Tampilkan postingan dengan label Syarah ghayatul wushul. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Syarah ghayatul wushul. Tampilkan semua postingan

Jumat, 03 November 2017

Ghayatul Wushul (Terjemahan dan Penjelasannya), Masalik ‘Illat, al-Munasabah, Hal. 122

(الخامس) من مسالك العلة (المناسبة) . وهي لغة الملايمة واصطلاحا ملاءمة الوصف المعين للحكم أو ما يعلم من تعريف المناسب الآتي، ويسمى هذا المسلك بالإحالة أيضا، كما ذكره الأصل سمي بها ذلك لأن بمناسبته الوصف يخال أي يظن أن الوصف علة ويسمى بالمصلحة وبالاستدلال وبرعاية المقاصد أيضا. (ويسمى استخراجها) أي العلة المناسبة (تخريج المناط) لأنه إبداء ما نيط به الحكم، فالمناط من النوط وهو التعليق أما تنقيح المناط وتحقيقه فسيأتيان. (وهو) أي تخريج المناط (تعيين العلة بإبداء) أي إظهار (مناسبة) بين العلة المعينة والحكم (مع الاقتران بينهما كالاسكار) في خبر مسلم كل مسكر حرام ، فهو لإزالته العقل المطلوب حفظه مناسب للحرمة، وقد اقترن بها وخرج بإبداء المناسبة ترتيب الحكم على الوصف الذي هو من أقسام الإيماء وغير ذلك كالطرد والشبه وبالاقتران إبداء المناسبة في المستبقي في السبر. (ويحقق) بالبناء للمفعول (استقلال الوصف) المناسب في العلية (بعدم غيره) من الأوصاف (بالسبر) لا بقول المستدل بحثت فلم أجد غيره، والأصل عدمه بخلافه في السبر لأنه لا طريق له ثم سواه، ولأن المقصود هنا إثبات استقلال وصف صالح للعلية وثم نفي ما لا يصلح لها.
Yang kelima dari masalik ‘illat adalah al-munaasabah, yakni menurut bahasa adalah kesesuaian, sedangkan menurut istilah kesesuaian washaf yang menentukan hukum atau kesesuaian sesuatu yang dimaklumi nantinya dari devinisi al-munasib. Dinamakan juga masalik ini dengan al-ikhaalah sebagaimana telah disebut oleh asal, dinamakan dengannya karena munasabah hukum bagi washaf dapat menghasilkan sangkaan, yakni dhan bahwa washaf itu adalah ‘illat. Dinamakan juga dengan mashlahah, istidlal dan bar’aayah al-maqashid.
Dan dinamakan upaya mengeluarkan ‘illat munaasabah dengan takhrij al-manaath. Karena mengeluarkan ‘illat adalah mendhahirkan sesuatu yang disangkutkan hukum kepadanya. Maka al-manaath berasal dari al-nauth yang bermakna menyangkutkan. Adapun tanqih al-manaath dan tahqiq al-manaath akan datang pembahasannya. Dia, yakni takhrij al-manaath adalah menentukan ‘illat dengan cara ibda’, yakni mendhahirkan munaasabah antara ‘illat yang menentukan dan hukum serta ada penyertaan antara keduanya. Contohnya memabukkan pada hadits Muslim : “Setiap yang memabukkan haram”. Maka memabukkan, karena menghilangkan akal yang dituntut memeliharanya munaasabah bagi haram dan ada menyertai memabukkan itu dengan haram. Dengan perkataan “ibda’ al-mnaasabah” keluar/tidak termasuk takhrij al-manaath penetapan hukum atas washaf yang termasuk pembagian ‘iimaa’ dan lainnya seperti al-thard dan al-syabbah.(1) Dengan perkataan “iqtiraan” keluar/tidak termasuk takhrij al-manaath mendhahirkan munaasabah pada sisa washaf pada masalah al-sabr. Dan dipastikan (perkataan yuhaqqiqu dibaca dengan mabni ‘ala maf’ul) tersendiri washaf yang munaasabat pada ‘iilat dengan sebab tidak ada selainnya dari washaf-washaf dengan jalan al-sabr, tidak dengan perkataan yang beristidlal : “Sudah aku bahas, akan tetapi tidak aku dapati selainnya, sedangkan asalnya tidak ada”. Ini berbeda pada al-sabr, karena pada al-sabr tidak jalan di sana selainnya dan karena maksud di sini menetapkan tersendiri washaf yang patut untuk ‘illat dan kemudian menafikan yang tidak patut baginya.
Penjelasan
(1). Al-thard dan al-syabbah dibahas nantinya, masing-masing dalam masalik ‘illat yang ke delapan dan ke enam.


Minggu, 01 Oktober 2017

Ghayatul Wushul (Terjemahan dan Penjelasannya), Masalik ‘Illat, al-Sabr wal- Taqsim Hal. 121-122

