Rabu, 21 September 2011
Hadits ; Aku dari Allah dan orang-orang mukmin dariku
Senin, 19 September 2011
Ghayatul Wushul (terjemahan & penjelasannya), pengertian syarat, hal.13
( وَالشَّرْطُ مَا يَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ الْعَدَمُ ) للمشروط ( وَلاَ يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِهِ وُجُوْدٌ وَلاَ عَدَمٌ ) له خرج بالقيد الأول المانع اذ لايلزم من عدمه شئ وبالثانى السبب اذ يلزم من وجوده الوجود وزاد الأصل ككثير فى تعريفه لذاته ليدخل الشرط المقارن للسبب فيلزم الوجود كوجود الحول الذى هو شرط لوجوب الزكاة مع النصاب الذى هو سبب للوجوب والمقارن للمانع كالدين على القول بأنه مانع من وجوب الزكاة فيلزم العدم فلزوم الوجود والعدم فى ذلك لوجود السبب والمانع لا لذات الشرط وحذفه لعدم الاحتياج اليه فيما ذكر اذ المقتضى للزوم الوجود والعدم انما هو السبب والمانع لا الشرط ثم هو عقلى كالحياة للعلم وشرعى كالطهارة للصلاة وعادى كنصب السلم لصعود السطح ولغوى كما فى أكرم فلانا ان جاء أى الجائى وسيأتى فى مبحث التخصيص وتعريفى هنا للشرط بما ذكر وان شمل اللغوى أنسب من تأخير الأصل له الى مبحث المخصص
(Dan syarat adalah sesuatu yang tidak adanya melazimkan tidak ada) bagi yang disyaratkan (dan tidak dari wujudnya melazimkan ada dan tidak juga melazimkan tidak ada) bagi yang disyaratkan.(1) Dengan qaid pertama, keluarlah al-maani’, karena tidak adanya tidak melazimkan apapun.(2) Dan dengan qaid kedua, mengeluarkan sebab, karena adanya melazimkan ada musabbab. Asal, sebagaimana halnya kebanyakan ulama melebihkan dalam devinisi syarat perkataan “lizatihi” supaya masuk syarat yang menyertai sebab bersamanya, dimana syarat ini melazimkan adanya yang disyaratkan, seperti wujud haul yang merupakan syarat wajib zakat bersamaan dengan adanya nisab yang merupakan sebab wajib zakat dan masuk syarat yang menyertai al-maani’ bersamanya, seperti hutang berdasarkan pendapat yang menyatakannya sebagai al-maani’ wajib zakat, dimana al-maani’ ini melazimkan tidak ada. Maka melazimkan ada dan tidak ada pada hal-hal itu adalah karena wujud sebab dan al-maani’ , bukan karena zat syarat. Membuangnya karena tidak diperlukannya pada masalah tersebut, karena yang mengakibatkan melazimkan ada dan tidak ada hanyalah sebab dan al-maani’, bukan syarat. Kemudian syarat itu ada yang ‘aqli(3) seperti hidup untuk mendengar, ada yang syar’i (4) seperti suci untuk shalat, ada ‘adiy(5) seperti mendirikan tangga untuk naik tempat yang tinggi dan ada yang lughawi(6) seperti perkataan “Aku memuliakan si pulan jika dia datang.” artinya yang datang. Pembahasan ini nantinya dalam pembahasan takhshis. Devisiku di sini adalah untuk syarat yang didevinisi dengan yang telah disebutkan, meskipun mencakup syarat lughawi, ia lebih sesuai dari pada diletakkan oleh Asal kepada pembahasan al-mukhashshish
Penjelasannya
(1). Contohnya suci merupakan syarat sah shalat, ia disebut syarat, karena tidak adanya melazimkan tidak ada shalat (tidak sah shalat), namun adanya suci belum tentu akan wujud shalat atau tidak wujudnya, karena ada orang bersuci yang tidak shalat dan mengerjakan ibadah lain dengan sucinya itu.
(2). Seperti haid pada perempuan yang menjadi maani’ shalat (penghalang shalat), dimana tidak ada haid pada perempuan tidak melazimkan wujud atau tidak wujud shalat.
