Sebagaiman dimaklumi
bahwa azimat (tamimah) merupakan benda yang dijadikan sebagai penangkal dari
suatu penyakit, mara bahaya ataupun sesuatu yang ditakutkan. Dalam Kamus
Mukhtar al-Shihah, disebutkan tamimah adalah pelindung yang digantung pada
manusia. Al-Manawi
menyebutkan, tamimah ini asalnya adalah tenunan yang digantung oleh orang Arab
pada kepala anak-anak untuk melindunginya dari penyakit ‘ain,
kemudian istilah ini digunakan untuk setiap benda yang dijadikan sebagai
penangkal. Berikut
hadits-hadits Nabi SAW yang menggunakan perkataan “tamimah” serta penjelasan hukum
menggunakannya, antara lain :
1.
Dari Abdullah, beliau
berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda :
إنَّ الرُّقًى وَالتَّمَائِمَ وَالتَّوَالَةَ
شِرْكٌ
Artinya : Sesungguhnya ruqyah,
azimat dan pelet, adalah perbuatan syirik.(H.R. Ahmad)
2.
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir bahwa beliau mendengar Rasulullah SAW
bersabda :
مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلاَ
أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَة فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ
Artinya : Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada tamimah
(jimat), maka Allah tidak akan menyelesaikan urusannya. Barangsiapa yang
menggantungkan dirinya pada kerang, maka Allah tidak akan memberikan kepadanya
jaminan” (H.R. Ahmad)
3.
Dalam
riwayat lain disebutkan,
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ
أَشْرَكَ
Artinya : Barangsiapa yang
menggantungkan tamimah (jimat), maka ia telah berbuat syirik” (H.R. Ahmad)
Ketiga hadits di atas,
menjelaskan kepada kita bahwa menggunakan azimat merupakan perbuatan tercela,
bahkan merupakan perbuatan syirik berdasarkan hadits pertama dan kedua. Yang
dimaksud dengan syirik adalah menyekutukan Allah Ta’ala atau mengi’tikad
sesuatu selain Allah mempunyai kekuatan yang sama dengan-Nya. Lalu timbul
pertanyaan, bagaimana kalau seseorang menggunakan azimat tanpa ada i’tiqad
azimat tersebut dapat memberi pengaruh melindungi dirinya secara mandiri
(ta’tsir), tetapi ‘azimat itu hanya sekedar sebagai sebab adanya perlindungan,
dimana pada hakikatnya hanya Allahlah yang melindunginya? Bukankah ini sama halnya
dengan kita menggunakan obat dari seorang dokter, kalau kita mengi’tiqad obat
tersebut yang menyembuhnya secara mandiri, tentu ini tanpa diragukan dapat
disebut sebagai perbuatan syirik, sebaliknya kalau dii’tiqad hanya sebagai
sebagai sebab, dimana pada hakikatnya hanya Allahlah yang mengobatinya, maka
tentu tidak sesorangpun dapat mengatakan ini sebagai syirik, bahkan termasuk
dalam katagori usaha yang merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Nah,
apabila telah kita pastikan apabila menggunakan azimat tanpa ada i’tiqad azimat
tersebut dapat memberi pengaruh melindungi dirinya secara mandiri (ta’tsir)
bukanlah syirik yang diharamkan, lalu
kenapa Rasulullah SAW mengatakan penggunaan azimat merupakan perbuatan syirik
sebagaimana dua hadits di atas ? Menjawab pertanyaan ini marilah kita simak
keterangan-keterangan para beberapa ulama mu’tabar mengenai ini, sebagai
berikut :
a.
Qadhi ‘Iyadh mengatakan :
“Rasulullah SAW
menamakannya sebagai syirik, karena yang ma’ruf pada zaman beliau adalah ruqyah, azimat dan pelet yang dikenali pada zaman
Jahiliyah, yakni yang mengandung unsur-unsur syirik, atau mengambilnya sebagai
penangkal menunjukkan adanya i’tiqad
memberi bekas (ta’tsir) yang menyebabkan kepada syirik.”
b.