(فإن أبدى المعترض) على الحصر الظني (وصفا زائدا) على الأوصاف (لم يكلف ببيان صلاحيته للتعليل) لأن بطلان الحصر بإبدائه كاف في الاعتراض فعلى المستدل دفعه بإبطال التعليل به. (ولا ينقطع المستدل) بإبدائه (حتى يعجز عن إبطاله في الأصح) لأنه لم يدّع القطع في الحصر فغاية إبداء الوصف منع المقدمة من الدليل والمستدل لا ينقطع بالمنع لكن يلزمه دفعه ليتم دليله فيلزمه إبطال الوصف المبدى عن أن يكون علة، فإن عجز عن إبطاله انقطع، وقيل ينقطع بإبدائه لأنه ادعى حصرا، وقد أظهر المعترض بطلانه. قلنا لا يظهر إلا بالعجز عن دفعه وذكر الخلاف من زيادتي.
Maka seandainya yang mengkritisi atas pembatasan yang dhanni memunculkan washaf tambahan(1) dari washaf yang ada, maka tidak ditaklifkan atasnya untuk menjelaskan kepatutan washaf tambahan itu untuk ta’lil. Karena batal pembatasan dengan sebab memunculkan washaf tambahan sudah memadai dalam kritikannya. Berdasarkan ini, wajib atas orang yang beristidlal menolak kritikan dengan membatalkan ta’lil dengan washaf tambahan. Orang yang beristidlal tidak terpotong (2) dengan sebab memunculkan washaf tambahan sehingga dia lemah dari membatalkannya menurut pendapat yang lebih shahih. Karena memunculkan washaf tambahan tidak menyebabkan terpotong dalam pembatasan. Maka tujuan memunculkan washaf tambahan menolak muqaddimah dalil,(3) sedangkan orang yang beristidlal tidak terpotong dengan semata-mata penolakan itu, akan tetapi wajib atasnya menolak penolakan tersebut supaya sempurna dalilnya. Karena itu, wajib atasnya membatalkan washaf yang dimunculkannya itu sebagai ‘illat. Maka apabila dia lemah membatalkannya, maka dia terpotong. Ada yang mengatakan, terpotong dengan memunculkan washaf tambahan. Karena dia telah mendakwa pembatasan, padahal yang mengkritisinya telah mendhahirkan batalnya. Kami mengatakan, tidak dhahir kecuali dengan sebab lemah menolaknya. Penyebutan khilaf ini termasuk tambahanku.
(فإن اتفقا) أي المتناظران (على إبطال غير وصفين) من أوصاف لأصل واختلفا في أيهما العلة. (كفاه) أي المستدل (الترديد بينهما) من غير احتياج إلى ضم غيرهما إليهما في الترديد لاتفاقهما على إبطاله فيقول العلة إما هذا أو ذاك لا جائز أن تكون ذاك لكذا فتعين أن تكون هذا.
Maka seandainya kedua orang yang berdiskusi sepakat dalam membatalkan selain dua washaf dari semua washaf-washaf yang ada pada asal serta ikhtilaf keduanya dalam hal yang mana dari kedua washaf tersebut yang menjadi ‘illat, maka oleh yang beristidlal mencukupi saja keraguannya antara kedua washaf itu tanpa mencampuri selainnya dalam keduanya itu dalam keraguan. Karena kedua orang yang berdiskusi sepakat atas pembatalan selain dua washaf. Maka berkata, “’illatnya adakalanya ini dan adakalanya itu. Tidak boleh ‘illatnya itu karena ini, maka tertentulah ‘illatnya ini”.
Penjelasannya
(1). Misalnya menambah washaf melebihi dari washaf yang dibatasi oleh orang yang beristidlal pada washaf khamar seperti washaf menutupi akal, benda cair, memabukan dan memuaskan.[1]
(2) Tidak terpotong dalam beristidlal
(3). Yang menjadi muqaddimahnya : “Sesungguhnya sudah aku batasi washaf yang patut, akan tetapi tidak didapati kecuali ini dan ini.”[2]



[1] Al-Banany, Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 271
[2] Abdurrahman al-Syarbaini, Taqrir al-Syarbaini ‘ala Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, (dicetak pada hamisy Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’) Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 271

Sabtu, 30 September 2017

Ghayatul Wushul (Terjemahan dan Penjelasannya), Masalik ‘Illat, al-Sabr wal- Taqsim Hal. 121

(الرابع) من مسالك العلة (السبر) وهو لغة الاختبار (والتقسيم) وهو إظهار الشيء الواحد على وجوه مختلفة. (وهو) أي ما ذكر من السبر والتقسيم اصطلاحا (حصر أوصاف الأصل) المقيس عليه (وإبطال ما لا يصلح) منها للعلية (فيتعين الباقي) لها كأن يحصر أوصاف البرّ في قياس الذرة عليه في الطعم وغيره ويبطل ما عدا الطعم بطريقه فيتعين الطعم للعلية (ويكفي) في دفع منع المعترض حصر الأوصاف التي ذكرها المستدل. (قول المستدل) في المناظرة في حصرها (بحثت فلم أجد) غيرها لعدالته مع أهلية النظر. (والأصل عدم غيرها) فيندفع عنه بذلك منع الحصر وتعبيري بأو كما في مختصر ابن الحاجب وبعض نسخ الأصل أولى من تعبيره في أكثرها بالواو.
Yang keempat dari masalik ‘illat adalah al-sabr wal-taqsim. Al-sabr menurut bahasa adalah menguji, sedangkan al-taqsim adalah mendhahirkan sesuatu atas aspek yang berbeda-beda. Al-sabr wal-taqsim menurut istilah adalah membatasi washaf-washaf  asal yang menjadi maqis ‘alaihi dan membatalkan washaf yang tidak layak bagi ‘illat. Maka terkhususlah sisanya menjadi ‘illat. Contohnya seperti membatasi washaf-washaf gandum pada makanan dan lainnya(1) dalam mengqiyas jagung kepadanya dan membatalkan selain makanan dengan menggunakan jalannya.(2) Maka terkhususlah makanan menjadi ‘illat. Memadai dalam menolak penolakan si pengkritik atas pembatasan washaf-washaf yang disebut oleh orang yang beristidlal dengan perkataan orang yang beristidlal dalam diskusi pembatasannya : “Sudah aku bahas, akan tetapi aku tidak mendapati selainnya”, karena adil orang yang beristidlal serta ahlinya dalam analisis. Sedangkan asalnya tidak ada selain washaf itu. Maka tertolaklah penolakan pembatasan tersebut darinya. Adapun ‘ibaratku dengan huruf “au” sebagaimana dalam Mukhtashar Ibnu al-Haajib dan sebagian naskhah asal lebih baik dari ibaratnya dengan huruf “waw” pada kebanyakan naskhah.
والناظر) لنفسه (يرجع) في حصر الأوصاف (إلى ظنه) ، فيأخذ به ولا يكابر نفسه. (فإن كان الحصر والإبطال) أي كل منهما (قطعيا فـ) ـهذا المسلك (قطعي وإلا) بأن كان كل منهما ظنيا أو أحدهما قطعيا والآخر ظنيا. (فظني وهو) أي الظني (حجة) للناظر لنفسه والمناظر غيره (في الأصحّ) لوجوب العمل بالظن، وقيل ليس بحجة مطلقا لجواز بطلان الباقي، وقيل حجة لهما إن أجمع على تعليل ذلك الحكم في الأصل حذرا من أداء بطلان الباقي إلى خطأ المجمعين، وقيل حجة للناظر دون المناظر لأن ظنه لا يقوم حجة على خصمه،
Yang menganalisis untuk dirinya sendiri, kembali dalam pembatasan washaf-washaf kepada dhannya sendiri. Maka dia mengambilnya dan tidak menyombong dirinya. Kemudian, seandainya keadaan pembatasan dan pembatalan itu, yakni keadaan setiap keduanya adalah qath’i, maka masalik ini adalah qath’i dan seandainya tidak, yakni setiap keduanya dhanni atau salah satunya qath’i, sedangkan yang lain dhanni, maka masalik ini adalah dhanni. Masalik dhanni ini menjadi hujjah bagi yang menganalisis untuk dirinya sendiri dan untuk lawan diskusi selainnya menurut pendapat yang lebih shahih, karena wajib beramal dengan dhan. Ada yang mengatakan, tidak menjadi hujjah secara mutlaq, karena bisa jadi batal sisa washafnya. Ada yang mengatakan, menjadi hujjah bagi yang menganalisis dan untuk lawan diskusi selainnya apabila terjadi ijmak atas ta’lil hukum tersebut(3) pada asal,(4) supaya terjauhkan dari mengarahkan pembatalan sisa washaf kepada tersalah orang yang ijmak.(5) Ada juga yang mengatakan, menjadi hujjah bagi yang menganalisis, tidak bagi lawan diskusinya, karena dhannya tidak menjadi hujjah atas lawan diskusinya.
Penjelasannya
(1). Washaf lainnya adalah mengenyangkan dan yang di takar dengan sukatan.[1]
(2). Dengan jalan-jalan pembatalannya. Akan ada pembahasan nantinya mengenai jalan-jalan pembatalan washaf-washaf.[2]
(3). Terjadi ijmak bahwa hukum tersebut ada ‘illatnya, bukan ta’abbudi.[3]
(4). Maqis ‘alaihi
(5). Artinya ini kadang-kadang bisa terjadi. Karena pada kejadian sebenarnya, barangkali tidak ada washaf selain washaf yang sudah dibatasi oleh orang yang beristidlal. Karenanya, apabila batal sisa washaf, sedangkan selain sisa washaf sudah dibatalkan terlebih dahulu, maka ini mengarahkan kepada penetapan tersalah atas orang yang ijmak.[4] Argumentasi ini dibantah oleh al-Banany. Beliau mengatakan, tertolak keadaannya mengarahkan kepada demikian. Karena tidak lazim dari ijmak mereka atas ta’lil hukum adanya ijmak bahwa hukum tersebut di’illatkan dengan sebuah ‘illat tertentu.[5]