(3). Hubungan syarat dan masyruth berdasarkan penetapan aqal
(4). Hubungan syarat dan masyruth berdasarkan penetapan syara’
(5). Hubungan syarat dan masyruth berdasarkan kejadian yang biasa terjadi
(6). Hubungan syarat dan masyruth berdasarkan qaidah lughat.
Sabtu, 17 September 2011
Hal isyhad (kesaksian) baik kepada janazah
Ada yang mamberi sambutan dalam rangka mengantar jenazah dengan mengatakan: “Jenazah ini baik atau tidak baik hadirin?”. Atau “Jenazah ini isi syurga atau isi neraka ?” Kemudian para hadirin serempak menjawab “baik!” atau “Isi syurga” Biasanya bahkan diulang sampai tiga kali. Persaksian semacam ini masih sering kita dengar di kalangan masyarakat kita. Mengenai isyhad yang kita bicarakan ini. Dasar hukumnya adalah :
1. Dari Anas bin Malik berkata :
ُ مَرُّوا بِجَنَازَةٍ فَأَثْنَوْا عَلَيْهَا خَيْرًا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَبَتْ ثُمَّ مَرُّوا بِأُخْرَى فَأَثْنَوْا عَلَيْهَا شَرًّا فَقَالَ وَجَبَتْ فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَا وَجَبَتْ قَالَ هَذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ خَيْرًا فَوَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ وَهَذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ شَرًّا فَوَجَبَتْ لَهُ النَّارُ أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ
Artinya : Orang-orang melewati jenazah (di hadapan Nabi ), lalu mereka memujinya dengan kebaikan. Lantas Nabi bersabda, “Pasti.” Kemudian mereka melewati jenazah lain, tapi mereka mengucapkan keburukan atasnya. Maka, beliau bersabda, “Pastilah.”. Kemudian Umar ibnul Khatab bertanya kepada beliau, 'Apakah yang pasti itu?' Beliau menjawab, 'Ini kamu puji dengan kebaikan, maka pastilah surga baginya. Sedangkan, ini yang kamu katakan buruk atasnya, maka pastilah neraka baginya. Kalian adalah saksi Allah di bumi. (H.R. Bukhari)[1]
2. Dari Abu al-Aswad berkata :
َقَدِمْتُ الْمَدِينَةَ وَقَدْ وَقَعَ بِهَا مَرَضٌ فَجَلَسْتُ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَمَرَّتْ بِهِمْ جَنَازَةٌ فَأُثْنِيَ عَلَى صَاحِبِهَا خَيْرًا فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَجَبَتْ ثُمَّ مُرَّ بِأُخْرَى فَأُثْنِيَ عَلَى صَاحِبِهَا خَيْرًا فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَجَبَتْ ثُمَّ مُرَّ بِالثَّالِثَةِ فَأُثْنِيَ عَلَى صَاحِبِهَا شَرًّا فَقَالَ وَجَبَتْ فَقَالَ أَبُو الْأَسْوَدِ فَقُلْتُ وَمَا وَجَبَتْ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ قَالَ قُلْتُ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا مُسْلِمٍ شَهِدَ لَهُ أَرْبَعَةٌ بِخَيْرٍ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ فَقُلْنَا وَثَلَاثَةٌ قَالَ وَثَلَاثَةٌ فَقُلْنَا وَاثْنَانِ قَالَ وَاثْنَانِ ثُمَّ لَمْ نَسْأَلْهُ عَنْ الْوَاحِد
Artinya : Aku datang di Madinah dan di situ sedang terjangkit penyakit yang mengenai orang banyak. Aku lalu duduk di dekat Umar ibnul Khatab. Kemudian ada jenazah lewat, lalu jenazah itu dipuji. Umar berkata, "Pastilah." Kemudian lewat lagi jenazah lain, jenazah itu juga dipuji orang, maka Umar berkata : “Pastilah”. Kemudian setelah itu, lewat jenazah lain lagi, jenazah itu dicaci, Umar berkata : “Pastilah”. Lalu Abul Aswad bertanya kepada Umar ibnul Khatab, "Wahai Amirul Mu'minin, apa yang pasti?" Umar ibnul Khatab berkata, "Aku mengatakan sebagaimana yang di katakan Nabi SAW yang bersabda, 'Muslim mana pun yang disaksikan oleh empat orang bahwa dia baik, maka Allah memasukkannya ke surga.' Kami bertanya, 'Tiga orang?' Beliau menjawab, 'Ya, tiga orang.' Kami bertanya, 'Dua orang?' Beliau menjawab, 'Ya, dua orang.' Kemudian kami tidak menanyakan tentang seorang. (H.R. Bukhari)[2]