Imam al-Thaiby mengatakan
:
“Karena orang Arab
mengi’tiqad memberi bekas dan mengqashad dengan ruqyah, azimat dan pelet untuk menolak taqdir yang telah
ditentukan untuknya, maka mereka meminta terlindungi dari mara bahaya dari
selain Allah Ta’ala, seperti inilah i’tiqad orang-orang Jahiliyah. Karena itu,
tidak masuk yang demikian itu yang disebut dengan nama-nama Allah dan kalam-Nya
dan tidak termasuk juga orang-orang menggantungkannya dengan zikir karena
mencari berkah serta meyakini bahwa tidak ada yang dapat membuka semuanya
kecuali Allah, maka ini tidak mengapa.”
c.
Ibnu Mulaqqan dalam
mengomentari hadits pertama di atas mengatakan :
“Maksudnya itu adalah ruqyah
Jahiliyah dan sihir yang sama dengannya berupa ruqyah yang tercela.”
Selanjutnya
Ibnu Mulaqqan mengutip sebuah riwayat yang diriwayat oleh Ibnu Wahab dari Yunus
bin Yazid dari Ibnu Syihab dari seorang ahli ilmu, berbunyi :
أَنَّهُمْ كَانُوا
يَقُولُونَ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنِ الرُّقَى حِتى قَدِمَ
الْمَدِينَةَ وَكَانَتِ الرُّقَى فِي ذَلِكَ الزَّمَانِ فِيهَا كَثِيرٌ مِنْ
كَلَامِ الشِّرْكِ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ لُدِغَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ
فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ كَانَ آلُ حَزْمٍ يَرْقُونَ مِنَ الْحُمَةِ
فَلَمَّا نَهَيْتَ عَنِ الرُّقَى تَرَكُوهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ادْعُوا لِي عُمَارَةَ وَكَانَ قَدْ شَهِدَ فَقَالَ
اعْرِضْ عَلَيَّ رُقْيَتَكَ فَعَرَضَهَا عَلَيْهِ فَلَمْ يَرَ بِهَا بَأْسًا
وَأَذِنَ لَهُمْ بِهَا
Artinya : Sesungguhnya
mereka mengatakan, bahwa Rasulullah SAW telah melarang ruqyah sehingga tiba di
Madinah, pada ketika itu, ruqyah banyak terdiri dari kalam syirik. Tatkala salah seorang sahabat Nabi disengat
binaang berbisa, mereka mengatakan kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, orang-orang
Hazam terbiasa melakukan ruqyah karena sakit panas, tetapi manakala engkau
melarangnya, merekapun meninggalkannya. Rasulullah SAW berkata, “Panggillah
‘Umarah kepadaku.”(Umarah ini pernah ikut perang Badar), kemudian Rasulullah
berkata kepada Umarah, “Nampakkanlah ruqyahmu kepadaku!”, Kemudian Umarahpun
memperlihatkannya, lalu Rasulullah SAW tidak melihat ada masalah dengan ruqyah
tersebut, maka beliau mengizinkan mereka menggunakan ruqyah tersebut.(H.R.
Ibnu Wahab)
Riwayat ini selengkapnya juga
disebut dalam kitab al-Tamhid karangan Ibnu Abd al-Bar.
Berdasarkan
keterangan-keterangan di atas, dapat dipahami bahwa ruqyah dan azimat yang
dihukum tercela dan syirik penggunaannya dalam hadits-hadits di atas dan yang
tersebut dalam hadits-hadits lain yang tidak kami sebut di sini adalah ruqyah
dan azimat yang mengandung unsur-unsur syirik di dalamnya atau ada i’tiqad
ta’tsir (memberi bekas) pada selain Allah Ta’ala sebagaimana yang lazim terjadi
pada zaman awal kemunculan Islam (zaman Jahiliyah). Sehingga dengan keterangan
ini pula dapat dipahami kalau Rasulullah dalam banyak riwayat pernah melakukan
ruqyah dan menganjurkannya sebagaimana hadits-hadits yang akan kami kemukakan
sesudah ini.
Hadits-hadits
yang membolehkan menggunakan ruqyah selama tidak ada unsur syirik
1.
