Dalam kitabnya, Hasyiah ‘ala Syarh al-Sulaam, Muhammad bin Ali
ash-Shabban, mengatakan dalam kumpulan syairnya sebagai berikut :
إِنَّ مَبَادِي كُلِّ فَنٍّ عَشرَةْ الحَدُّ وَالمَوْضُوْعُ ثُمَّ الثَّمره
وَنِسْبَةٌ وَفَضْلُهُ وَالوَاضِعُ وَالاسْمُ الاِسْتِمْدَادُ حُكْمُ الشَّارِعُ
مَسَائِلُ وَالبَعْضُ بِالبَعْضِ اكْتَفَى وَمَنْ دَرَى الجَمِيْعَ حَازَ الشَّرَفَا
Sesungguhnya mabadi (pengantar dasar) dalam setiap disiplin ilmu
itu ada sepuluh, yaitu: (1) definisi, (2) ruang lingkup, (3) manfaat , (4) hubungan,
(5) fadhilahnya, (6) pencetusnya, (7) nama, (8) sumber pengambilan, (9) hukum
mempelajari, (10) masail. Mengetahui sebagiannya memadai untuk sebagian yang
lain dan siapa yang menguasai semuanya maka akan meraih kemuliaan.[1]
Penjelasannya
1.
Ta’rif/definisi sesuatu
adalah lafazh yang dengan sebab mengenalnya akan mengenal sesuatu
2.
Mauzhu’ / objek ilmu. Muhammad bin Ali ash-Shabban mengatakan, mauzhu’ ilmu
adalah sesuatu yang dibahas di dalamnya dari aspek ‘awarizhnya yang bersifat zatiyah.
Misalnya tubuh manusia merupakan mauzhu’ ilmu kedokteran. Dalam ilmu
kedokteran, tubuh manusia dibahas dari aspek sehat dan sakitnya. Sedangkan sehat
dan sakit ini merupakan ‘awarizh tubuh manusia yang bersifat zatiyah. Contoh lain
yang dikemukakan oleh ash-Shabban kalimat arabiyah merupakan mauzhu’ ilmu nahu.
Dalam ilmu nahu, kalimat arabiyah dibahas dari aspek i’rab dan binanya. Sedangkan
i’rab dan bina ini merupakan ‘awarizh kalimat arabiyah yang bersifat zatiyah. Untuk
lebih memahami pengertian ‘awarizh zatiyah,
ash-Shabban membagi tiga pembagian ‘awarizh zatiyah ini, yakni :
a. Yang dihubungkan kepada sesuatu karena zatnya, seperti sifat heran yang
dihubung kepada manusia karena zat manusia itu sendiri.
b. Yang dihubungkan kepada sesuatu karena juzu’nya, seperti bergerak dengan
kehendak sendiri yang dihubungkan kepada manusia karena manusia adalah hewan,
sedangkan hewan adalah juzu’ dari manusia (manusia adalah kumpulan dari hewan dan
nathiq).
c. Yang dihubungkan kepada sesuatu karena sifat khariji-nya (sifat eksternal),
akan tetapi ia menyamai sesuatu, seperti tertawa yang dihubungkan kepada
manusia dengan perantaraan manusia adalah yang ta’ajjub, sedangkan yang ta’ajjub
itu menyamai manusia, karena tidak didapati dari manusia yang tidak ta’ajjub.[2]
3.
Manfaat / faedahnya. Misalnya
manfaat ilmu manthiq adalah memelihara berpikir dari kesalahan.[3]
4.
Nisbah/hubungan dengan
ilmu-ilmu lain. Misalnya ilmu manthiq dengan i’tibar mauzhu’nya merupakan kulliy
bagi ilmu-ilmu lain, karena setiap ilmu ada tasawwur dan tashdiq, sedangkan
mauzhu’ ilmu manthiq adalah tasawwur dan tashdiq. Adapun dengan i’tibar mafhumnya,
ilmu manthiq berbeda dengan ilmu lainnya.[4]
5.
Fadhilahnya. Misalnya fadhilah
ilmu manthiq tinggi dan melebihi di atas ilmu lain. Karena ilmu manthiq
mencakup manfaatnya bagi ilmu-ilmu lainnya.[5]
6.
Waazhi’/pencetusnya. Misalnya
pencetus ilmu manthiq adalah Aristoteles.[6] Pencetus
ilmu Ushul Fiqh adalah Imam Syafi’i.
7.
Nama ilmu. Misalnya nama
ilmu manthiq. Dinamakan juga dengan al-mizan atau mi’yar al-‘ulum.[7]
8.
Istimdaad / sumber
pengambilan ilmu. Misalnya sumber pengambilan ilmu manthiq adalah akal [8].
Contoh lain, sumber pengambilan ilmu ushul fiqh adalah ilmu kalam, bahasa Arab
dan tasawwur hukum.[9]
9.
Hukum mempelajarinya. Misalnya
hukum mempelajari fiqh adalah fardhu ‘ain sebatas dapat mengetahui sah, batal,
haram dan halal dalam ibadah dan lainnya yang dhahir. Selebihnya, hukumnya
fardhu kifayah.
10.
Masail /masalah-masalah
pokok. Zakariya al-Anshari menjelaskan, masail ilmu adalah sesuatu yang
dituntut menisbahkan mahmul (keterangan) kepada mauzhu’ (subjek) pada sebuah disiplin
ilmu. Contoh masail ilmu ushul fiqh, amar berfaedah wajib dan nahi berfaedah
haram.[10]
[1] Muhammad bin Ali ash-Shabban, Hasyiah ‘ala Syarh
al-Sulaam, al-Haramain, Singapura, Hal. 35
[2] Muhammad bin Ali ash-Shabban, Hasyiah ‘ala Syarh
al-Sulaam, al-Haramain, Singapura, Hal. 34
[3] Ahmad al-Mallawiy,
Syarah ‘ala al-Sulaam al-Munauraqi, (dicetak pada hamisy Hasyiah ‘ala Syarh al-Sulaam, al-Haramain, Singapura, Hal. 33
[9] Zakariya
al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 5
[10]
Zakariya
al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 5
فثقهپشا نشسها سشدلشف پثپذشدفع
BalasHapusOk
BalasHapusIzin saya amalkan Tgk ya..?
BalasHapusMantap
BalasHapusKumpulan ilmu mabadi 10 kitab apa
BalasHapus