3. Sabda Nabi SAW :
اذكروا محاسن موتاكم وكفوا عن مساويهم
Artinya : Sebutlah kebaikan seorang yang meninggal dunia dan hindari membuka aibnya.(H.R. Abu Daud[3] dan Turmidzi[4])
[1] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. II, Hal. 97, No. Hadits : 1367
[2] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. II, Hal. 97, No. Hadits 1368
[3] Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 692, No. Hadits : 4900
[4] Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 242, No. Hadits : 1024
Jumat, 16 September 2011
Menggauli istri yang sedang haid dengan menggunakan kondom
Hukum menggauli istri yang sedang haid dengan menggunakan kondom adalah haram sebagaimana menggauli dengan tanpa kondom. Berikut adalah keterangan ulama mengenai hukumnya, antara lain :
1. An-Nawawi al-Jawy, beliau berkata :
“Yang kesembilan (dari yang diharamkan terhadap wanita berhaid): berhubungan suami isteri walaupun dengan menggunakan penghalang yang tipis, meskipun itu setelah darah berhenti dan belum mandi. Itu termasuk dosa besar bagi yang sengaja melakukannya dan mengetahui keharamannya”.
Selanjutnya beliau mengatakan :
“ Tetapi keharaman tersebut apabila tidak kuatir zina, seandainya ia kuatir zina dan hanya dengan cara itu ia menghindari zina, maka boleh ia melakukan karena pada saat itu ia menghadapi dua mafsadah yang berbeda, maka ia mengambil yang teringan”.[1]
2. Zainuddin al-Malibary dalam Kitab Fath al-Muin, bahkan mengatakan haram bersentuhan dengan bagian badan perempuan yang ada antara pusar dan lutut.[2]
Dalilnya antara lain :
1. Hadits Nabi SAW :
عن عائشة قالت كان إحدانا إذا كانت حائضا أمرها رسول الله صلعم فتأتزر بإزار ثم يباشرها
Artinya : Dari Aisyah, beliau berkata : Salah seorang dari kami (isteri-isteri Rasulullah) apabila berhaid, maka Rasulullah SAW memerintahkan kami mengikat kain sarung. Setelah kami melakukannya, baru Rasulullah SAW menyentuh kami. (H.R. Muslim) [3]
2. Hadits Nabi SAW.
كان رسول الله صلعم يباشرنسائه فوق الإزر وهن حيض
ِArtinya : Rasulullah SAW menyentuh isteri-isteri beliau di atas kain sarung pada saat mereka dalam keadaan berhaid.(H.R. Muslim) [4]
3. Hadits Nabi SAW :
من أتى حائضا أو إمرأة في دبرها أو كاهنا فقد كفر بما انزل على محمد صلعم
Artinya : Barangsiapa yang mendatangi isterinya yang sedang haid, mendatangi isteri pada duburnya atau mendatangi kahin (tukang ramal), sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad SAW.(H.R. at-Turmidzi)[5]
Menggauli istri yang sedang haid dengan menggunakan kondom termasuk dalam larangan Rasulullah SAW dalam hadits di atas, yaitu larangan mubasyarah (bermain-main dengan bersentuhan kulit) di antara pusar dan lutut isteri yang sedang haid
[1] Nawawi al-Jawy, Nihayatuz Zain, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Jakarta, Hal. 43.
[2] Zainuddin al-Malibary, Fath al-Muin, dicetak pada hamisy I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 72
[3] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 242
[4] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 243
[5] At-Turmidzi, Sunan at-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 90, No. Hadits 135
Kamis, 15 September 2011
Hadits perempuan dinikahi karena empat hal
TGK H JAFAR SIDDIQ ST HT bertanya
Assalamu'alaikum.