Dari
Aisyah r.a, beliau mengatakan :
أَنَّ رَسُولَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا اشْتَكَى الْإِنْسَانُ
الشَّيْءَ مِنْهُ، أَوْ كَانَتْ بِهِ قَرْحَةٌ أَوْ جُرْحٌ، قَالَ: النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِإِصْبَعِهِ هَكَذَا، وَوَضَعَ سُفْيَانُ
سَبَّابَتَهُ بِالْأَرْضِ، ثُمَّ رَفَعَهَا بِاسْمِ اللهِ، تُرْبَةُ أَرْضِنَا،
بِرِيقَةِ بَعْضِنَا، لِيُشْفَى بِهِ سَقِيمُنَا، بِإِذْنِ رَبِّنَا
Artinya
: Apabila ada orang-orang mengadu hal kepada Rasulullah SAW atau beliau
mengalami penyakit kudis atau luka, maka beliau menjampinya dengan ucapan :
بِاسْمِ اللهِ،
تُرْبَةُ أَرْضِنَا، بِرِيقَةِ بَعْضِنَا، لِيُشْفَى بِهِ سَقِيمُنَا، بِإِذْنِ
رَبِّنَا
sambil
menggunakan telunjuk beliau seperti ini. Sufyan (perawi hadits ini) meletakkan
telunjuknya di atas tanah, kemudian mengangkatnya. (H.R. Muslim)
2.
Hadits
Utsman bin Abi al-‘Ash al-Tsaqafi berbunyi :
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ الثَّقَفِيِّ، أَنَّهُ
شَكَا إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَعًا يَجِدُهُ فِي
جَسَدِهِ مُنْذُ أَسْلَمَ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: ضَعْ يَدَكَ عَلَى الَّذِي تَأَلَّمَ مِنْ جَسَدِكَ، وَقُلْ بِاسْمِ
اللهِ ثَلَاثًا، وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ أَعُوذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ
مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
Artinya : Dari Ustman bin
Abi al-‘Ash al-Tsaqafi, sesungguhnya beliau mengadukan kepada Rasulullah SAW
tentang penyakitnya yang didapati pada tubuhnya selama masuk Islam, lalu
Rasulullah Saw mengatakan kepadanya, “Letakkan tanganmu atas penyakit yang kamu
derita di atas badanmu dan katakanlah : “Bismillah tiga kali dan tujuh kali
ucapan :
أَعُوذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ
وَأُحَاذِرُ
3.
Dari
‘Auf bin Malik al-Aysja’i, beliau berkata :
كُنَّا نَرْقِيْ فِيْ الجَاهِلِيَّةِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ
اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيّ رُقَاكُمْ، لَا بَأْسَ
بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ
Artinya : Pada zaman Jahiliyah, kita
selalu melakukan ruqyah. Lalu kami bertanya kepada Rasulullah, bagaimana
pendapatmu ya Rasulullah tentang hal itu. Rasulullah menjawab: “Coba tunjukkan
azimatmu itu padaku. Membuat azimat tidak apa-apa selama di dalamnya tidak
terkandung kesyirikan. (H.R. Muslim)
Dalam tiga hadist di atas dapat
disimpulkan bahwa ruqyah yang dibolehkan itu ada yang menggunakan benda sebagai
simbolik (tafa-ul), pada hadits pertama dengan menggunakan tanah, sedangkan
hadits kedua menggunakan tangan. Ruqyah ada juga tanpa menggunakan simbol apa-apa,
tetapi hanya dengan membaca ayat-ayat al-Qur’an tertentu seperti riwayat Abu Said
Al-Khudri r.a berbunyi :
أن ناسا من أصحاب رسول الله صلى الله
عليه و سلم كانوا في سفر فمروا بحي من أحياء العرب فاستضافوهم فلم يضيفوهم فقالوا
لهم هل فيكم راق ؟ فإن سيد الحي لديغ أو مصاب فقال رجل منهم نعم فأتاه فرقاه
بفاتحة الكتاب فبرأ الرجل فأعطي قطيعا من غنم فأبى أن يقبلها وقال حتى أذكر ذلك
للنبي صلى الله عليه و سلم فأتى النبي صلى الله عليه و سلم فذكر ذلك له فقال يا
رسول الله والله ما رقيت إلا بفاتحة الكتاب فتبسم وقال وما أدراك أنها رقية ؟ ثم
قال خذوا منهم واضربوا لي بسهم معكم
Artinya :
Bahwa beberapa orang di antara sahabat Rasulullah SAW sedang berada dalam
perjalanan melewati salah satu dari perkampungan Arab. Mereka berharap dapat
menjadi tamu penduduk kampung tersebut. Namun ternyata penduduk kampung itu
tidak mau menerima mereka. Tetapi ada yang menanyakan: Apakah di antara kalian
ada yang dapat menjampi? Karena kepala kampung terkena sengatan atau terluka.