[1] Abdurrahman al-Syarbaini, Taqrir al-Syarbaini ‘ala Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, (dicetak pada hamisy Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’) Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 270
[2] Al-Banany, Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 270
[3] Al-Banany, Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 270
[4] Abdurrahman al-Syarbaini, Taqrir al-Syarbaini ‘ala Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, (dicetak pada hamisy Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’) Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 271
[5] Al-Banany, Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 270

Kamis, 28 September 2017

Ghayatul Wushul (Terjemahan dan Penjelasannya), Masalik ‘Illat, Iimaa', Hal. 121

وأما مثال النظير فكخبر الصحيحين أن امرأة قالت يا رسول الله. إن أمي ماتت وعليها صوم نذر أفأصوم عنها؟ فقال أرأيت لو كان على أمك دين فقضيته أكان يؤدّى ذلك عنها ؟ قالت نعم. قال فصومي عن أمك أي فإنه يؤدّى عنها سألته عن دين الله على الميت وجواز قضائه عنه فذكر لها دين الآدمي عليه، وأقرها على جواز قضائه عنه وهما نظيران، فلو لم يكن جواز القضاء فيهما لعلية الدين له لكان بعيدا.
Adapun contoh iimaa’ pada bandingan(1) seperti hadits Shahihaini sesungguhnya seorang perempuan mengatakan, “Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku sudah meninggal dunia dan di atasnya ada kewajiban puasa nazar, apakah aku berpuasa untuknya?”. Rasulullah menjawab, “Bagaimana seandainya ada kewajiban hutang atas ibumu, kemudian kamu membayarnya, apakah itu dapat menunaikan hutang ibumu?” “Ya, benar “ jawab perempuan tersebut. Selanjutnya Rasulullah bersabda : “Maka berpuasalah untuk ibumu.” Maksudnya, puasa tersebut dapat menunaikan kewajiban ibumu yang kamu tanyakan dari hutang Allah atas si mati(2) dan boleh qadhanya untuknya (3). Maka menyebut kepada perempuan tersebut hutang anak manusia atas seseorang dan mengakui atas kebolehan membayarnya untuk orang yang terhutang, sedangkan keduanya ini merupakan dua perkara yang sebanding(4), seandainya kebolehan membayar pada kedua perkara ini, ‘illatnya bukan hutang, maka penyertaan hukum boleh dengan hutang ini ba’id (kurang logis).

