Pada dasarnya, berqurban pada hari raya ‘Idul Adha hukumnya sunnah muakkadah. Ini merupakan pendapat mazhab Syafi’i dan kebanyakan ulama. Imam al-Nawawi mengatakan :
أَنْ
مَذْهَبَنَا أَنَّهَا سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ فِي حَقِّ الْمُوسِرِ وَلَا تَجِبُ
عَلَيْهِ وَبِهَذَا قَالَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ وَمِمَّنْ قَالَ بِهِ أَبُو
بَكْرٍ الصِّدِّيقُ وَعُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَبِلَالٌ وَأَبُو مَسْعُودٍ
الْبَدْرِيُّ وَسَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ وَعَطَاءٌ وَعَلْقَمَةُ وَالْأَسْوَدُ
وَمَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَأَبُو يوسف واسحق وَأَبُو ثَوْرٍ وَالْمُزَنِيُّ وَدَاوُد
وَابْنُ الْمُنْذِرِ
Sesungguhnya mazhab kita (Mazhab
Syafi’i), berqurban adalah sunnah muakkadah atas orang yang mampu dan tidak
wajib. Pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama. Termasuk yang
berpendapat sunnah adalah Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khathab, Bilal, Abu
Mas’ud al-Badriy, Sa’id bin Musayyab, ‘Itha’, ‘Alqamah, al-Aswad, Malik, Ahmad,
Abu Yusuf, Ishaq, Abu Tsur, al-Muzaniy, Daud, dan Ibnu al-Munzir. (Majmu’ Syarah al-Muhazzab VIII/385)
Di antara dalil yang menjadi pegangan
kebanyakan ulama ini adalah sabda Nabi SAW yang berbunyi :
إِذَا
رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ
فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
Jika masuk bulan Dzulhijah dan salah seorang
dari kalian ingin menyembelih qurban, maka hendaklah ia tidak memotong
sedikitpun dari rambut dan kukunya. (H.R. Muslim)
Imam Syafi’i mengatakan, hadits ini
menjadi dalil bahwa hukum kurban itu tidak wajib. Karena dalam hadits digunakan
kata “arada” (siapa yang mau). Nabi SAW menyerahkan ibadah berqurban
kepada kemauan seseorang. Seandainya menyembelih qurban itu wajib, maka cukup
Nabi SAW mengatakan, “Maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut hingga
ia berkurban.” (Al-Majmu’, Syarah al-Muhazzab 8/386).
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa
pada dasarnya, berqurban hukumnya sunnah muakkadah, tidak wajib. Namun hukum
sunnah ini dapat saja menjadi wajib dengan sebab nadzar atau sebab lainnya.
Memang terjadi perbedaan tata cara penyaluran qurban antara yang wajib dan
sunnah. Diantara perbedaannya, qurban wajib tidak boleh dimakan oleh yang
berqurban. Zainuddin al-Malibarri dalam Kitab Fathul Mu’in menjelaskan :
ويحرم
الأكل من أضحية أو هدي وجبا بنذره.
Haram
makan qurban atau hadyu yang wajib dengan sebab nazar.
Kemudian,
penjelasan di atas, dikomentari oleh Abu Bakar Syatha dalam Hasyiah I’anah
al-Thalibin :
(قوله:
ويحرم الأكل إلخ) إي يحرم أكل المضحى والمهدي من ذلك، فيجب عليه التصدق بجميعها،
حتى قرنها، وظلفها. فلو أكل شيئا من ذلك غرم بدله للفقراء
(Perkataan
pengarang : haram makan..dst), artinya yang berqurban dan yang memberikan hadyu
haram memakannya. Karena itu, wajib atasnya menyalurkan semuanya sebagai
sadaqah hingga termasuk tanduk dan kukunya. Apabila dimakan maka dibayar untuk
disalurkan kepada fakir miskin sebagai gantinya. (I’anah al-Thalibin II/378)
Keharaman
ini juga berlaku atas kerabat dari yang berqurban yang nafakahnya masih di
bawah tanggungannya sebagaimana dijelaskan dalam I’anah al-Thalibin dalam bab
nadzar berikut ini :
ولا يجوز له أي الناذر الأكل منه ولا لمن تلزمه نفقتهم
قياسا على الكفارة.اه
Makanan yang dinadzarkan tidak boleh dimakan
oleh yang bernadzar dan oleh kerabat yang wajib nafkah atas orang yang
bernadzar karena diqiyaskan kepada kifarat. (I’anah al-Thalibin : II/417)
Berbeda dengan qurban wajib, qurban
sunnah boleh dimakan sebagiannya. Sisanya disalurkan kepada yang berhak sebagaimana dijelaskan dalam
Syarah al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin :
)وَلَهُ) أَيْ
لِلْمُضَحِّي (الْأَكْلُ مِنْ أُضْحِيَّةِ تَطَوُّعٍ وَإِطْعَامُ الْأَغْنِيَاءِ)
مِنْهَا (لَا تَمْلِيكُهُمْ) وَيَجُوزُ تَمْلِيكُ الْفُقَرَاءِ مِنْهَا
لِيَتَصَرَّفُوا فِيهِ بِالْبَيْعِ وَغَيْرِهِ
Boleh bagi yang berqurban memakan qurban
tathawu’ (qurban tidak wajib) dan memberi makan orang kaya akan tetapi tidak
boleh menjadikan milik kepada orang kaya. Boleh menjadikan milik daging qurban
kepada fakir miskin supaya mereka dapat mempergunakannya dengan menjual atau
lainnya. (Syarah al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin IV/255)
Kesimpulan
1. Qurban wajib tidak boleh dimakan oleh yang
berqurban dan juga kerabat yang masih dibawah tanggungannya. Semuanya wajib
disalurkan kepada yang berhak
2. Apabila yang berqurban terlanjur memakannya,
maka wajib diganti, kemudian disalurkan kembali kepada fakir miskin
3. Adapun qurban sunnah yang tidak wajib, maka yang
berqurban boleh memakan sebagiannya. Sisanya diberikan kepada yang berhak.
Wallahua’lam bisshawab