Para ulama Ahlussunnah
wal Jama’ah sepakat berpendapat sesat kaum Mujassimah (yang mengi’tiqad Allah
bersifat dengan sifat benda), namun dalam hal mengkafirkannya, mereka berbeda
pendapat. Berikut ini keterangan para
ulama mengenai status hukum kaum Mujassimah :
1.
Al-Syarbaini mengatakan :
تَنْبِيهٌ: اُخْتُلِفَ فِي
كُفْرِ الْمُجَسِّمَةِ. قَالَ فِي الْمُهِمَّاتِ: الْمَشْهُورُ عَدَمُ كُفْرِهِمْ،
وَجَزَمَ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ فِي صِفَةِ الْأَئِمَّةِ بِكُفْرِهِمْ. قَالَ
الزَّرْكَشِيُّ فِي خَادِمِهِ: وَعِبَارَةُ شَرْحِ الْمُهَذَّبِ مَنْ جَسَّمَ
تَجْسِيمًا صَرِيحًا، وَكَأَنَّهُ احْتَرَزَ بِقَوْلِهِ صَرِيحًا عَمَّنْ يُثْبِتُ
الْجِهَةَ فَإِنَّهُ لَا يَكْفُرُ كَمَا قَالَهُ الْغَزَالِيُّ، وَقَالَ الشَّيْخُ
عِزُّ الدِّينِ: إنَّهُ الْأَصَحُّ، وَقَالَ فِي قَوَاعِدِهِ: إنَّ الْأَشْعَرِيَّ
رَجَعَ عِنْدَ مَوْتِهِ عَنْ تَكْفِيرِ أَهْلِ الْقِبْلَةِ؛ لِأَنَّ الْجَهْلَ
بِالصِّفَاتِ لَيْسَ جَهْلًا بِالْمَوْصُوفَاتِ اهـ.
وَأُوِّلَ نَصُّ الشَّافِعِيِّ بِتَكْفِيرِ الْقَائِلِ
بِخَلْقِ الْقُرْآنِ بِأَنَّ الْمُرَادَ كُفْرَانُ النِّعْمَةِ لَا الْإِخْرَاجُ
عَنْ الْمِلَّةِ، قَالَهُ الْبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ،
لِإِجْمَاعِ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ عَلَى الصَّلَاةِ خَلْفَ الْمُعْتَزِلَةِ
وَمُنَاكَحَتِهِمْ وَمُوَارَثَتِهِمْ.
Catatan :
Telah terjadi khilaf ulama dalam pengkafiran kaum Mujassimah, pengarang al-Muhimmaat
mengatakan, yang masyhur mereka tidak kafir. Namun dalam Syarah al-Muhazzab
dalam bab sifat imam telah menjazamkan mereka itu kafir. Al-Zarkasyi dalam
kitab al-Khadim mengatakan, Ibarat Syarah al-Muhazzab : “Barang siapa yang
mengi’tiqad jisim (benda) secara sharih”. Ini seolah-olah pengarangnya ingin
mengeluarkan dengan kata beliau : “sharih” orang yang mengitsbatkan arah,
mereka ini tidak kafir sebagaimana penjelasan al-Ghazali. Syekh ‘Izzuddin mengatakan,
Ini pendapat yang lebih shahih. Dalam qawaid beliau, Syekh ‘Izzuddin mengatakan,
sesungguhnya al-Asy’ari telah rujuk dari pendapatnya mengkafirkan ahli qiblat
ketika mendekati wafatnya, karena ketidaktahuan sifat bukanlah ketidaktahuan
maushuf (yang disifati), Sekian. Adapun nash imam Syafi’i mengkafirkan orang
yang mengatakan al-Qur’an adalah makhluq ditakwil dengan memaknainya sebagai
kufur nikmat, bukan keluar dari agama. Ini telah disebut oleh al-Baihaqi dan ulama
muhaqqiqin lainnya, karena ijmak salaf dan khalaf melakukan shalat dibelakang
Mu’tazilah serta menikah dengan mereka dan saling mewarisi.[1]
2.
Ibnu Hajar al-Haitami
mengatakan :
لِأَن الْمَنْقُول
الْمُعْتَمد عندنَا عدم كُفْر الجهوية والمجسمة إِلَّا إِن اعتقدوا الْحُدُوث أَو
مَا يستلزمه، وَلَا نظر إِلَى لَازم مَذْهَبهم لِأَن الْأَصَح فِي الْأُصُول أَن
لَازم الْمَذْهَب لَيْسَ بِمذهب، لجَوَاز أَن يعْتَقد الْمَلْزُوم دون اللَّازِم، ومنْ
ثمَّ قُلْنَا: لَو صرح باعتقاد لَازم الجسمية كَانَ كَافِرًا، وَقَالَ
الْأَذْرَعِيّ وَغَيره: الْمَشْهُور عدم تَكْفِير المجسمة، وَإِن قَالُوا جسم
كالأجسام أَي لأَنهم مَعَ ذَلِك قد لَا يَعْتَقِدُونَ لَوَازِم الْأَجْسَام.
