di tangannya) dan orang-orangpun
mengikuti beliau memakannya. Kami melihat bahwa Rasulullah SAW mengeluarkan
suapan yang ada dalam mulutnya. Rasulullah kemudian
berkata: “Saya menemukan daging domba
yang telah diambil tanpa izin pemiliknya. Wanita
itu mengirim pesan dengan mengatakan: Ya Rasulullah, aku mengirim (seseorang)
ke-Naqi' yaitu tempat jual beli ternak, untuk beli kambing untukku, tapi tak
ada, jadi saya mengirim (pesan) untuk tetangga saya yang telah membeli domba ,
memintanya untuk mengirimkannya untuk saya dengan harganya (yang telah dia
bayar), tetapi juga tidak dapat ditemukannya. Oleh karena itu, aku kirim
(pesan) kepada istrinya dan ia mengirimkannya untukku. Lalu Rasulullah SAW berkata: “Berikan makanan ini untuk para
tahanan”. (H.R.
Baihaqi dan Abu Daud, dan Abu
Daud berkata : “Hadits
tersebut adalah shahih”)
Dalam Sunan Abu Daud, imratihi
disebut dengan kata : “imraatin” dengan nakirah. Abady Abu Thaib,
dalam mengomentari masalah ini, beliau mengatakan dalam Syarah Sunan Abu Daud,
‘Aun al-Ma’bud :
“Hanya demikianlah naskah
yang ada. Sedangkan dalam Kitab
al-Misykah dengan kata : “da’i imratihi” dengan idhafah kepada dhamir. Al-Qary
berkata : “Maksudnya : isteri orang yang
telah meninggal.”
Penjelasan seperti ini juga telah
dijelaskan oleh Syaikh Ismail Usman Zain al-Yamany al-Makky dalam Kitab beliau,
Raf’u al-Isykal wa Ibthal al-Mughalaat. Berdasarkan hadits ini menjelaskan kepada
kita bahwa kenduri dirumah kematian, tidak benar dikatakan sebagai amalan
bid’ah, bahkan hal itu merupakan sunnah yang pernah dilakukan sendiri oleh Nabi
SAW.
b.
Imam al-Suyuthi dalam al-Hawi lil Fatawa
menyebutkan bahwa Imam Ahmad bin Hambal dalam kitabnya, al-Zuhd mengatakan,
telah menghadits kepada kami oleh Hasyim bin al-Qasim, beliau berkata : telah menghadits kepada kami
oleh al-Asyja’i, dari Sufyan mengatakan, Thawus (salah seorang Tabi’in
terkemuka, beliau pernah bertemu dengan 50 atau 70 orang sahabat Nabi) berkata
:
إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعاً فكانوا يستحبون أن يطعم
عنهم تلك الأيام
Artinya :
Sesungguhnya orang-orang mati difitnah dalam kubur-kubur mereka selama tujuh
hari, maka mereka menyukai memberikan makanan sebagai hadiah pahala untuk si
mati sepanjang hari itu. (H.R. Ahmad bin Hanbal)
Kemudian al-Suyuthi menjelaskan bahwa
hadits di atas juga telah disebut oleh al-Hafizh
Abu al-Na’im dalam al-Haliyah, Abu al-Na’im mengatakan, menghadits kepada kami
oleh Abu Bakar bin Malik, menghadits kepada kami oleh Abdullah bin Ahmad bin
Hanbal menghadits kepada kami Hasyim
bin al-Qasim menghadits kepada kami oleh Asyja’i, dari Sufyan
mengatakan, Thawus berkata : (hadits pertama di atas). Seterusnya beliau
menjelaskan bahwa rijal (perawi) hadits di atas adalah shahih.
Hadits al-Thawus ini juga didukung oleh riwayat Ibnu
Juraij dalam mushannafnya dari al-Harits
bin Abi al-Harits dari ‘Abiid bin ‘Amiir (Imam Muslim mengatakan :
beliau ini lahir pada zaman Nabi SAW dan lainnya mengatakan : pernah melihat
Nabi SAW), mengatakan :
يفتن رجلان مؤمن ومنافق فأما
المؤمن فيفتن سبعاً وأما المنافق فيفتن أربعين صباحاً
Artinya : Dua orang difitnah (dalam qubur), yaitu orang
mukmin dan munafiq. Adapun orang mukmin difitnah tujuh hari dan orang munafiq
difitnah empat puluh pagi).
