Jumat, 20 Oktober 2017

Al-Mabadi al-‘Asyarah (Mabadi Sepuluh)

Dalam kitabnya, Hasyiah ‘ala Syarh al-Sulaam, Muhammad bin Ali ash-Shabban, mengatakan dalam kumpulan syairnya sebagai berikut :
إِنَّ مَبَادِي كُلِّ فَنٍّ عَشرَةْ           الحَدُّ وَالمَوْضُوْعُ  ثُمَّ الثَّمره
وَنِسْبَةٌ وَفَضْلُهُ وَالوَاضِعُ           وَالاسْمُ الاِسْتِمْدَادُ حُكْمُ الشَّارِعُ 
مَسَائِلُ وَالبَعْضُ بِالبَعْضِ اكْتَفَى وَمَنْ دَرَى الجَمِيْعَ حَازَ الشَّرَفَا 
Sesungguhnya mabadi (pengantar dasar) dalam setiap disiplin ilmu itu ada sepuluh, yaitu: (1) definisi, (2) ruang lingkup, (3) manfaat , (4) hubungan, (5) fadhilahnya, (6) pencetusnya, (7) nama, (8) sumber pengambilan, (9) hukum mempelajari, (10) masail. Mengetahui sebagiannya memadai untuk sebagian yang lain dan siapa yang menguasai semuanya maka akan meraih kemuliaan.[1]
Penjelasannya
1.      Ta’rif/definisi sesuatu adalah lafazh yang dengan sebab mengenalnya akan mengenal sesuatu
2.      Mauzhu’ / objek ilmu. Muhammad bin Ali ash-Shabban mengatakan, mauzhu’ ilmu adalah sesuatu yang dibahas di dalamnya dari aspek ‘awarizhnya yang bersifat zatiyah. Misalnya tubuh manusia merupakan mauzhu’ ilmu kedokteran. Dalam ilmu kedokteran, tubuh manusia dibahas dari aspek sehat dan sakitnya. Sedangkan sehat dan sakit ini merupakan ‘awarizh tubuh manusia yang bersifat zatiyah. Contoh lain yang dikemukakan oleh ash-Shabban kalimat arabiyah merupakan mauzhu’ ilmu nahu. Dalam ilmu nahu, kalimat arabiyah dibahas dari aspek i’rab dan binanya. Sedangkan i’rab dan bina ini merupakan ‘awarizh kalimat arabiyah yang bersifat zatiyah. Untuk lebih memahami pengertian  ‘awarizh zatiyah, ash-Shabban membagi tiga pembagian ‘awarizh zatiyah ini, yakni :
a.    Yang dihubungkan kepada sesuatu karena zatnya, seperti sifat heran yang dihubung kepada manusia karena zat manusia itu sendiri.
b.    Yang dihubungkan kepada sesuatu karena juzu’nya, seperti bergerak dengan kehendak sendiri yang dihubungkan kepada manusia karena manusia adalah hewan, sedangkan hewan adalah juzu’ dari manusia (manusia adalah kumpulan dari hewan dan nathiq).
c.    Yang dihubungkan kepada sesuatu karena sifat khariji-nya (sifat eksternal), akan tetapi ia menyamai sesuatu, seperti tertawa yang dihubungkan kepada manusia dengan perantaraan manusia adalah yang ta’ajjub, sedangkan yang ta’ajjub itu menyamai manusia, karena tidak didapati dari manusia yang tidak ta’ajjub.[2]
3.      Manfaat / faedahnya. Misalnya manfaat ilmu manthiq adalah memelihara berpikir dari kesalahan.[3]
4.      Nisbah/hubungan dengan ilmu-ilmu lain. Misalnya ilmu manthiq dengan i’tibar mauzhu’nya merupakan kulliy bagi ilmu-ilmu lain, karena setiap ilmu ada tasawwur dan tashdiq, sedangkan mauzhu’ ilmu manthiq adalah tasawwur dan tashdiq. Adapun dengan i’tibar mafhumnya, ilmu manthiq berbeda dengan ilmu lainnya.[4]
5.      Fadhilahnya. Misalnya fadhilah ilmu manthiq tinggi dan melebihi di atas ilmu lain. Karena ilmu manthiq mencakup manfaatnya bagi ilmu-ilmu lainnya.[5]
6.      Waazhi’/pencetusnya. Misalnya pencetus ilmu manthiq adalah Aristoteles.[6] Pencetus ilmu Ushul Fiqh adalah Imam Syafi’i.
7.      Nama ilmu. Misalnya nama ilmu manthiq. Dinamakan juga dengan al-mizan atau mi’yar al-‘ulum.[7]
8.      Istimdaad / sumber pengambilan ilmu. Misalnya sumber pengambilan ilmu manthiq adalah akal [8]. Contoh lain, sumber pengambilan ilmu ushul fiqh adalah ilmu kalam, bahasa Arab dan tasawwur hukum.[9]
9.      Hukum mempelajarinya. Misalnya hukum mempelajari fiqh adalah fardhu ‘ain sebatas dapat mengetahui sah, batal, haram dan halal dalam ibadah dan lainnya yang dhahir. Selebihnya, hukumnya fardhu kifayah.
10.  Masail /masalah-masalah pokok. Zakariya al-Anshari menjelaskan, masail ilmu adalah sesuatu yang dituntut menisbahkan mahmul (keterangan) kepada mauzhu’ (subjek) pada sebuah disiplin ilmu. Contoh masail ilmu ushul fiqh, amar berfaedah wajib dan nahi berfaedah haram.[10]






[1] Muhammad bin Ali ash-Shabban, Hasyiah ‘ala Syarh al-Sulaam, al-Haramain, Singapura, Hal. 35
[2] Muhammad bin Ali ash-Shabban, Hasyiah ‘ala Syarh al-Sulaam, al-Haramain, Singapura, Hal. 34
[3] Ahmad al-Mallawiy, Syarah ‘ala al-Sulaam al-Munauraqi, (dicetak pada hamisy Hasyiah ‘ala Syarh al-Sulaam, al-Haramain, Singapura, Hal. 33
[4] Muhammad bin Ali ash-Shabban, Hasyiah ‘ala Syarh al-Sulaam, al-Haramain, Singapura, Hal. 35
[5] Muhammad bin Ali ash-Shabban, Hasyiah ‘ala Syarh al-Sulaam, al-Haramain, Singapura, Hal. 35
[6] Muhammad bin Ali ash-Shabban, Hasyiah ‘ala Syarh al-Sulaam, al-Haramain, Singapura, Hal. 35
[7] Muhammad bin Ali ash-Shabban, Hasyiah ‘ala Syarh al-Sulaam, al-Haramain, Singapura, Hal. 35
[8] Muhammad bin Ali ash-Shabban, Hasyiah ‘ala Syarh al-Sulaam, al-Haramain, Singapura, Hal. 35
[9] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 5
[10] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 5

5 komentar: