1.
Dalam kitab al-Shalat
disebutkan :
والمغرب ووقتها واحد وهوغروب الشمس وبمقدار ما يؤذن ويتوضأ ويستر العورة ويقيم الصلاة ويصلي خمس ركعات
Artinya : Dan Magrib,
waktunya adalah satu, yaitu terbenam matahari dan dengan ukuran azan,
berwudhu’, menutup aurat, melakukan iqamah dan shalat lima raka’at.[1]
Pernyataan pengarang
bahwa waktu Magrib mulai terbenam matahari dan dengan ukuran
azan, berwudhu’, menutup aurat, melakukan iqamah dan shalat lima raka’at adalah
dha’if, sebagaimana keterangan ulama di bawah ini :
a. Ibnu Qasim al-Ghazi dalam kitab Fath al-Qarib al-Mujibi
dalam mengometari pernyataan pengarang al-Ghayah
wa al-Taqrib tersebut, mengatakan :
وهذا
هو القول
الجديد، والقديم
ورجحه النووي
أن وقتها
يمتد إلى
مغيب الشفق
الأحمر
Artinya : Ini
adalah qaul jadid, sedangkan qaul qadim yang telah ditarjih oleh al-Nawawi,
waktunya adalah sampai kepada hilang capak yang merah.[2]
b.
Imam al-Nawawi setelah
menyebut qaul qadim dan jadid sebagaimana dijelaskan Ibnu Qasim al-Ghazi di atas, beliau
mengatakan :
قلت القديم
اظهر والله اعلم
Artinya : Saya mengatakan, qaul qadim
lebih zhahir, wallahua’lam.[3]
c.
Al-Bakri al-Damyathi
mengatakan :
وهذا هو القول
القديم لإمامنا رضي الله عنه، وهو المعتمد.
وأما الجديد فينقضي بمضي قدر الوضوء وستر العورة والأذان
والإقامة ومضي خمس ركعات
Artinya : Ini
(qaul yang menyatakan, waktu Magrib sampai kepada
hilang capak yang merah) adalah qaul qadim bagi Imam kita –semoga Allah
meridhanya-, qaul ini adalah yang mu’tamad. Adapun qaul jadid, maka berlalu
waktunya dengan sebab berlalu ukuran wudhu’, menutup aurat, azan, iqamah dan
berlalu lima raka’at shalat.[4]
2.
Dalam kitab al-Shalat,
pada masalah rukun-rukun shalat disebutkan salah satu rukun shalat :
ونية الخروج من الصلاة
Artinya : dan niat keluar dari shalat.[5]
Pernyataan pengarang
bahwa niat keluar dari shalat termasuk salah satu rukun shalat adalah dha’if
sebagaimana keterangan ulama di bawah ini :
a.
Ibnu Qasim al-Ghazi dalam kitab Fath al-Qarib al-Mujibi dalam mengometari pernyataan pengarang al-Ghayah
wa al-Taqrib tersebut, mengatakan :
)والسابع عشر ( نية الخروج من الصلاة وهذا وجه مرجوح، وقيل لا يجب ذلك أي نية الخروج وهذا الوجه هو الأصح
Artinya : Yang ketujuh belas (dari rukun shalat) adalah niat
keluar dari shalat. Ini merupakan wajh (pendapat) lemah. Ada yang mengatakan
tidak wajib yang demikian, yaitu niat keluar dari shalat. Pendapat ini
merupakan pendapat yang lebih shahih.[6]
b.
Khatib Syarbaini mengatakan :
والاصح انها لا تجب قياسا
على سائر العبادة
Artinya :
Menurut pendapat yang lebih shahih, sesungguhnya niat keluar dari shalat tidak
wajib, karena diqiyaskan atas ibadah lainnya.[7]
c.
Imam al-Taqiyuddin al-Hishny
mengatakan dalam Kifayatul Akhyar :
واصحهما انها لا تجب قياسا
على سائر العبادة وليس السلام كتكبيرة الاحرام لان التكبير فعل تليق به النية
والسلام ترك
Artinya
: Menurut pendapat yang lebih shahih dari keduanya sesungguhnya niat keluar
shalat adalah tidak wajib, karena diqiyaskan atas ibadah lainnya dan salam itu
tidaklah sama dengan takbiratul ihram, karena takbiratul ihram merupakan fi’l
(perbuatan) yang sesuai dengan niat, sedangkan salam merupakan tark
(meninggalkan perbuatan)[8]
3.
Dalam kitab al-Shalat,
pada masalah shalat jama’ah disebutkan :
وصلاة الجماعة سنة مؤكدة
Artinya : Shalat jama’ah adalah sunnat dikuatkan.[9]
Pernyataan pengarang
bahwa hukum shalat berjama’ah sunnat yang dikuatkan adalah dha’if sebagaimana
keterangan ulama di bawah ini :
a.
Ibnu Qasim al-Ghazi dalam kitab Fath al-Qarib al-Mujibi dalam mengometari pernyataan pengarang al-Ghayah
wa al-Taqrib tersebut, mengatakan :
وصلاة
الجماعة للرجال
في الفرائض غير الجمعة سنة مؤكدة عند المصنف والرافعي والأصح عند النووي أنها فرض كفاية
Artinya : Shalat berjama’ah bagi laki-laki pada fardhu selain Jum’at
adalah sunnat dikuatkan di sisi pengarang dan al-Rafi’i. Menurut pendapat yang
lebih shahih di sisi al-Nawawi shalat berjama’ah itu adalah fardhu kifayah.[10]
b.