Berdasarkan berita dari al-Thawus di atas dapat
dijelaskan di sini bahwa memberikan makanan dengan niat hadiah pahala kepada
mayat setelah beberapa hari kematian merupakan amalan yang dianjurkan pada
zaman beliau (zaman Tabi’in), bahkan pada zaman sahabat Nabi, mengingat beliau
ini sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Suyuthi di atas seorang tabi’in
terkemuka yang pernah bertemu 50 atau 70 orang sahabat Nabi. Dengan ini pula
terbantah apa yang sering dikemukakan oleh golongan anti shamadiyah dan kenduri
bahwa kenduri dirumah kematian merupakan perbuatan bid’ah yang dilarang agama
dan tidak pernah dikerjakan oleh Shalafulshalih, karena para Sahabat Nabi dan
Tabi’in merupakan Shalafulshalih utama.
c.
Imam al-Suyuthi dalam al-Hawi lil Fatawa
mengatakan :
“Sunnah memberi makanan selama
tujuh hari kematian, menurut berita yang telah sampai kepadaku, itu berlaku
sampai sekarang (zaman Imam al-Suyuthi, beliau wafat pada tahun 911 H) di
Makkah dan Madinah. Dhahirnya hal itu tidak pernah ditinggalkan mulai zaman
Sahabat hingga sampai sekarang.”
Berdasarkan
berita yang telah dikemukakan Imam al-Suyuthi ini, maka kita dapat melihat
sendiri bahwa amalan memberikan makanan beberapa hari pada kematian merupakan
amalan yang sudah biasa dilakukan umat Islam di Makkah dan Madinah semenjak
zaman Sahabat Nabi hingga zaman beliau. Sehingga terbantahlah dakwaan golongan
anti shamadiyah yang mengatakan bahwa amalan tersebut merupakan amalan yang
dibuat-buat oleh kaum muslimin zaman sekarang (bid’ah). Perlu dicatat bahwa
Imam al-Suyuthi, disamping seorang ahli fiqh, juga seorang ahli hadits
terkenal. Beliau sangat memperhatikan keshahihan sebuah hadits dalam fatwa
beliau. Karena itu, tidak mungkin beliau mengatakan sesuatu berita tanpa
menyandarkan kepada berita yang shahih.
Adapun sabda Nabi SAW yang berupa perintah
membuat makanan bagi
keluarga yang ditinggalkan oleh Ja’far yang sudah almarhum sebagaimana hadits
di atas, tidaklah berarti perintah itu merupakan dalil larangan bagi keluarga almarhum membuat makanan dan
mengundang masyarakat ke jamuan makan di keluarga almarhum. Karena hal itu
dua hal yang berbeda. Ini sama halnya dengan perintah memuliakan tamu yang
diperintahkan kepada tuan rumah, maka tidaklah berarti sang tamu tidak boleh
memuliakan tuan rumah. Sebenarnya, hal ini mudah dipahami oleh orang-orang yang
mau menerima kebenaran, kecuali orang tersebut memang sudah dihinggapi penyakit
hati dan tertutup kebenaran atasnya.
Syubhat Kedua :
Sebagian
dari mereka yang anti shamadiyah dan kenduri pada rumah
kematian berargumentasi dengan mengutip teks kitab
I’anah al-Thalibin berbunyi :
“Makruh bagi ahli mayat duduk untuk ta’ziah
dan membuat makanan supaya berkumpul manusia dengan sebabnya, karena ada
riwayat dari Ahmad dari jarir bin Abdullah al-Bajlii, beliau berkata : “kami
menganggap bahwa berkumpul kepada ahli mayat dan menghidangkan makanan setelah
menguburkannya termasuki meratap”
Pengarang
kitab I’anah al-Thalibin juga mengutip perkataan Ibnu Hajar al-Haitamy dalam
Tuhfatul Muhtaj li Syarah al-Minhaj :
“Kebiasaan ahli mayat
menyediakan makanan untuk mengundang manusia berkumpul kepadanya adalah
termasuk bid’ah makruhah sama halnya juga memenuhi undangan itu karena hadits
shahih dari Jarir r.a. :
كنا نعد الإجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة
Artinya : Kami menganggap bahwa berkumpul
kepada ahli mayat dan menghidangkan makanan setelah menguburkannya termasuki
meratap.(H.R. Ibnu Majah
dan Ahmad)
Jalan anggapan sebagai
ratapan adalah unsur didalamnya sangat menonjol dengan urusan duka cita. Oleh
karena itu, makruh berkumpul ahli mayat dengan qashad untuk dita’ziah tetapi
seyoqyanya ahli mayat menggunakan waktunya untuk keperluannya, oleh karena itu,
siapa yang dapat menjumpainya, maka dia menta’ziahkannya”.
