Rabu, 21 September 2011

Hadits ; Aku dari Allah dan orang-orang mukmin dariku


Hadits ini lafazhnya adalah :
ﺍﻧﺎ ﻣﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺍﻟﻣﺆﻣﻨﻭﻥ ﻣﻨﯥ
Hadits ini sering digunakan oleh sebagian orang yang mendakwakan dirinya sebagai sufi, padahal mereka ini sufi bohong-bohongan serta sesat dan menyesatkan, sebagai dalil bahwa Nabi Muhammad SAW seorang insan kamil yang merupakan pancaran dari zat Allah, artinya hakikat Muhammad tidak bisa dipisahkan dari zat Allah alias menyatu dengan zat Allah. Paham ini sering disebut dalam pembahasan akidah sebagai paham ittihad (penyatuan antara khaliq dan makhluq) dan hulul (khaliq menempatkan diri-Nya pada makhluq)
Al-Shakhawi, seorang ahli hadits murid dari Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Guru saya (Ibnu Hajar al-Asqalany) mengatakan, hadits tersebut dusta dan dibuat-buat. Sebagian Hufazh mengatakan, tidak dikenal lafazh ini secara marfu’. Bahkan telah tetap dalam al-Kitab dan al-Sunnah bahwa orang-orang mukmin, sebagian mereka dari sebagian yang lain dan dalam al-Sunnah, sabda Nabi SAW untuk kelompok al-Asy’ariun : “Mereka adalah dariku dan aku dari mereka” dan juga sabda Nabi SAW kepada Ali : “Engkau dariku dan aku darimu” serta sabda Nabi SAW tentang Husein : “Ini dariku dan aku darinya”. Semuanya adalah Shahih. ”. [1]
Perkataan Ibnu Hajar al-Asqalany di atas juga telah disebut oleh Abdurrahman al-Syaibani al-Syafi’i al-Atstsari dalam kitab beliau, Tamyiz al-Thaib min al-Khabiits.[2]


[1] Al-Shakhawi, al-Maqashid al-Hasanah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 98
[2] Abdurrahman al-Syaibani al-Syafi’i al-Atstsari, Tamyiz al-Thaib min al-Khabits, Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut, Hal. 36

Senin, 19 September 2011

Ghayatul Wushul (terjemahan & penjelasannya), pengertian syarat, hal.13

( وَالشَّرْطُ مَا يَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ الْعَدَمُ ) للمشروط ( وَلاَ يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِهِ وُجُوْدٌ وَلاَ عَدَمٌ ) له خرج بالقيد الأول المانع اذ لايلزم من عدمه شئ وبالثانى السبب اذ يلزم من وجوده الوجود وزاد الأصل ككثير فى تعريفه لذاته ليدخل الشرط المقارن للسبب فيلزم الوجود كوجود الحول الذى هو شرط لوجوب الزكاة مع النصاب الذى هو سبب للوجوب والمقارن للمانع كالدين على القول بأنه مانع من وجوب الزكاة فيلزم العدم فلزوم الوجود والعدم فى ذلك لوجود السبب والمانع لا لذات الشرط وحذفه لعدم الاحتياج اليه فيما ذكر اذ المقتضى للزوم الوجود والعدم انما هو السبب والمانع لا الشرط ثم هو عقلى كالحياة للعلم وشرعى كالطهارة للصلاة وعادى كنصب السلم لصعود السطح ولغوى كما فى أكرم فلانا ان جاء أى الجائى وسيأتى فى مبحث التخصيص وتعريفى هنا للشرط بما ذكر وان شمل اللغوى أنسب من تأخير الأصل له الى مبحث المخصص

(Dan syarat adalah sesuatu yang tidak adanya melazimkan tidak ada) bagi yang disyaratkan (dan tidak dari wujudnya melazimkan ada dan tidak juga melazimkan tidak ada) bagi yang disyaratkan.(1) Dengan qaid pertama, keluarlah al-maani’, karena tidak adanya tidak melazimkan apapun.(2) Dan dengan qaid kedua, mengeluarkan sebab, karena adanya melazimkan ada musabbab. Asal, sebagaimana halnya kebanyakan ulama melebihkan dalam devinisi syarat perkataan “lizatihi” supaya masuk syarat yang menyertai sebab bersamanya, dimana syarat ini melazimkan adanya yang disyaratkan, seperti wujud haul yang merupakan syarat wajib zakat bersamaan dengan adanya nisab yang merupakan sebab wajib zakat dan masuk syarat yang menyertai al-maani’ bersamanya, seperti hutang berdasarkan pendapat yang menyatakannya sebagai al-maani’ wajib zakat, dimana al-maani’ ini melazimkan tidak ada. Maka melazimkan ada dan tidak ada pada hal-hal itu adalah karena wujud sebab dan al-maani’ , bukan karena zat syarat. Membuangnya karena tidak diperlukannya pada masalah tersebut, karena yang mengakibatkan melazimkan ada dan tidak ada hanyalah sebab dan al-maani’, bukan syarat. Kemudian syarat itu ada yang ‘aqli(3) seperti hidup untuk mendengar, ada yang syar’i (4) seperti suci untuk shalat, ada ‘adiy(5) seperti mendirikan tangga untuk naik tempat yang tinggi dan ada yang lughawi(6) seperti perkataan “Aku memuliakan si pulan jika dia datang.” artinya yang datang. Pembahasan ini nantinya dalam pembahasan takhshis. Devisiku di sini adalah untuk syarat yang didevinisi dengan yang telah disebutkan, meskipun mencakup syarat lughawi, ia lebih sesuai dari pada diletakkan oleh Asal kepada pembahasan al-mukhashshish

Penjelasannya

(1). Contohnya suci merupakan syarat sah shalat, ia disebut syarat, karena tidak adanya melazimkan tidak ada shalat (tidak sah shalat), namun adanya suci belum tentu akan wujud shalat atau tidak wujudnya, karena ada orang bersuci yang tidak shalat dan mengerjakan ibadah lain dengan sucinya itu.

(2). Seperti haid pada perempuan yang menjadi maani’ shalat (penghalang shalat), dimana tidak ada haid pada perempuan tidak melazimkan wujud atau tidak wujud shalat.