(ولا تشترط) في الإيماء (مناسبة) الوصف (المومي إليه) للحكم (في الأصحّ) بناء على أن العلة بمعنى المعرف، وقيل تشترط بناء على أنها بمعنى الباعث، وقيل وهو مختار ابن الحاجب تشترط إن فهم التعليل منها كقوله صلى الله عليه وسلّم لا يقضي القاضي وهو غضبان .لأن عدم المناسبة فيما شرط فيه لمناسبة تناقض، بخلاف ما إذا لم يفهم منها لأن التعليل يفهم من غيرها. قال المصنف في شرح المختصر تبعا للعضد والمراد من المناسبة ظهورها، وأما نفسها فلا بد منها في العلة الباعثة دون الأمارة المجردة ومرادهما بالعلة الباعثة العلة المشتملة على حكمة تبعث على الامتثال.
Dan tidak disyaratkan pada iimaa’ bahwa washaf yang disyaratkan kepadanya munasabah bagi hukum. Menurut pendapat yang lebih shahih. Ini didasarkan kepada pendapat bahwa ‘illat bermakna al-mu’arrif. Ada yang mengatakan, disyaratkan, karena didasarkan kepada ‘illat bermakna al-baa’its.(5) Ada yang mengatakan, ini merupakan pendapat Ibn al-Haajib, disyaratkan apabila dapat dipahami ta’lil(6) dari ‘illat tersebut. Contohnya sabda Nabi SAW : “Tidak menetapkan hukum oleh qadhi, sedangkan dia dalam keadaan marah”. Karena tidak munasabah pada perkara yang disyaratkan munasabah adalah saling bertentangan. Ini berbeda dengan perkara yang tidak dapat dipahami ta’lil darinya, karena ta’lil dipahami dari selainnya. Pengarang(7) dalam Syarah al-Mukhtashar karena mengikuti al-‘Azhd mengatakan, yang dimaksud dengan munasabah adalah dhahir munasabah. Adapun diri munasabah maka dimestikan ada pada ‘illat yang membangkitkan, tidak pada ‘illat amarah (tanda) semata-mata. Yang dimaksud dengan ‘illah baa’its adalah ‘illat yang mencakup atas hikmah yang dapat membangkitkan kepada menyanjung perintah.
Penjelasannya
(1).Diisyaratkan dengan washaf dan hukum kepada bandingan keduanya sebagaimana sudah dijelaskan pada pembahasan devinisi iimaa’ sebelumnya.
(2). Washaf yang menjadi bandingan (nadhir)
(3) hukum yang menjadi nadhir yang menyertai washaf nadhir.
(4).Yakni membayar hutang anak manusia dan hutang Allah.
(5). Bermakna al-mu’arrif, maksudnya ‘illat itu bermakna memperkenalkan hukum. Sedangkan makna al-baa’its, ‘illat itu bermakna membangkitkan mukallaf menyanjung perintah.[1]
(6). Menjadi suatu washaf sebagai ‘illat.
(7). Taj al-Subki.




[1] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 114

Rabu, 27 September 2017

Ghayatul Wushul (Terjemahan dan Penjelasannya), Masalik ‘Illat, Iimaa', Hal. 120-121

(وترتيب حكم على وصف) كأكرم العلماء فترتيب الإكرام على العلم لو لم يكن لعلية العلم له لكان بعيدا (ومنعه) أي الشارع (مما قد يفوّت المطلوب) كقوله تعالى فاسعوا إلى ذكر الله وذروا البيع فالمنع من البيع وقت نداء الجمعة الذي قد يفوّتها لو لم يكن لمظنة تفويتها لكان بعيدا.
Dan juga iimaa’ seperti menyangkutkan hukum atas washaf. Contohnya : “Muliakanlah orang berilmu”. Maka menyangkutkan memuliakan atas ilmu, seandainya penyangkutan itu bukan menunjukkan ilmu sebagai ‘iilat bagi memuliakan, maka sungguh itu jauh. Dan juga seperti larangan empunya syara’ dari hal-hal yang barangkali dapat meluputkan suatu perkara yang menjadi tuntutan. Contohnya firman Allah Ta’ala : “Maka bersegeralah kepada mengingat Allah (shalat Jum’at) dan tinggalkan jual beli”. Maka larangan jual beli pada waktu azan Jum’at yang barangkali dapat meluputkan shalat Jum’at, seandainya larangan tersebut bukan karena madhinnah (perbuatan yang menimbulkan sebuah dugaan) luput shalat Jum’at, maka sungguh itu ba'id (kurang logis)
وهذه الأمثلة أسلم ما اتفق على أنه إيماء وهو أن يكون الوصف والحكم ملفوظين وخرج بالملفوظ أي فعلاً أو قوّة الوصف المستنبط فليس اقترانه بالحكم إيماء قطعا إن كان الحكم مستنبطا أيضا، وإلا فليس بإيماء في الأصح بخلاف عكسه وهو الوصف الملفوظ والحكم المستنبط له فإنه كما علم إيماء في الأصحّ تنزيلاً للمستنبط منزلة الملفوظ، وفارق ما قبله باستلزام الوصف الحكم فيه بخلاف ما قبله لجواز كون الوصف أعم مثاله قوله تعالى وأحلّ الله البيع فحله مستلزم لصحته. ومثال ما قبله تعليل حكم الربويات بالطعم أو غيره والنزاع كما قال العضد لفظي مبني على تفسير الإيماء،
Contoh-contoh ini (1) diterima sebagai yang disepakati bahwa ia adalah iimaa’, yakni keadaan washaf dan hukum yang dilafazhkan. Dengan i’tibar perkataan “yang dilafazhkan” yakni baik secara bil-fi’l maupun bil-quwwah(2), maka keluar (tidak termasuk) washaf hasil istimbath. Karena itu, menyertai washaf hasil istimbath dengan hukum bukanlah iimaa’ secara qath’i. Ini seandainya hukum hasil istimbath juga. Dan apabila tidak demikian halnya(3), maka bukan iimaa’ juga berdasarkan pendapat yang lebih shahih. Berbeda sebaliknya, yakni washaf yang dilafazhkan, sedangkan hukum hasil istimbath, maka sebagaimana dimaklumi adalah iimaa’ menurut pendapat yang lebih shahih, karena dipertempatkan hukum hasil istimbath pada posisi yang dilafazhkan. Perbedaan dengan sebelumnya(4) adalah menunjukkan washaf kepada hukum dengan jalan iltizam (5), berbeda pada sebelumnya, karena boleh jadi keadaan washaf lebih umum.(6) Contohnya firman Allah Ta’ala : “Allah menghalalkan jual beli” (Q.S al-Baqarah : 275), maka halal jual beli menunjukkan secara iltizam kepada sah jual beli. Adapun contoh yang sebelumnya menjadikan ‘illat hukum jual beli ribawi dengan makanan atau lainnya.(7)  Perbedaan pendapat ini sebagaimana dikemukakan oleh al-‘Azhd adalah perbedaan lafzhi, yakni dibangun atas penafsiran makna iimaa’.
Penjelasannya
(1). Contoh-contoh dalam pembahasan sebelumnya
(2). Maksud bil fi’l dilafazh pada hissi, sedangkan bil quwwah, lafazhnya ditaqdirkan sebagaimana sudah dijelaskan pada devinisi iimaa’ sebelumnya.
(3). Maksudnya apabila washaf hasil istimbath dan hukum dilafazhkan (bukan hasil istimbath). Ini khilaf ulama. Menurut pendapat yang lebih shahih tidak termasuk iimaa.
(4). washaf hasil istimbath, baik hukumnya hasil istimbath maupun bukan.
(5). Iltizam adalah dalalah lafazh kepada lazim maknanya.[1]
(6).Ibn al-Qasim mengatakan, maksudnya, bisa jadi keadaaan washaf hasil istimbtah lebih umum dari washaf yang sebenarnya, karena bisa jadi tersalah orang yang mengistimbathnya. Karenanya, washaf tersebut tidak menunjukkan secara iltizam kepada hukum, karena tidak ada iltizam ‘am kepada khas. Maka ketika itu, lazimlah washaf hasil istimbath tersebut lebih umum dari hukum dan tidak ada iltizam kepada hukum, karena tidak iltizamnya kepada ‘iilat hukum pada kejadian sebenarnya. Maka tidak tahqiq terjadi penyertaan ketika itu.[2]
(7). Washaf hasil istimbath.[3]








