Salah
satu keyakinan Islam yang wajib diyakini adalah bahwa Allah Ta’ala itu tidak
berada di suatu tempat, tidak di langit dan tidak di bumi. Keyakinan keberadaan
Allah di langit ini merupakan sebuah keyakinan sesat dan menyesatkan. Keyakinan
Allah bertempat di langit berawal dari keyakinan kelompok yang sering disebut
sebagai kelompok mujassimah (kelompok yang menyatakan tuhan bersifat dengan
sifat benda. Pada zaman sekarang mereka sering menamakan dirinya sebagai kaum
Salafi).
Berikut
ini keterangan para ulama besar Ahlussunnah wal Jama’ah yang menjelaskan bahwa Allah
tidak bertempat di langit, yakni sebagai berikut :
1.
Abd
al-Qahir al-Bagdadi (w. 429 H) dalam kitabnya al-Farq baina al-Firaq mengatakan
:
واجمعوا على انه لا تحويه السماء ولا يجري عليه الزمان
“Telah
terjadi ijmak ulama bahwa Allah Ta’ala itu tidak diliputi oleh langit dan tidak
berlaku zaman atas-Nya.”
Masih dalam
kitab dan halaman yang sama untuk menguatkan pernyataan beliau di atas,
al-Baghdadi mengutip perkataan Sayyidina Ali r.a. sebagai berikut :
إن الله تعالى خلق العرش إظهارًا
لقدرته لا مكانا لذاته
“Sesungguhnya Allah Ta’ala menciptakan
arasy untuk menampakkan kekuasaan-Nya, bukan untuk tempat zat-Nya.”
dan
perkataan Sayyidina Ali r.a yang lain :
قد كان ولا مكان، وهو الان على ما كان
“Adalah Allah, tiada tempat bagi-Nya, dan Dia sekarang
sebagaimana sebelumnya”[1]
2.
Ibnu
al-Jauzi (w. 597 H), salah seorang ulama hadits bermazhab Hanbali menyebut
dalam kitabnya, Daf’u Syubah al-Tasybih bi Akaffi al-Tanzih sebagai berikut :
قد
ثبت عند العلماء أن الله تعالى لا تحويه السماء والارض ولا تضمه الاقطار ، وإنما
عرف بإشارتها تعظيم الخالق عندها .
“Telah tetap di kalangan para ulama
bahwa Allah Yang Maha Tinggi tidak diliputi oleh langit dan bumi dan tidak pula
dihimpun oleh penjuru. Akan tetapi ditunjuk kearah langit sebagai pengagungan
Dzat Maha Pencipta.”[2]
3.
Mulla
Ali al-Qarii (w. 1014 H), seorang ulama hadits terkenal dalam kitabnya Syarh
Fiqh al-Akbar karya Abu Hanifah, mengatakan bahwa Syeikh al-Imam Ibnu
Abdussalam dalam kitabnya Hall al-Rumuz mengatakan :
قال الامام ابو حنيفة رضي الله عنه : من قال لا اعرف الله تعالى في
السماء هو ام في الارض فقد كفر لان هذا القول يوهم ان للحق مكانا ومن توهم ان للحق
مكانا فهو مشبه
“Imam Abu
Hanifah mengatakan, Barangsiapa yang mengatakan saya tidak tahu apakah Allah
berada di langit ataukah berada di bumi maka dia telah kafir, karena perkataan
ini memberikan persangkaan bahwa Allah bertempat, dan barang siapa yang
menyangka bahwa Allah bertempat maka ia adalah musyabbih (orang yang
menyerupakan Allah dengan makhluq-Nya.”
Seterusnya
Mulla Ali al-Qarii mengatakan, tidak diragukan bahwa Ibnu Abdussalam adalah
seorang ulama besar dan sangat terpercaya, maka wajib berpegang pada
kutipannya.[3]
4.
Ibnu
Hajar al-Asqalany (w. 852 H), seorang ahli hadits terkenal bermazhab Syafi’i
mengatakan dalam kitabnya, Fathul Barri sebagai berikut :
فإن إدراك العقول لاسرار الربوبية قاصر فلا يتوجه على حكمه لم
ولا كيف ؟ كما لا يتوجه عليه في وجوده أين.
“Sesungguhnya jangkauan akal
terhadap rahasia-rahasia ketuhanan itu terlampau pendek untuk menggapainya,
maka tidak boleh dialamatkan untuk menetapkan-Nya, mengapa dan bagaimana begini?
Sebagaimana tidak boleh juga mengalamatkan kepada keberadaan Zat-Nya, di mana?.”[4]
Keyakinan adanya
Allah di langit bertentangan dengan penjelasan al-Asqalani di atas yang
mengatakan bahwa wujud Allah tidak dapat diisyaratkan dengan kata-kata : “di
mana?”. Karena langit merupakan tempat yang dapat menjadi jawaban pertanyaan
“di mana”.
5.
Al-Zabidi telah menukil perkataan Imam Syafi’i dalam
kitabnya, Ittihaf al-Saadah al- Muttaqin bi Syarh Ihya ‘Ulumuddin sebagai
berikut :
إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان
وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان لا يجوز عليه التغيير في ذاته ولا
التبديل في صفاته.
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah ada
sedangkan tempat belum ada. Lalu Dia menciptakan tempat. Dia tetap atas
sifat-Nya sejak azali sebagaimana sebelum Dia menciptakan tempat. Mustahil
atas-Nya perubahan dalam Dzat-Nya dan pergantian pada sifat-Nya.” [5]
6.
Imam Ghazali (w. 505
H) menegaskan dalam kitab beliau yang terkenal, yaitu Ihya ‘Ulumuddin sebagai
berikut :
ولا يحل فيه شئ
تعالى عن ان يحويه مكان
كما تقدس عن ان يحده زمان بل كان قبل ان خلق الزمان والمكان
وهو الان على ما عليه كان
“Tidak menempati pada-Nya
sesuatupun, Maha Suci Allah dari meliputi oleh tempat sebagaimana Maha Suci Dia
dari pembatasan oleh zaman, tetapi Dia telah ada sebelum diciptakan zaman dan
tempat, Dia sekarang sebagaimana ada sebelumnya.”[6]
7.
Imam al-Juwaini (w. 478 H), guru dari Imam al-Ghazali mengatakan dalam
kitab al-Isyad sebagai berikut :
ومذهب اهل الحق قاطبة ان الله سبحانه
وتعالى يتعالى عن التحيز والتخصيص بالجهات
“Mazhab ahlul haq dari ulama quthub sesungguhnya
Allah SWT Maha Suci dari mengambil tempat dan dari dibatasi dengan arah.”[7]
8.
Dalam Matan al-Aqidah al-Thahawiyah, Imam al-Thahawi al-Hanafi dalam
menjelaskan akidah Ahlussunnah wal
Jama’ah berdasarkan akidah Abu Hanifah, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Anshary
dan Abu Abdullah Muhammad bin Hasan al-Syaibani, beliau mengatakan :
لا تحويه الجهات الست
“Allah itu tidak diliputi oleh jihat (arah) yang
enam.”[8]
Mengatakan Allah bertempat di langit berarti mengi’tiqadkan Allah berada
pada salah satu arah yang enam, yaitu arah atas. Dengan demikian, i’tiqad Allah
bertempat di langit bertentangan dengan keterangan yang telah dijelaskan oleh Imam
al-Juwaini dan al-Thahawi di atas.
9.
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dalam keputusan fatwanya No. 09
Tahun 2014, Tanggal 25 Juni 2014 memutuskan antara lain :
a.
Mengimani bahwa zat Allah hanya di atas langit/arasy adalah sesat dan
menyesatkan.
b.
Mengimani bahwa zat Allah terikat dengan waktu, tempat dan arah (berjihat)
adalah sesat dan menyesatkan.
Dalil-dalil yang menegaskan keyakinan bahwa Allah tidak bertempat di
langit
1.
Firman Allah Ta’ala berbunyi :
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya : Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha
Mendengar dan Melihat.(Q.S. al-Syuraa : 11)
Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al-Qur’an yang
menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Seandainya
Allah mempunyai tempat seperti langit dan arah, maka akan serupa dengan-Nya.
Karena dengan demikian, berarti ia memiliki dimensi (panjang, lebar dan
tinggi), sedangkan panjang, lebar dan tinggi merupakan sifat yang khusus
terdapat pada benda yang baharu.
2.
Ijmak para ulama bahwa tidak ada yang azali
dan qadim selain Allah ini sesuai dengan firman Allah Q.S al-Hadid : 3,
berbunyi :
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ
Artinya
: Dia (Allah) yang awal dan yang akhir (Q.S al-Hadid : 3)
Dalam
ayat lain Allah berfirman, yakni Q.S.
al-An’am : 101, berbunyi :
وَخَلَقَ
كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya : Dia (Allah) menciptakan segala
sesuatu dan Dia mengetahui segala sesuatu.( Q.S. al-An’am : 101)
Allah
Ta’ala dengan gamblang menjelaskan melalui firman-Nya ini bahwa semua yang ada
merupakan ciptaan-Nya, jadi tidak ada sesuatupun selain-Nya yang bukan ciptaan
Allah. Sesuatu disebut sebagai ciptaan tentu merupakan sesuatu yang ada sesudah
tidak ada. Dengan demikian, tidak ada yang qadim dan azali selain Allah.
Hadits
Nabi SAW di bawah ini juga mendukung keyakinan bahwa tidak ada yang qadim
selain Allah, yakni sabda Nabi SAW yang berbunyi :
كَانَ اللَّهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ
Artinya : Ada Allah tidak ada sesuatupun selain-Nya (H.R.
