Ungkapan pada judul tulisan
di atas merupakan penggalan dari sebuah perkataan yang sering dinisbahkan
sebagai perkataan Imam Malik yang sejauh bacaan yang ada, kami belum menemukan
sanad yang bersambung kepada Imam Malik. Lengkapnya perkataan tersebut sebagaimana
dikutip oleh al-Zarkasyi dalam kitabnya, al-Burhan fi ‘Ulumul Qur’an adalah
sebagai berikut :
الاستواء معلوم
والكيف مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة
Istiwa’ maklum,
kaifiyat majhul dan mengimaninya wajib, sedangkan bertanya tentangnya bid’ah.
Penisbatan ucapan ini
sebagai perkataan Imam Malik banyak terdapat dalam kitab-kitab ulama yang
sering menjadi rujukan umat Islam hari ini. Selain al-Zarkasyi sebagaimana
telah dikutip di atas, penisbatan ucapan ini kepada Imam Malik juga telah
disebut dalam kitab al-Milal wa al-Nahl karya al-Syahrastani. Ulama lain yang
menisbahkan perkataan ini kepada Imam Malik adalah al-Qurthubi dalam kitab
tafsirnya dan al-Razi dalam kitab
tafsir Mafaatih al-Ghaib. Sebenarnya ucapannya ini
disebut-sebut juga sebagai ucapan Ummu Salamah yang hidup lebih duluan masanya
dari Imam Malik sebagaimana dikutip oleh al-Zarkasyi dan al-Qurthubi.
Riwayat yang
lebih shahih
Dhahir ucapan Imam Malik di atas , yakni kaifiyat majhul adalah
itsbat kaifiyat, akan tetapi kaifiyatnya tidak ketahui keadaannya sebagaimana
i’tiqad kebanyakan kaum Wahabi Salafi. Apabila dhahir ucapan ini dimaknai dari
ucapan tersebut, maka kita harus mengatakan riwayat ini dha’if, karena bertentangan
dengan ucapan Imam Malik tentang ini dalam redaksi lain yang lebih shahih yang
secara tegas menafikan kaifiyat, yaitu antara lain :
1.
Al-Baihaqi meriwayatkan
melalui sanad Abu Abdullah al-Hafizh-Ahmad bin Muhammad bin Ismail bin Mihran-
bapaknya,-Abu al-Rabi’ Risydin bin Sa’ad,-Abdullah bin Wahab, beliau berkata :
كُنَّا عِنْدَ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ فَدَخَلَ رَجُلٌ، فَقَالَ:
يَا أَبَا عَبْدَ اللَّهِ، الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى كَيْفَ
اسْتِوَاؤُهُ؟ قَالَ: فَأَطْرَقَ مَالِكٌ وَأَخَذَتْهُ الرُّحَضَاءُ ثُمَّ رَفَعَ
رَأْسَهُ فَقَالَ: الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
كَمَا وَصَفَ نَفْسَهُ، وَلَا يُقَالُ: كَيْفَ، وَكَيْفٌ
عَنْهُ مَرْفُوعٌ، وَأَنْتَ رَجُلُ سُوءٍ صَاحِبُ بِدْعَةٍ، أَخْرِجُوهُ. قَالَ:
فَأُخْرِجَ الرَّجُلُ
Kami di sisi Malik bin Anas, tiba-tiba masuk
seorang laki-laki bertanya, “Ya Abu Abdullah (Imam Malik), al-Rahman ‘ala
al-arsy istawaa, bagaimanakah istiwa’nya?” Abdullah bin Wahab selanjutnya
bercerita : “Maka Malik menunduk ketika itu dan keluar keringatnya, kemudian
beliau mengangkat kepalanya seraya berkata : “al-Rahman ‘ala al-arsy istawaa
sebagaimana Allah mensifati dirinya, tidak dikatakan kaifa (bagaimana),
kaifiyat ternafi darinya. Kamu laki-laki yang buruk pelaku bid’ah. Usir dia!
Abdullah bin Wahab mengatakan, maka aku keluarkan laki-laki itu.
Riwayat al-Baihaqi ini
juga telah dikutip antara lain oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathulbarri,
beliau mengatakan al-Baihaqi telah mentakhrinya dengan sanad jaid (shahih) dari
Abdullah bin Wahhab
dan al-Zahabi dalam kitabnya, al-‘Ulu dan al-Suyuthi dalam
al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an.