[1] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 36
[2] Al-Banany, Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 269-270
[3] Al-Banany, Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 270

Jumat, 22 September 2017

Ghayatul Wushul (Terjemahan dan Penjelasannya), Masalik ‘Illat, Iimaa', Hal. 120

(وتفريقه بين حكمين بصفة) إما (مع ذكرهما) كخبر الصحيحين أنه صلى الله عليه وسلّم جعل للفرس سهمين وللرجل. أي صاحبه سهما ، فتفريقه بين هذين الحكمين بهاتين الصفتين لو لم يكن لعلية كل منهما لكان بعيدا (أو) مع (ذكر أحدهما) فقط كخبر الترمذي القاتل لا يرث أي بخلاف غيره المعلوم إرثه فالتفريق بين عدم الإرث المذكور والإرث المعلوم بصفة القتل في الأول لو لم يكن لعليته له لكان بعيدا
Dan juga iimaa’ itu seperti membedakan oleh empunya syara’ di antara dua hukum dengan sifat, adakalanya disertai dengan menyebut kedua hukum. Contohnya hadits Shahihaini, sesunggguhnya Nabi SAW menjadikan bagi kuda dua pembahagian dan bagi laki-laki, yakni yang punya kuda satu bagian. Maka membedakan antara dua hukum ini dengan dua sifat tersebut, seandainya pembedaan itu bukan menunjukkan ‘illat setiap kedua hukum,  maka itu sungguh ba'id (kurang logis) (1) Dan adakalanya disertai dengan menyebut salah satu hukum saja. Contohnya hadits Turmidzi : “Pembunuh tidak dapat mewarisi”, maksudnya berbeda dengan orang selainnya yang dimaklumi dapat warisan. Maka membedakan di antara tidak mendapat warisan orang tersebut dan mendapat warisan orang yang dimaklumi (2) dengan sifat membunuh pada masalah pertama, seandainya pembedaan tersebut bukan menunjukan pembunuhan merupakan ‘illat bagi tidak mendapat warisan, maka sungguh itu ba'id (kurang logis).
(أو) تفريقه بين حكمين، إما (بشرط) كخبر مسلم الذهب بالذهب والفضة بالفضة والبرّ بابرّ والشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح مثلاً بمثل سواء بسواء يدا بيد، فإذا اختلفت هذه الأجناس فبيعوا كيف شئتم إذا كان يدا بيد فالتفريق بين منع البيع في هذه الأشياء متفاضلاً وجوازه عند اختلاف الجنس لو لم يكن لعلية الاختلاف للجوازلكان بعيدا
Atau seperti membedakan oleh empunya syara’ di antara dua hukum adakalanya dengan syarat. Contohnya hadits Muslim : “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, dengan sejenis, sama ukuran dan qabath-iqbath. Dan apabila berbeda jenis, maka jual belilah bagaimana kamu suka dengan syarat qabath-iqbath. Maka membedakan antara larangan jual beli pada beberapa perkara ini secara tidak sama ukurannya dan kebolehan jual beli secara tidak sama ukurannya pada ketika berbeda jenisnya, seandainya pembedaan tersebut bukan menunjukkan berbeda jenis ini merupakan ‘illat kebolehannya, maka sungguh itu ba'id (kurang logis)
(أوغاية) كقوله تعالى ولا تقربوهنّ حتّى يطهرن أي فإذا تطهرن فلا منع من قربانهنّ كما صرّح به عقبه بقوله فإذا تطهرن فأتوهن فتفريقه بين المنع من قربانهنّ في الحيض وجوازه في الطهر لو لم يكن لعلية الطهر للجواز لكان بعيدا (أواستثناء) كقوله تعالى فنصف ما فرضتم إلا أن يعفون أي الزوجات عن النصف فلا شيء لهن فتفريقه بين ثبوت النصف لهنّ وانتفائه عند عفوهنّ عنه لو لم يكن لعلية العفو للانتفاء لكان بعيدا. (أواستدراك) كقوله تعالى لا يؤاخذكم الله باللغو في أيمانكم إلى آخره فتفريقه بين عدم المؤاخذة بالإيمان والمؤاخذة بها عند تعقيدها لو لم يكن لعلية التعقيد للمؤاخذة لكان بعيدا.
Adakalanya membedakan dua hukum dengan ghayah. Contohnya firman Allah : “Jangan kalian mendekati mereka sehingga mereka suci” (Q.S. al-Baqarah : 222). Maksudnya apabila mereka suci, maka tidak ada larangan mendekati mereka sebagaimana diterangkan setelahnya dengan firman-Nya : “maka apabila mereka suci, datangilah mereka”. Dengan demikian, membedakan di antara larangan mendekati isteri pada waktu haid dan boleh mendekatinya pada waktu suci, seandainya pembedaan itu bukan untuk menunjukkan ‘suci merupakan ‘illat kebolehan, maka sungguh itu ba'id (kurang logis). Dan adakalanya dengan ististnaa. Contoh firman Allah : “Maka seperdua dari apa yang telah kamu tentukan maharnya kecuali isteri-isteri kamu memaafkannya”. Maksudnya isteri-isteri kamu memaafkan dari seperdua tersebut, maka tidak ada apapun bagi mereka. Karena itu, membedakan antara berhak seperdua bagi isteri dan ternafi hak seperdua ketika para isteri memaafkannya, seandainya pembedaan tersebut bukan menunjukkan kema’afan merupakan ‘illat bagi ternafi hak isteri, maka sungguh itu ba'id (kurang logis). Dan adakalanya dengan istidrak. Contohnya firman Allah Ta’ala : “Allah tidak menghukummu dengan sebab sumpahmu yang tidak sengaja”...hingga akhir ayat. Maka membedakan di antara tidak menghukum dengan sumpah dan menghukum dengan sumpah ketika sengaja, seandainya pembedaan tersebut bukan menunjukkan sengaja merupakan ‘illat bagi menghukumnya, maka sungguh itu  ba'id (kurang logis).
Penjelasannya :
(1). Keadaan sesuatu adalah kuda (farsiyah) menjadi ‘illat khusus mendapat dua bagian harta ghanimah dalam peperangan dan keadaan seseorang adalah seorang manusia (rajuliyah) menjadi ‘illat khusus mendapat satu bagian. Disebut ‘illat khusus, karena ‘illat mendapat bagian harta ghanimah secara umum adalah berperang atau hadir dengan niat berperang, meskipun belum berperang.[1]
(2). Orang tersebut, maksudnya pembunuh orang yang diwarisinya yang tersebut dalam hadits. Adapun orang yang dimaklumi, maksudnya orang yang dimaklumi mendapat warisan, yakni ahli waris yang tidak membunuh orang yang diwarisinya.
(3). Ayat ini, lengkapnya berbunyi :
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ
Jika kalian menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesugguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan kecuali isteri-isterimu memaafkan. (Q.S. al-Baqarah : 237)