Bantahan
:
Sebenarnya
kalau kita mau memahami teks di atas secara jernih dan cerdas, tentu kesimpulan
yang dikemukakan oleh golongan anti shamadiyah dan kenduri ini tidaklah tepat,
karena hadits Jarir r.a yang dijadikan sebagai dalil makruh menyediakan makanan
tersebut menjelaskan alasan larangannya adalah karena hal itu termasuk ratapan
dan mengungkitkan rasa duka cita. Jadi, kalau menyediakan makanan dengan niat
supaya pahalanya sampai kepada mayat, tentu tidak termasuk dalam katagori ini,
bahkan ahli rumah tentu akan merasa senang sebab ada harapan anggota
keluarganya mendapat keringanan azab di alam kubur. Ibnu Hajar sendiri yang
mengutip hadits di atas sebagai dalil larangan menyediakan makanan di rumah
kematian menjelaskan kepada kita sebagaimana telah dikutip di atas :
“Jalan anggapan sebagai ratapan adalah unsur didalamnya sangat
menonjol dengan urusan duka cita. Oleh karena itu, makruh berkumpul ahli mayat
dengan qashad untuk dita’ziah”
Pemahaman
bahwa Ibnu Hajar al-Haitamy berpendapat kalau menyediakan makanan dengan niat
supaya pahalanya sampai kepada mayat dengan syarat tidak ada ratapan di
dalammya tidak termasuk dalam katagori larangan berdasarkan hadits Jarir r.a.
di atas, secara tegas dapat dipahami dari teks fatwa Ibnu Hajar dalam kitab
beliau, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah berbunyi :
“ Ditanyai
Ibnu Hajar dari ta’ziah yang dilakukan di negeri Yaman yang kadang-kadang
dilakukannya oleh yang bukan ahli warisnya, kemudian dia menuntut rujuk kepada
ahli warisnya dan kadang-kadang dilakukan oleh ahli waris kemudian dia merujuk
kepada ahli waris lainnya. Apa hukumnya ?. Beliau menjawab dengan katanya
: “Menyediakan makanan untuk orang
ta’ziah jika mengarah kepada maksiat seperti meratap adalah haram secara mutlak
dan jika tidak ada yang demikian itu, maka jika dilakukan oleh yang bukan ahli
waris tanpa izin ahli waris maka boleh dilakukannya dan tidak dapat merujuk
kepada ahli waris karena yang dia itu melakukannya secara sukarela (tabaru’),
demikian pula apabila dilakukan oleh sebagian ahli waris tanpa izin yang lain,
maka tidak dapat merujuk sesuatupun kepada lainnya”.
Dengan memperhatikan keterangan Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Fatawa
al-Kubra al-Fiqhiyah ini dan ‘illah (alasan hukum) yang dipahami dari hadits
Jarir r.a, maka amalan menyuguhkan makanan untuk orang yang melakukan ta’ziah
pada rumah kematian termasuk amalan bid’ah makruhah sebagaimana telah disebut
oleh Abu Bakar ad-Dimyathi (pengarang kitab I’anah al-Thalibin) dan Ibnu Hajar
al-Haitamy dalam Tuhfah al-Muhtaj adalah apabila terdapat unsur-unsur ratapan
dalam amalan itu dan menyebabkan kembali duka cita yang berlebihan. Karena itu,
Apabila tidak terdapat unsur ratapan dan duka cita yang berlebihan, maka ini
termasuk perbuatan yang diredhai Allah. Hal ini karena ia termasuk perbuatan
pemberian sadaqah dengan niat menyampaikan pahalanya kepada mayat yang
merupakan sunnah dalam agama dengan ijmak ulama.
Syubhat Ketiga
:
Ada
sebagian golongan anti shamadiyah dan kenduri pada rumah kematian
berargumentasi dengan mengutip perkataan Imam Syafi’i dalam al-Um, berbunyi :
وَأَكْرَهُ
الْمَأْتَمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وَإِنْ لم يَكُنْ لهم بُكَاءٌ فإن ذلك يُجَدِّدُ
الْحُزْنَ
Artinya : Aku memakruhkan ma’tam, yaitu berkumpul (di rumah
keluarga mayat), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu dapat
menimbulkan kesedihan baru.
