Banyak
sekali kita jumpai dalam kitab-kitab yang berisi nasehat, fadhailul amal dan
kisah-kisah tauladan yang memuat hadits hadits dha’if dengan menyebut secara
mutlaq (tanpa menjelaskan kedha’ifannya) “Rasulullah bersabda……….dst”. Bahkan ucapan
itu sangat sering kita temui pada zaman sekarang pada mulut-mulut
mubaligh-mubaligh kita tanpa memperduli apakah hadits tersebut shahih atau dha’if.
Untuk menjawab persoalan ini, mari kita perhatikan perkataan Imam al-Nawawi
dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab sebagai berikut :
قَالَ الْعُلَمَاءُ الْمُحَقِّقُونَ مِنْ أَهْلِ
الْحَدِيثِ وَغَيْرِهِمْ إذَا كَانَ الْحَدِيثُ ضَعِيفًا لَا يُقَالُ فِيهِ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ فَعَلَ أَوْ أَمَرَ أَوْ نَهَى أَوْ
حَكَمَ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مِنْ صِيَغِ الْجَزْمِ: وَكَذَا لَا يُقَالُ فِيهِ رَوَى
أَبُو هُرَيْرَةَ أَوْ قَالَ أَوْ ذَكَرَ أَوْ أَخْبَرَ أَوْ حَدَّثَ أَوْ نَقَلَ أَوْ
أَفْتَى وَمَا أَشْبَهَهُ: وَكَذَا لَا يُقَالُ ذَلِكَ فِي التَّابِعِينَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ
فِيمَا كَانَ ضَعِيفًا فَلَا يُقَالُ في شئ مِنْ ذَلِكَ بِصِيغَةِ الْجَزْمِ: وَإِنَّمَا
يُقَالُ فِي هَذَا كُلِّهِ رُوِيَ عَنْهُ أَوْ نُقِلَ عَنْهُ أَوْ حُكِيَ عَنْهُ أَوْ
جَاءَ عَنْهُ أَوْ بَلَغَنَا عَنْهُ أَوْ يُقَالُ أَوْ يُذْكَرُ أَوْ يُحْكَى أَوْ
يُرْوَى أَوْ يُرْفَعُ أَوْ يُعْزَى وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مِنْ صِيَغِ التَّمْرِيضِ
وَلَيْسَتْ مِنْ صِيَغِ الْجَزْمِ: قَالُوا فَصِيَغُ الْجَزْمِ مَوْضُوعَةٌ لِلصَّحِيحِ
أَوْ الْحَسَنِ وَصِيَغُ التَّمْرِيضِ لِمَا سِوَاهُمَا. وَذَلِكَ أَنَّ صِيغَةَ الْجَزْمِ
تَقْتَضِي صِحَّتَهُ عَنْ الْمُضَافِ إلَيْهِ فَلَا يَنْبَغِي أَنْ يُطْلَقَ إلَّا
فِيمَا صَحَّ وَإِلَّا فَيَكُونُ الْإِنْسَانُ فِي مَعْنَى الْكَاذِبِ عَلَيْهِ وَهَذَا
الْأَدَبُ أَخَلَّ بِهِ الْمُصَنِّفُ وَجَمَاهِيرُ الْفُقَهَاءِ مِنْ أَصْحَابِنَا
وَغَيْرِهِمْ بَلْ جَمَاهِيرُ أَصْحَابِ الْعُلُومِ مُطْلَقًا مَا عَدَا حُذَّاقَ الْمُحَدِّثِينَ
وَذَلِكَ تَسَاهُلٌ قَبِيحٌ فَإِنَّهُمْ يَقُولُونَ كَثِيرًا فِي الصَّحِيحِ رُوِيَ
عَنْهُ وَفِي الضَّعِيفِ قَالَ وَرَوَى فلان وهذا حيد عن الصواب
“Ulama ahli tahqiq dari ahli hadits dan
lainnya mengatakan, apabila hadits itu dha’if, maka jangan dikatakan “Rasulullah
SAW bersabda, memperbuat, memerintah, melarang, menetapkan hukum” dan
ucapan-ucapan lain yang bermakna pasti (jazam). Demikian juga tidak dikatakan
Abu Hurairah telah meriwayat, mengatakan, menyebut, mengabarkan, menghadits,
mengutip, berfatwa dan lainnya. Demikian juga tidak dikatakan hal itu pada Tabi’in
dan orang-orang sesudah mereka pada berita-berita dha’if. Jadi, tidak dikatakan