Barangsiapa mengawini seorang wanita karena memandang kedudukannya maka Allah akan menambah baginya kerendahan, dan barangsiapa mengawini wanita karena memandang harta-bendanya maka Allah akan menambah baginya kemelaratan, dan barangsiapa mengawininya karena memandang keturunannya maka Allah akan menambah baginya kehinaan, tetapi barangsiapa mengawini seorang wanita karena bermaksud ingin meredam gejolak mata dan menjaga kesucian seksualnya atau ingin mendekatkan ikatan kekeluargaan maka Allah akan memberkahinya bagi isterinya dan memberkahi isterinya baginya. (HR. Bukhari)
lalu bagai mana dengan hadis kebalikan nya ? tidak bertentangan ??
kawinin wanita dengan 4 perkara
kecantikan
keturunan
kekayaan
agama ,,,,lalu di lihat dari segi hadis ..hampir berlawanan ...satu sisi di larang . pada sisi lain di anjurkan
mohon penjelasan ..Wasalam
Jawabannya :
Sebelum kita menjawab apakah kedua hadits di atas bertentangan atau tidak, sebaiknya kita telusuri kedudukan hadits tersebut dulu, yakni sebagai berikut :
1. Kami telah mencoba menyelusuri hadits pertama yang tgk sebut di atas, tetapi kami tidak menemukan hadits tersebut dalam Shahih al-Bukhari dan kami juga tidak menemukan ada ahli hadits yang menyebut bahwa hadits tersebut diriwayat oleh Bukhari. Kami menyelusurinya dengan membuka kitab Shahih al-Bukhari dan lainnya dan juga mencari dengan menggunakan mesin pencari hadits dalam beberapa situs internet pencari hadits, tetapi tidak ditemukan hadits tersebut (mudah-mudahan penyelusuran kami tersebut tidak keliru, wallahu a’lam)
2. Namun demikian, Ibnu Hajar al-Haitamy dalam kitab beliau, al-Ifshah ‘an Ahadits al-Nikah[1] ada menyebut dua hadits yang menurut dugaan kami sesuai atau hampir sesuai dengan terjemahan hadits yang Tgk kemukakan, yaitu ;
a. Abu al-Na’im dalam kitab al-Haliyah dari hadits Abdussalam bin Abdu al-Qudus dari Ibrahim dari Anas secara marfu’, yaitu :
من تزوج امرأة لعزها لم يزده الله الا ذلا ومن تزوجها لمالها لم يزده الله الا فقرا ومن تزوجها لحسنها لم يزده الله الا دناءة ومن تزوجها الا ليغض بصره ويحصن فرجه أو تصل رحمه الا بارك الله له فيها وبارك لها فيه
b. Hadits pada point “a” di atas telah diriwayat oleh Ibnu Hibban dan dikeluarkan Ibnu al-Najar dan al-Thabrani dalam al-Ausath dari Anas dengan lafazh sebagai berikut :
من تزوج امرأة لعزها لم يزده الله عز وجل الا ذلا ومن تزوجها لمالها لم يزده الله تعالى الا فقرا ومن تزوجها لحسنها لم يزده الله الا دناءة ومن تزوج امرأة ليغض بصره ويحصن فرجه وتصل رحمه كان ذلك منة وبورك له فيها وبارك الله لها فيه
Al-Haitsami mengatakan :
“Hadits ini telah diriwayat oleh al-Thabrany dalam al-Ausath, pada sanadnya ada Abdussalam bin Abd al-Qudus, sedangkan beliau ini dha’if.”[2]
3. Adapun hadits yang kedua adalah merupakan hadits diriwayat dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW bersabda :
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ،ﻟﻤﺍﻠﻬﺍَ، وَلِحَسَبِهَا، وَجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ
بذات الدين تربت يمينك
Artinya : Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan berbahagia. (Muttafaq Alaihi dan Imam Lima)
Hadits di atas merupakan hadits shahih yang telah diriwayat oleh Bukhari, Muslim dan Imam yang lima sebagaimana disebut oleh Ibnu Hajar al-Asqalany dalam Bulugh al-Maram.[3]