Bukhari) [9]
Berdasarkan firman Allah dan hadits di atas, maka berarti
Allah ada sebelum terciptanya tempat (langit) dan arah, maka Ia tidak
membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada
tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baharu
(makhluk). Seandainya Allah berada pada suatu tempat (langit), maka Allah tentu
menyerupai makhluq, yakni berpindah dari azal kepada langit yang datang
kemudian (yang diciptakannya).
3.
Firman Allah Ta’ala berbunyi :
قُلْ لِمَنْ مَا
فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلْ لِلَّهِ
Artinya
: Katakanlah: "Milik siapakah apa yang ada di langit dan di bumi."
Katakanlah: "Milik Allah." (Q.S. al-An’am : 12)
Berdasarkan ayat ini, maka semua yang ada di langit dan bumi adalah
milik Allah Ta’ala. Karena itu, apabila kita mengatakan Allah bertempat di
langit, maka Allah itu menjadi milik Allah juga. Tentu ini mustahil terjadi,
karena Allah tidak mungkin memiliki diri-Nya sendiri.
4.
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda dalam doanya
:
اللهم أنت الاول فليس قبلك شئ وأنت الآخر فليس بعدك شئ وأنت الظاهر فليس فوقك
شئ وأنت الباطن فليس دونك شئ اقض عنا الدين واغننا من الفقر
Artinya : Ya Allah, Engkaulah Zat
Yang Maha Awal, maka tiada sesuatupun sebelum-Mu. Engkaulah Zat Yang Maha
Akhir, maka tiada sesuatupun setelah-Mu.
Engkaulah Zat Yang Maha Dzahir maka tiada sesuatupun di atas-Mu dan Engkaulah Zat
yang Maha Bathin maka tiada sesuatu di bawah-Mu. Ya Allah lunasilah hutangku dan
kayakan aku dari kefakiran. (H.R. Muslim)[10]
Dalam kitab al-Asmaa wa al-Shifat, al-Baihaqi menyebutkan
bahwa sebagian ulama telah menjadikan hadits ini sebagai dalil bahwa Allah
Ta’ala tidak bertempat. Penjelasannya, apabila di atas Allah tidak ada sesuatupun
dan di bawah-Nya juga tidak ada sesuatu, maka Allah tidak berada di tempat
manapun.[11]
5.
Hadits riwayat Abu Ya’la dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
SAW bersabda :
أذن لي
أن أحدث عن ملك قد مرقت رجلاه في الارض السابعة والعرش على منكبه وهو يقول سبحانك أين كنت وأين تكون
Artinya : Aku telah diizinkan untuk
menyampaikan berita bahwa ada seorang malaikat yang kedua kakinya terperosok
dalam bumi lapis ketujuh sedang Arasy berada di pundaknya, ia berkata,
“Maha Suci Allah (dari) di mana Engkau? Di mana Engkau nanti?(H.R. Abu
Ya’la)[12]
Al-Haitsami mengatakan, rijalnya rijal shahih.[13]
Berdasarkan hadits ini, malaikat bertasbih dengan mengucapkan Maha Suci Allah
dari pertanyaan di mana Allah?. Seandainya Allah bertempat di langit, maka
tasbih malaikat yang tersebut dalam hadits di atas tentu tidaklah tepat. Ini
menunjukan bahwa Allah Ta’ala itu tidak bertempat, baik di langit maupun di
manapun.
Catatan
:
Hadits-hadits shahih yang kami kemukakan di atas meskipun
derajatnya ahad (dhanni wurud), tetapi kandungannya adalah qath’i, mengingat
kandungan hadits tersebut bersesuaian dengan maksud firman Allah di atas.
Bersambung
Allah bukan di Langit (Bag. 2)
[1] Abd al-Qahir
al-Baghdadi, al-Farq baina al-Firaq, Maktabah Ibnu Sina, Kairo, Hal.
287
[2] Ibnu al-Jauzi,
Daf’u Syubah al-Tasybih bi Akaffi al-Tanzih, Dar al-Imam
al-Rawas, Beirut, Hal. 189
[3] Mulla Ali
al-Qarii, Syarah Fiqh al-Akbar, Hal. 137-138
[4] Ibnu Hajar
al-Asqalany, Fathul Barri, al-Maktabah al-Salafiyah, Juz. I, Hal.
221
[5] Al-Zabidi, Ittihaf al-Saadah al- Muttaqin , Muassisah li Tarikh al-Araby, Beirut, Juz.
II, Hal. 24
[6] Al-Ghazali, Ihya
Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 89
[7] Al-Juwaini, al-Irsyad,
Maktabah al-Khaaniji, Mesir, Hal. 39
[9]
Bukhari, Shahih
al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 129
[10] Imam Muslim, Shahih
Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 2084, No. 2713
[12] Abu Ya’la, Musnad
Abu Ya’la, Maktabah Syamilah, Juz. XI, Hal. 496, No. 6619
[13] Al-Manawi, Faidh
al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 458.