(3). Hubungan syarat dan masyruth berdasarkan penetapan aqal

(4). Hubungan syarat dan masyruth berdasarkan penetapan syara’

(5). Hubungan syarat dan masyruth berdasarkan kejadian yang biasa terjadi

(6). Hubungan syarat dan masyruth berdasarkan qaidah lughat.

Sabtu, 17 September 2011

Hal isyhad (kesaksian) baik kepada janazah

Ada yang mamberi sambutan dalam rangka mengantar jenazah dengan mengatakan: “Jenazah ini baik atau tidak baik hadirin?”. Atau “Jenazah ini isi syurga atau isi neraka ?” Kemudian para hadirin serempak menjawab “baik!” atau “Isi syurga” Biasanya bahkan diulang sampai tiga kali. Persaksian semacam ini masih sering kita dengar di kalangan masyarakat kita. Mengenai isyhad yang kita bicarakan ini. Dasar hukumnya adalah :

1. Dari Anas bin Malik berkata :

ُ مَرُّوا بِجَنَازَةٍ فَأَثْنَوْا عَلَيْهَا خَيْرًا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَبَتْ ثُمَّ مَرُّوا بِأُخْرَى فَأَثْنَوْا عَلَيْهَا شَرًّا فَقَالَ وَجَبَتْ فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَا وَجَبَتْ قَالَ هَذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ خَيْرًا فَوَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ وَهَذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ شَرًّا فَوَجَبَتْ لَهُ النَّارُ أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ

Artinya : Orang-orang melewati jenazah (di hadapan Nabi ), lalu mereka memujinya dengan kebaikan. Lantas Nabi bersabda, “Pasti.” Kemudian mereka melewati jenazah lain, tapi mereka mengucapkan keburukan atasnya. Maka, beliau bersabda, “Pastilah.”. Kemudian Umar ibnul Khatab bertanya kepada beliau, 'Apakah yang pasti itu?' Beliau menjawab, 'Ini kamu puji dengan kebaikan, maka pastilah surga baginya. Sedangkan, ini yang kamu katakan buruk atasnya, maka pastilah neraka baginya. Kalian adalah saksi Allah di bumi. (H.R. Bukhari)[1]

2. Dari Abu al-Aswad berkata :

َقَدِمْتُ الْمَدِينَةَ وَقَدْ وَقَعَ بِهَا مَرَضٌ فَجَلَسْتُ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَمَرَّتْ بِهِمْ جَنَازَةٌ فَأُثْنِيَ عَلَى صَاحِبِهَا خَيْرًا فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَجَبَتْ ثُمَّ مُرَّ بِأُخْرَى فَأُثْنِيَ عَلَى صَاحِبِهَا خَيْرًا فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَجَبَتْ ثُمَّ مُرَّ بِالثَّالِثَةِ فَأُثْنِيَ عَلَى صَاحِبِهَا شَرًّا فَقَالَ وَجَبَتْ فَقَالَ أَبُو الْأَسْوَدِ فَقُلْتُ وَمَا وَجَبَتْ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ قَالَ قُلْتُ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا مُسْلِمٍ شَهِدَ لَهُ أَرْبَعَةٌ بِخَيْرٍ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ فَقُلْنَا وَثَلَاثَةٌ قَالَ وَثَلَاثَةٌ فَقُلْنَا وَاثْنَانِ قَالَ وَاثْنَانِ ثُمَّ لَمْ نَسْأَلْهُ عَنْ الْوَاحِد

Artinya : Aku datang di Madinah dan di situ sedang terjangkit penyakit yang mengenai orang banyak. Aku lalu duduk di dekat Umar ibnul Khatab. Kemudian ada jenazah lewat, lalu jenazah itu dipuji. Umar berkata, "Pastilah." Kemudian lewat lagi jenazah lain, jenazah itu juga dipuji orang, maka Umar berkata : “Pastilah”. Kemudian setelah itu, lewat jenazah lain lagi, jenazah itu dicaci, Umar berkata : “Pastilah”. Lalu Abul Aswad bertanya kepada Umar ibnul Khatab, "Wahai Amirul Mu'minin, apa yang pasti?" Umar ibnul Khatab berkata, "Aku mengatakan sebagaimana yang di katakan Nabi SAW yang bersabda, 'Muslim mana pun yang disaksikan oleh empat orang bahwa dia baik, maka Allah memasukkannya ke surga.' Kami bertanya, 'Tiga orang?' Beliau menjawab, 'Ya, tiga orang.' Kami bertanya, 'Dua orang?' Beliau menjawab, 'Ya, dua orang.' Kemudian kami tidak menanyakan tentang seorang. (H.R. Bukhari)[2]

3. Sabda Nabi SAW :

اذكروا محاسن موتاكم وكفوا عن مساويهم

Artinya : Sebutlah kebaikan seorang yang meninggal dunia dan hindari membuka aibnya.(H.R. Abu Daud[3] dan Turmidzi[4])



[1] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. II, Hal. 97, No. Hadits : 1367

[2] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. II, Hal. 97, No. Hadits 1368

[3] Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 692, No. Hadits : 4900

[4] Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 242, No. Hadits : 1024

Jumat, 16 September 2011

Menggauli istri yang sedang haid dengan menggunakan kondom

Hukum menggauli istri yang sedang haid dengan menggunakan kondom adalah haram sebagaimana menggauli dengan tanpa kondom. Berikut adalah keterangan ulama mengenai hukumnya, antara lain :

1. An-Nawawi al-Jawy, beliau berkata :

Yang kesembilan (dari yang diharamkan terhadap wanita berhaid): berhubungan suami isteri walaupun dengan menggunakan penghalang yang tipis, meskipun itu setelah darah berhenti dan belum mandi. Itu termasuk dosa besar bagi yang sengaja melakukannya dan mengetahui keharamannya”.

Selanjutnya beliau mengatakan :

Tetapi keharaman tersebut apabila tidak kuatir zina, seandainya ia kuatir zina dan hanya dengan cara itu ia menghindari zina, maka boleh ia melakukan karena pada saat itu ia menghadapi dua mafsadah yang berbeda, maka ia mengambil yang teringan”.[1]


2. Zainuddin al-Malibary dalam Kitab Fath al-Muin, bahkan mengatakan haram bersentuhan dengan bagian badan perempuan yang ada antara pusar dan lutut.[2]


Dalilnya antara lain :

1. Hadits Nabi SAW :

عن عائشة قالت كان إحدانا إذا كانت حائضا أمرها رسول الله صلعم فتأتزر بإزار ثم يباشرها

Artinya : Dari Aisyah, beliau berkata : Salah seorang dari kami (isteri-isteri Rasulullah) apabila berhaid, maka Rasulullah SAW memerintahkan kami mengikat kain sarung. Setelah kami melakukannya, baru Rasulullah SAW menyentuh kami. (H.R. Muslim) [3]


2. Hadits Nabi SAW.

كان رسول الله صلعم يباشرنسائه فوق الإزر وهن حيض

ِArtinya : Rasulullah SAW menyentuh isteri-isteri beliau di atas kain sarung pada saat mereka dalam keadaan berhaid.(H.R. Muslim) [4]


3. Hadits Nabi SAW :

من أتى حائضا أو إمرأة في دبرها أو كاهنا فقد كفر بما انزل على محمد صلعم

Artinya : Barangsiapa yang mendatangi isterinya yang sedang haid, mendatangi isteri pada duburnya atau mendatangi kahin (tukang ramal), sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad SAW.(H.R. at-Turmidzi)[5]

Menggauli istri yang sedang haid dengan menggunakan kondom termasuk dalam larangan Rasulullah SAW dalam hadits di atas, yaitu larangan mubasyarah (bermain-main dengan bersentuhan kulit) di antara pusar dan lutut isteri yang sedang haid



[1] Nawawi al-Jawy, Nihayatuz Zain, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Jakarta, Hal. 43.

[2] Zainuddin al-Malibary, Fath al-Muin, dicetak pada hamisy I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 72

[3] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 242

[4] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 243

[5] At-Turmidzi, Sunan at-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 90, No. Hadits 135

Kamis, 15 September 2011

Hadits perempuan dinikahi karena empat hal

TGK H JAFAR SIDDIQ ST HT bertanya

Assalamu'alaikum.
Barangsiapa mengawini seorang wanita karena memandang kedudukannya maka Allah akan menambah baginya kerendahan, dan barangsiapa mengawini wanita karena memandang harta-bendanya maka Allah akan menambah baginya kemelaratan, dan barangsiapa mengawininya karena memandang keturunannya maka Allah akan menambah baginya kehinaan, tetapi barangsiapa mengawini seorang wanita karena bermaksud ingin meredam gejolak mata dan menjaga kesucian seksualnya atau ingin mendekatkan ikatan kekeluargaan maka Allah akan memberkahinya bagi isterinya dan memberkahi isterinya baginya. (HR. Bukhari)

lalu bagai mana dengan hadis kebalikan nya ? tidak bertentangan ??
kawinin wanita dengan 4 perkara

kecantikan
keturunan
kekayaan
agama ,,,,lalu di lihat dari segi hadis ..hampir berlawanan ...satu sisi di larang . pada sisi lain di anjurkan
mohon penjelasan ..Wasalam


Jawabannya :

Sebelum kita menjawab apakah kedua hadits di atas bertentangan atau tidak, sebaiknya kita telusuri kedudukan hadits tersebut dulu, yakni sebagai berikut :

1. Kami telah mencoba menyelusuri hadits pertama yang tgk sebut di atas, tetapi kami tidak menemukan hadits tersebut dalam Shahih al-Bukhari dan kami juga tidak menemukan ada ahli hadits yang menyebut bahwa hadits tersebut diriwayat oleh Bukhari. Kami menyelusurinya dengan membuka kitab Shahih al-Bukhari dan lainnya dan juga mencari dengan menggunakan mesin pencari hadits dalam beberapa situs internet pencari hadits, tetapi tidak ditemukan hadits tersebut (mudah-mudahan penyelusuran kami tersebut tidak keliru, wallahu a’lam)

2. Namun demikian, Ibnu Hajar al-Haitamy dalam kitab beliau, al-Ifshah ‘an Ahadits al-Nikah[1] ada menyebut dua hadits yang menurut dugaan kami sesuai atau hampir sesuai dengan terjemahan hadits yang Tgk kemukakan, yaitu ;

a. Abu al-Na’im dalam kitab al-Haliyah dari hadits Abdussalam bin Abdu al-Qudus dari Ibrahim dari Anas secara marfu’, yaitu :

من تزوج امرأة لعزها لم يزده الله الا ذلا ومن تزوجها لمالها لم يزده الله الا فقرا ومن تزوجها لحسنها لم يزده الله الا دناءة ومن تزوجها الا ليغض بصره ويحصن فرجه أو تصل رحمه الا بارك الله له فيها وبارك لها فيه

b. Hadits pada point “a” di atas telah diriwayat oleh Ibnu Hibban dan dikeluarkan Ibnu al-Najar dan al-Thabrani dalam al-Ausath dari Anas dengan lafazh sebagai berikut :

من تزوج امرأة لعزها لم يزده الله عز وجل الا ذلا ومن تزوجها لمالها لم يزده الله تعالى الا فقرا ومن تزوجها لحسنها لم يزده الله الا دناءة ومن تزوج امرأة ليغض بصره ويحصن فرجه وتصل رحمه كان ذلك منة وبورك له فيها وبارك الله لها فيه

Al-Haitsami mengatakan :

Hadits ini telah diriwayat oleh al-Thabrany dalam al-Ausath, pada sanadnya ada Abdussalam bin Abd al-Qudus, sedangkan beliau ini dha’if.”[2]

3. Adapun hadits yang kedua adalah merupakan hadits diriwayat dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW bersabda :

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ،ﻟﻤﺍﻠﻬﺍَ، وَلِحَسَبِهَا، وَجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ

بذات الدين تربت يمينك

Artinya : Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan berbahagia. (Muttafaq Alaihi dan Imam Lima)

Hadits di atas merupakan hadits shahih yang telah diriwayat oleh Bukhari, Muslim dan Imam yang lima sebagaimana disebut oleh Ibnu Hajar al-Asqalany dalam Bulugh al-Maram.[3]