Seorang dari para sahabat itu menjawab: Ya, ada. Orang itu lalu mendatangi
kepala kampung dan menjampinya dengan surat
Al-Fatihah. Ternyata kepala kampung itu sembuh dan diberikanlah kepadanya
beberapa ekor kambing. Sahabat itu menolak untuk menerimanya dan berkata: Aku
akan menanyakannya dahulu kepada kepada Nabi SAW. Dia pun pulang menemui Nabi SAW dan menuturkan
peristiwa tersebut. Dia berkata: Ya Rasulullah! Demi Allah, aku hanya menjampi
dengan surat Al-Fatihah. Mendengar penuturan itu: Rasulullah SAW tersenyum dan
bersabda: Tahukah engkau bahwa Al-Fatihah itu merupakan jampi? Kemudian beliau
melanjutkan: Ambillah imbalan dari mereka dan sisihkan bagianku bersama kalian.
(H.R. Muslim)
Imam Nawawi
mengatakan hadits ini menerangkan bahwa al-Fatihah dapat menjadi ruqyah. Oleh
karena itu mustahab (dianjurkan) dibaca atas orang yang kena sengatan
binatang dan orang sakit.
Azimat merupakan ruqyah dengan menggunakan simbol-simbol
(tafa-ul)
Azimat dengan membaca dan menulis
ayat-ayat al-Qur’an tertentu atau zikir-zikir tertentu pada suatu benda, lalu
digantung pada tubuh seseorang dengan harapan menjadi berkah dan terlindungi
dari penyakit dengan izin Allah Ta’ala merupakan ruqyah yang dibenarkan dalam
agama. Hal itu, karena ia merupakan ruqyah dengan menggunakan simbol-simbol
(tafa-ul). Sebaliknya, apabila yg ditulis mengandung unsur-unsur syirik, maka
itu adalah azimat yang diharamkan agama.
Berikut ini keterangan syara’ yang
membolehkan menggunakan suatu benda untuk mengambil berkah (tabarruk), antara lain :
1.
Nabi SAW memberkati dengan air
yang telah disentuhnya. Imam Bukhari meriwayatkan hadits sebagai berikut :
َقَالَ أَبُو مُوسَى دَعَا
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَدَحٍ فِيهِ مَاءٌ فَغَسَلَ
يَدَيْهِ وَوَجْهَهُ فِيهِ وَمَجَّ فِيهِ ثُمَّ قَالَ لَهُمَا اشْرَبَا مِنْهُ
وَأَفْرِغَا عَلَى وُجُوهِكُمَا وَنُحُورِكُمَا
Artinya : Berkata
Abu Musa : “Nabi Muhammad SAW meminta semangkok air, lalu beliau mencuci
kedua tangannya dan membasuh wajahnya di dalamnya, dan mengeluarkan air dari
mulutnya, kemudian bersabda kepada mereka berdua (dua orang sahabat yang ada di
sisi beliau, “Minumlah dari air itu dan semburlah pada wajah dan lehermu”.(H.R. Bukahri)
2.