Adapun pengertiannya, Rasulullah SAW hanya mengabarkan bahwa kebiasaan manusia kalau menikahi seorang perempuan, maka empat hal yang disebut dalam hadits di atas menjadi sebab seseorang menjatuhkan pilihannya. Dalam hadits ini tidak ada perintah atau anjuran mengumpulkan atau memilih salah satu diantara empat hal tersebut, tetapi hanya Rasulullah SAW memerintah memilih yang terakhir, yaitu perempuan yang taat beragama. Penjelasan seperti ini telah dikemukakan oleh para ulama, antara lain :
- Al-Muhaddits Ibnu Mulaqqan mengatakan :
“Yang shahih makna hadits ini adalah Rasulullah SAW mengabarkan apa yang menjadi kebiasaan manusia perbuat., mereka mengqashad empat perkara ini”.[4]
Hal yang sama juga telah dikemukakan oleh al-Karmani dalam dalam kitab beliau, Syarah al-Bukhari.[5]
- Qadhi ‘Iyadh mengutip penafsiran al-Dawidi mengatakan :
“Rasulullah SAW hanya mengabarkan apa yang dilakukan manusia dan beliau tidak memerintah hal-hal tersebut.”[6]
Dengan memahami pengertian yang kami kemukakan di atas, maka menurut hemat kami, kandungan dua hadits tersebut tidak saling bertentangan.
[1] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Ifshah ‘an Ahadits al-Nikah, Hal. 3
[2] Al-Haitsamy, Majma’ al-Zawaid, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 467
[3] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 196
[4] Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Darul Hijrah, Juz. VII, Hal. 502
[5] Al-Karmani, Syarah al-Bukhari, Darul Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. 19, Hal.72
[6] Qadhi ‘Iyadh, Ikmal al-Mu’allim bi Fawaid Muslim, Darul Wifa’, Juz. IV, hal. 672
Sabtu, 10 September 2011
Orangtua yang meninggal anaknya, namun tetap dalam kesabaran
Banyak hadits shahih yang membicarakan keutamaan orangtua yang duluan meninggal anaknya yang belum baligh, namun tetap dalam kesabaran, antara lain :
1. Hadits dari Anas bin Malik, beliau berkata :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ النَّاسِ مُسْلِمٌ يَمُوتُ لَهُ ثَلَاثَةٌ مِنْ الْوَلَدِ لَمْ يَبْلُغُوا الْحِنْثَ إِلَّا أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ إِيَّاهُم
Artinya : Rasulullah SAW bersabda : tidak ada seorang muslimpun apabila meninggal tiga orang anaknya yang belum baligh melainkan Allah akan memasukkannya ke dalam sorga dengan keutamaan rahmat-Nya kepada mereka (H.R. Bukhari)[1]
2. Hadits dari Abu Hurairah dari Nabi SAW :
مَنْ مَاتَ لَهُ ثَلَاثَةٌ مِنْ الْوَلَدِ لَمْ يَبْلُغُوا الْحِنْثَ كَانَ لَهُ حِجَابًا مِنْ النَّارِ أَوْ دَخَلَ الْجَنَّة
Artinya : Siapa saja yang meninggal tiga orang anaknya yang belum baligh maka mereka akan menghalanginya dari api neraka atau dia akan masuk ke dalam sorga (H.R. Bukhari)[2]
3. Dari Abu Hurairah :
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لاَ يَمُوتُ لِمُسْلِمٍ ثَلاَثَةٌ مِنْ الْوَلَدِ فَيَلِجَ النَّارَ إِلاَّ تَحِلَّةَ القسم
Artinya : Dari Nabi SAW, beliau bersabda : Seorang muslim yang meninggal dunia tiga orang anaknya, maka ia masuk api neraka, maka tidak ada baginya kecuali sambil lalu saja. (H.R. Bukhari)[3]
4. Dari Abu Hurairah
