Al-Mawardi dalam Kitab al-Ahkam
al-Sulthaniyah menyebutkan syarat-syarat pemimpin (ahlu imamah) dengan
tujuh syarat, yaitu : adil, berilmu, normal panca indera mendengar, melihat dan
berbicara, normal anggota tubuh, mampu berpikir, berani dan dari suku Quraisy.[1] Al-Mawardi,
salah seorang ulama besar dalam Mazhab Syafi’i, tidak menyebutkan laki-laki
merupakan salah satu persyaratan menjadi pemimpin. Namun ini tidak berarti kita
menyimpulkan bahwa beliau berpendapat bahwa wanita boleh menjadi seorang
pemimpin sebagai dakwaan seorang ulama Aceh masa kini tentang ini. Hal ini
karena banyak sekali nash-nash kitab karangan ulama besar yang mu’tabar dalam
mazhab Syafi’i yang secara jelas menyebutkan salah satu persyaratan seorang pemimpin
itu adalah laki-laki, antara lain :
1. Berkata Imam an-Nawawi :
2.
Berkata Zakariya Anshary :
“Disyaratkan
keadaan Imam sebagai ahli qudha’, yaitu keadaannya muslim, mukallaf, merdeka,
adil, laki-laki,….dst” [3]
3.
Berkata Ibrahim al-Bajury :
“Disyaratkan keadaan imam seperti syarat
qadhi, yaitu muslim, mukallaf, merdeka, adil, laki-laki, …….dst”. [4]
Adapun dalil fatwa yang mewajibkan persyaratan seorang
pemimpin (imam) laki-laki, antara lain :
1.
Firman Allah Ta’ala Q. S. An-Nisa’ : 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Artinya
: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan
ulil amri di antara kamu. (Q.S. An-Nisa’ : 59)
Dalam ayat ini, ada perintah ta’at kepada
pemimpin dengan menggunakan lafazh “ulil amri”. Lafazh ulil amri
menunjukkan makna laki-laki, karena untuk perempuan digunakan lafazh ulatil
amri. Memang banyak ayat dalam al-Qur’an dalam bentuk jamak muzakar dengan
makna mencakup laki-laki dan perempuan, tetapi ini tentunya karena ada qarinah
yang memalingkan dari maknanya yang hakiki. Sedangkan lafazh ulil amri
dalam ayat di atas, yang kita temui justru dalil-dalil yang mendukung pemaknaan
ulil amri dengan makna yang terbatas pada pemimpin laki-laki saja,
sebagaimana dalil-dalil berikut ini.
2. Firman Allah, Q.S.
an-Nisa’ : 34
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. (Q.S. an-Nisa’ : 34)
Dalam mentafsirkan ayat di atas, pengarang Tafsir
Jalalain berkata :
“Artinya dengan sebab Allah melebihkan
laki-laki atas wanita dengan ilmu, akal, kekuasaan dan lain-lain”.
Ahmad Shawy dalam mengomentari tafsir di atas berkata
:
“Mufassir mengisyaratkan bagi sebagian urusan
yang dilebihkan laki-laki dengannya atas wanita. Termasuk dalam urusan yang
dilebihkan laki-laki atas wanita adalah lebih akal, agama, kekuasaan,
kesaksian, jihad, Jum’at, jama’ah, keadaan nabi-nabi dan sulthan dari
laki-laki, kebolehan laki-laki kawin empat di dunia dan lebih banyak dari empat
di akhirat, wanita tidak dibolehkan demikian dan kekuasaan thalaq dan ruju’
pada tangan laki-laki.” [5]
Berkata al-Baidhawy dalam mentafsir ayat di atas :
“Dengan sebab Allah Ta’ala melebihkan
laki-laki atas wanita dengan sebab sempurna akal, bagus tadbir, kelebihan
kemampuan dalam bekerja dan ta’at. Oleh karena itu, kaum laki-laki dikhususkan
menjadi nabi, pemimpin,……….dst.”[6]
Penafsiran
ulama di atas sesuai dengan hadits shahih berbunyi :
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
أَنَّهُ قَالَ « يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ
الاِسْتِغْفَارَ فَإِنِّى رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ ». فَقَالَتِ
امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَةٌ وَمَا لَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَكْثَرَ أَهْلِ
النَّارِ.قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَمَا رَأَيْتُ مِنْ
نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَغْلَبَ لِذِى لُبٍّ مِنْكُنَّ ». قَالَتْ يَا رَسُولَ
اللَّهِ وَمَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَالدِّينِ قَالَ « أَمَّا نُقْصَانُ الْعَقْلِ
فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدِلُ شَهَادَةَ رَجُلٍ فَهَذَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ
وَتَمْكُثُ اللَّيَالِىَ مَا تُصَلِّى وَتُفْطِرُ فِى رَمَضَانَ فَهَذَا نُقْصَانُ
الدِّينِ
Artinya : DariRasulullah SAW bersabda : Wahai
kaum perempuan! Bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar. Karena, aku
melihat kalian lebih ramai menjadi penghuni neraka. Seorang perempuan yang
cukup pintar di antara mereka bertanya: Wahai Rasulullah, kenapa kami kaum
perempuan yang lebih ramai menjadi penghuni neraka? Rasulullah SAW bersabda:
kalian banyak mengutuk dan mengingkari suami. Aku tidak melihat yang kekurangan
akal dan agama dari pemilik pemahaman lebih daripada golongan kalian. Perempuan
itu bertanya lagi: wahai Rasulullah! Apakah maksud kekurangan akal dan agama
itu? Rasulullah SAW bersabda : maksud kekurangan akal ialah penyaksian dua
orang perempuan sama dengan penyaksian seorang laki-laki. Inilah yang dikatakan
kekurangan akal. Begitu juga permpuan tidak mengerjakan sembahyang pada
malam-malam yang dilaluinya kemudian berbuka pada bulan Ramadhan karena haid. Maka
inilah yang dikatakan kekurangan agama. (H.R.
Muslim)[7]
Hadits di atas juga diriwayat dengan redaksi lain oleh Bukhari,[8]
Ibnu Khuzaimah,[9] Ibnu
Hibban,[10]dan
Baihaqi[11].
Adapun sebab
turun ayat ini adalah Habibah bin Zaid bin Abi Zahir nusyuz (durhaka)
kepada suaminya, Sa’ad Ibn ar-Rabi’, salah seorang tokoh kaum Anshar. Kemudian
Sa’ad menempelengnya. Maka Habibah beserta ayahnya mengadu kepada Rasulullah
SAW. Maka Rasulullah bersabda : “hendaklah kamu tuntut bela” . Kemudian
turunlah ayat ini. Kemudian Rasulullah SAW bersabda :
“Aku
menghendaki suatu urusan, tetapi Allah menghendaki urusan lain dan yang
dihendaki Allah adalah lebih baik” [12].
Sebab turun ayat ini, sebagaimana terlihat dalam riwayat
diatas memang masalah keluarga, namun hukum yang dipahami dari ayat ini tidak
hanya terbatas pada masalah keluarga saja sebagaimana dipahami oleh sebagian
orang, tetapi juga mencakup dalam masalah lain seperti masalah kepemimpinan,
jama’ah, jum’at dan lain-lain. Karena sebab turun ayat tidak dapat
mengkhususkan keumuman pada suatu lafazh. Ini berdasarkan Qaidah Ushul Fiqh
yang sudah umum diketahui, yaitu :
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
Artinya : Yang menjadi patokan adalah keumuman lafazh bukan khusus sebab.
3. Hadits Nabi SAW
لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة
Artinya : tidak akan suskses
sesuaatu kaum, dimana mereka mengangkat wanita menjadi pemimpin.(H.R.