Mereka mengatakan, Imam Syafi’i sendiri yang menjadi ikutan bagi
orang-orang sering melakukan kenduri di rumah kematian, beliau mengatakan tidak
boleh berkumpul dirumah kematian, apalagi dengan menyediakan makanan.
Bantahan :
Apabila
kita mau memperhatikan secara seksama perkataan Imam Syafi’i di atas, maka akan
terlihat bahwa alasan yang digunakan Syafi’i dalam memakruhkan berkumpul itu adalah menimbulkan kesedihan
baru. Karena itu, apabila faktor yang dapat menimbulkan kesedihan itu tidak
ada, maka hukum makruh itupun hilang. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh
berbunyi :
الحكم يدور مع
العلة وجودا وعدما
Artinya : Hukum itu bergantung pada ‘illah-nya dari sisi ada dan
tidaknya.
Berdasarkan ini
pula, ketika ditanyai mengenai hukum bermalam di rumah kematian yang mencapai
sebulan dari hari kematian, Ibnu Hajar al-Haitamy menjawab bahwa bermalam di sisi ahli mayat untuk
menghibur atau untuk membalut luka hati
mereka, maka itu tidaklah mengapa, karena hal itu termasuk silaturahmi yang
terpuji yang disukai syara’.
Adapun
shamadiyah dan kenduri pada rumah kematian dengan niat menghadiahkan pahala
bagi mayat justru membuat ahli rumah akan merasa senang sebab ada harapan
anggota keluarganya mendapat keringanan azab di alam kubur. Dengan demikian
perkataan Imam Syafi’i di atas tidak dapat menjadi alasan larangan Shamadiyah
dan kenduri pada rumah kematian. Apalagi sebenarnya pengertian al-ma’tam
dalam perkataan Imam Syafi’i di atas, maksudnya adalah duduk ahli rumah
kematian dengan sengaja dengan niat menunggu datang penta’ziyah yang tujuannya
melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan kesedihan baru atas ahi rumah yang
ditimpa musibah kematian seperti menyebut kebaikan-kebaikan mayat pada masa
hidupnya, membahas kehidupan yang
dihadapi anggota keluarga setelah kematian sang mayat dan lain-lain. Imam
al-Nawawi dalam menjelaskan maksud al-ma’tam dalam perkataan Imam
Syafi’i tersebut mengatakan :
“Adapun ucapan Imam Syafi’i rahimahullan didalam al-Umm : “Aku memakruhkan ma’tam, yaitu
sebuah kelompok, walaupun tidak ada tangisan pada kelompok tersebut, maka
maksudnya adalah duduk-duduk untuk dita’ziyah.”
Adapun kenduri di rumah
kematian yang menjadi pembahasan kita adalah berkumpulnya para tamu di rumah
kematian atas undangan ahli rumah untuk membaca shamadiyah, kemudian disuguhi
makanan kepada tamu tersebut dengan niat menghadiahkan pahalanya kepada mayat,
bukan dalam rangka untuk dita’ziyah. Ini tentu jauh berbeda dengan duduk-duduk
ahli rumah menunggu datang penta’ziyah, lalu membicarakan hal-hal yang
mengundang ratapan dan kesedihan ahli rumah.
Syubhat Ke
empat :
Golongan
anti shamadiyah dan kenduri pada rumah kematian mengatakan, acara shamadiyah
dan kenduri pada rumah kematian dikaitkan dengan waktu tertentu seperti hari
ketujuh, dua puluh, empat puluh dan seratus, pahal itu tidak ada dalil syara’
yang menjelaskannya seperti itu. Karena itu, acara shamdiyah dan kenduri pada
rumah kematian adalah bid’ah yang menyesatkan.
Bantahan :
Adapun pelaksanaan shamadiyah dan kenduri pada rumah kematian
tersebut tidak dikaidkan dengan hari tertentu setelah kematian, seperti hari
ketujuh, dua puluh, empat puluh, seratus dan sebagainya, tetapi hanyalah
merupakan kebiasaan yang menjadi adat suatu negeri. Hal ini pernah dikemukan
oleh Nawawi al-Jawi mengikuti fatwa
Sayyed Ahmad Zaini Dahlan, beliau mengatakan :
“Bersadaqah untuk mayat dengan jalan syara’ merupakan perbuatan
yang dituntut dan ia tidak dikaidkan dengan tujuh hari, lebih banyak atau
kurang dari tujuh hari. Sedangkan dikaidkan dengan sebagian hari hanya
merupakan kebiasaan saja.”