Adapun pengertiannya, Rasulullah SAW hanya mengabarkan bahwa kebiasaan manusia kalau menikahi seorang perempuan, maka empat hal yang disebut dalam hadits di atas menjadi sebab seseorang menjatuhkan pilihannya. Dalam hadits ini tidak ada perintah atau anjuran mengumpulkan atau memilih salah satu diantara empat hal tersebut, tetapi hanya Rasulullah SAW memerintah memilih yang terakhir, yaitu perempuan yang taat beragama. Penjelasan seperti ini telah dikemukakan oleh para ulama, antara lain :

  1. Al-Muhaddits Ibnu Mulaqqan mengatakan :

Yang shahih makna hadits ini adalah Rasulullah SAW mengabarkan apa yang menjadi kebiasaan manusia perbuat., mereka mengqashad empat perkara ini”.[4]

Hal yang sama juga telah dikemukakan oleh al-Karmani dalam dalam kitab beliau, Syarah al-Bukhari.[5]

  1. Qadhi ‘Iyadh mengutip penafsiran al-Dawidi mengatakan :

“Rasulullah SAW hanya mengabarkan apa yang dilakukan manusia dan beliau tidak memerintah hal-hal tersebut.”[6]

Dengan memahami pengertian yang kami kemukakan di atas, maka menurut hemat kami, kandungan dua hadits tersebut tidak saling bertentangan.



[1] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Ifshah ‘an Ahadits al-Nikah, Hal. 3

[2] Al-Haitsamy, Majma’ al-Zawaid, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 467

[3] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 196

[4] Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Darul Hijrah, Juz. VII, Hal. 502

[5] Al-Karmani, Syarah al-Bukhari, Darul Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. 19, Hal.72

[6] Qadhi ‘Iyadh, Ikmal al-Mu’allim bi Fawaid Muslim, Darul Wifa’, Juz. IV, hal. 672

Sabtu, 10 September 2011

Orangtua yang meninggal anaknya, namun tetap dalam kesabaran

Banyak hadits shahih yang membicarakan keutamaan orangtua yang duluan meninggal anaknya yang belum baligh, namun tetap dalam kesabaran, antara lain :

1. Hadits dari Anas bin Malik, beliau berkata :

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ النَّاسِ مُسْلِمٌ يَمُوتُ لَهُ ثَلَاثَةٌ مِنْ الْوَلَدِ لَمْ يَبْلُغُوا الْحِنْثَ إِلَّا أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ إِيَّاهُم

Artinya : Rasulullah SAW bersabda : tidak ada seorang muslimpun apabila meninggal tiga orang anaknya yang belum baligh melainkan Allah akan memasukkannya ke dalam sorga dengan keutamaan rahmat-Nya kepada mereka (H.R. Bukhari)[1]

2. Hadits dari Abu Hurairah dari Nabi SAW :

مَنْ مَاتَ لَهُ ثَلَاثَةٌ مِنْ الْوَلَدِ لَمْ يَبْلُغُوا الْحِنْثَ كَانَ لَهُ حِجَابًا مِنْ النَّارِ أَوْ دَخَلَ الْجَنَّة

Artinya : Siapa saja yang meninggal tiga orang anaknya yang belum baligh maka mereka akan menghalanginya dari api neraka atau dia akan masuk ke dalam sorga (H.R. Bukhari)[2]

3. Dari Abu Hurairah :

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لاَ يَمُوتُ لِمُسْلِمٍ ثَلاَثَةٌ مِنْ الْوَلَدِ فَيَلِجَ النَّارَ إِلاَّ تَحِلَّةَ القسم

Artinya : Dari Nabi SAW, beliau bersabda : Seorang muslim yang meninggal dunia tiga orang anaknya, maka ia masuk api neraka, maka tidak ada baginya kecuali sambil lalu saja. (H.R. Bukhari)[3]

4. Dari Abu Hurairah

عن النبي صلى الله عليه و سلم قال لا يموت لأحد من المسلمين ثلاثة من الولد فتمسه النار إلا تحلة القسم Artinya : Dari Nabi SAW, beliau bersabda : Seorang muslim yang meninggal dunia tiga orang anaknya, maka disentuh oleh api neraka, maka tidak ada baginya kecuali sambil lalu saja. (H.R. Muslim)[4]

5. Dari Abu Hurairah

أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لنسوة من الأنصار لا يموت لإحداكن ثلاثة من الولد فتحتسبه إلا دخلت الجنة فقالت امرأة منهن أو اثنين ؟ يا رسول الله قال أو اثنين

Artinya : Bahwasanya Rasulullah SAW berkata kepada para wanita anshar : Tidak satupun diantara kalian yang ditinggal mati oleh tiga orang anaknya kemudian dia tetap sabar melainkan dia akan masuk sorga. Salah seorang diantara mereka berkata : atau mungkin dua orang ya Rasulallah ?, Rasulpun berkata : atau dua orang (H.R. Muslim)[5]

6. Dari Abu Hurairah :

أتت امرأة النبي صلى الله عليه و سلم بصبي لها فقالت يا نبي الله ادع الله له فلقد دفنت ثلاثة قال دفنت ثلاثة ؟ قالت نعم قال لقد احتظرت بحظار شديد من النار

Artinya : Seorang perempuan mendatangi Nabi SAW dengan membawa serta seorang bayinya, berkata : “Ya Nabi Allah, berdo’alah untuknya. Sesungguhnya telah dikebumikan tiga orang anakku. Nabi SAW berkata : “Telah dikebumikan tiga orang ?” Ya, jawab perempuan itu. Kemudian Nabi SAW bersabda : “Sesungguhnya kamu akan dihalangi dari sangat pedihnya api neraka.(H.R. Muslim)[6]

Catatan.

Ada beberapa pertanyaan yang muncul dalam pembahasan hadits-hadits di atas, antara lain :

1. apakah keutamaan yang disebut dalam hadits-hadits tersebut hanya apabila anak yang belum baligh yang meninggal itu hanya apabila dua atau tiga saja ? lalu bagaimana kalau yang meninggal itu hanya satu orang?

2. apakah yang mendapat keutamaan itu hanya orangtua perempuan (ibu) ? mengingat ada hadits yang mengkhususkan kepada perempuan sebagaimana hadits Abu Hurairah riwayat Muslim di atas ?

3. apakah orangtua yang mukmin, tetapi berbuat dosa besar seperti meninggalkan shalat juga mendapat keutamaan dari meninggal anaknya ?