2.
Dalam riwayat lain,
al-Baihaqi meriwayatkan dari jalur Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin al-Harits
al-Faqih al-Ashfahanii-Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Ja’far bin Hayyan
yang dikenal dengan Abi al-Syaikh-Abu Ja’far Ahmad bin Zairak al-Yazdi-Muhammad
bin ‘Amr bin al-Nazhr al-Naisaburi-Yahya bin Yahya, beliau berkata :
كُنَّا عِنْدَ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ فَجَاءَ رَجُلٌ فَقَالَ:
يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
فَكَيْفَ اسْتَوَى؟ قَالَ: فَأَطْرَقَ مَالِكٌ بِرَأْسِهِ
حَتَّى عَلَاهُ الرُّحَضَاءُ ثُمَّ قَالَ:
الِاسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُولٍ، وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُولٍ، وَالْإِيمَانُ
بِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ، وَمَا أَرَاكَ إِلَّا مُبْتَدِعًا.
فَأَمَرَ بِهِ أَنْ يُخْرَجَ
Kami di sisi Malik bin Anas, tiba-tiba
masuk seorang laki-laki bertanya, “Ya Abu Abdullah (Imam Malik), al-Rahman ‘ala
al-arsy istawaa, bagaimanakah istiwaa’ ?” Yahya bin Yahya selanjutnya bercerita
: “Maka Malik menunduk kepalanya ketika itu dan keluar keringatnya, kemudian
beliau berkata : “Istiwa’ tidak majhul, kaifiyat tidak masuk akal dan
mengimaninya adalah wajib, sedangkan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Tidak
aku lihat kamu kecuali mubtadi’. Lalu Malik memerintahkan mengusir laki-laki
tersebut.
Ucapan di atas juga telah
diriwayat dari Rabi’ah bin Abi Abdurrahman, gurunya Malik bin Anas.
3.
Dalam kitab al-‘Ulu,
al-Zahabi mengatakan, telah meriwayat oleh Yahya bin Yahya al-Tamimiy, Ja’far
bin Abdullah dan satu kelompok ulama, meraka mengatakan :
جَاءَ رَجُلٌ الى ماللك فَقَالَ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ الرَّحْمَنُ
عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
فَكَيْفَ اسْتَوَى؟ قَالَ:فما رأيت مالكا وجد من شيئ كموجدته
من مقالته وعَلَاهُ الرُّحَضَاءُ يعني العرق وَأَطْرَقَ القوم فسرى
عن مالك وَّ قَالَ الْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُولٍ، والِاسْتِوَاءُ منه غَيْرُ
مَجْهُولٍ، وَالْإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ،
وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ، واَني اخاف ان تكون ضالا. فَأَمَرَ بِهِ ْفاُخْرَجَ
Datang seorang laki-laki bertanya, “Ya
Abu Abdullah (Imam Malik), al-Rahman ‘ala al-arsy istawaa, bagaimanakah
istiwaa’ ?” Yahya bin Yahya selanjutnya bercerita : “Tidak pernah aku melihat
Malik gelisah tentang sesuatu seperti kegelisahannya dari perkataannya dan
keluar keringatnya. Orang-orangpun menunduk kepalanya sehingga hilang
kegelisahan dari Malik. kemudian beliau berkata : “Kaifiyat tidak masuk akal,
Istiwa’ dari-Nya tidak majhul, dan mengimaninya adalah wajib, sedangkan
bertanya tentangnya adalah bid’ah. Aku kuatir kamu menjadi sesat. Maka Malik
memerintah mengusirnya.
Dengan ini redaksi juga
telah diriwayat oleh Abu al-Qasim al-Laalaka-iy sebagaimana dikutip oleh
al-Suyuthi dalam al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an.
4.