(4). Ayat ini, lengkapnya berbunyi :
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ
Allah tidak menghukummu dengan sebab sumpahmu yang tidak sengaja, akan tetapi Allah menghukummu dengan sebab sumpahmu yang kamu sengaja.(Q.S. al-Maidah : 89)




[1] Abdurrahman al-Syarbaini, Taqrir al-Syarbaini ‘ala Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, (dicetak pada hamisy Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’) Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 267

Rabu, 20 September 2017

Ghayatul Wushul (Terjemahan dan Penjelasannya), Masalik ‘Illat, Iimaa', Hal. 120

(الثالث) من مسالك العلة (الإيماء وهو) لغة الإشارة الخفية واصطلاحا (اقتران وصف ملفوظ بحكم ولو) كان الحكم (مستنبطا) كما يكون ملفوظا (لو لم يكن للتعليل هو) أي الوصف (أو نظيره) لنظير الحكم حيث يشار بالوصف والحكم إلى نظيرهما أي لو لم يكن ذلك من حيث اقترانه بالحكم لتعليل الحكم به (كان) ذلك الاقتران (بعيدا) من الشارع لا يليق بفصاحته وإتيانه بالألفاظ في محالها
Yang ketiga dari masalik ‘illat adalah iimaa’, yaitu menurut bahasa adalah isyarah tersembunyi. Sedangkan menurut istilah menyertakan washaf(1) yang dilafazhkan (2) dengan satu hukum - meskipun hukum itu hasil istimbath sebagaimana hal hukum dilafazhkan – dimana seandainya washaf tersebut bukan untuk ta’lil atau bandingan washaf bukan ta’lil untuk bandingan hukum dalam hal diisyaratkan dengan washaf dan hukum kepada bandingan keduanya.  Maksudnya, seandainya itu yakni menyertai washaf dengan hukum bukan untuk ta’lil hukum dengannya, maka sunggguh penyertaan tersebut ba'id (kurang logis) dari empunya syara’ dan tidak patut dengan kefasihan empunya syara’ dan mendatangkannya dengan lafazh pada tempat yang sebenarnya.
والإيماء(كحكمه) أي الشارع (بعد سماع وصف) كما في خبر الأعرابيّ واقعت أهلي في نهار رمضان، فقال النبي صلى الله عليه وسلّم أعتق رقبة . إلى آخره. رواه ابن ماجة بمعناه، وأصله في الصحيحين فأمره بالإعتاق عند ذكر الوقاع يدل على أنه علة له، وإلا لخلا السؤال عن الجواب وذلك بعيد فيقدر السؤال في الجواب فكأنه قال واقعت فأعتق. (وذكره في حكم وصفا لو لم يكن علة) له (لم يفد) ذكره كقوله صلى الله عليه وسلّم لا يحكم أحد بين اثنين وهو غضبان فتقييده المنع من الحكم بحالة الغضب المشوش للفكر يدل على أنه علة له، وإلا لخلا ذكره عن الفائدة وذلك بعيد.
Iimaa’ itu seperti penetapan hukum oleh empunya syara’ setelah mendengar washaf. Contohnya sebagaimana dalam hadits Badui Arab : “Aku telah menyetubuhi isteriku  pada siang Ramadhan. Maka Nabi SAW bersabda : “Merdekakanlah hamba sahaya...sampai akhir hadits”. Hadits riwayat Ibnu Majah dengan maknanya dan asalnya ada dalam Shahihaini. Maka perintah empunya syara’ memerdekakan budak ketika menyebut bersetubuh menunjukkan bahwa bersetubuh itu sebagai ‘illat bagi perintah memerdekakannya. Seandainya bukan, maka sungguh  pertanyaan itu tidak mempunyai jawaban.(3) Yang demikian adalah ba'id (kurang logis) Karena itu, ditaqdirkan pertanyaan pada jawaban, maka seolah-olah empunya syara’ mengatakan “Kamu telah bersetubuh, maka merdekakanlah”. Dan contoh iimaa’ lagi :  menyebut empunya syara’ sebuah washaf pada hukum , dimana seandainya washaf itu bukan ‘illat bagi hukum, maka tidak berfaedah penyebutannya. Misalnya sabda Nabi SAW : “Tidak menetapkan hukum seseorang di antara dua orang yang berperkara, sedangkan dia dalam keadaan marah”. Maka mengkaidkan larangan menetapkan hukum dengan keadaan marah yang dapat mengacaukan pikiran menunjukkan bahwa marah itu sebagai ‘illat bagi larangan tersebut. Seandainya bukan, sungguh penyebutan washaf tidak ada faedah, sedangkan yang demikian itu ba'id (kurang logis).
Penjelasan
(1). Maksud washaf di sini mencakup juga syarat, ghayah, istidrak dan ististnaa.[1]
(2). Dilafazhkan itu adakalanya secara hakikat dan adakalanya secara hukum, yakni yang ditaqdirkan.[2]
(3). Pertanyaan tersebut, yakni “Aku bersetubuh dengan isteriku” tanpa ada jawaban. Karena itu, maka ditadirkan pertanyaan pada jawaban empunya syara’ untuk menegaskan bahwa jawaban tersebut merupakan jawaban untuk pertanyaan “Aku bersetubuh dengan isteriku” sebagaimana dijelaskan oleh pengarang di atas.