Jawab

1. Taqyid dengan menyebut dua atau tiga tidak menjadi qaid dalam pemahaman hadits tersebut. Maka satu orang anak yang meninggal juga mendapat keutamaan yang disebut dalam hadits tersebut. Buktinya, ada hadits lain yang diriwayat al-Thabrani dalam kitab beliau Al-Ausath, yang menjelaskan bahkan kalau satu orang anak yang meninggal. Hadits tersebut berbunyi :

من دفن ثلاثة فصبر عليهم واحتسب وجبت له الجنة، فقالت أم أيمن: أو اثنين؟ فقال: أو اثنين. فقالت: وواحد؟ فسكت ثم قال: وواحد

Artinya : Barangsiapa yang dikebumikan tiga orang anaknya, kemudian dia dalam kesabaran, maka wajib atasnya syurga. Ummul Aiman berkata : “atau dua ?” Rasulullah SAW bersabda : “atau dua”. Ummul Aiman berkata lagi : “atau satu ?” Rasulullah SAW bersabda : “atau satu’ (H.R. al-Thabrani)

Keterangan ini didukung juga dengan mutlaq hadits di bawah ini :

يقول الله عز وجل: ما لعبدي المؤمن عندي جزاء إذا قبضت صفيه من أهل الدنيا ثم احتسبه إلا الجنة

Artinya : Allah ‘Azza wa Jalla berfirman : “Tidak ada balasan bagi hambaku yang mukmin apabila meninggal orang yang dekat dengannya dari ahli dunia kemudian dia sabar kecuali syurga (H.R. Bukhari)

Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan : “Ini terbenar kepada satu atau lebih”.

Hadits dan keterangan di atas telah disebut Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab beliau, Fath al-Barri.[7] Kesimpulan taqyid dengan dua atau tiga, tidak berarti satu orang anak yang meningggal tidak mendapatkan keutamaan tersebut adalah karena taqyid dengan bilangan tidak dapat menafikan yang selainnya sebagaimana dimaklumi dalam pembahasan ushul fiqh.[8]

2. Keutamaan yang disebut dalam hadits-hadits di atas tidaklah terbatas hanya pada orangtua perempuan saja, sebagaimana beberapa hadits di atas yang sebut secara mutlaq. Adapun hadits yang menyebut kepada perempuan, hal tersebut karena sabda Rasulullah SAW merupakan jawaban dari pertanyaan yang disampaikan perempuan kepada beliau. Dengan demikian, keutamaan tersebut berlaku secara mutlaq, baik orangtua laki-laki maupun perempuan. Penjelasan ini telah disebut oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab beliau, Fath al-Barri.[9]

3. Mendapat keutamaan mendapat syurga bagi orang tua yang anaknya lebih duluan meninggal merupakan balasan dari kesabaran menghadapi musibah sebagaimana telah diqaidkan pada sebagian hadits di atas dengan hisbah. Ibnu Mulaqqin menjelaskan bahwa pengertian hisbah di sini adalah sabar dengan musibah yang menimpanya dan sabar menerima ketetapan Allah atasnya.[10] Karena itu, Imam Muslim sudah menempatkan tiga buah hadits di atas dalam “Bab Orangtua yang meninggal anaknya, namun tetap sabar”. Ini juga sesuai dengan firman Allah Q.S al-Maidah: 119, berbunyi :

Artinya : Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya (Q.S al-Maidah: 119)

Menurut hemat kami, keutamaan yang diterima orangtua tersebut sifatnya mutlaq, baik orangtuanya itu pernah melakukan dosa besar seperti meninggalkan shalat atau lainnya maupun tidak pernah melakukan dosa besar (namun disyaratkan harus beriman, karena orang kafir tidak diampuni dosanya selama-lamanya menurut Ahlussunnah wal Jama’ah). Ini didukung oleh penjelasan Ibnu Abd al-Bar dalam al-Istizkar :

Pada hadits ini (hadits riwayat Muslim pada nomor empat di atas) menurut qaid Malik r.a. pada tarjamahnya, yaitu qaid dengan menyebut hisbah, yaitu sabar, ikhlas, ridha dan menerimanya, dipahami bahwa seorang muslim dapat dimaafkan kesalahan-kesalahannya dan diampuni dosa-dosanya dengan sebab sabar atas musibahnya. Oleh karena itu, dia keluar dari api neraka dan tidak disentuhnya.”[11]

Menurut paham Ahlussunnah wal Jama’ah, Allah bisa saja mengampuni dosa-dosa yang dilakukan oleh seorang yang beriman (berada di bawah masyi-ah Allah, kalau Allah berkehendak, maka Allah mengampuninya dan kalau Allah berkehendak, maka Allah tidak mengampuninya) kecuali dosa syirik sesuai dengan firman-Nya :

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.(Q.S. Al-Nisa’ : 48)


[1] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. II, Hal. 100, No. Hadits : 1381

[2] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. II, Hal. 100.

[3] Ibnu Hajar al-Asalany, Fath al-Barry, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 118, No. hadits : 1251

[4] Imam Muslim, Shahih Muslim, Dar al-Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut , Juz. IV, Hal. 2028, No Hadits : 2632

[5] Imam Muslim, Shahih Muslim, Dar al-Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. IV, Hal. 2028, No Hadits : 2632

[6] Imam Muslim, Shahih Muslim, Dar al-Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut , Juz. IV, Hal. 2030, No Hadits : 2636

[7] Ibnu Hajar al-Asalany, Fath al-Barry, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 119

[8] Qadhi ‘Iyadh, Ikmal al-Mu’allim bi Fawaid Muslim, Darul Wifa’, Juz. VIII, Hal. 115

[9] Ibnu Hajar al-Asalany, Fath al-Barry, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 121

[10] Ibnu Mulaqqin, Tauzhih li Syarh Jami’ al-Shahih, Wazarah al-Auqaf wa al-Syu-un al-Islamiyah, Qathar, Juz. X, Hal. 167

[11] Ibnu Abd al-Bar, al-Istizkar, Daul Qaibah, Beirut, Juz. VIII, Hal. 324

Senin, 05 September 2011

Memahami Terjadi Perbedaan dalam Menentukan Awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri di Aceh