Jadi,
kalau ada segelintir orang awam yang tidak mengerti agama mengkaidkan sunnah
samadiyah dan kenduri pada rumah kematian pada hari-hari tertentu, maka tugas
kitalah yang merasa mengerti ilmu agama untuk memberi penjelasan kepada mereka,
tanpa harus mengatakan bahwa amalan shamadiyah dan kenduri pada rumah kematian
secara mutlaq adalah perbuatan mungkar yang harus dijauhi. Adapun pengkaidannya
dengan hari-hari tertentu hanya karena faktor kebiasaan saja, bukan karena faktor
agama, maka itu boleh saja sebagaimana fatwa Sayyed Ahmad Zaini Dahlan di atas.
Namun perlu untuk menjadi catatan bahwa kenduri selama tujuh hari setelah
kematian ada dasarnya dari perbuatan Shalafulshalih pada zaman al-Thawus
(seorang pembesar Tabi’in) sebagaimana sudah dijelaskan sebelum ini.
Syubhat Kelima
:
Entah
karena kehabisan stok argumentasi, ada juga golongan anti shamadiyah dan
kenduri pada rumah kematian yang mengatakan bahwa kenduri pada rumah kematian
merupakan adopsi dari agama Budha. Kesimpulan ini mereka kemukakan karena dalam
agama Budha ada juga acara kenduri pada rumah kematian yang dimulai dengan hari
pertama sampai hari ketujuh kematian.
Bantahan :
Apabila kita mau memperhatikan hadits
riwayat Baihaqi dan Abu Daud serta apa yang dikemukakan oleh
al-Thawus di atas melalui riwayat Ahmad bin Hanbal dalam kitab beliau, al-Zuhd
dan Hafizh Abu al-Na’im dalam al-Haliyah ditambah lagi oleh kesaksian Imam al-Suyuthi
yng mengatakan, dhahirnya memberi makanan selama tujuh hari kematian tidak
pernah ditinggalkan mulai zaman Sahabat hingga sampai sekarang (zaman Imam
al-Suyuthi) di Makkah dan Madinah sebagaimana telah kita kemukakan dalam
bantahan syubhat pertama di atas, maka dakwaan bahwa kenduri pada rumah
kematian merupakan adopsi dari agama Budha sungguh sangat tidak masuk akal dan
tidak beralasan sama sekali. Apakah hanya karena faktor kesamaan waktu dengan
apa yang dilakukan oleh kaum Budha, lalu kita berkesimpulan bahwa amalan
kenduri yang dilakukan umat Islam Aceh dan Indonesia pada umumnya merupakan
hasil adopsi dari Budha ? jawabannya tentu tidak sama sekali. Banyak sekali
amalan dalam agama Islam yang kebetulan mirip dengan amalan agama lain, seperti
puasa, takziyah ahli musibah dan lain-lain. Agama lain juga ada kewajiban
puasa, maka apakah karena agama lain ada kewajiban puasa, lalu kita mengatakan
kewajiban puasa dalam Islam merupakan adopsi dari agama lain? Tentu tidak ada
umat Islam yang mengatakan demikian, kecuali orang-orang yang memang sudah
tertutup mata hatinya dalam menerima kebenaran. Ingat suatu amalan dalam Islam
apabila ada dalil dari al-Kitab dan al-Sunnah, maka amalan tersebut merupakan
amalan yang diterima Allah dan Rasul-Nya, meskipun ada kemiripan dengan amalan
agama lainnya. Rasulullah SAW sendiri memerintahkan puasa ‘Asyura kepada umat
Islam, sedangkan puasa ‘Asyura tersebut sudah duluan dilakukan oleh kaum
Yahudi sebagaimana hadits berikut ini :
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - الْمَدِينَةَ
فَوَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَسُئِلُوا عَن ذَلِكَ
فَقَالُوا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى أَظْهَرَ اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَبَنِى
إِسْرَائِيلَ عَلَى فِرْعَوْنَ فَنَحْنُ نَصُومُهُ تَعْظِيمًا لَهُ. فَقَالَ
النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم نَحْنُ أَوْلَى بِمُوسَى مِنكُمْ. فَأَمَرَ بِصَوْمِهِ
Artinya : Rasulullah SAW tiba di
Madinah, didapati kaum Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Ditanya kepada
Yahudi, kenapa mereka melakukan itu?. Hari ini adalah hari dimenangkan Musa dan
Bani Israil oleh Allah atas Fir’un.
