Ada sebagian kita yang tidak mau melaksanakan amar
ma’ruf, karena beralasan dirinya sendiri tidak mengamalkannya. Ayat al-Qur’an
yang sering dijadikan agumentasinya adalah Q.S. al-Baqarah : 44, yang berbunyi
sebagai berikut :
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ
بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا
تَعْقِلُونَ
Artinya
:Apakah kalian memerintah manusia dengan kebajikan, sementara kalian melupakan
diri kalian sendiri. Padahal kalian membaca al-Kitab. Apakah kalian tidak
berpikir. (Q.S. al-Baqarah : 44)
Lalu
bagaimana penafsirannya yang benar?.
Imam
al-Subki menjelaskan kepada kita, apabila terjadi pelarangan dari dua perbuatan
atau satu perbuatan yang dikaidkan atas perbuatan yang lain, maka terdapat
beberapa pembagian, yakni :
1.
Masing-masing perbuatan itu mubah, tidak tercela. Yang tercela hanyalah
mengumpulkan keduanya. Masing-masing
keduanya merupakan bagian dari ‘illah (alasan) tercela. Contohnya perkataan
manusia :
لا تأكل السمك وتشرب اللبن
Jangan kamu makan ikan dan minum susu.
2.
Salah satunya terpuji dan yang lain tercela. Akan tetapi
tercelanya yang tercela lebih besar disaat bersama yang terpuji, dibandingkan
tercela tersendiri tanpa bersama yang terpuji. Contohnya Q.S. al-Baqarah : 44
di atas. Kebanyakan yang kedua ini apabila bentuknya dimulai dengan yang
terpuji, kemudian baru disebut yang tercela sebagaimana ayat di atas.
Penjelasannya, sebab datang ayat dalam uslub ini adalah qashad mendahulukan
sebab (amar ma’ruf) atas musabbab (mengamalkan untuk diri sendiri), karena
perintah kebajikan kepada manusia sepatutnya merupakan sebab memerintahkan diri
sendiri untuk mengamalkannya. Karena itu, apabila seseorang yang melakukan amar
ma’ruf, tetapi dia tidak mengamalkannya, maka itu sangatlah keji dan itu lebih
keji dari pada datang sebuah perintah seperti : “Kerjakanlah dan jangan kamu
lupakan dirimu sendiri”.
Mendekati uslub ini antara lain hadits riwayat al-Bukhari dan
Muslim berbunyi :
اذا كان يوم صوم احدكم فلا يرفث ولا يفسق
Apabila salah seorang kamu dalam keadaan berpuasa, maka jangan
berkata kejji dan melakukan perbuatan pasiq.(H.R. al-Bukhari dan Muslim)
Berkata keji dan melakukan perbuatan fasiq dilarang, baik atas
orang berpuasa ataupun yang tidak berpuasa, namun berkata keji dan melakukan
perbuatan fasiq lebih keji apabila dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa. Karena
puasa merupakan sebab yang kuat menjauhkan perkataan keji dan perbuatan fasiq.
Sebelum menafsirkan Q.S. al-Baqarah : 44 sebagaimana penafsiran di
atas, Imam al-Subki meletakkan pondasi penafsiran kepada kita sebagai berikut :
a.
Amar ma’ruf merupakan kebajikan dan wajib dikerjakan, baik
seseorang itu mengamalkan atau tidak mengamalkannya.
b.
apabila seseorang tidak mengamalkannya serta juga tidak melakukan
amar ma’ruf, maka atasnya dua dosa, yakni dosa meninggalkan amar ma’ruf dan dosa
tidak mengamalkan kewajiban.
Kesimpulan
Amar ma’ruf tetap
terpuji (wajib), meski datangnya bersamaan dengan meninggalkan pengamalannya
untuk diri sendiri. Namun dosa meninggalkan pengamalannya akan lebih besar disaat
bersamaan dengan amar ma’ruf.
(Lihat
Fatawa al-Subki, Cet. Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. I, Hal. 19-20)