A.Paham Keagamaan Masyarakat Aceh 
Provinsi Aceh, mayoritas penduduknya adalah beragama Islam., sangat sedkit jumlahnya yang menganut agama selain Islam. Agama selain Islam tersebut adalah agama Kristen dan Budha. Kedua agama ini dianut oleh kelompok minoritas yang merupakan pendatang, yaitu China dan juga dianut oleh suku Karo dari tanah Alas. Pada awalnya, dapat dikatakan umat Islam Aceh dalam beribadah menganut Mazhab Syafi’i, salah satu mazhab Ahlusunnah wal Jama’ah dalam bidang fiqh, namun seiring dengan munculnya gerakan pembaharuan Islam di Arab Saudi yang dikenal dengan gerakan Wahabi dan munculnya konsep pemikiran Islam yang bercorak baru yang dimotori Muhammad Abduh di Mesir, maka sebagaimana halnya dunia Islam lainnya, Aceh juga terkena imbas pengaruh gerakan pembaharuan tersebut. Sehinggga sesudah itu, maka corak paham keagamaan Islam di Aceh muncul dalam dua aliran besar, yaitu :
1.Bermazhab Syafi’i
Mazhab Syafi’i ini merupakan mazhab yang diterima masyarakat Aceh secara turun temurun dari awal masuk Islam ke Aceh. Sehingga tidak mengherankan kalau mayoritas umat Islam Aceh merupakan penganut Mazhab Syafi’i dan hampir semua dayah Aceh (nama lembaga pendidikan agama tradisional di Aceh) menganut Mazhab Syafi’i. PERTI, sebuah organisasi massa yang sangat populer di Aceh merupakan sebuah wadah Mazhab Syafi’i. disamping itu ada juga organisasi lain yang bermazhab Syafi’i, seperti Alwasliyah dan Nahdlatul Ulama, namun dua organisasi terakhir ini jauh populeritasnya dibanding PERTI.
2.Tidak bermazhab.
Paham ini masuk ke Aceh seiring dengan gencarnya gerakan pembaharuan Islam yang dimotori oleh gerakan Wahabi dan Muhammad Abduh di Timur Tengah. Paham tidak bermazhab ini, di Aceh pada awalnya dipopuler oleh organisasi PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang ketua pertamanya pada waktu itu adalah Tgk Daud Bereueh. Organisasi PUSA ini kemudian lenyap dengan sebab banyak tokoh-tokoh PUSA terlibat dalam gerakan DI/TII. Selanjutnya paham tidak bermazhab ini didakwah oleh organisasi pembaharuan, Muhammadiyah Dalam perkembangan selanjutnya, di Aceh, umat Islam yang bermazhab Syafi’i sering disebut sebagai orang PERTI atau orang tarawih dua puluh dan umat Islam yang tidak bermazhab disebut sebagai orang Muhammadiyah atau orang tarawih delapan.

B. Sebab-Sebab Terjadi Perbedaan dalam Menentukan Awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil   Fitri di Aceh 
Sebab-sebab terjadinya perbedaan dalam menentukan awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri di Aceh, menurut hemat kami dapat dirumuskan dalam tiga sebab di bawah ini, yaitu : 
1.terjadi perbedaan dalam menggunakan metode penentuan awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri. Sebagian umat menggunakan metode rukyatul hilal dan sebagian lainnya menggunakan metode hisab
2.kelompok yang menggunakan metode rukyatul hilal, berbeda pendapat dalam memilih dan menggunakan jenis hisab sebagai pedoman rukyatul hilal. 
3.kelompok yang menggunakan metode rukyatul hilal ini juga berbeda pendapat dalam mengamalkan rukyatul hilal yang ditetapkan oleh Badan Hisab dan Rukyah di bawah Kementerian Agama RI yang berpusat di Jakarta. 

Ad. 1. Perbedaan dalam menggunakan metode penentuan awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri memunculkan dua kelompok besar di Aceh, yaitu : 
Kelompok pertama, yang menjadikan rukyatul hilal sebagai jalan mengetahui awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri. Kelompok ini, umumnya dari kalangan pengikut Mazhab Syafi’i atau umat Islam yang mengakui dirinya sebagai anggota organisasi PERTI. Mereka ini umumnya adalah kalangan dayah Aceh. Dalil yang digunakan kelompok ini adalah kewajiban beramal dengan dhahir hadits berikut : 
Artinya : Jika kalian melihatnya (hilal) maka berpuasalah dan jika kalian melihatnya (lagi) maka berbukalah. Dan jika (pandangan) kalian terhalangi oleh awan maka genapkanlah. (H.R. Bukhari dan Muslim) 

Kelompok pertama ini menganggap bahwa ilmu hisab tidak dapat menjadi penentu awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri, karena rukyah pada hadits di atas adalah mengandung arti rukyah dengan mata (rukyah bil ‘aini) . Pendapat ini dianggap merupakan pendapat yang mu’tamad dalam Mazhab Syafi’i. Ini sesuai dengan fatwa Ibnu Hajar al-Haitami dan lainnya sebagaimana terlihat dalam pernyataan di bawah ini : 
1). Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Tuhfah al-Muhtaj, beliau berkata : 
“Tidak wajib puasa dengan sebab perkataan ahli perbintangan, yaitu orang yang mempedomani kepada perjalanan bintang dan dengan sebab perkataan ahli hisab, yaitu orang yang mempedomani perjalanan bulan dan taqdir perjalanannya. Dan tidak boleh atas seseorang mentaqlid keduanya. Namun demikian, boleh bagi keduanya mengamalkan dengan ilmunya, tetapi tidak memadai untuk puasa Ramadhan sebagaimana telah di tashih dalam al-Majmu’, meskipun satu kelompok ulama telah menolaknya dengan pembahasan yang panjang”. 1 

2). Umairah dalam mengomentari perkataan Imam an-Nawawi, berkata : 
“Dipahami dari mengkhususkan dengan dua ini (menyempurnakan bulan Sya’ban dan ru’yatul hilal, pen.) bahwa puasa tidak wajib dengan sebab selain keduanya seperti kabar ahli perbintangan dan hisab, bahkan tidak boleh bagi yang bukan ahli perbintangan dan hisab mempedomaninya.”. 2 

Awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri berdasarkan pendapat kelompok ini tergantung kepada nampak hilal pada malam tiga puluh Sya’ban dan malam tiga puluh Ramadhan. Untuk nampak hilal sangat bergantung pada tingkat cerahnya ufuk barat pada waktu melihat hilal dan lagi bahwa hilal yang dapat dilihat dengan kasat mata hanya apabila hilal tersebut mencapai empat atau enam derajat di atas ufuk. Hal ini tidak berlaku dalam metode hisab. Metode hisab menghitung suatu malam sebagai awal Ramadhan atau Hari Raya ‘Aidil Fitri asalkan hilal sudah wujud meskipun baru satu derajat di atas ufuk dan meskipun tidak mungkin dilihat dengan kasat mata atau dihalangi pandangan mata karena mendung. 