Karena itu, kami berpuasa sebagai perhormatan baginya. Lalu Nabi SAW bersabda :
“Kami lebih patut dengan Musa dibandingkan kamu. Maka Nabi SAW memerintah untuk
berpuasa.(H.R. Muslim)
Tentu
kita tidak dapat menuduh Rasulullah SAW mengadopsi perintah puasa ‘Asyura dari
kaum Yahudi hanya semata-mata puasa tersebut sudah duluan dilakukan oleh kaum
Yahudi, tetapi yang menjadi i’tiqad kita adalah perintah puasa ‘Asyura tersebut
berasal dari wahyu Allah melalui lisan Rasulullah SAW, meskipun itu kebetulan
mirip dengan dengan ibadah kaum Yahudi. Allah Ta’ala berfirman yang berbunyi :
وَمَا يَنْطِقُ
عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
Artinya : Dan
tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya, tetapi
ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (Q.S.
al-Najm : 3-4)
Syubhat Keenam :
Sebagian mereka mengatakan, kenduri pada rumah kematian termasuk
memakan harta anak yatim secara batil.
Bantahan :
Kita
sepakat memakan harta anak yatim dengan jalan yang batil adalah haram dan
merupakan perbuatan yang dimurkai Allah. Allah Ta’ala berfirman :
إِنَّ
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي
بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memakan
harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh
perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Q.S.
al-Nisa’ : 10)
Lalu, apakah makan
kenduri pada rumah kematian termasuk memakan harta anak yatim ?, jawaban adalah
benar makan kenduri pada rumah kematian termasuk memakan harta anak yatim,
namun dengan syarat terpenuhi dua kriteria berikut ini :
1.
Apabila simayat
meninggalkan anak yang masih dibawah umur (belum baligh), karena apabila anak
yang ditinggalkan sudah mencapai usia baligh, maka tidak dinamai sebagai anak
yatim. Nabi SAW bersabda :
لَا يُتْمَ بعد احْتِلَام
Artinya : Tidak disebut yatim sesudah mimpi basah (baligh) (H.R.
Abu Daud)
2.
Biaya kenduri tersebut
diambil dari harta warisan simayat, dimana salah satu ahli warisnya adalah anak
yatim.
Jadi, selama
tidak terpenuhi dua kriteria di atas, maka tuduhan bahwa kenduri pada rumah kematian termasuk memakan harta anak yatim secara batil
merupakan tuduhan yang keji dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan
ini, maka tidak termasuk memakan harta
anak yatim secara batil apabila biaya kendurinya ditanggung oleh walinya, baik
orangtuanya maupun anak-anaknya yang sudah dewasa (baligh), meskipun simayat
ada juga meninggalkan anak yatim. Tidak termasuk juga memakan harta anak yatim
secara batil apabila biaya kendurinya diambil dari bawaan para tamu ta’ziyah
yang biasanya mencapai jumlah yang besar, karena biasanya bawaan tersebut
memang diperuntukkan untuk kenduri seperti telor, beras dan lainya. Ada juga
sebagian para tamu sebagai ganti benda-benda yang dimakan, karena untuk praktis,
bawaannya dalam bentuk uang. Dua katagori kenduri terakhir ini merupakan kenduri
yang biasa dilakukan di Aceh dirumah-rumah kematian. Ini bukanlah berarti kita
mengesampingkan kemungkinan adanya kenduri-kenduri dirumah kematian yang
mengandung unsur memakan harta anak yatim, meskipun itu sedikit, namun dengan
ada kemungkinan tersebut, tidaklah berarti kita dapat mengatakan secara mutlaq bahwa
kenduri di rumah kematian merupakan tindakan makan harta anak yatim secara
batil sebagaimana yang sering dikatakan oleh golongan anti shamadiyah dan
kenduri di rumah kematian, tetapi sebaliknya, secara umum dapat dikatakan bahwa
kenduri di rumah-rumah kematian merupakan amalan yang bermanfaat bagi mayat dan
mendapat ridha dari Allah Ta’ala.
Syubhat Ketujuh
:
Ada juga dari
mereka mengatakan, bahwa kenduri pada rumah kematian adalah perbuatan yang
mengakibatkan ahli musibah kematian merasa terbebani dengan biaya dan
kesibukan, padahal pikiran mereka sedang galau dengan musibah. Seharusnya yang
dilakukan adalah memberi keringanan atas mereka.
