8. Nash Imam Syafi’i tidak sampai hadiah
pahala bacaan al-Qur’an kepada mayat.
Nash Imam Syafi’i ini
sering digunakan sebagai pendukung pendapat tidak bermanfaat bacaan al-Qur’an
kepada mayat. Perkataan Imam Syafi’i tersebut
adalah sebagaimana disebut dalam kitab al-Fatawa karangan Imam al-Nawawi :
واختلفوا في ثواب القراءة فقال أحمد وبعض أصحاب الشافعي: يصل. وقال
الشافعي والأكثرون لا يصل
Terjadi khilaf ulama mengenai pahala bacaan al-Qur’an. Ahmad dan
sebagian ashhab Syafi’i mengatakan sampai pahala tersebut kepada mayat. Syafi’i
dan kebanyakan ulama mengatakan tidak sampai.[1]
Dalam kitab
Syarah Muslim, al-Nawawi mengatakan :
وَأَمَّا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ فَالْمَشْهُورُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا يَصِلُ ثَوَابُهَا
إِلَى الْمَيِّتِ وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِهِ يَصِلُ ثَوَابُهَا إِلَى الْمَيِّتِ
وَذَهَبَ جَمَاعَاتٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ إِلَى أَنَّهُ يَصِلُ إِلَى الْمَيِّتِ
ثَوَابُ جَمِيعِ الْعِبَادَاتِ مِنَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ وَالْقِرَاءَةِ
وَغَيْرِ ذَلِكَ
Adapun bacaan al-Qur’an yang masyhur dari mazhab Syafi’i tidak sampai
pahalanya kepada mayat. Sebagian sahabat Syafi’i mengatakan, sampai pahalanya
kepada mayat. Beberapa jama’ah ulama berpendapat sampai kepada mayat pahala
semua ibadah, yaitu shalat, puasa, bacaan al-Qur’an dan lainnya.[2]
Nash Imam Syafi’i ini
tidak dapat diartikan bahwa bacaan al-Qur’an tidak bermanfaat secara mutlaq
kepada mayat. Karena Imam Syafi’i sendiri pernah berziarah ke makam Imam al-Laits bin bin Sa’ad
dan pada saat itu beliau membaca zikir dan al-Qur’an al-Karim sebagaimana Muhyiddin
Abdusshamad pernah mengutip riwayat ini dari Kitab al-Dzakirah
al-Tsaminah.[3] Imam Syafi’i sendiri juga pernah menyatakan pendapat yang
bersesuaian dengan riwayat di atas sebagaimana dikutip oleh al-Nawawi, yaitu :
“Dianjurkan
membaca sesuatu dari al-Qur’an pada kuburan dan jika dengan khatam, maka itu
lebih baik.”[4]
Al-Nawawi
juga telah mengutip perkataan Imam Syafi’i di atas dalam kitab beliau,
al-Azkar.[5]
Kemudian qaul Imam Syafi’i tersebut juga harus diposisikan
apabila membaca al-Qur’an dengan tidak mendo’akan sesudahnya, karena pembacaan
al-Qur’an yang disertai dengan doa termasuk dalam katagori do’a agar yang
semisal pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayat. Sedangkan do’a bermanfaat
bagi mayat dengan ijmak ulama. Tentu Imam Syafi’i tidak mungkin mengingkari
ijmak ulama ini. Berkata Ibnu Hajar Haitamy :
Tidak
sepatutnya berdo’a untuk orang lain yang masih hidup atau untuk mayat dengan
pahala orang yang berdo’a atau pahala orang lain yang mengizinkan baginya,
karena sesungguhnya pahala manusia tidak dapat berpindah kepada orang lain
dengan sebab do’a. Maka doa yang demikian menyalahi kejadian dan oleh sebab itu
terlarang. Adapun do’a dengan menghasilkan yang semisal (yang sebanding)
demikian pahala, bagi orang lain adalah (laa baksa bihi) dibolehkan, karena itu
termasuk do’a bagi saudara yang muslim untuk mendhahirkan ghaib dan
hadits-hadits menunjukkan diterimanya dengan ini dan lainnya, sedangkan padanya
tidak ada mahzur (sesuatu yang mencegah), maka tidak ada satu aspekpun untuk
pelarangannya. Bahkan kalau orang yang berdo’a menyebut “pahala” dan maksudnya
adalah semisal pahala, tidak terlarang pula, karena menyembunyi perkataan
“misal” pada yang seperti ini dibolehkan, masyhur dan banyak terjadi”[6]
Dengan demikian, sebagai berbaik sangka kita kepada ulama
sekaliber Imam Syafi’i, maka qaul Imam Syafi’i tersebut di atas diposisikan
apabila membaca al-Qur’an dengan tidak mendo’akannya sesudahnya atau pembacaan
al-Qur’an tidak dilakukan dekat kubur simayat. Adapun apabila bacaan al-Qur’an
diserta dengan doa agar semisal pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayat sebagaimana yang sering dilakukan di Aceh dan
Indonesia pada umumnya atau dibaca dekat kuburan, maka bacaan tersebut bermanfaat
bagi mayat dan itu tidak bertentangan dengan nash Imam Syafi’i di atas.