[1] Al-Banany, Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 266
[2] Al-Banany, Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 266

Senin, 18 September 2017

Ghayatul Wushul (Terjemahan dan Penjelasannya), Masalik 'Illat, Hal. 119-120

(و) النص (الظاهر) بأن يحتمل غير العلية احتمالاً مرجوحا (كاللام ظاهرة) نحو كتاب أنزلناه إليك لتخرج الناس من الظلمات إلى النور (فمقدرة) نحو؛ ولا تطع كل حلاف إلى قوله أن كان ذا مال وبنين أي لأن (فالباء) نحو فبما رحمة من الله أي لأجلها لنت لهم. (فالفاء في كلام الشارع) وتكون فيه في الحكم كقوله تعالى والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما وفي الوصف كخبر الصحيحين في المحرم الذي وقصته ناقته لا تمسوه طيبا ولا تخمروا رأسه فإنه يبعث يوم القيامة ملبيا
Dan nash dhahir, yakni ada kemungkinan bukan ‘illat, tetapi kemungkinan itu lemah, seperti  huruf “lam” yang disebut secara dhahir, contohnya firman Allah : “Kitab yang Kami turunkannya kepadamu supaya kamu keluarkan manusia dari kegelapan kepada bercahaya” (Q.S. Ibrahim : 1) dan huruf “lam” yang ditaqdirkan, contohnya firman Allah : “Jangan kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina”, sampai dengan firman Allah : “Keadaan dia banyak mempunyai harta dan anak” (Q.S. al-Qalam : 10-14),  maksudnya karena keadaan. Kemudian huruf “ba”, contohnya firman Allah : “Maka dengan rahmat Allahlah, maka berlaku lemah lembut terhadap mereka” (Q.S. Ali Imran : 159), maksudnya karena rahmat Allah. Kemudian huruf “fa” pada kalam empunya syara’. (1) Ini adakalanya pada hukum, contohnya firman Allah : “Pencuri baik laki-laki maupun perempuan maka potonglah kedua tangannya”(2) dan adakalanya pada washaf, contoh hadits Shahihaini pada peristiwa orang ihram yang dijatuhkan oleh untanya, “Jangan kalian berikan wangi-wangian dan jangan juga menutup kepalanya, karena dia dibangkit hari kiamat dalam keadaan bertalbiah”(3).

 (فـ) ـفي كلام (الراوي الفقيه فـ) ـفي كلام الراوي (غيره) أي غير الفقيه، وتكون فيهما في الحكم فقط، وقال بعض المحققين في الوصف فقط، لأن الراوي يحكي ما في الوجود، وذلك كقول عمران بن حصين سها رسول الله صلى الله عليه وسلّم فسجد . رواه أبو داود وغيره وكل من القولين صحيح، وإن كان الأوّل أظهر معنى، والثاني أدق كما بينته في الحاشية. (فإن) المكسورة المشددة كقوله تعالى رب لا تذر على الأرض من الكافرين الآية. وتعبيري بالفاء في الأخيرة من زيادتي. (وإذ) نحو ضربت العبد إذ أساء أي لإساءته. (وما مرّ في) مبحث (الحروف) ، مما يرد للتعليل غير المذكور هنا وهو بيد وحتى وعلى وفي ومن فلتراجع، وإنما لم تكن المذكورات من الصريح لمجيئها لغير التعليل كالعاقبة في اللام والتعدية في الباء، ومجرد العطف في الفاء ومجرد التأكيد في إنّ والبدل في إذ كما مرّ في مبحث الحروف.
Kemudian pada kalam siperawi yang faqih, kemudian pada kalam perawi selainnya, maksudnya tidak faqih. Ini adakalanya hanya pada hukum saja. Sebagian ulama muhaqqiqin mengatakan, ini pada hanya pada washaf saja, karena siperawi menghikayahkan apa yang ada terjadi pada kenyataan.(4) Ini seperti perkataan ‘Imran bin Hushain : “Rasulullah SAW lupa, maka beliau sujud” (H.R. Abu Daud dan lainnya). Setiap dua pendapat ini shahih, meskipun yang pertama lebih dhahir makna. Adapun yang kedua lebih halus rinciannya sebagaimana pernah kami jelaskan dalam al-Hasyiah. Kemudian inna yang dikasrah dan bertasydid, contoh firman Allah : “Ya tuhanku, jangan Engkau biarkan seorangpun orang-orang kafir di atas bumi” al-ayat.(5) Ta’birku dengan huruf “fa” pada yang terakhir  termasuk tambahanku. Dan seperti huruf “iz”, contohnya “Aku memukul hamba sahaya ketika buruk perangainya”, maksudnya karena buruk perangainya. Dan juga huruf-huruf yang sudah berlalu dalam pembahasan huruf  termasuk yang didatangkan untuk ta’lil selain yang disebutkan di sini, yakni “baida, hatta, ‘alaa, fii, dan man”, maka hendaknya rujuklah kesana. Hanyasanya huruf-huruf tersebut tidak termasuk sharih ta’lil, karena juga datang bermakna bukan ta’lil, seperti ‘aqibat pada huruf lam dan ta’diyah pada huruf “ba” dan seperti semata-mata ‘athaf pada huruf “fa” dan semata-mata taukid pada huruf “inna” dan seperti badal pada huruf “iz” sebagaimana telah lalu dalam pembahasan huruf.
Penjelasan :
(1)  Kalam Allah dan Rasul-Nya
(2)  wajib potong tangan yang diistimbath dari perkataan "faqtha'uu aidiihimaa" adalah hukum, sedangkan ‘illatnya mencuri.
(3)  Dibangkit hari kiamat dalam keadaan bertalbiah merupakan washaf.
(4)  Adapun yang terjadi pada kenyataan adalah mahkum bihi, yakni washaf, bukan hukum. Adapun hukum seperti sunat sujud sebagaimana di sini tidak wujud pada kenyataan. Maksud mahkum bihi di sini adalah yang berhubungan dengan hukum, maka mencakup mahkum bihi dan mahkum alaihi.[1]
(5)  Lengkapnya berbunyi :
وَقَالَ نُوحٌ رَبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا (26) إِنَّكَ إِنْ تَذَرْهُمْ يُضِلُّوا عِبَادَكَ وَلَا يَلِدُوا إِلَّا فَاجِرًا كَفَّارًا (27)
Ya tuhanku, jangan Engkau biarkan seorangpun orang-orang kafir di atas bumi, karena sesungguhnya apabila Engkau biarkan mereka, maka mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu dan mereka tidak akan melahirkan kecuali anak yang berbuat maksiat dan sangat kafir (Q.S. Nuh : 71-72)





