Assalamua'alaikum warahmatullah
wabarakatuh
1. bagaimana status (sah atau tidak),
dan hukum (haram, makruh, dll) nikah misyar, yg mana sang suami tidak
diwajibkan menafkahi istri karena kerelaan sang istri ?
2. bagaimana status (sah atau tidak),
dan hukum (haram, makruh, dll) nikah MUT'ah?
jika mungkin mohon Teungku Nukil
pendapat Ulama atapun Dalilnya
Jawabnya :
A. Nikah Misyar
Belakangan ini istilah
nikah misyar begitu merebak di Indonesia. Dari berbagai media dan situs yang
kami baca, istilah nikah misyar ini merebak di Indonesia seiring dengan menjamur
model praktek nikah yang dilakukan orang-orang Arab kaya yang suka melancong ke
manca negara, semisal Indonesia. Biasanya dalam prakteknya, nikah model ini
dilakukan sebagaimana layaknya sebuah pernikahan biasanya, yaitu pernikahan
yang memenuhi segala rukun dan syaratnya, dilakukan karena suka sama suka, ada
walinya, ada saksinya, dan ada maharnya. Hanya saja, sang istri merelakan
beberapa haknya tidak dipenuhi oleh suaminya, misalnya hak nafkah, atau hak
gilir, atau tempat tinggal. Ada juga mengistilahkan nikah misyar ini dengan “nikah dengan niat talak” (al-nikâh bi-niyyah al-thalâq).
Disebut dengan nikah dengan niat talak, karena biasanya pria yang melakukan
praktek nikah ini tidak ada tujuan pernikahan yang lestari dan untuk waktu
selamanya, tetapi hanya untuk tempo tertentu saja seperti satu malam, seminggu
dan sebagainya, tetapi keinginan mentalaq dalam tempo tertentu tersebut tidak
diucapkan secara verbal dalam akad nikah. Biasanya mereka melakukan kesepakatan
dulu sebelum akad, tetapi kesepakatan yang telah dibuat tersebut tidak disebut
dalam akad nikah.
Untuk menjawab apakah nikah misyar ini sah atau tidak ?, mari
kita simak keterangan para ulama berikut ini :
1.
Imam
al-Nawawi mengatakan dalam Syarah Muslim :
وَأَمَّا شَرْطٌ يُخَالِفُ
مُقْتَضَاهُ كَشَرْطِ أنْ لَا يَقْسِمَ لَهَا وَلَا يَتَسَرَّى عَلَيْهَا وَلَا
يُنْفِقُ عَلَيْهَا وَلَا يُسَافِرُ بِهَا وَنَحْوِ ذَلِكَ فَلَا يَجِبُ
الْوَفَاءُ بِهِ بَلْ يَلْغُو الشَّرْطُ وَيَصِحُّ النِّكَاحُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ
لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ
اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ
“Adapun
syarat yang menyalahi kehendaki akad nikah seperti syarat tidak memberikan
jatah pembagian malam bagi isteri, tidak mengunjungi pada waktu malam, tidak
memberikan nafkah atau tidak melakukan musafir bersamanya ataupun lainnya, maka
tidak wajib memenuhinya, bahkan lagha (ada penyebutannya seperti tidak ada)
syarat tersebut dan sah nikahnya dengan mahar mitsil, karena sabda Nabi SAW :
“Setiap syarat yang tidak pada kitab Allah, maka itu adalah batal.”[1]
2.
Syeikh
Syairazi mengatakan dalam kitabnya, al-Muhazzab sebagai berikut :
وان شرط أن لا يتسرى عليها أو لا
ينقلها من بلدها بطل الشرط لانه يخالف مقتضى العقد ولا يبطل العقد لانه لا يمنع
مقصود العقد وهو الاستمتاع، فإن شرط أن لا يطأها ليلا بطل الشرط لقوله صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (الْمُؤْمِنُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إلَّا شَرْطًا
أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حلالا) فإن كان الشرط من جهة المرأة بطل العقد، وان
كان من جهة الزوج لم يبطل، لان الزوج يملك الوطئ ليلا ونهارا وله أن يترك، فإذا
شرط أن لا يطأها فقد شرط ترك ماله تركه والمرأة يستحق عليها الوطئ ليلا ونهارا،
فإذا شرطت أن لا يطأها فقد شرطت منع الزوج من حقه، وذلك ينافى مقصود العقد فبطل.