عن النبي صلى الله عليه و سلم قال لا يموت لأحد من المسلمين ثلاثة من الولد فتمسه النار إلا تحلة القسم Artinya : Dari Nabi SAW, beliau bersabda : Seorang muslim yang meninggal dunia tiga orang anaknya, maka disentuh oleh api neraka, maka tidak ada baginya kecuali sambil lalu saja. (H.R. Muslim)[4]
5. Dari Abu Hurairah
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لنسوة من الأنصار لا يموت لإحداكن ثلاثة من الولد فتحتسبه إلا دخلت الجنة فقالت امرأة منهن أو اثنين ؟ يا رسول الله قال أو اثنين
Artinya : Bahwasanya Rasulullah SAW berkata kepada para wanita anshar : Tidak satupun diantara kalian yang ditinggal mati oleh tiga orang anaknya kemudian dia tetap sabar melainkan dia akan masuk sorga. Salah seorang diantara mereka berkata : atau mungkin dua orang ya Rasulallah ?, Rasulpun berkata : atau dua orang (H.R. Muslim)[5]
6. Dari Abu Hurairah :
أتت امرأة النبي صلى الله عليه و سلم بصبي لها فقالت يا نبي الله ادع الله له فلقد دفنت ثلاثة قال دفنت ثلاثة ؟ قالت نعم قال لقد احتظرت بحظار شديد من النار
Artinya : Seorang perempuan mendatangi Nabi SAW dengan membawa serta seorang bayinya, berkata : “Ya Nabi Allah, berdo’alah untuknya. Sesungguhnya telah dikebumikan tiga orang anakku. Nabi SAW berkata : “Telah dikebumikan tiga orang ?” Ya, jawab perempuan itu. Kemudian Nabi SAW bersabda : “Sesungguhnya kamu akan dihalangi dari sangat pedihnya api neraka.(H.R. Muslim)[6]
Catatan.
Ada beberapa pertanyaan yang muncul dalam pembahasan hadits-hadits di atas, antara lain :
1. apakah keutamaan yang disebut dalam hadits-hadits tersebut hanya apabila anak yang belum baligh yang meninggal itu hanya apabila dua atau tiga saja ? lalu bagaimana kalau yang meninggal itu hanya satu orang?
2. apakah yang mendapat keutamaan itu hanya orangtua perempuan (ibu) ? mengingat ada hadits yang mengkhususkan kepada perempuan sebagaimana hadits Abu Hurairah riwayat Muslim di atas ?
3. apakah orangtua yang mukmin, tetapi berbuat dosa besar seperti meninggalkan shalat juga mendapat keutamaan dari meninggal anaknya ?
Jawab
1. Taqyid dengan menyebut dua atau tiga tidak menjadi qaid dalam pemahaman hadits tersebut. Maka satu orang anak yang meninggal juga mendapat keutamaan yang disebut dalam hadits tersebut. Buktinya, ada hadits lain yang diriwayat al-Thabrani dalam kitab beliau Al-Ausath, yang menjelaskan bahkan kalau satu orang anak yang meninggal. Hadits tersebut berbunyi :
من دفن ثلاثة فصبر عليهم واحتسب وجبت له الجنة، فقالت أم أيمن: أو اثنين؟ فقال: أو اثنين. فقالت: وواحد؟ فسكت ثم قال: وواحد
Artinya : Barangsiapa yang dikebumikan tiga orang anaknya, kemudian dia dalam kesabaran, maka wajib atasnya syurga. Ummul Aiman berkata : “atau dua ?” Rasulullah SAW bersabda : “atau dua”. Ummul Aiman berkata lagi : “atau satu ?” Rasulullah SAW bersabda : “atau satu’ (H.R. al-Thabrani)
Keterangan ini didukung juga dengan mutlaq hadits di bawah ini :
يقول الله عز وجل: ما لعبدي المؤمن عندي جزاء إذا قبضت صفيه من أهل الدنيا ثم احتسبه إلا الجنة
Artinya : Allah ‘Azza wa Jalla berfirman : “Tidak ada balasan bagi hambaku yang mukmin apabila meninggal orang yang dekat dengannya dari ahli dunia kemudian dia sabar kecuali syurga (H.R. Bukhari)
Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan : “Ini terbenar kepada satu atau lebih”.