Bantahan:
Apabila ada
kenduri di rumah kematian dilakukan sebagian umat Islam hanya karena faktor
tuntutan adat/tradisi dan menghilangkan rasa malu sehingga ahli rumah merasa
terbebani dan tidak ada lagi rasa keikhlasan dalam hatinya, sampai-sampai
berhutang kesana kemari hanya demi mengikuti tradisi belaka, maka kita sepakat
dalam hal seperti ini merupakan amalan yang dilarang dalam agama. Sehingga
tidak heran, dalam kitab al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah karya Ibnu Hajar
al-Haitamy salah seorang ulama besar dalam mazhab Syafi’i disebutkan :
“Ibnu Hajar – semoga Allah
mengembalikan kepada kami keberkahannya- ditanyai tentang penyembelihan kambing
yang dibawa beserta anaknya dibelakang mayat ke tempat pemakaman, kemudian
disedekahkan untuk penggali-penggali kubur saja dan juga tentang amalan-amalan
pada hari ketiga kematian, yakni menyediakan makanan, kemudian memberikan
kepada para fakir dan selain mereka dan juga tentang amalan pada hari ketujuh
seperti itu juga dan ada lagi membuat kue pada hari terakhir bulan kematian,
kemudian diberikan kepada rumah-rumah perempuan yang menghadiri jenazah. Mereka
tidak meniatkan yang demikian itu kecuali karena faktor adat/tradisi daerah
setempat sehingga barangsiapa yang tidak melakukannya, maka hal itu menjadi
suatu yang dibenci dan keji di sisi mereka serta dapat dikucilkan dengan sebab
itu. Apakah apabila mereka mengqashad tradisi tersebut dan bersedeqah pada
bukan karena negeri akhirat atau semata-mata tradisi belaka, apakah hukumnya
mubah atau lainnya? Apakah dapat diambil biaya apa yang sudah diperbuat itu
dari bagian warisan ketika pembagian warisan, padahal sebagian ahli waris lain
tidak merestuinya ? Juga ditanyai
tentang bermalam di rumah ahli kematian sehingga sampai satu bulan dari
kematian, karena yang demikian itu seolah-olah wajib di sisi mereka, apakah
hukumnya ?
Maka beliau menjawab : Semua perbuatan yang dilakukan itu pada
pertanyaan di atas termasuk dalam bid’ah yang tercela,tetapi tidak haram
kecuali apabila dilakukan itu untuk orang yang meratap. Barangsiapa yang
mengqashad melakukannya itu untuk menolak lisan dan pembicaraan manusia
terhadap kehormatannya apabila ditinggalkan perbuatan tersebut, maka diharapkan
ditetapkan atasnya pahala perbuatan itu berdasarkan pemahaman dari perintah
Nabi SAW meletakan tangan pada hidungnya kepada orang yang berhadats dalam
shalat. Para ulama menjadikan alasan perintah meletak tangan pada hidung
tersebut karena memelihara kehormatan orang yang berhadats dari pembicaraan
manusia apabila dia berpaling dari shalat bukan dengan kelakukan ini (meletak
tangan pada hidung). Dan tidak boleh melakukan semua itu dengan biayanya dari
warisan apabila ahli warisnya ada yang berada dalam pengampuan secara mutlaq
(seperti ahli warisnya belum baligh atau gila) atau apabila semua mereka adalah
cakap, tetapi ada sebagiannya yang tidak merestuinya. Bahkan barangsiapa yang
melakukannya dari hartanya sendiri, maka tidak boleh minta bayar kembali kepada
ahli waris lainnya dan barangsiapa melakukannya dari harta warisan, maka harus
membayar bagian ahli waris yang tidak ada izin shahih darinya. Apabila bermalam
di sisi ahli mayat untuk menghibur atau
untuk membalut luka hati mereka, maka itu tidak mengapa, karena hal itu
termasuk silaturahmi yang terpuji yang disukai syara’. Pembahasan tentang
bermalam ini tidak menimbulkan darinya makruh dan tidak juga haram, tetapi
diberikan hukum atasnya berdasarkan apa yang terdapat padanya, karena bagi
wasilah (perantara) adalah hukum maqsud.