Bukhari)[13]
Umairah
telah menjadi hadits ini sebagai dalil laki-laki merupakan salah satu
syarat menjadi pemimpin.[14]
Bujairumy dalam kitabnya, Bujairumi ‘ala Fathul Wahab, juga mengutip hadits ini
sebagai dalil salah satu persyaratan pemimpin adalah laki-laki.[15]
Berikut
ketentuan-ketentuan syara’ selain tentang pemimpin Negara yang mengharuskan
laki-laki sebagai pemimpinnya, yaitu ;
- Nabi dan Rasul, semuanya laki-laki
- Khulafaurrasyidin, semuanya laki-laki
- Imam Shalat Jum’at, harus laki-laki
- Imam Jama’ah yang ada laki-laki, atau laki-laki dan perempuan harus laki-laki
- Hak thalaq dan ruju’ hanya pada laki-laki
- Pihak yang melakukan ijab qabul dalam pernikahan hanya laki-laki
- Qadhi harus laki-laki
- Kewajiban jihad hanya pada laki-laki
- Kewajiban menafkahkan keluarga adalah laki-laki
- Kesaksian laki-laki diterima pada semua kasus, tidak demikian halnya wanita. Wanita tidak diterima kesaksiannya dalam kasus qishas dan hudud.
- dan lain-lain.
Larangan perempuan menjadi
pemimpin tidak relefan lagi dengan kondisi zaman sekarang ?
Ada
ulama kita di Aceh yang berpendapat hadits “tidak akan suskses sesuaatu kaum, dimana mereka
mengangkat wanita menjadi pemimpin” tidak relefan lagi dengan kondisi zaman ini, dengan alasan pemimpin pada
zaman munculnya hadits Rasulullah SAW, kekuasaannya sangat tidak terbatas,
sehinggga apapun keputusan yang diputuskan oleh seorang pemimpin adalah
merupakan hasil ijtihadnya sendiri. Oleh
karena itu, dibutuh seorang pemimpin yang betul-betul mempunyai kemampuan yang
baik dan bijaksana dan itu hanya dipunyai oleh seorang laki-laki. Sedangkan
zaman sekarang ini keadaan seperti gambaran tersebut sudah jauh berbeda, dimana
kekuasaan seorang presiden hanya terbatas pada bidang eksekutif, sedangkan
kekuasaan bidang yudikatif dan legislatif, masing-masing ada pada lembaga Mahkamah
Agung dan Dewan Perwakilan rakyat/Majelis Perwakilan Rakyat. Dengan demikian
pada zaman sekarang ini sangat memungkinkan seorang perempuan yang anggap lemah
kemampuannya dalam memimpin, menjadi seoarang pemimpin atau presiden atau
istilah lainnya.
Pendapat ini kita tolak
dengan alasan sebagai berikut :
1.
firman Allah Ta’ala Q. S. al-Maidah : 5
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْإِسْلَامَ دِينًا
Artinya
: telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.(Q.S. al-Maidah :
3)
Dengan
turun ayat ini lima
belas abad yang telah lalu, berarti Islam sudah sempurna sebagai agama. Kita
tidak boleh menambah dan mengurangi lagi apa yang telah ditetap oleh Allah dan
Rasul-Nya, apalagi mengi’tiqadkan bahwa ada ajaran Islam yang tidak relevan
lagi dengan kondisi zaman. Mengi’tiqad perempuan boleh menjadi pemimpin pada
zaman sekarang dengan alasan hadits Rasul “tidak akan suskses sesuaatu kaum, dimana mereka mengangkat wanita
menjadi pemimpin” tidak sesuai lagi dengan kondisi
sekarang termasuk dalam katagori ini.
2. menurut hemat kami
menjadikan ketidakmampuan perempuan sebagai ‘illah (alasan) hukum tidak
boleh seorang perempuan menjadi pemimpin pada zaman Nabi adalah kurang tepat,
karena ketidakmampuan itu suatu washaf yang tidak munzhabith (tidak
dapat diukur). Sedang illah itu sebagaimana dipahami dari kitab-kitab
Ushul Fiqh, kriterianya adalah washaf yang zhahir, munzhabith (dapat diukur) dan menjadi
tanda bagi hukum. Oleh karena itu, menurut pemahaman penulis, yang menjadi ‘illah
di sini adalah keperempuanannya seseorang itu sendiri. Sedangkan ketidakmampuan
merupakan washaf yang diduga kemungkinan besar terdapat pada seorang perempuan.