"Seandainya disyaratkan (dalam akad nikah) tidak
mengunjungi isterinya pada waktu malam hari atau tidak memindahkan isterinya
dari negerinya, maka syaratnya itu batal, karena syarat tersebut menyalahi
kehendaki akad dan tidak batal akad nikah, karena tidak mencegah maksud akad,
yaitu bermesraan dengan isteri. Karena itu, seandainya disyaratkan tidak
menyetubuhinya pada waktu malam, maka batal syaratnya, karena sabda Nabi SAW :
“Orang-orang beriman atas syarat mereka kecuali syarat yang menghalalkan yang
haram dan yang mengharamkan yang halal.” Maka jika syarat itu dari pihak
isteri, maka batal akadnya dan jika dari pihak suami, maka tidak batal akadnya,
karena suami memiliki hak menyetubuhi pada waktu malam dan siang, sedangkan
suami boleh meninggalkan haknya itu, karena itu jika suami mensyaratkan tidak
menyetubuhi isterinya, maka suami tersebut mensyaratkan meninggalkan sesuatu
yang boleh baginya meninggalkannya. Adapun si isteri berkewajiban atasnya untuk
menerima disetubuhi pada waktu malam dan siang, karena itu jika isteri
mensyaratkan tidak menyetubuhinya, maka isteri tersebut sudah mensyaratkan
mencegah suami dari haknya, sedangkan yang demikian itu menafikan maksud akad,
karena itu batal akadnya.”[2]
Hadits yang dikutip Syeikh
Syairazi di atas riwayat Abu Daud dan
al-Hakim dari Abu Hurairah dan riwayat al-Hakim dari Anas, Thabrani dari
Aisyah dan Rafi’ bin Khadij.[3]
3.
Dalam
Bughyatul Mustarsyidin disebutkan :
“Masalah
ش : Apabila seorang perempuan menikah dengan syarat suaminya
tidak mengeluarkannya dari rumah ayahnya, jika syarat tersebut bukan dalam diri
akad, maka tidak ada pengaruh apapun, baik syaratnya itu disebut sebelum akad
ataupun sesudahnya. Maka tidak melazimkan sesuatupun. Atau syarat tersebut
disebut dalam akad, seperti “Aku kawinkan kamu dengan anakku dengan syarat
tidak kamu keluarkannya dari rumahku, maka sah akad nikah dan lagha syaratnya,
tetapi fasid musamma maharnya (penyebutan maharnya), karena itu lazim mahar
mitsil. Hal ini juga berlaku sama pada setiap syarat yang tidak mencederai
maksud nikah.”[4]
4.
Imam al-Nawawi berkata :
قَالَ
الْقَاضِي وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ نَكَحَ نِكَاحًا مُطْلَقًا وَنِيَّته
أَلَّا يَمْكُث مَعَهَا إِلَّا مُدَّة نَوَاهَا فَنِكَاحه صَحِيح حَلال ، وَلَيْسَ
نِكَاح مُتْعَة ، وَإِنَّمَا نِكَاح الْمُتْعَة مَا وَقَعَ بِالشَّرْطِ
الْمَذْكُور ، وَلَكِنْ قَالَ مَالِك : لَيْسَ هَذَا مِنْ أَخْلَاق النَّاس ،
وَشَذَّ الْأَوْزَاعِيُّ فَقَالَ : هُوَ نِكَاح مُتْعَة ، وَلَا خَيْر فِيهِ .
وَاَللَّه أَعْلَم .
“Al-Qaadli berkata : Para ulama telah bersepakat bahwa siapa
saja yang melakukan nikah secara mutlaq dengan niat (dalam hati) hanya akan
bersamanya dalam waktu terbatas, maka nikahnya sah dan halal. Ini bukan nikah
mut’ah. Nikah mut’ah adalah nikah yang dilaksanakan disertai syarat yang
disebutkan. Akan tetapi Malik berkata : ‘Ini tidak termasuk akhlaq manusia
(generasi salaf)’. Sedangkan Al-Auza’i mempunyai pendapat yang berbeda, dimana
ia berkata : ‘Hal itu adalah nikah mut’ah dan tidak ada kebaikan di
dalamnya’. Wallaahu a’lam” [5]
5.
Berkata ‘Ali Syibran
al-Malusi :
“Adapun jika bersepakat keduanya sebelum melaksanakan akad untuk
bercerai dalam dalam waktu tertentu dan tidak disebut dalam akad, maka tidak
mengapa tetapi sepatutnya makruh”. [6]
Berdasarkan keterangan-keterangan ulama di atas,
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Apabila dalam sebuah akad nikah disebut syarat, tetapi
penyebutannya dilakukan di luar akad, baik sebelum atau sesudah akad, maka
syarat tersebut tidak mengikat siapapun dan tidak ada dampak hukumnya. Karena
syarat yang disebut di luar sebuah akad tidak lazim dipenuhi.
