Terjadi khilaf pendapat
dikalangan ulama Syafi’iyah tentang kebolehan penggabungan niat qurban dan
aqiqah pada satu ekor hewan. Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan tidak memadai
tindakan tersebut untuk satupun dari keduanya. Adapun Imam al-Ramli berpendapat
sebaliknya, beliau mengatakan niat qurban dan aqiqah pada satu ekor hewan
memadai untuk keduanya. Berikut kutipan dari kedua ulama tersebut, yakni :
1.Dalam Tuhfah al-Muhtaj, al-Haitami
mengatakan :
وَظَاهِرُ كَلَامِ
الْمَتْنِ وَالْأَصْحَابِ أَنَّهُ لَوْ نَوَى بِشَاةٍ الْأُضْحِيَّةَ
وَالْعَقِيقَةَ لَمْ تَحْصُلْ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا وَهُوَ ظَاهِرٌ؛ لِأَنَّ كُلًّا
مِنْهُمَا سُنَّةٌ مَقْصُودَةٌ وَلِأَنَّ الْقَصْدَ بِالْأُضْحِيَّةِ الضِّيَافَةُ
الْعَامَّةُ وَمِنْ الْعَقِيقَةِ الضِّيَافَةُ الْخَاصَّةُ وَلِأَنَّهُمَا
يَخْتَلِفَانِ فِي مَسَائِلَ كَمَا يَأْتِي وَبِهَذَا يَتَّضِحُ الرَّدُّ عَلَى
مَنْ زَعَمَ حُصُولَهُمَا وَقَاسَهُ عَلَى غُسْلِ الْجُمُعَةِ وَالْجَنَابَةِ
عَلَى أَنَّهُمْ صَرَّحُوا بِأَنَّ مَبْنَى الطَّهَارَاتِ عَلَى التَّدَاخُلِ
فَلَا يُقَاسُ بِهَا غَيْرُهَا
Dhahir kalam matan dan
para pengikut Syafi’i sesungguhnya seandai seseorang meniat (penggabungan) qurban
dan aqiqah pada satu ekor kambing, maka tidak memadai untuk salah satu dari
keduanya. Ini dhahir, karena setiap keduanya sunnah maqshudah dan karena tujuan
qurban penjamuan bersifat umum, sedangkan tujuan aqiqah penjamuan bersifat
khusus dan juga karena keduanya berbeda dalam beberapa masalah yang akan datang.
Dengan ini, jelaslah tertolak pendapat yang mendakwakan memadai untuk keduanya
dengan melakukan qiyas kepada mandi Jum’at dan janabah, sedangkan mereka
menerangkan bahwa bab thaharah diasaskan kepada asas tadakhul (saling masuk). Karena
itu, tidak dapat diqiyaskan kepada thaharah selain thaharah. [1]
2. Dalam Nihayah al-Muhtaj, Imam al-Ramli mengatakan :
وَلَوْ نَوَى بِالشَّاةِ الْمَذْبُوحَةِ الْأُضْحِيَّةَ
وَالْعَقِيقَةَ حَصَلَا خِلَافًا لِمَنْ زَعَمَ خِلَافَهُ
Seandainya seseorang niat (penggabungan) qurban dan aqiqah pada
satu ekor kambing sembelihan, maka memadai untuk keduanya, khilaf dengan yang
mendakwa sebaliknya.[2]
[1] Ibnu Hajar
al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj (dicetak pada hamisy Hasyiah
Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj), Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. IX,
Hal. 369-370
[2] Al-Ramli, Nihayah
al-Muhtaj, (ddicetak bersama hasyiah ‘Ali Syibran al-Malasi), Dar
al-Kutub al-ilmiyah, Beirut, Juz. VIII, Hal. 145-146
Assalamualaikum warrahmatullah. Bapa yg terhormat saya ingin bertanya mengenai harta haram. Setau saya ada 2 hal yg bisa membuat harta haram saat memperolehnya. Yang pertama karena memang dzat atau aktivitasnya haram, seperti menjual babi, merampok, dll. Lalu yang kedua adalah haram karena cara memperolehnya. Yang ingin saya tanyakan adalah perihal poin ke dua, yaitu haram karena memperolehnya.
BalasHapusBisakah bapa berbagi ilmu bagaimana harta tersebut bisa haram karena cara memperolehnya?
Lalu ada yg ingin saya tanyakan, begini pak, saya mengikuti program beasiswa di jenjang pendidikan tinggi, pada saat itu saya sedang bersosialisasi bersama dosen jurusan. Tiba2 dosen tsb bertanya "siapa yg mengikuti beasiswa disini" ada beberapa org yg mengacungkan jari, tetapi saya tidak. Dosen tsb hanya menjawab "oh ya beasiswa tahun ini sepertinya agak dikurangi". Masalahnya apakah saya termasuk berbohong pak? Apakah hal yg saya lakukan tsb menjadi salah satu contoh harta haram karena cara perolehnnya? Apakah karena saya tidak mengacungkan tangan saya, harta yg saya dapat dr beasiswa itu haram?
Mohon bapak bisa meluruskan kekeliruan saya jika saya salah, atau memberikan ilmunya kepada saya.
Wassalam.
1. menurut hemat kami, kalau sdr tidak menunjuk tangan karna memang i'tiqad utk beerbohong, maka itu termasuk berbohong, namun kalau tidak menunjukan tangan karena faktor lain seperti lagi malas tunjuk tangan, atau karena sdr tidak sempat tunjuk tangan, maka itu buka berbohong.
Hapus2. adapun beasiswa selama prosesnya benar dan tidak ada unsur kebohongan di situ, maka beasiswa tsb halal utk sdr. dan tidak ada pengaruh dgn keebohongan sdr tersbut yang terjadi diluar keetentuan beasiswa (kalau memang itu sebuah kebohongan)
wassalam
Assalamualaikum war wab
BalasHapusSalam silaturrahim
Kami admin search engine islamuna.info sudah memverifikasi blog antum. Dan kami menyatakan blog ini layak masuk list pencarian islamuna. Dan kami sudah memasukkan ke dlm list islamuna.
Demikian
Wassalam
Assalamualaikum, pak saya mau bertanya. Jika setelah memegang najis lalu kita ragu apakah sudah mencuci tangan atau belum, kemudian memegang baju (misalkan) apakah bajunya menjadi najis? Yang kedua, pak jika kaki kita sedikit terluka dan ada darah serta nanah sedikit apakah setiap kita mencuci kaki, air basuhannya itu selalu najis karena nanah+darahnya ada pada luka tsb. Terima kasih
BalasHapus1. kita pernah yakin ada memegang najis, keraguan apa najis itu sudah di basuh atau tidak, ? maka jawabannya adalah kembali kepada asal ygg yakin, yakni yakin najis. karena, qaidah fiqh : "asalnya kekal apa yang sdh ada atas apa yg sudah ada."
Hapus2. ya bernajis, karena darah tersebut di maafkan selama ada di tmp lukaa.
wassalam
pak jika nanah+darahnya dimaafkan berarti air bekas membasuhnya najis tapi maafkan juga?
Hapustidak di maafkan. karena di maafkan selama darah dan nanah tsb di lobang yg luka. sedangkan air yg sdh bercampur dgn darah dan nanah tentu sdh keluar dari tmp luka tsb.
Hapus