Tabarruk Nabi Ya’kub a.s. dengan
baju qamis anaknya, Nabi Yusuf untuk kesembuhan matanya, sebagaimana
diceritakan Allah dalam firman-Nya, Q.S. Yusuf : 93
اذْهَبُوا
بِقَمِيصِي هَذَا فَأَلْقُوهُ عَلَى وَجْهِ أَبِي يَأْتِ بَصِيرًا وَأْتُونِي
بِأَهْلِكُمْ أَجْمَعِينَ
Artinya : Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini,
lalu letakkanlah dia kewajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali dan bawalah
keluargamu semuanya kepadaku (Q.S. Yusuf : 93)
Mata Nabi Ya’kub sembuh seketika pada saat wajah beliau
menyentuh qamis Nabi Yusuf , sebagaimana kisah selanjutnya dalam firman Allah :
فَلَمَّا أَنْ جَاءَ الْبَشِيرُ أَلْقَاهُ عَلَى
وَجْهِهِ فَارْتَدَّ بَصِيرًا قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ مِنَ
اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ.
Artinya :
Tatkala telah tiba pembawa kabar gembira itu, maka diletakkannya baju gamis itu
ke wajah Ya'qub, lalu kembalilah dia dapat melihat. Berkata Ya'qub:
"Tidakkah aku katakan kepadamu, bahwa aku mengetahui tentang Allah apa
yang kamu tidak mengetahuinya. (Q.S. Yusuf : 96)
3.
Mengharap barakah dengan keringat
Rasululah SAW, sebagaimana kisah dalam hadits di bawah ini :
عن أنس
بن مالك قال كان النبي صلى الله عليه و سلم يدخل بيت أم سليم
فينام على فراشها وليست فيه قال فجاء ذات يوم فنام على فراشها فأتيت فقيل لها هذا
النبي صلى الله عليه و سلم نام في بيتك على فراشك قال فجاءت وقد عرق واستنقع عرقه
على قطعة أديم على الفراش ففتحت عتيدتها فجعلت تنشف ذلك العرق فتعصره في قواريرها
ففزع النبي صلى الله عليه و سلم فقال ما تصنعين ؟ يا أم سليم فقالت يا رسول الله
نرجو بركته لصبياننا قال أصبت
Artinya : Dari Anas bin Malik, Nabi SAW
biasa memasuki rumah Ummu Sulaim dan tidur di atas kasurnya sedangkan Ummu
Sulaim sedang pergi. Anas berkata: “Pada suatu hari Rasulullah SAW datang dan
tidur di atas kasur Ummu Sulaim, kemudian Ummu Sulaim dipanggil dan dikatakan
padanya: Ini adalah Nabi SAW tidur di rumahmu dan di atas kasurmu. Anas berkata
: Ummu Sulaim datang dan Nabi sedang berkeringat, lalu keringatnya tersebut
dikumpulkan di atas sepotong kulit yang ada di atas tikar. Kemudian Ummu Sulaim
membuka talinya dan mulai meyerap keringat tersebut lalu memerasnya ke dalam
botol, maka Nabi kaget dan berkata: Apa yang kamu lakukan Ummu Sulaim ? Ummu
Sulaim berkata: Wahai Rasulullah kami mengharapkan berkahnya bagi anak-anak
kami” Beliau berkata: Engkau benar (H.R. Muslim)
4.
Tabarruk Asmaa binti Abu Bakar
dengan jubah (baju) yang pernah digunakan oleh Rasulullah SAW dengan harapan
kesembuhan dari penyakit, sebagaimana disebutkan riwayatnya dalam Shahih
Muslim, yakni :
فَقَالَتْ
هَذِهِ كَانَتْ عِنْدَ عَائِشَةَ حَتَّى قُبِضَتْ فَلَمَّا قُبِضَتْ قَبَضْتُهَا
وَكَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يَلْبَسُهَا فَنَحْنُ نَغْسِلُهَا
لِلْمَرْضَى يُسْتَشْفَى بِهَا
Artinya : Berkata Asma binti Abu Bakar r.a jubah itu disimpan di
tempat 'Aisyah r.a hingga beliau wafat,
lalu aku mengambilnya. Nabi SAW biasa mengenakannya dan kami mencucinya untuk
mengobati orang sakit.(H.R. Muslim) .
5.