Karena sesungguhnya
yang kutipan yang mu’tamad di sisi kita (Syafi’iyah) tidak kafir al-Jahwiyah
(yang mengi’tiqad Allah mempunyai arah) dan kaum Mujassimah kecuali mereka
mengi’tiqad baharu Allah dan sifat yang lazim dari baharu. Tidak ditinjau kepada
lazim mazhab mereka, karena menurut pendapat yang lebih shahih dalam ushul,
sesungguhnya lazim mazhab bukan mazhab, karena boleh jadi seseorang mengi’tiqad
malzum, akan tetapi tidak mengi’tiqad lazim. Al-Azra’i dan lainnya mengatakan :
Yang masyhur tidak kafir kaum Mujassimah, meskipun mereka mengatakan Allah benda
seperti benda-benda. Karena mereka dengan itu tidak mengi’tiqad lazim benda.[2]
3.
Al-Bujairumi mengatakan :
وَذَكَرَ حَجّ فِي
فَتَاوِيهِ الْحَدِيثِيَّةِ نَقْلًا عَنْ الْأَذْرَعِيِّ وَغَيْرِهِ أَنَّ الْمَشْهُورَ
عَدَمُ تَكْفِيرِ الْمُجَسِّمَةِ وَإِنْ قَالُوا لَهُ جِسْمٌ كَالْأَجْسَامِ
لِأَنَّهُمْ مَعَ ذَلِكَ قَدْ لَا يَعْتَقِدُونَ لَوَازِمَ الْأَجْسَامِ
Dalam Fatawa al-Haditsiyyah, Ibnu Hajar
al-Haitamy telah menyebut kutipan dari al-Azra’i dan lainnya : Yang masyhur
tidak kafir kaum Mujassimah, meskipun mereka mengatakan Allah benda seperti benda-benda.
Karena mereka dengan itu tidak mengi’tiqad lazim benda.[3]
4.
Dalam al-Asybah
wan-Nadhair, al-Suyuthi mengatakan :
قَالَ الشَّافِعِيُّ: لَا
يُكَفَّرُ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ، وَاسْتُثْنِيَ مِنْ ذَلِكَ:
الْمُجَسِّمُ، وَمُنْكِرُ عِلْمِ الْجُزْئِيَّاتِ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ:
الْمُبْتَدِعَةُ أَقْسَامٌ: الْأَوَّلُ: مَا نُكَفِّرُهُ قَطْعًا، كَقَاذِفِ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَمُنْكِرِ عِلْمِ الْجُزْئِيَّاتِ، وَحَشْرِ
الْأَجْسَادِ، وَالْمُجَسِّمَةِ، وَالْقَائِلِ بِقِدَمِ الْعَالَمِ.
Al-Syafi’i
mengatakan, tidak dikafirkan seseorang dari ahli qiblat. Dikecualikan dari itu
kaum Mujassimah dan kaum yang mengingkari Allah mengetahui sesuatu secara terinci.
Sebagian ulama mengatakan, ahli bid’ah terbagi kepada beberapa bagian, pertama
yang kita kafirkan secara qath’i seperti penuduh berzina terhadap Aisyah r.a., kaum
yang mengingkari Allah mengetahui hal sesuatu secara terinci, yang mengingkari
kebangkitan tubuh pada hari qiamat, kaum Mujassimah dan yang mengatakan alam
qadim.[4]
5.
Syekh
Sulaiman al-Jamal mengatakan :
(قوله
ايضا الا لنحو بدعة امامه ) التى لا يكفر بها كالمجسمة على المعتمد
(Perkataan
pengarang : juga kecuali mengikuti seumpama bid’ah imamnya) yang tidak kafir
dengan sebab bid’ahnya itu seperti kaum Mujassimah berdasarkan pendapat mu’tamad.[5]
Catatan :
Berdasarkan keterangan di atas, apabila ada nash ulama yang
mengatakan ijmak atau sepakat ulama mengkafirkan
kaum Mujassimah, maka menurut hemat kami, itu harus dipahami dengan beberapa
kemungkinan, antara lain :
a.
Juga terjadi khilaf ulama
dalam mendakwakan ijmak atas pengkafiran kaum Mujassimah
b.
Diposisikan nash tersebut
dengan makna khusus sebagaimana sudah dijelaskan dalam kutipan-kutipan ulama di
atas.
c.
Seandainya kesimpulan
kami ini salah, mohon dikoreksi.
[1] Al-Syarbaini, Mughni
al-Muhtaj, Darul Ma’rifah, Beirut,
Juz. IV, Hal. 174-175
[2] Ibnu Hajar
al-Haitamy, al-Fatawa al-Haditsiyyah, Darul Fikri, Beirut, Hal.
108
[3] Al-Bujairumi, Hasyiah
al-Bujairumi ‘ala al-Iqna’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II,
Hal. 326
[4] Al-Suyuthi, al-Asybah
wan-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 273
[5] Syekh Sulaiman
al-Jamal, Hasyiah al-Jaml ‘ala Syarah al-Manhaj, Dar Ihya
al-Turatsi al-Arabi, Juz. I, Hal. 505