Berikut
ini adalah tulisan yang kami rangkum dari kitab Syarah Risalah Masail al-Ikhtilaf
baina al-Asy’arah wal- Maturidiyah karangan Ibnu al-Kamal Pasya (873-940 H) dengan
syarahnya oleh Said Fudah (Penerbit : Dar al-Fatah). Dalam muqaddimah syarah kitab
tersebut dijelaskan, bahwa Ibnu al-Kamal Pasya seorang ulama terkenal pada
zaman Daulah Usmaniyah Turki. Beliau hidup semasa dengan Imam al-Suyuthi.
Adapun
perbedaan mazhab Asy’ari dan al-Maturidy berdasarkan tulisan di atas antara
lain:
1.
Masalah
sifat Takwin
a.
Imam
al-Maturidi mengatakan, al-takwin adalah sifat Allah yang azali dan berdiri
pada zat-Nya sebagaimana sifat-sifat-Nya yang lain. Al-Takwin bukan al-mukawwan
(yang dijadikan). Al-Takwin ta’alluq dengan al-mukawwan, yakni alam dan
bagian-bagiannya pada waktu wujudnya. Ini sebagaimana iradah dan qudrah Allah
Ta’ala yang azali ta’alluq dengan yang diiradah-Nya dan dan maqdurat-Nya.
Menurut al-Maturidi al-Takwin bukanlah sifat af’al (perbuatan), tetapi sifat zat
yang bersumber perbuatan darinya. Bukan sifat af’al, karena disepakati (al-Asya’ri
dan al-Maturidy) bahwa sifat af’al adalah baharu, sedangkan Allah mustahil
bersifat dengan sifat baharu.
b.
Imam
al-Asy’ari mengatakan, al-Takwin adalah sifat yang baharu yang tidak berdiri
pada zat Allah Ta’ala. Menurut al-Asy’ari al-Takwin adalah sifat af’al
(perbuatan), bukan sifat zat yang azali.
Sifat af’al adalah baharu seperti takwin dan iijad, yang ta’alluq kepada wujud
alam dengan firman Allah, “kun”. Menjadikan dan meniadakan sesuatu pada waktu
ada dan tidak ada sesuatu (tanjizi hadits) merupakan hukum qudrah menurut
al-Asy’ari dan merupakan hukum al-Takwin menurut al-Maturidy.
Alhasil
terjadi khilaf pada dua ta’alluq, yakni shuluhil qadim dan tanjizi hadits,
apakah keduanya kembali kepada satu sifat, yakni qudrah ataukah kembali kepada
dua sifat, yakni shuluhil qadim kembali kepada qudrah dan tanjizi hadits
kembali kepada al-takwin. Al-Asya’ri berpendapat kepada pendapat pertama,
sedangkan al-Maturidy berpendapat kepada pendapat kedua.
2.
Masalah
mendengar kalam Allah
a.
Imam
al-Maturidi mengatakan, kalam Allah Ta’ala tidak dapat didengar, yang didengar
hanya sesuatu yang menunjuki atasnya.
b.
Imam
al-Asy’ari mengatakan, kalam Allah Ta’ala dapat didengar sebagaimana hikayah
Allah dari Nabi Musa.
Sepakat Imam al-Maturidi dan Imam al-Asy’ari bahwa Allah Ta’ala
bersifat dengan kalam nafsi, yakni kalam yang tidak berhuruf dan suara.
Perbedaan muncul ketika membicarakan apakah kalam Allah itu dapat didengar atau
tidak. Imam al-Maturidi tidak memaknai secara mutlaq al-masmu’ (yang
didengar) kecuali dengan syarat bersambung dengan indra pendengaran dimana
manusia bersifat dengannya. Menurut beliau, yang dapat bersambung dengan indra
pendengaran manusia hanya suara, sedangkan kalam Allah Ta’ala diyakini tidak
berhuruf dan tidak bersuara. Adapun yang dapat didengar hanyalah suara yang
menunjuki kepada kalam Allah Ta’ala yang qadim yang tidak berhuruf dan tidak
bersuara.
Adapun Imam al-Asya’ri tidak mensyaratkan penyebutan lafazh al-masmu’
(yang didengar) secara mutlaq adanya keharusan bersambung diri al-masmu’
dengan indra pendengaran, tetapi bisa saja dengan bersambung dengan yang
menunjuki kepada al-masmu’ atau dengan idrak (alat menangkap al-masmu’)
yang lain yang diciptakan Allah dengan tanpa perantara dan sebab-sebab ‘adat.
Al-hasil Imam al-Maturidi dan Imam al-Asy’ari sepakat bahwa indra
pendengaran manusia tidak mungkin bersambung dengan kalam Allah. Perbedaannya Imam
al-Maturidi tidak menggunakan lafazh al-masmu’ terhadap yang didengar
dengan perantaran suara yang menunjuki kepada al-masmu’ atau terhadap idrak
(alat penangkapan) yang lain yang diciptakan Allah dengan tanpa perantara dan
sebab-sebab ‘adat. Sedangkan Imam al-Asy’ari berpendapat kalam Allah Ta’ala
bisa dikatakan al-masmu’ , meski dengan perantaran suara yang menunjuki
kepada al-masmu’ atau terhadap idrak yang lain yang diciptakan
Allah dengan tanpa perantara dan sebab-sebab ‘adat. Dengan demikian, ini adalah
khilaf penamaannya saja (khilaf lafzhi).
3.
Masalah
Allah Ta’ala bersifat dengan sifat hikmah
a.
Imam
al-Maturidi berpendapat bahwa Allah sebagai pencipta alam ini bersifat dengan
sifat hikmah, baik hikmah itu bermakna ilmu atau bermakna al-ihkaam
(menjadikan hikmah)
b.
Imam
al-Asy’ari mengatakan, seandainya hikmah bermakna ilmu, maka itu kembali kepada
sifat ilmu. Sedangkan ilmu disepakati merupakan sifat Allah yang qadim yang
berdiri pada zat Allah Ta’ala. Namum seandainya hikmah itu bermakna al-ihkaam,
maka itu sifat baharu, yang kembali
kepada sifat takwin. Sedangkan sifat takwin adalah sifat baharu yang tidak
berdiri pada zat Allah Ta’ala.
Perbedaan pendapat ini kembali kepada perbedaan dua imam ini, apakah
Allah bersifat dengan takwin atau tidak, sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya
dan apakah dinamakan Allah dengan dengan nama al-hakim adalah majaz atau
hakikat. Al-Maturidi yang berpendapat Allah bersifat dengan sifat takwin,
mengatakan al-hikmah adalah lazim dari sifat takwin. Karena itu, kalau sifat takwin
qadim, maka hikmah juga qadim dan pula penamaan Allah dengan sifat al-hakim
adalah hakikat pada lughat menurut al-Maturidi. Sedangkan isytiqaq (akar
kata) dari al-hakim adalah hikmah, maka sahlah diitsbat hikmah kepada Allah Ta’ala.
Adapun Imam al-Asy’ari mengatakan, seandainya hikmah itu bermakna al-ihkaam,
maka ini kembali kepada af’al Allah Ta’ala. Dengan demikian, al-hikmah
adalah sifat af’al, bukan sifat zat sebagaimana sifat takwin yang baharu dan
tidak berdiri pada zat Allah Ta’ala yang qadim.
Perbedaan mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi (bag. 2)
Perbedaan mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi (bag. 2)