Tabarruk Nabi SAW dengan benda yang bersentuhan dengan tangan orang
muslimin. Thabrany meriwayatkan dari Ibnu Umar, beliau berkata :
قلت يا رسول الله الوضوء من جر جديد مخمر أحب
إليك أم من المطاهر ؟ قال لا بل من المطاهر إن دين الله يسر الحنيفية السمحة قال
وكان رسول الله صلى الله عليه و سلم يبعث إلى المطاهر فيؤتى بالماء فيشربه يرجو
بركة أيدي المسلمين.
Artinya : Aku mengatakan, Ya Rasulullah,
Apakah berwudhu’ dengan bejana baru yang tertutup ataukah tempat bersuci ?
Rasulullah menjawab : “tidak”, tetapi dengan tempat bersuci saja, karena agama
Allah itu mudah, lembut dan toleran. Ibnu Umar berkata : “Rasulullah bangkit
menuju tempat bersuci mendatangi air dan beliau meminumnya mengharapkan berkah
tangan-tangan kaum muslimin.(Hadits ini diriwayat oleh Thabrany dalam al-Ausath
dengan perawinya terpercaya)
Orang
muslimin di sini, tentunya secara mudah dapat dipahami bahwa mereka adalah
orang-orang yang shaleh. Hadits yang menerangkan ada keberkahan pada orang
shaleh juga dapat dipahami dari riwayat Ibnu Abbas, beliau berkata :
أن النبي صلى الله عليه
وسلم قال البركة مع أكابركم
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW bersabda : “Keberkahan itu
ada pada orang yang mempunyai kelebihan diantara kamu”(H.R. Ibnu Hibban)
6.
Tabarruk Bani Israil dengan benda yang bersentuhan
dengan kitab suci, yaitu tabut yang menjadi tempat menyimpan kitab
Taurat, sebagaimana disebut dalam firman Allah Q.S. al-Baqarah : 248,
وَقَالَ لَهُمْ
نَبِيُّهُمْ إِنَّ آيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ
مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آلُ مُوسَى وَآلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ
الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Artinya : Dan Nabi
mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja,
ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu
dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa
malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu
orang yang beriman.(Q.S. al-Baqarah : 248)
Al-Baidhawy berkata :
“
Apabila berperang, Musa a.s. membawa
tabut, maka jiwa orang Bani Israil menjadi tenteram dan tidak akan lari dari
peperangan”.
Imam
Syafi’i pernah bertabarruk dengan baju yang pernah dipakai oleh Ahmad bin
Hanbal, sebagaimana kisah riwayat al-Baihaqi yang disebut dalam kitab
al-Bidayah wal-Nihayah karya Ibnu Katsir, yakni :
وروى البيهقي عن الربيع قال بعثني الشافعي بكتاب من مصر
إلى أحمد بن حنبل، فأتيته وقد انتفل من صلاة الفجر فدفعت إليه الكتاب فقال أقرأته
؟ فقلت : لا ! فأخذه فقرأه فدمعت عيناه،
فقلت: يا أبا عبد الله وما فيه ؟ فقال: يذكر أنه رأى رسول الله صلى
الله عليه وسلم في المنام فقال: اكتب إلى أبي عبد الله أحمد بن حنبل وأقرأ عليه
مني السلام وقل له: إنك ستمتحن وتدعى إلى القول بخلق القرآن فلا تجبهم، يرفع الله
لك علما إلى يوم القيامة. قال الربيع: فقلت حلاوة البشارة، فخلع قميصه الذي يلي
جلده فأعطانيه، فلما رجعت إلى الشافعي أخبرته قال: إني لست أفجعك فيه، ولكن بله
بالماء وأعطينيه حتى أتبرك به.