Dalam
Minhaj al-Thalibin disebutkan :
كتاب صَلَاةِ الْجَمَاعَةِ هِيَ فِي الْفَرَائِضِ غَيْرَ الْجُمُعَةِ سُنَّةٌ
مُؤَكَّدَةٌ، وَقِيلَ فَرْضُ كِفَايَةٍ لِلرِّجَالِ، فَتَجِبُ بِحَيْثُ يَظْهَرُ
الشِّعَارُ فِي الْقَرْيَةِ، فَإِنْ امْتَنَعُوا كُلُّهُمْ قُوتِلُوا.وَلَا
يَتَأَكَّدُ النَّدْبُ لِلنِّسَاءِ تَأَكُّدَهُ لِلرِّجَالِ فِي الْأَصَحِّ.
قُلْت: الْأَصَحُّ الْمَنْصُوصُ إنَّهَا فَرْضُ كِفَايَةٍ،
Artinya : Kitab shalat jama’ah, ia pada fardhu selain
jum’at adalah sunnat dikuatkan. Ada yang mengatakan fardhu kifayah bagi
laki-laki, maka wajib shalat berjama’ah dengan kira-kira nampak syi’ar dalam
suatu kampung, jika mereka semua tidak mau, maka mereka dibunuh dan tidak
dikuatkan sunat bagi perempuan sebagaimana dikuatkan bagi laki-laki menurut
pendapat yang lebih shahih. Saya (al-Nawawi) mengatakan, menurut pendapat yang lebih shahih
yang manshus sesungguhnya shalat berjama’ah adalah fardhu kifayah.[11]
4.
Dalam
kitab al-Shalat, pada masalah shalat gerhana disebutkan :
وركوعان يطيل التسبيح فيهما دون السجود
Artinya : dua rukuk yang dipanjangkan
tasbih pada keduanya, tidak pada sujud.[12]
Shalat gerhana dilakukan dengan
cara dua kali berdiri dan dua kali rukuk dalam setiap satu raka’at. Menurut pengarang,
membaca tasbih hanya sunnat dipanjangkan pada dua rukuk saja, tidak sunnat
dipanjangkan pada sujud. Pendapat pengarang tidak sunnat dipanjangkan tasbih pada
sujud ini adalah dha’if berdasarkan keterangan ulama di bawah ini :
a. Ibnu Qasim al-Ghazi dalam kitab Fath al-Qarib
al-Mujibi dalam mengometari pernyataan
pengarang al-Ghayah wa al-Taqrib tersebut,
mengatakan :
وفي كل ركعة ركوعان يطيل التسبيح فيهما دون السجود فلا يطوله، وهذا أحد وجهين لكن الصحيح أنه. يطوله نحو الركوع الذي قبله
Artinya : dan pada setiap raka’at ada dua rukuk yang dipanjangkan
tasbih pada keduanya, tidak pada sujud, maka tidak dipanjangkannya. Ini salah
satu dua wajh (pendapat) tetapi pendapat yang shahih sesungguhnya
dipanjangkannya sama seperti rukuk sebelumnya.[13]
b.
Dalam Minhaj al-Thalibin, pada masalah cara melakukan shalat
gerhana disebutkan :
وَلَا يُطَوِّلُ السَّجَدَاتِ فِي الْأَصَحِّ قُلْتُ: الصَّحِيحُ تَطْوِيلُهَا
وَثَبَتَ فِي الصَّحِيحَيْنِ، وَنَصَّ فِي الْبُوَيْطِيِّ أَنَّهُ يُطَوِّلهَا نَحْوَ
الرُّكُوعِ الَّذِي قَبْلَهَا
Artinya : Tidak dipanjangkan sujud-sujudnya menurut
pendapat yang lebih shahih. Saya (al-Nawawi) mengatakan, menurut pendapat yang
shahih memanjangkannya dan itu ada disebutkan dalam Shahihaini. Telah diterangkan
dalam al-Buwaithi sesungguhnya dipanjangkannya sama seperti rukuk sebelumnya.[14]
(Bersambung..........)
[1]
Abu Syuja’, al-Ghayah
wa al-Taqrib, Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, Mesir, Hal. 8
[2] Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath
al-Qarib al-Mujib, al-Ma’arif, Bandung, Hal. 12
[3] Imam al-Nawawi, Minhaj
al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar al-Kutub
al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 114
[4]
Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra,
Semarang, Juz. I, Hal. 117
[5]
Abu Syuja’, al-Ghayah
wa al-Taqrib, Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, Mesir, Hal. 9
[6]
Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath
al-Qarib al-Mujib, al-Ma’arif, Bandung, Hal. 14
[7]
Khatib
Syarbaini, al-Iqna’ ‘ala Halli Alfazh Abi
Syuja’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
Beirut, Juz. I, Hal. 191-192
[8]
Imam
al-Taqiyuddin al-Hishny, Kifayatul
Akhyar, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 165-166
[9]
Abu Syuja’, al-Ghayah
wa al-Taqrib, Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, Mesir, Hal. 11
[10]
Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath
al-Qarib al-Mujib, al-Ma’arif, Bandung, Hal. 17
[11] Imam al-Nawawi, Minhaj
al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar al-Kutub
al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 220-221
[12]
Abu Syuja’, al-Ghayah
wa al-Taqrib, Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, Mesir, Hal. 13
[13] Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath
al-Qarib al-Mujib, al-Ma’arif, Bandung, Hal. 19
[14]
Imam al-Nawawi, Minhaj
al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar al-Kutub
al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 311-312
Tidak ada komentar:
Posting Komentar