Dalam al-Tamhid limaa fi
al-Muwatha’ min al-Ma’ani wa al-Asaniid, Ibnu Abdilbar meriwayat dari jalur
Muhammad bin Abdulmalik-Abdullah bin Yunus-Baqiy bin Makhlad-Bakaar bin
Abdullah al-Quraisyi- Mahdi bin Ja’far :
عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ أَنَّهُ سَأَلَهُ عَنْ قَوْلِ
اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى كَيْفَ اسْتَوَى
قَالَ فَأَطْرَقَ مَالِكٌ ثُمَّ قَالَ اسْتِوَاؤُهُ مَجْهُولٌ وَالْفِعْلُ مِنْهُ
غَيْرُ مَعْقُولٍ وَالْمَسْأَلَةُ عَنْ هَذَا بِدَعَةٌ
Dari Malik bin Anas, sesungguhnya
ditanyai seseorang mengenai firman Allah ‘Azza wa Jalla,” al-Rahman ‘ala al-arsy istawaa, bagaimanakah
istiwaa’ ?” Mahdi bin Ja’far selanjutnya bercerita : “Imam Malikpun menunduk
kepalanya, kemudian beliau berkata : “Istiwa’ majhul, perbuatan darinya tidak
masuk aqal dan bertanya tentang ini bid’ah.
Alhasil ucapan “Istiwa’ ma’lum wa al-kaif majhul” adalah
dhaif dinisbahkan kepada Imam Malik dengan alasan sebagai berikut :
1.
Bertentangan dengan
riwayat yang lebih shahih dan mempunyai beberapa jalur sebagaimana telah
dikutip di atas.
2.
Riwayat yang mengatakan “istiwa’
ma’lum wa al-kaif majhul”, sejauh ini kita tidak menemukan sanadnya yang
bersambung kepada Imam Malik.
3.
Riwayat yang mengatakan
kaifiyat majhul mengindikasikan Allah mempunyai kaifiyat, akan tetapi tidak
diketahui keadaannya dan ini bertentangan dengan ijmak ulama yang menafikan
kaifiyat kepada Allah.
Diantara para ahli yang
menguatkan riwayat dengan redaksi kaifiyat ghairu ma’qul dan melemahkan riwayat
dengan redaksi kaifiyat majhul adalah Hasan al-Saqaf dalam kitab Majmu’
al-Rasail dan muqaddimah beliau untuk kitab Daf’u Syubhah al-Tasybih bi Akaffi
al-Tanzih karangan Ibnu al-Jauzi, beliau mengatakan perkataan yang dinisbahkan
kepada Malik dengan redaksi al-Istiwa’ ma’lum wa al-kaif majhul adalah bathil
dengan ini redaksi, karena ucapan tersebut mengandung itsbat kaif kepada Allah,
sedangkan Malik sendiri menafikan kaif dengan ucapan beliau, “Tidak dikatakan
kaifa dan kaif ternafi dari-Nya” dan Dr Said Fudah dalam
catatan kaki terhadap karangan beliau sendiri, al-Farq al-‘Azhim baina
al-Tanziih wa al-Tajsim.
Makna istiwa’ maklum
Apabila kita
terima i’tiqad bahwa Allah tidak mempunyai kaifiyat, maka istiwa’ maklum ini
harus dimaknai dengan makna yang tidak mengindikasikan Allah mempunyai
kaifiyat. Karena itu, kita tidak bisa memaknainya istiwa’ Allah maklum dalam
arti duduk bersila sebagaimana makna hakikatnya pada lughat Arabiyah. Karena
duduk bersila dalam bahasa Arab mempunyai kaifiyaqat sebagaimana dipahami oleh
semua orang yang mempunyai akal sehat. Karena inilah sebagian ulama memahami
perkataan Imam Malik ini dengan makna maklum disebut dalam al-Qur’an. Berikut
ini pendapat ulama dalam memahami perkataan “istiwa’ maklum”, antara lain :
1.
Al-Qurthubi dalam
tafsirnya : Maklum pada lughat (beliau tidak mengatakan
makna lughat ini yang menjadi makna yang dimaksudkan pada lafazh istiwa’)
2.
Sebagian ulama
sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan, Imam Malik dengan
ucapannya bermaksud tawaqquf dari membicarakannya sebagaimana mazhab
al-waaqifiyah (mazhab tafwizh).
3.
Al-Tilmasaani mengatakan,
penempatan makna istiwa’ pada lughat maklum setelah memastikan duduk menetap
bukanlah maksudnya, akan tetapi maksudnya adalah qahr, istila’ dan qashad
menyudahi pada sifat kamal (mazhab ta’wil).
4.