hal itu dengan lafazh pasti. Tetapi dikatakan pada semua ini, “diriwayatkan
darinya, dikutip darinya, dihikayah darinya, datang darinya, dikatakan,
disebutkan, dihikayahkan, diriwayatkan, disampaikan darinya, dinisbahkan”, dan
lain-lain dari lafazh-lafaz mengandung makna cacat yang bukan lafazh pasti. Ahli
tahqiq dari ahli hadits mengatakan, lafazh pasti diposisikan untuk hadits shahih
atau hasan, sedangkan lafazh cacat diperuntukan bagi selain keduanya. Hal ini
karena lafazh pasti mengindikasikan sah hadits tersebut datang dari orang sandaran
hadits itu, maka tidak sepatutnya disebut suatu hadits secara mutlaq kecuali hadits
itu dalam keadaan shahih. Jika tidak, maka manusia itu sama dengan berbuat
dusta atasnya. Ini merupakan adab yang telah dicederai oleh pengarang,
kebanyakan fuqaha ashab kita dan lainnya, bahkan kebanyakan ahli-ahli ilmu
secara mutlaq selain ahli-ahli hadits yang tajan pemikirannya. Ini merupakan
kelalaian yang keji, mereka banyak mengatakan pada hadits sahih, “diriwayatkan
darinya”, sedangkan pada hadits dha’if, mereka katakan, “telah meriwayat oleh
sipulan” . Ini menyimpang dari kebenaran.”[1]
apabila ustazh, kiyai, teungku dan lainnya punya pandangan, baik yang sama dengan pendapat di atas atau ada pandangan lain yang berbeda, mohon komentarnya
BalasHapustgk....!!!apakah para ulama lain yg mencantumkan hadis daif tanpa penjelasan tentang kedaifan tidak tau tentang masalah ini malah masalah ini terjadi dalam kitab-kitab yg sering diajarkan didayah-dayah......???
BalasHapus1.imam nawawi sebagaimana telh dikutip di atas juga mengakui ini banyak terdapat dikalangan para fuqaha. dan beliau mengkritik kebiasaan tersebut. bahkan beliau mengeluarkan pendapat juga dalam rangka mengkritik pengarang matan al-muhazzab.
BalasHapus2. bisa jadi kadang-kadang hadits tersebut dha'if sanadnya, namun matannya ada dukungan (azhid) dari hadits lain, sehingga ia bernilai hasan lighairihi.
3. atau kemungkinan ulama2 tersebut, berpendapat boleh tidak menjelaskan kedha'ifannya sepanjang itu dalam masalah fadailul amal, tarhib atau targhib atau kisah2. (biasanya hadits dahif tersebut banyak dijumpai dalam kitab2 nasehat, )
4. atau kemungkinan terakhir, pengarang kitab tersebut termasuk orang yg lalai mengenai ini, jadi beliau ini termasuk yg dikritik oleh al-Nawawi.
5. atau juga bisa jadi hadits dhaif tersebut bernilai shahih atau hasan menurut pengarang kitabnya, meskipun bernilai dhaif menurut orang lain.
6. menjelaskan bahwa suatu hadits dha'if tidak mesti dijelaskan secara sharih, tetapi juga bisa dengan isyarat sebagaimana disebut al-nawawi dia atas, seperti kata2 ruwiya (diriwayat), dihikayahkan, di katakan dll
wassalam