Untuk memudahkan pembaca, maka kami sebutkan
berikut ini kesimpulan fatwa Ibnu Hajar al-haitamy di atas :
a. Apabila kenduri sesudah kematian
dilakukan hanya karena faktor tuntutan adat/tradisi, bukan karena negeri
akhirat, maka termasuk dalam bid’ah yang tercela, tetapi tidak haram kecuali
apabila dilakukan itu untuk orang yang meratap
b. Barangsiapa yang mengqashad
melakukannya itu untuk menolak fitnah dan pembicaraan manusia terhadap
kehormatannya, maka tidak berdosa atasnya karena mudharat, bahkan dia mendapat
pahala, karena seseorang wajib memelihara kehormatannya
c. Tidak boleh melakukan kenduri
sesudah kematian dengan biayanya dari warisan apabila ahli warisnya ada yang
berada dalam pengampuan secara mutlaq (seperti ahli warisnya belum baligh atau
gila) atau apabila semua mereka adalah cakap, tetapi ada sebagiannya yang tidak
merestuinya.
d. Apabila bermalam di sisi ahli mayat
untuk menghibur atau untuk membalut luka
hati mereka, maka itu tidak mengapa, karena hal itu termasuk silaturahmi yang
terpuji dan disukai syara’
Sekarang kita bertanya, apakah
kenduri-kenduri yang dilakukan dirumah kematian di Aceh dan Indonesia pada
umumnya, yang biasanya sebelum atau sesudahnya dilakukan pembacaan shamadiyah
termasuk dalam kenduri karena faktor tuntutan adat/tradisi saja dan menghilangkan rasa
malu ? sehingga hukumnya termasuk bid’ah tercela sebagaimana fatwa al-Haitamy
di atas ? Jawabannya bisa jadi sebagian kecilnya benar adanya, tetapi ini tentu
tidak dapat menafikan kebanyakan besar kenduri pada rumah kematian yang
dilakukan dengan tulus ikhlas dan hanya semata-mata dengan harapan mendapat
manfaat bagi anggota keluarga yang sudah meninggal dunia. Lagi pula kita tidak
boleh berburuk sangka kepada kaum muslimin hanya karena kita tidak sependapat
dengan mereka tentang hukum terhadap suatu peristiwa. Akhirnya kita katakan,
bagi siapa yang merasa tidak ikhlas melakukan suatu kenduri sesudah kematian
anggota keluarganya, bahkan itu hanya sebagai tuntutan adat daerahnya, maka
hendaklah dia tidak melakukannya, karena perbuatan tersebut tidak bermanfaat
bagi anggota keluarganya yang sudah meninggal dunia, bahkan itu termasuk
perbuatan tercela. Tetapi bagi siapa yang merasa tidak terbebani dengan tuntutan
adat, bahkan dia dapat melakukannya dengan tulus ikhlas dan hanya semata-mata
dengan harapan mendapat manfaat bagi anggota keluarga yang sudah meninggal
dunia, maka hendaknya dia melakukan hal tersebut, karena amalannya itu Insya
Allah bermanfaat. Tentunya bagi orang
lain tidak perlu berburuk sangka, karena niat sesorang hanya orang itu sendiri
yang tahu.
C.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan dalil-dalil yang telah jelaskan di atas,
maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
- Pembacaan shamadiyah sebagaimana biasanya
dilakukan Umat Islam Aceh dan Indonesia pada umumnya merupakan amalan yang
diridhai Allah Ta’ala dan Insya Allah.bermanfaat bagi mayat berdasarkan
dalil-dalil yang telah kami kemukakan.
- Menyediakan kenduri berupa makanan dirumah
duka kepada orang ta’ziah dengan niat sadaqah dibolehkan, bahkan sunat
hukumnya dengan syarat tidak mengarah kepada perbuatan maksiat seperti
perbuatan meratap
- Maksud perkataan sahabat Nabi bahwa
tradisi menyediakan makanan untuk orang ta’ziah termasuk meratap adalah
apabila perbuatan tersebut mengarah kepada perbuatan meratap
4.
Dikaidkan
dengan hari ketujuh, empat puluh, seratus setelah kematian hanyalah merupakan
kebiasaan yang menjadi adat suatu negeri, bukan karena dikaidkan dengan agama.
Namun perlu untuk menjadi catatan bahwa kenduri selama tujuh hari setelah
kematian ada dasarnya dari perbuatan Shalafulshalih pada zaman al-Thawus
(seorang pembesar Tabi’in) sebagaimana sudah dijelaskan dalam pembahasan di
atas.
Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I,
Hal. 68
Abu Bakar
ad-Damyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II,
Hal. 145
Abu
Bakar ad-Damyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal.
146. Dalam Kitab Tuhfah al-Muhtaj, kutipan ini dalam Juz. III,
Hal. 207 (dicetak pada hamisy Hawasyi Syarwani,, Mathba’ah Mushtafa Muhammad,
Mesir)
Ibnu Hajar Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 32