“Diriwayat oleh al-Baihaqi dari al-Rabi’, beliau berkata : Imam Syafi’i memerintahkanku
agar membawakan surat dari Mesir menemui Imam Ahmad ibn Hanbal. Setelah beliau
selesai menunaikan shalat sunat fajar, aku menemuinya dan menyerahkan surat tersebut, beliau berkata :
“Apakah kamu sudah membacanya ?”. Tidak ! jawabku. Ahmad bin Hanbal mengambil dan membacanya,
lalu beliau meneteskan air mata. Aku bertanya : Ya Abu Abdullah, ada apa di
dalamnya? Ahmad menjawab Syafi’i menyebut bahwa beliau melihat Nabi dalam mimpi
dan berkata kepadanya, Tulislah surat
kepada Abu Abdillah Ahmad ibn Hanbal dan sampaikan salamku kepadanya! Dan
katakan, Engkau akan diuji dan dipaksa mengatakan bahwa Alquran itu makhluq,
maka jangan engka turuti permintaan mereka, Allah akan meninggikan derajatmu
sebagai panutan di setiap masa hingga hari kiamat. Al-Rabi berkata, Aku
berkata, Ini kabar gembira. Lalu Ahmad melepas baju dalamnya yang menyentuh
badannya dan menyerahkannya kepadaku. Setelah sampai kembali kepada Syafi’i,
aku beritakanlah semuanya kepada beliau.
Syafi’i
berkata kepadaku,” Aku tidak ingin menyakitimu perihal itu (merampasnya darimu),
tapi basahilah dia dan serahkan kepadaku sisa air cuciannya agar aku mendapat
berkah dengannya.”(Riwayat al-Baihaqi)
Haram azimat dengan tulisan-tulisan yang tidak diketahui maknanya karena
dikuatirkan ada unsur syirik
Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW, antara lain :
1.
Hadits berbunyi
:
أَنَّهُمْ كَانُوا يَقُولُونَ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم
نَهَى عَنِ الرُّقَى حِتى قَدِمَ الْمَدِينَةَ وَكَانَتِ الرُّقَى فِي ذَلِكَ
الزَّمَانِ فِيهَا كَثِيرٌ مِنْ كَلَامِ الشِّرْكِ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ
لُدِغَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ كَانَ آلُ
حَزْمٍ يَرْقُونَ مِنَ الْحُمَةِ فَلَمَّا نَهَيْتَ عَنِ الرُّقَى تَرَكُوهَا
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ادْعُوا لِي عُمَارَةَ
وَكَانَ قَدْ شَهِدَ فَقَالَ اعْرِضْ عَلَيَّ رُقْيَتَكَ فَعَرَضَهَا عَلَيْهِ
فَلَمْ يَرَ بِهَا بَأْسًا وَأَذِنَ لَهُمْ بِهَا
Artinya : Sesungguhnya
mereka mengatakan, bahwa Rasulullah SAW telah melarang ruqyah sehingga tiba di
Madinah, pada ketika itu, ruqyah banyak terdiri dari kalam syirik. Tatkala salah seorang sahabat Nabi disengat
binaang berbisa, mereka mengatakan kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, orang-orang
Hazam terbiasa melakukan ruqyah karena sakit panas, tetapi manakala engkau
melarangnya, merekapun meninggalkannya. Rasulullah SAW berkata, “Panggillah
‘Umarah kepadaku.”(Umarah ini pernah ikut perang Badar), kemudian Rasulullah
berkata kepada Umarah, “Nampakkanlah ruqyahmu kepadaku!”, Kemudian Umarahpun
memperlihatkannya, lalu Rasulullah SAW tidak melihat ada masalah dengan ruqyah
tersebut, maka beliau mengizinkan mereka menggunakan ruqyah tersebut.(H.R.
Ibnu Wahab)
Riwayat ini selengkapnya juga
disebut dalam kitab al-Tamhid karangan Ibnu Abd al-Bar.
2.
Dari
‘Auf bin Malik al-Aysja’i, beliau berkata :
كُنَّا نَرْقِيْ فِيْ الجَاهِلِيَّةِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ
اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيّ رُقَاكُمْ، لَا بَأْسَ
بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ
Artinya : Pada zaman Jahiliyah, kita
selalu melakukan ruqyah. Lalu kami bertanya kepada Rasulullah, bagaimana
pendapatmu ya Rasulullah tentang hal itu. Rasulullah menjawab: “Coba tunjukkan
azimatmu itu padaku. Membuat azimat tidak apa-apa selama di dalamnya tidak
terkandung kesyirikan. (H.R. Muslim)
Ibnu Katsir, al-Bidayah wal
Nihayah, Maktabah Syamilah, Juz. X, Hal. 365