Kelompok kedua, berpendapat bahwa hisab dapat menjadi penentu awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri. Kelompok ini umumnya dari kalangan organisasi Muhammadiyah atau kalangan umat Islam yang tidak bermazhab. Sebagian kecil dari pengikut Mazhab Syafi’i juga memasuki awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri.dengan menggunakan metode ini. Kelompok ini berargumentasi bahwa maksud rukyah dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim di atas juga mencakup rukyah bil ‘aqli, yaitu mengetahui dengan hisab. Bagi sebagian pengikut Syafi’i yang mengikuti pendapat ini menyandarkan diri kepada fatwa Al-Ramli, yang juga merupakan seorang tokoh ikutan pengikut Syafi’i sebagaimana halnya Ibnu Hajar al-Haitami. Al-Ramli dalam Nihayah al-Muhtaj, berkata : 
Boleh bagi seseorang beramal dengan hisabnya dan memadai untuk fardhunya berdasarkan pendapat yang mu’tamad, meskipun tersebut dalam Majmu’, tidak memadai. Qiyas perkataan mereka “Sesunguhnya zhan mewajibkan amal”, bahwa wajib atas ahli hisab berpuasa dengan hisabnya dan orang-orang yang dikabarkan oleh ahli hisab dan berat dugaannya ahli hisab itu benar”. 3 

Ad. 2. Kelompok yang menggunakan metode rukyatul hilal dalam menentukan awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri membolehkan menjadikan hisab sebagai pedoman yang membimbing seseorang untuk dapat rukyatul hilal dengan benar, misalnya dalam menentukan tiga puluh Syakban yang menjadi waktu dilakukan rukyatul hilal, menentukan derajat hilal pada waktu rukyatul hilal dan lainnya. Hisab dengan sebab metodenya yang berbeda-beda kadang-kadang akan menghasilkan penghitungan yang berbeda-beda pula. Penghitungan yang berbeda-beda ini akan mengakibatkan berbeda kapan dilakukan rukyatul hilal. Hal terakhir ini tentu akan menghasilkan penentuan awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri yang berbeda pula. Hasil penghitungan yang berbeda-beda dapat juga terjadi karena terjadi kesalahan dalam melakukan penghitungan, meskipun hisab yang digunakan masih sejenis. 

Ad. 3. Penentuan awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri yang berbeda juga dapat terjadi pada kelompok yang menggunakan metode rukyatul hilal dalam menentukan awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri, karena berbeda pendapat dalam mensikapi rukyatul hilal yang ditetapkan oleh Badan Hisab dan Rukyah di bawah Kementerian Agama RI yang berpusat di Jakarta. Sebagian umat Islam di Aceh berpendapat ketetapan Badan Hisab dan Rukyah di bawah Kementerian Agama RI yang berpusat di Jakarta dapat diikuti umat Islam di Aceh dengan alasan daerah Aceh berada di kawasan paling barat Indonesia. Dengan demikian rukyatul hilal di kawasan lain Indonesia melazimkan (memastikan) ada rukyatul hilal di Aceh sesuai dengan keterangan al-Subki, al-Asnawi dan lainnya : 
“Rukyatul hilal dari pihak timur memastikan adanya rukyatul hilal di pihak barat, tidak sebaliknya”4 

Argumentasi ini ditolak oleh kelompok yang tidak mau mengikuti rukyatul hilal hasil ketetapan Badan Hisab dan Rukyah di bawah Kementerian Agama RI yang berpusat di Jakarta. Alasannya, pada kenyataannya, rukyatul hilal dari pihak timur tidak memastikan adanya rukyatul hilal di pihak barat, karena bisa saja ada penghalang di kawasan pihak barat seperti mendung sehingga hilal meskipun sudah nampak di pihak timur, tetapi dimungkinkan tidak nampak di kawasan pihak barat. Jadi yang benar adalah wujud hilal di pihak timur memastikan wujud hilal di pihak barat, bukan rukyatul hilal, sedangkan penentuan awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri bergantung kepada rukyatul hilal, bukan wujud hilal. Bantahan ini telah dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfah al-Muhtaj. 5 

Kelompok lain yang berpendapat ketetapan Badan Hisab dan Rukyah di bawah Kementerian Agama RI yang berpusat di Jakarta dapat diikuti umat Islam di Aceh dengan beralasan dengan qaidah fiqh berikut :
حكم الحاكم في المسائل المختلف فيها يرفع الخلاف 
Artinya : Hukum hakim dalam masalah khilaf dapat menghilangkan khilaf 6 

Dengan demikian, maka kalau pemerintah Indonesia dalam hal ini Menteri Agama RI telah menetapkan puasa pada hari tertentu, maka seluruh umat Islam yang berdomisili di Indonesia wajib berpuasa, meskipun daerah domisilinya itu berbeda mathali’ dengan daerah itsbat rukyat. Karena keputusan pemerintah dapat menghilangkan khilafiyah umat dalam menentukan awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri 