2.
Apabila syarat tersebut
disebut dalam diri akad, maka ini ada tafsilnya, yakni apabila syarat yang
disebutkan itu menyalahi maqtazha akad, tetapi tidak menafikan maksud akad, seperti
suami tidak boleh membawa isteri meninggalkan rumah ayahnya, maka lagha
syaratnya, namun sah akadnya. Adapun apabila syaratnya menafikan maksud akad
seperti bermesraan atau bersetubuh dengan isteri, maka tidak sah akadnya. Namun
demikian apabila persyaratan tidak bermesraan atau bersetubuh dengan isteri
dilakukan oleh pihak suami, maka akadnya sah, karena bermesraan atau bersetubuh
merupakan hak suami, karena itu suami boleh menggunakan haknya dan boleh juga
meninggalkannya. Adapun apabila dilakukan oleh pihak isteri, maka akadnya tidak
sah. Karena isteri tidak boleh mencegah hak suami.
3. Sebuah akad nikah dengan niat (dalam hati)
hanya akan bersamanya dalam waktu terbatas, maka nikahnya sah dan halal.
Demikian juga sah akad nikah apabila bersepakat keduanya sebelum melaksanakan akad
untuk bercerai dalam dalam waktu tertentu, namun kesepakatan tersebut tidak
disebut dalam akad
Sesuai dengan kesimpulan
di atas, maka di sini dapat dijawab hukum nikah misyar sebagai berikut :
a.
Nikah misyar selama dengan pengertiannya yang
kami sebutkan di atas, maka sah akadnya. Kalau persyaratan yang dibuat itu
disebut di luar akad, maka persyaratan tersebut tidak wajib dipenuhi. Kalau disebut
di dalam akad, maka persyaratan tersebut lagha (sia-sia, adanya persyaratan
tersebut seperti tidak ada) dan akadnya tetap sah. Mahar pernikahan itu kembali
kepada mahar mitsil (bukan mahar yang disebut dalam akad, tetapi kembali kepada
jenis dan ukuran yang sesuai dengan status dan kedudukan isteri)
b. Kalau nikah misyar dimaknai dengan nikah dengan niat talaq, maka pernikahan
dengan makna ini juga sah juga, karena niat saja tidak memberi pengaruh
terhadap keabsahan suatu pernikahan
c.
Nikah misyar bukanlah nikah mut’ah yang
disepakati ulama keharaman dan tidak sahnya. Karena nikah mut’ah adalah nikah
yang dalam akadnya disebut batasan waktu berlakunya pernikahan sebagaimana
banyak dijelaskan ulama.
Catatan
Meskipun demikian,menurut hemat kami apabila pernikahan
misyar ini banyak mendatangkan kemudharatan, karena dalam prakteknya banyak
orang memanfaatkan nikah misyar ini hanya sekedar menggumbar nafsu syahwatnya
dan ujung-ujungnya yang menjadi korban adalah pihak perempuan, maka pihak
pemerintah harus melarangnya. Qaidah fiqh mengatakan :
تصرف الامام على رعيته منوط بالمصلحة
B. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah nikah yang
dibatasi jangka waktunya. Pembatasan ini disebut dalam akad. Karena kalau tidak
sebut pembatasannya dalam akad tidak disebut dengan nikah mut’ah sebagaimana
dijelaskan al-Nawawi dalam Syarh Muslim di atas. Adapun pengharaman nikah mut’ah
berdasarkan hadis shahih antara lain :
1.
Diriwayatkan
bahwa sahabat Salamah bin al-Akwa' berkata :
"Rasulullah SAW memperbolehkan
nikah mut'ah selama tiga hari pada tahun Ausath (ketika ditundukannya Makkah,
fathu Makkah) kemudian (setelah itu) melarangnya. " (HR. Muslim)
2. Diriwayatkan dari Rabi' bin Sabrah r.a. sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda :
" Wahai sekalian
manusia, sesungguhnya aku pernah mengijinkan nikah mut'ah, dan sesungguhnya
Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya barangsiapa yang
masih mempunyai ikatan mut'ah maka segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil
apa yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut,ah. " (HR.
Abu Dawud, Muslim, an-Nasai, Ahmad, dan Ibnu Hibban)
3. Imam Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan :
" Telah terjadi
ijmak atas haram nikah mut’ah dan tidak ada yang menyalahinya kecuali satu
kelompok ahli bid’ah”[8]