Berikut pendapat ulama tentang hukum mengikuti imam yang berbeda mazhab
dalam furu’ fiqh
1.
Berkata Zainuddin al-Malibary :
“Tidak sah mengikuti imam yang di i’tiqadkan batal shalatnya,
artinya imam mendatangkan perbuatan yang membatalkan shalat pada i’tiqad
makmum, misalnya pengikut Syafi’i mengikuti imam yang bermazhab Hanafi yang
menyentuh kemaluannya (sesudah wudhu’, pen.)[1]
2.
‘Ibarat Nihayah :
“Kalau imam meninggalkan basmalah, maka pengikut Syafi’i tidak sah
mengikutinya”.[2]
3.
Berkata An-Nawawi :
“Kalau pengikut Syafi’i berjama’ah mengikuti imam yang bermazhab
Hanafi yang menyentuh kemaluannya (sesudah berwudhu’, pen.) atau
berbekam, menurut pendapat al-ashah (pendapat yang kuat) sah jama’ahnya dalam
hal berbekam dan tidak sah dalam hal
menyentuh kemaluan, karena i’tibar i’tiqad makmum.” Selanjutnya Jalaluddin
al-Mahalli mengatakan bahwa pendapat yang kedua (muqabil ashah, pen.)
adalah sebaliknya (yaitu tidak sah dalam berbekam dan sah dalam menyentuh
kemaluan, pen.) karena i’tibar i’tiqad imam yang diikutinya, yaitu
berbekam dapat meruntuhkan wudhu’ dan menyentuh kemaluan tidak meruntuhkannya.[3]
4.
Berkata Umairah :
“Pendapat muqabil ashah adalah pendapat yang telah dikemukakan oleh
al-Qafal. Al-Qafal mengemukakan alasannya bahwa imam yang bermazhab Hanafi
tala’ub (bermain-main) dalam hal berbekam dan seumpamanya, maka tidak terjadi
padanya niat yang benar, berbeda halnya dengan kasus menyentuh kemaluan.
Berkata al-Asnawi mudah-mudahan ini adalah yang benar”. [4]
5.
Berkata pengarang Ghayatul Talkhis
al-Murad min Fatawa Ibnu Ziyad :
“Sah mengikuti imam yang berbeda mazhab, apabila makmum mengetahui
bahwa imam mendatangkan hal-hal yang wajib di sisi makmum, demikian juga jika
ia tidak tahu. Oleh karena itu, kalau imam meninggalkan sesuatu yang wajib pada
i’tiqad makmum, maka makmum tersebut tidak sah mengikutinya menurut pendapat
Syaikhaini (Nawawi dan Rafi’i, pen.). menurut Al-Qufal sah. Berkata Imam
Subki; pendapat yang di tashih oleh Syaikhain adalah pendapat kebanyakan ulama,
tetapi pendapat Al-Qufal lebih dekat kepada dalil dan perbuatan Salaf”. [5]
6.
Berkata Muhammad bin Sulaiman
al-Kurdi al-Madni :
“Namun demikian, kalau imam itu orang yang punya wilayat, maka
dalam at-Tuhfah berpendapat sah mengikutinya karena kuatir terjadi fitnah, tetapi bukan pada Shalat Jum’at”.[6]
7.
Berkata Imam An-Nawawi dalam
Majmu’ :
“Dhabitnya adalah shalat imam sah pada i’tiqadnya, tidak sah pada
i’tiqad makmum atau sebaliknya (sah pada i’tiqad makmum, tidak sah pada i’tiqad
imam, pen.), karena berbeda pendapat pada furu’. Dalam hal ini ada empat
pendapat, pertama pendapat al-Qufaal, sah secara mutlaq, karena i’tibar i’tiqad
imam. Kedua pendapat Abu Ishaq al-Asfirayaini, tidak sah secara mutlaq, karena
meskipun didatangkan apa yang kita syaratkan dan wajibkan, toh imam tidak
mengi’tiqadkan wajib, maka sama seperti tidak mendatangkannya. Ketiga : kalau
imam mendatangkan syarat-syarat yang kita i’tibar untuk sah shalat, maka sah
mengikutinya. Kalau imam meninggalkan salah satunya atau kita meragukannya,
maka tidak sah. Keempat kalau dipastikan imam meninggalkan sesuatu yang kita
syaratkan, maka tidak sah mengikutinya dan kalau dipastikan atau diragukan imam
mendatangkan semuanya, maka sah. Pendapat terakhir ini adalah yang lebih sahih
dan pendapat ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Maruzy, Syaikh Abu Hamid
al-Asfirayaini, al-Bandaniji, al-Qadhi Abu at-Thaib dan kebanyakan ulama”.[7]
Kesimpulan
- kalau dipastikan imam shalat itu meninggalkan sesuatu yang i’tiqad wajib oleh makmum, maka makmum tersebut tidak sah mengikutinya dan kalau dipastikan atau diragukan imam mendatangkan semuanya, maka makmum sah mengikutinya. Pendapat ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Nawawi
- boleh mengikuti imam yang meninggalkan sesuatu yang kita i’tiqad wajib pada bukan shalat jum’at apabila imam itu seorang yang mempunyai wilayat, karena kuatir timbul fitnah
- Ada pendapat dikalangan mazhab Syafi’i yaitu pendapat al-Qfal dan didukung oleh al-Subki berpendapat boleh mengikuti imam yang berbeda mazhab meskipun imam itu meninggalkan salah satu yang wajib menurut i’tiqad makmum.
[1] .
Zainuddin al-Malibary, Fathul Muin, dicetak pada hamisy I’anah
at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang,
Juz. II, Hal. 41
[2]. Al-Bakry ad-Dimyathi, I’anah at-Thalibin,
Thaha Putra, Semarang,
Juz. II, Hal. 41
[3]. Jalaluddin al-Mahalli, Al-Mahalli,
dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia,
Juz. I, Hal. 229)
[4] .
Umairah, Qalyubi wa ‘Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia,
Juz. I, 229
[5] .Ibnu Ziyad, Ghayatul Talkhis al-Murad min
Fatawa Ibnu Ziyad, dicetak pada hamisy Bughyatul Murtasyidin, Usaha
keluarga, Hal. 99
[6] . Sayyed Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawy, Bughyatul
Murtasyidin, Usaha Keluarga, Semarang,
Hal. 70
[7] . An-Nawawi, al-Majmu’ al-Syarah al-Muhazzab,
Dar al-Fikri, Beirut,
Juz. IV, Hal. 248