Argumentasi ini dibantah bahwa implementasi qaidah di atas dalam konteks negara Republik Indonesia tidak cukup hanya melihat dhahir qaidah tersebut saja, tetapi perlu diperhatikan juga apakah syarat-syarat berlakunya hukum hakim di Indonesia sudah sesuai dengan syara’ atau tidak. Menurut penjelasan Zarkasyi, mengamalkan penetapan hakim ini adalah apabila penetapan tersebut tidak dinyatakan gugur. Hukum hakim dapat dinyatakan gugur apabila hukum tersebut nyata-nyata salah. Kesalahan tersebut adakalanya terletak pada ijtihad hakim, yakni penetapan tersebut bertentangan dengan nash, ijmak dan qiyas yang terang, dan adakalanya kesalahannya terjadi pada sebab yang batil seperti kesaksian bohong. Nash Zarkasyi dalam al-Mantsur fi al-Qawa’id tersebut adalah 7 :
قالوا حكم الحاكم في المسائل المختلف فيها يرفع الخلاف وهذا مقيد بما لا ينقض فيه حكم الحاكم أما ما ينقض فيه فلا 
الثالث مدار نقض الحكم على تبين الخطأ والخطأ إما في إجتهاد الحاكم في الحكم الشرعي حيث تبين النص أو الإجماع أو القايس الجلي بخلافه ويكون الحكم مرتبا على سبب صحيح وغما في السبب حيث يكون الحكم مرتبا على سبب باطل كشهادة الزور 

Yang disebut Zarkasyi di atas adalah apabila hakim itu adalah mujtahid mutlaq. Adapun apabila hakim bukan seorang seoarang mujtahid mutlaq, maka persyaratannya, disamping yang tersebut di atas, ada tambahan lain sesuai dengan rincian berikut ini : 
1.Hakim adalah seorang mujtahid mazhabi. Hukumnya dinyatakan gugur apabila bertentangan dengan nash imamnya atau qawaid kuliah imamnya, karena nash imam dinisbah kepada hakim tersebut seperti nash syara’ dinisbah kepada mujtahid mutlaq 
2.Hakim adalah seorang mujtahid fatwa. Hukumnya dinyatakan gugur apabila bertentangan dengan tarjihnya sendiri sebagai mazhab imamnya 
3.Hakim adalah seorang alim dalam sebuah mazhab. Hukumnya dinyatakan gugur apabila bertentangan dengan pendapat yang mu’tamad dalam mazhabnya, karena dia tidak naik dari martabat seorang muqallid. Ketiga syarat ini disebut oleh Ibnu Hajar. 8 

Lalu bagaimana dengan status Menteri Agama RI atau BHR Indonesia dalam konteks masalah ini. Ini dapat dijawab dengan beberapa kemungkinan : 
1.Bermazhab Syafi’i, maka keputusan tersebut dapat dinyatakan gugur karena bertentangan dengan pendapat yang muktamad dalam mazhab imamnya 
2.Bermazhab selain Syafi’i, yaitu Malik, Hanbali atau Hanafi. Kalau memang bermazhab dengan salah satu tiga mazhab ini, maka keputusannya dapat di amalkan. Tetapi kemungkinana ini sangat kecil, karena mayoritas umat Islam di Indonesia bermazhab Syafi’i atau tidak bermazhab sama sekali. Jadi diragukan Menteri Agama dan BHR RI bermazhab dengan salah satu dari tiga mazhab fiqh tersebut. Jadi kebolehan beramal dengan mazhab Syafi’i tidak dapat digugurkan dengan keraguan-raguan tersebut. Karena kebolehan beramal dengan mazhab Syafi’i merupakan ijmak. Sesuatu yang pasti tidak dapat digugurkan hanya karena suatu yang diragukan, sesuai dengan qaidah fiqh : 
االيقين لا يزال بالشك 
Artinya : Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keragu-raguan 9 

Lagi pula, kebolehan qadhi dari seorang muqallid adalah karena dharurat alias rukhshah. Sedangkan rukhshah sebagaimana dimaklumi tidak boleh didasarkan kepada keragu-raguan, sebagaimana qaidah fiqh di bawah ini :
الرخص لاتناط بالشك 
Artinya : Rukhshah tidak sangkutkan kepada keragu-raguan 10 

3.Tidak bermazhab sama sekali. Kemungkinan ini berujung kepada dua kemungkinan pula, yaitu kemungkinan mempunyai kemampuan sebagai mujtahid mutlaq atau bukan sebagai mujtahid mutlaq, tetapi orang yang tidak sampai derajat mujtahid tidak mau bermazhab dengan salah satu mazhab para mujtahid.. Kemungkinan pertama, rasanya sulit dipercaya sebagaimana banyak uraian para ulama mengenai kemungkinan munculnya mujtahid mutlaq pada zaman sekarang ini. Adapun kemungkinan kedua, yaitu bukan sebagai mujtahid mutlaq, tetapi orang yang tidak sampai derajat mujtahid tidak mau bermazhab dengan salah satu mazhab para mujtahid, maka keputusan yang dilakukan oleh qadhi seperti ini adalah keputusan yang ditolak oleh agama berdasarkan kesepakatan para ulama. Karena keputusan tersebut merupakan keputusan tanpa sandarannya dan merupakan tindakan maksiat. Padahal tidak dibenarkan ta’at kepada makhluk dengan melakukan maksiat kepada khaliq, sesuai dengan hadits dibawah ini : 
السمع والطاعة حق ما لم يؤمر بالمعصية، فإذا أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة 
Artinya : Kepatuhan dan ta’at adalah haq selama tidak diperintah dengan maksiat. Apabila diperintah dengan maksiat, maka tidak ada kepatuhan dan ta’at. (H.R. Bukhari) 11 

Daftar Pustaka 
1.Ibnu Hajar Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi al-Syarwani dan al-Ubady, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 375. 
2.‘Umairah, Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 49 3.Imam ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 150. 
4. Ibnu Hajar Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi al-Syarwani dan al-Ubady, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 382 
5.Ibnu Hajar Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi al-Syarwani dan al-Ubady, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 382 
6.Imam Zarkasyi, Al-Mansur fi al-Qawaid, Juz. II, Hal. 69 
7.Imam Zarkasyi, Al-Mansur fi al-Qawaid, Juz. II, Hal. 69 
8. Sayyed Ali bin Ahmad al-Saqaf, al-Fawaid al-Makkiyah, dicetak dalam Sab’ah Kutub Mufidah, Usaha keluarga, Semarang, Hal. 69 
9. Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Indonesia, Hal. 37 
10. Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Indonesia, Hal. 96 
11. Bukhari, Shahih Bukhari, Dar al-Thaibah, Juz. IV, Hal. 49-50, No. Hadits : 2955