Melaksanakan shalat tarawih empat
raka’at sekali salam, hukumnya tidak sah. Ini sesuai dengan fatwa ulama sebagai
berikut :
1.
Imam Nawawi mengatakan :
يَدْخُلُ وَقْتُ التَّرَاوِيْحِ بِالْفَرَاغِ مِنْ صَلاَةِ الْعِشَاءِ
ذَكَرَهُ الْبَغَوِيُّ وَغَيْرُهُ وَيَبْقَى إِلَى طُلُوْعِ اْلفَجْرِ
وَلْيُصَلِّهَا رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ كَمَا هُوَ اْلعَادَةُ فَلَوَْصَلَّي
أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ بِتَسْلِيْمةٍ لَمْ يَصِحَّ ذَكَرَهُ الْقَاضِى حُسَيْنٌ فيِ
فَتَاوِيْهِ ِلاَنَّهُ خِلاَفُ الْمَشْرُوْعِ
”Masuk waktu shalat Tarawih itu setelah
melaksanakan shalat Isya. Imam al-Baghawi dan lainnya telah menyebutkannya itu.
Waktu tarawih masih ada sampai terbit fajar dan hendaklah seseorang mengerjakan
shalat Tarawih dengan dua rakaat- dua rakaat, sebagaimana kebiasaan. Seandainya ia shalat dengan empat rakaat dengan
satu salam, maka shalatnya tidak sah. Hal ini telah dikatakan oleh al-Qâdhi
Husain dalam fatwanya, dengan alasan hal demikian menyalahi aturan yang telah
disyariatkan.”[1]
2.
Imam al-Ramli mengatakan :
وَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا بِتَسْلِيمَةٍ لَمْ يَصِحَّ إنْ كَانَ
عَامِدًا عَالِمًا وَإِلَّا صَارَتْ نَفْلًا مُطْلَقًا لِأَنَّهُ خِلَافُ الْمَشْرُوعِ
بخلاف سنة الظهر والعصر كما افتى به المصنف وفرق بينهما بان التراويح اشبهت ِالفَرائضِ
كما مر فَلَا تَغَيُّرَ عَمَّا وَرَدَ
“Seandainya seseorang shalat Tarawih dengan
empat rakaat satu salam, jika ia sengaja dan mengetahui maka shalatnya tidak
sah. Kalau tidak demikian maka shalat itu menjadi shalat sunnah mutlaq, karena
menyalahi aturan yang disyariatkan. Ini berbeda dengan shalat sunnah Dhuhur dan ‘Ashar
sebagaimana telah difatwa oleh pengarang (al-Nawawi). Dibedakan antara keduanya
sebab Tarawih menyerupai shalat fardhu sebagaimana penjelasan terdahulu, karena
itu tidak boleh diubah dari keterangan syara’”[2]
3.
Ibn Hajar al-Haytami mengatakan :
وَيَجِبُ فِيْهَا أَنْ
تَكُوْنَ مَثْنَى بِأَنْ يُسَلِّمَ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ ,
فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ يَصِحَّ لِشِبْهِهَا بِاْلفَرْضِ فِي
طَلَبِ الْجَمَاعَةِ فَلاَ تُغَيَّرُ عَمَّا وَرَدَ بِخِلاَفِ نَحْوِ
سُنَّةِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ .
“Wajib dalam pelaksanaan shalat Tarawih dua-dua,
disalam dua rakaat-dua rakaat. Bila seseorang mengerjakan empat rakaat dengan
satu salam, maka shalatnya tidak sah karena shalat Tarawih menyerupai shalat
fardhu dalam menuntut berjamaah, maka jangan dirubah keterangan sesuatu yang
telah warid (datang). Lain halnya dengan shalat sunah Zuhur dan Ashar atas qaul
mu’tamad.”[3]
Adapun dalil bahwa shalat tarawih disyari’atkan pelaksanaannya dua raka’at–dua
raka’at sekali salam adalah hadits Ibnu ‘Umar r.a., bahwasannya
Nabi SAW bersabda :
صَلَاةُ
اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى
Artinya : Shalat malam itu dua
raka’at-dua raka’at” (Muttafaqun ‘alaihi)[4]
Sebagian umat Islam di Indonesia ada yang mengerjakan
shalat Tarawih dengan cara empat rakaat sekali salam. Mereka berargumentasi
dengan hadits Aisyah r.a. sebagai berikut:
مَا كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا
فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ
عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ
حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا
Artinya :
Nabi tidak pernah lebih dari sebelas raka’at baik di Ramadhan maupun bulan-bulan
lainnya. Beliau shalat empat rakaat, jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya,
kemudian beliau shalat lagi empat raka’at, jangan ditanya tentang bagus dan
panjangnya, kemudian beliau shalat tiga raka’at.(H.R. Bukhari [5]
dan Muslim[6])
Dhahir hadits ini menunjukkan bahwa Nabi SAW dalam shalat
sunat malam melaksanakannya dengan empat-empat raka’at. Namun tentu dhahirnya
ini tidak sesuai dengan kandungan hadits yang menjelaskan bahwa shalat malam
dua raka’at-dua raka’at sebagaimana hadits muttafaqun ‘alaihi di atas. Oleh karena
itu, tidak boleh tidak harus dipahami bahwa maksud Nabi SAW melaksanakan empat
raka’at-empat raka’at sebagaimana hadits Aisyah di atas adalah setelah empat
raka’at (dengan dua kali salam) Nabi istirahat sebentar, kemudian melanjutkan
lagi empat raka’at lagi (dengan dua kali salam juga) dan seterusnya. Jadi bukan
dengan empat rakaat sekali salam. Pemahaman ini sesuai dengan penjelasan
al-Shan’aniy dalam kitabnya, Subulussalam, yakni :
يُحْتَمَلُ أَنَّهَا مُتَّصِلَاتٌ
وَهُوَ الظَّاهِرُ وَيُحْتَمَلُ أَنَّهَا مُنْفَصِلَاتٌ وَهُوَ بَعِيدٌ إلَّا
أَنَّهُ يُوَافِقُ حَدِيثَ صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى .
“Redaksi ini (beliau shalat empat rakaat) memiliki kemungkinan empat rakaat dilakukan sekaligus dengan
sekali salam, ini adalah yang zhahir, dan juga bisa dipahami empat rakaat itu
dilakukan secara terpisah (dua rakaat- dua rakaat), tetapi pemahaman terakhir ini
jauh hanya saja ini sesuai dengan hadis “Shalat malam itu dilakukan dengan dua
rakaat- dua rakaat”[7]
[1]. Al-Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhazzab,
Maktabah al-Irsyad, Jeddah, , Juz. III, Hal. 526
[2]. Imam al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj,
(dicetak bersama Hasyiah Syibranmalasi ‘ala Nihayah al-Muhtaj) Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 127-128
[4] . Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul
Maram, Hal. 108-109
[5] Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq
an-Najh, Juz. II, Hal. 53, No. Hadits : 1147
[6] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah
Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 509, No. Hadits : 738
[7] .Al-Shan’aniy,
Subulussalam, Maktabah Nazar Mushtafa al-Baaz, Riyadh, Juz. II,
Hal. 538
Tidak ada komentar:
Posting Komentar