Ini sama halnya dengan dengan hukum kebolehan jama’ dan qashar shalat. Menurut
Mazhab Syafi’i yang menjadi ‘illah-nya bukan masyaqqah yang
timbul karena perjalanan panjang, karena masyaqqah tidak dapat diukur. tetapi
yang menjadi ‘illah-nya adalah perjalanan panjang itu sendiri. Sedangkan
masyaqqah merupakan washaf yang diduga kemungkinan besar terdapat
pada sebuah perjalanan panjang. Dengan demikian, kapan saja ada perjalanan panjang, maka ada
hukum kebolehan qashar dan jama’, baik ada masyaqqah-nya atau tidak.
Jadi hukum kebolehan qashar dan jama’ bukan dikaidkan pada masyaqqah,
tetapi pada perjalanan panjang. Dalam hal pembahasan kita di atas, maka hukum
tidak boleh seorang perempuan menjadi pemimpin tidak dikaidkan pada ketidakmampuan,
karena ketidakmampuan tidak boleh menjadi ‘illah, tetapi dikaidkan pada keperempuanan
itu sendiri. Dengan demikian, kapan saja seseorang itu bersifat perempuan, maka
dia tidak boleh diangkat menjadi pemimpin, baik dia mampu atau tidak mampu.
3. menganggap memimpin
pada zaman sekarang lebih mudah dibanding zaman Nabi SAW, dengan alasan dulu
semua kekuasaan tertumpu pada seorang pemimpin, menurut hemat penulis, ini juga
kurang tepat. Kita harus mengakui pada zaman sekarang umumnya, memang negara-negara
di dunia ini ada terjadi pembagian kekuasaan dalam memimpin suatu negara atau
apa yang sering kita dengar dengan istilah trias politica. Tetap bukan
berarti tugas seorang presiden misalnya, akan lebih mudah dibanding dengan
zaman Rasulullah. Kehidupan hari ini lebih kompleks dan rumit diibanding dengan
zaman Rasulullah, dengan kecanggihan ilmu komunikasi saja, memimpin sebuah
negara adalah seperti memimpin rakyat di seluruh dunia. Apapun yang terjadi di
ujung dunia sana,
hari ini juga dapat mempengaruhi keadaan negara yang kita diami. Kesimpulannya
kita mengakui dengan adanya pembagian kekuasaan di sebuah negara pada zaman
sekarang, tentunya akan mengurangi beban seoarang pemimpin, tetapi bukan
berarti memimpin negara pada zaman sekarang akan lebih mudah dibanding dengan
zaman Rasulullah SAW, karena pengaruh kemajuan teknologi pada zaman sekarang
justru menjadi sebuah beban besar bagi seorang memimpin, sehinggga dibutuhkan
seorang pemimpin yang mempunyai kualiatas andal dan berpikir rasional dan itu
menurut syara’ hanya dipunyai oleh laki-laki.
Catatan
Mengatakan
bahwa al-Mawardi tidak menyebut laki-laki sebagai syarat imam al-‘udhma dalam Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah, lalu berkesimpulan
bahwa laki-laki tidak menjadi syarat untuk seorang imam adalah kesimpulan yang
tidak tepat. Karena tidak menyebut disyaratkan laki-laki bukan berarti beliau berpendapat
tidak disyaratkan laki-laki. Ini terbukti dalam kitab Al-Hawi al-Kabir, juga
merupakan karya beliau, dalam pendalilian terhadap keharusan qadhi seorang
laki-laki, beliau mengatakan bahwa kekurangan perempuan menyebabkan
terhambatnya ter-’akad wilayat (kekuasaan) sama halnya seperti imam
umat. Di sini beliau mengkiaskan posisi perempuan mengenai qadhi sama halnya
dengan posisi perempuan pada urusan negara , yaitu imam ‘udhma. Lagi
pula al-Mawardi merupakan ulama yang berpendapat seorang qadhi harus seorang
laki-laki. Kalau qadhi saja harus laki-laki tentunya, tidak mungkin beliau
berpendapat seorang imam al-udhma, yang membutuhkan sejumlah kemampuan lebih
dibandingkan qadhi, dibolehkan dipegang oleh seorang perempuan.[16]