9. Nash Imam Syafi’i
melarang qiyas pada ibadah
Nash Imam Syafi’i di
maksud adalah :
فَهُوَ تَعَبُّدٌ لَا قِيَاسَ عَلَيْهِ
Bagi
orang anti qiyas pada ibadah nash Imam Syafi’i sering diterjemah dengan : “Dia itu ibadah, maka tidak ada qiyas
padanya.”
Untuk
memahami nash Imam Syafi’i ini dengan benar, mari kita lihat nash ini secara
lengkap dalam kitab beliau, al-Um sebagai berikut :
فَهَكَذَا
قُلْنَا فِي الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ لَا يُقَاسُ عَلَيْهِمَا عِمَامَةٌ
وَلَا بُرْقُعٌ وَلَا قُفَّازَانِ قَالَ وَهَكَذَا قُلْنَا فِيهِ؛ لِأَنَّ فِيهِ
فَرْضَ وُضُوءٍ وَخُصَّ مِنْهُ الْخُفَّانِ خَاصَّةً فَهُوَ تَعَبُّدٌ لَا قِيَاسَ
عَلَيْهِ
Kami mengatakan mengenai menyapu dua sepatu
tidak dapat diqiyas atasnya serban, kelubung dan dua sarung tangan. Demikian
kami katakan tentangnya, karena ia merupakan fardhu wudhu’ yang dikhususkan dua
sepatu secara khusus. Karena itu, ia merupakan ta’abudi yang tidak ada qiyas
padanya.[7]
Nash Imam Syafi’i di atas menolak qiyas serban, kelubung dan sarung tangan
kepada menyapu sepatu sehingga hukumnya, boleh menyapu saja sebagai ganti
membasuh anggota wudhu’ sebagaimana hukum menyapu dua sepatu. Penolakan Syafi’i
ini bukan karena menyapu sepatu dalam bab wudhu’ ini merupakan perkara ibadah,
tetapi hanya karena ia merupakan perkara ta’abudi, yaitu sesuatu yang tidak
dapat dipahami ‘illah-nya, dengan demikian qiyasnya tidak sah karena ‘illah
hukum yang menjadi persyaratan qiyas tidak terpenuhi. Tidak dapat diartikan ta’abud
dalam nash Imam Syafi’i di atas bermakna ibadah, karena Imam Syafi’i sendiri melakukan
qiyas pada ibadah, beliau mengqiyaskan masalah najis babi kepada anjing dalam
hal kewajiban membasuh bekas jilatannya tujuh kali, salah satunya dicampur
dengan tanah.[8] Padahal
sebagaimana dimaklumi kewajiban membasuh najis termasuk perkara ibadah. Qiyas lain dalam ibadah yang dilakukan Syafi'i adalah kebolehan melakukan umrah untuk orang yang sudah meninggal dunia dengan jalan qiyas kepada ibadah haji.9
[1]
An-Nawawi, al-Fatawa, Hal. 47
[3] Muhyiddin Abdusshamad, al-Hujjaj
al-Qathi’ah fi Shihah al-Mu’taqidaat wal-Amaliyaat al-Nahdliyah,
Khalista, Surabaya, Hal. 166.
[4]An-Nawawi, Riyadhusshalihin, Dar Ibnu al-Jauzy, Hal.
363
[5]
Al-Nawawi, al-Azkar, al-Haramain, Hal. 147
[6] Ibnu Hajar Haitamy, Fatawa al-Kubra al-fiqhiah,
Darul Fikri, Beirut, Juz IV, Hal. 20
[8]. Imam
Syafi’i, al-Um, Dar al-Wifa’, Juz. I,
Hal. 17
(9).Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, Dar al-Turatsi, Kairo, Juz. I, Hal. 430
(9).Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, Dar al-Turatsi, Kairo, Juz. I, Hal. 430
Tidak ada komentar:
Posting Komentar