Al-Ramli mengatakan,
penempatan makna istiwa’ pada lughat maklum setelah menafikan duduk menetap,
makna yang maklum adalah qahr, ghulbah atau qashad kepada menciptkan sesuatu,
yakni ‘arasy sebagaimana firman Allah : “tsummasstawa’ ila al-samaa’ wahiya
dukhan”, maksudnya qashad kepada menjadikan ‘arasy atau qashad menyudahi
pada sifat kamal sebagaimana firman Allah : “wa lamma balagha asyuddahu
wasstawa’”.
5.
Syeikh Muhammad
al-Khalily mengatakan, perkataan Malik “al-Istiwa’ ghairu majhul” yakni istiwa’
tidak majhul wujud , karena Allah Ta’ala telah memberitahukannya, sedangkan
beritanya merupakan kebenaran yang yakin dan
tidak ada keraguan di dalamnya.
6.
Syekh Salamah al-Fazha’i
al-‘Izhamiy al-Syafi’i mengatakan, istiwa’ disebut dalam kitab Allah, maklum
maknanya dalam lughat Arab dan tidak majhul penggunaannya dengan beberapa maknanya.
Karena itu, barangsiapa yang mengetahuinya, maka sungguh dia akan mengetahui
apa yang dimaksudkan dengan istiwa’ pada haq Allah. Pada ketika itu, Allah
tidak didapati bersifat dengan kaifiyat dan tidak didapati keperluan bertanya. Karena
itu, tidak ada bertanya mengenai ini kecuali dari orang-orang yang ada sakit
dalam hatinya atau tidak fasih dalam pemahaman dan bodoh dengan rahasia lughat
ini yang telah diturunkan al-Qur’an oleh Allah dengannya.
Makna al-kaif majhul
Apabila kita maknai
kaifiyat majhul dengan makna Allah mempunyai kaifiyat, akan tetapi tidak
diketahui keadaan kaifiyatnya sebagaimana dhahir makna ucapan ini, maka ucapan
ini harus kita tolak, karena bertentangan dengan riwayat yang lebih terpercaya
yang mengatakan kaifiyat ternafi dan tidak masuk akal diitsbatkan kepada Allah
sebagaimana telah dijelaskan di atas. Namun apabila kita dapat mengkompromikan
antara dua riwayat ini, maka ini lebih baik karena beramal dengan qaidah :
“Mengamalkan dua kalam lebih baik dari membatalkan salah satunya”. Diantara
cara komprominya sebagaimana dikemukakan oleh Dr Sa’id Fudah dalam catatan kaki
terhadap karangan beliau sendiri, al-Farq al-‘Azhim baina al-Tanziih wa
al-Tajsim adalah majhul disini bermakna majhul penisbatannya kepada Allah
Ta’ala, sedangan sesuatu yang majhul penisbatannya kepada Allah tidak ma’qul
dan wajib menafikannya. Jadi disebut malzum akan
tetapi dimaksudkan lazimnya.
Dengan pengertian ini,
juga kita harus memahami perkataan Rabiah al-Ra’yi yang diriwayat oleh
al-Baihaqi melalui jalur Abu Bakar bin al-Harits-Abu al-Syaikh- Muhammad bin
Ahmad bin Ma’dan-Ahmad bin Mahdi-Musa bin Khaqaan-Abdullah bin Shaleh bin
Muslim, beliau berkata :
سُئِلَ رَبِيعَةُ
الرَّأْيَ عَنْ قَوْلِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
كَيْفَ اسْتَوَى؟ قَالَ: الْكَيْفُ مَجْهُولٌ، وَالِاسْتِوَاءُ
غَيْرُ مَعْقُولٍ، وَيَجِبُ عَلِيَّ وَعَلَيْكُمُ الْإِيمَانُ بِذَلِكَ كُلِّهُ
Rabi’ah
al-Ra’yi ditanyai mengenai firman Allah Tabaaraka wa Ta’ala “al-Rahman ‘ala
al-arsy istawaa” , bagaimana istawaa’?. Beliau menjawab: Kaifiyat majhul,
istiwaa tidak masuk akal dan wajib atasku dan atasmu mengimani semuanya.
Ibnu Abdilbar,
al-Tamhid limaa fi al-Muwatha’ min al-Ma’ani wa al-Asaniid, Maktabah
Syamilah, Juz. VII, Hal. 151