[1] Al-Banany, Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 265

Sabtu, 09 September 2017

Ghayatul Wushul (Terjemahan dan Penjelasannya), Masalik ‘Illat, Hal. 119

مسالك العلة
أي هذا مبحث الطرق الدالة على علية الشيء.
(الأول الإجماع) كالإجماع على أن العلة في خبر الصحيحين لا يحكم أحد بين اثنين وهو غضبان. تشويش الغضب للفكر فيقاس بالغضب غيره مما يشوّش الفكر نحو جوع وشبع مفرطين، وكالإجماع على أن العلة في تقديم الأخ الشقيق في الإرث على الأخ للأب اختلاط النسبين فيه فيقاس به تقديمه عليه في ولاية النكاح، وصلاة الجنازة ونحوهما.
Jalan-jalan mencari ‘illat.
Artinya, ini adalah pembahasan jalan-jalan yang menunjuki kepada menjadi ‘illat sesuatu.
Pertama ijmak,  seperti ijmak  menjadi ‘illat mengacaukan kemarahan atas pikiran dalam hadits shahihaini, “Tidak menetapkan hukum seseorang di antara dua orang, sedangkan dia dalam keadaan marah.” Dengan berpegang kepada ‘illat ini, maka yang selainnya, yakni sifat-sifat yang dapat mengacaukan pikiran seperti terlalu lapar dan kenyang diqiyaskan kepada marah. Dan juga seperti ijmak atas menjadi ‘illat bercampur dua nasab(1) pada mendahulukan saudara sekandung atas saudara sebapak dalam masalah warisan. Berdasarkan ini, maka mendahulukan saudara sekandung atas saudara sebapak dalam masalah wilayah nikah dan shalat jenazah dan lainnya diqiyaskan kepada masalah warisan.
(الثاني) من مسالك العلة (النص الصريح) بأن لا يحتمل غير العلة (كلعلة كذا فلسبب) كذا (فمن أجل) كذا (فنحو كي) التعليلية (وإذن) كقوله تعالى من أجل ذلك كتبنا على بني إسرائيل، كي لا يكون دولة بين الأغنياء منكم، إذا لأذقناك ضعف الحياة وضعف الممات وفيما عطف بالفاء هنا وفيما يأتي إشارة إلى أنه دون ما قبله رتبة بخلاف ما عطف بالواو.
Yang kedua dari jalan-jalan ‘illah adalah nash yang sharih yakni tidak ada kemungkinan  kecuali menjadi ‘illat, seperti ‘iilat kazaa, li sababi kazaa, min ajli kazaa, , kemudian seperti kay yang berfaedah ta’lil dan izan. Contohnya firman Allah : “Dari karena itu, Kami tetapkan hukum atas Bani Israil”(2), firman Allah : “Supaya harta itu tidak beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” (3). Dan firman Allah : “Kalau terjadi demikian, sungguh Kami rasakan kepadamu siksaan berlipat ganda di dunia ini dan begitu pula siksaan berlipat ganda sesudah mati”(4). Adapun yang di’athaf dengan “fa” di sini dan yang akan datang adalah isyarah bahwa ia dibawah martabat sebelumnya, berbeda dengan yang di’athaf dengan waw.
Penjelasan :
(1). Nasab pihak bapak dan nasab pihak ibu
(2).Bunyi lengkap ayat ini sebagai berikut :
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
Karena itu (kisah pembunuhan antara Qabil dan Habil), Kami tetapkan hukum bagi Bani Israil sesungguhnya barang siapa yang membunuh satu jiwa bukan karena orang itu membunuh orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.(Q.S. al-Maidah : 32)

(3).Bunyi lengkap ayat ini sebagai berikut :
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
Apa saja harta rampasan (harta fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota, maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan supaya harta itu tidak beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.(Q.S. al-Hasyr : 7)

(4).Bunyi lengkap ayat ini sebagai berikut :
وَلَوْلَا أَنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلًا (74) إِذًا لَأَذَقْنَاكَ ضِعْفَ الْحَيَاةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَكَ عَلَيْنَا نَصِيرًا (75)
Dan kalau Kami tidak memperkuat hatimu niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian, sungguh Kami rasakan kepadamu siksaan berlipat ganda di dunia ini dan begitu pula siksaan berlipat ganda sesudah mati dan kamu tidak akan mendapatkan penolong pun terhadap Kami.(Q.S. al-Isra’ : 74-75)