Hadits dan keterangan di atas telah disebut Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab beliau, Fath al-Barri.[7] Kesimpulan taqyid dengan dua atau tiga, tidak berarti satu orang anak yang meningggal tidak mendapatkan keutamaan tersebut adalah karena taqyid dengan bilangan tidak dapat menafikan yang selainnya sebagaimana dimaklumi dalam pembahasan ushul fiqh.[8]
2. Keutamaan yang disebut dalam hadits-hadits di atas tidaklah terbatas hanya pada orangtua perempuan saja, sebagaimana beberapa hadits di atas yang sebut secara mutlaq. Adapun hadits yang menyebut kepada perempuan, hal tersebut karena sabda Rasulullah SAW merupakan jawaban dari pertanyaan yang disampaikan perempuan kepada beliau. Dengan demikian, keutamaan tersebut berlaku secara mutlaq, baik orangtua laki-laki maupun perempuan. Penjelasan ini telah disebut oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab beliau, Fath al-Barri.[9]
3. Mendapat keutamaan mendapat syurga bagi orang tua yang anaknya lebih duluan meninggal merupakan balasan dari kesabaran menghadapi musibah sebagaimana telah diqaidkan pada sebagian hadits di atas dengan hisbah. Ibnu Mulaqqin menjelaskan bahwa pengertian hisbah di sini adalah sabar dengan musibah yang menimpanya dan sabar menerima ketetapan Allah atasnya.[10] Karena itu, Imam Muslim sudah menempatkan tiga buah hadits di atas dalam “Bab Orangtua yang meninggal anaknya, namun tetap sabar”. Ini juga sesuai dengan firman Allah Q.S al-Maidah: 119, berbunyi :
Artinya : Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya (Q.S al-Maidah: 119)
Menurut hemat kami, keutamaan yang diterima orangtua tersebut sifatnya mutlaq, baik orangtuanya itu pernah melakukan dosa besar seperti meninggalkan shalat atau lainnya maupun tidak pernah melakukan dosa besar (namun disyaratkan harus beriman, karena orang kafir tidak diampuni dosanya selama-lamanya menurut Ahlussunnah wal Jama’ah). Ini didukung oleh penjelasan Ibnu Abd al-Bar dalam al-Istizkar :
“Pada hadits ini (hadits riwayat Muslim pada nomor empat di atas) menurut qaid Malik r.a. pada tarjamahnya, yaitu qaid dengan menyebut hisbah, yaitu sabar, ikhlas, ridha dan menerimanya, dipahami bahwa seorang muslim dapat dimaafkan kesalahan-kesalahannya dan diampuni dosa-dosanya dengan sebab sabar atas musibahnya. Oleh karena itu, dia keluar dari api neraka dan tidak disentuhnya.”[11]
Menurut paham Ahlussunnah wal Jama’ah, Allah bisa saja mengampuni dosa-dosa yang dilakukan oleh seorang yang beriman (berada di bawah masyi-ah Allah, kalau Allah berkehendak, maka Allah mengampuninya dan kalau Allah berkehendak, maka Allah tidak mengampuninya) kecuali dosa syirik sesuai dengan firman-Nya :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.(Q.S. Al-Nisa’ : 48)
[1] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. II, Hal. 100, No. Hadits : 1381
[2] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. II, Hal. 100.
[3] Ibnu Hajar al-Asalany, Fath al-Barry, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 118, No. hadits : 1251
[4] Imam Muslim, Shahih Muslim, Dar al-Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut , Juz. IV, Hal. 2028, No Hadits : 2632
[5] Imam Muslim, Shahih Muslim, Dar al-Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. IV, Hal. 2028, No Hadits : 2632
[6] Imam Muslim, Shahih Muslim, Dar al-Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut , Juz. IV, Hal. 2030, No Hadits : 2636
[7] Ibnu Hajar al-Asalany, Fath al-Barry, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 119
[8] Qadhi ‘Iyadh, Ikmal al-Mu’allim bi Fawaid Muslim, Darul Wifa’, Juz. VIII, Hal. 115
[9] Ibnu Hajar al-Asalany, Fath al-Barry, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 121
[10] Ibnu Mulaqqin, Tauzhih li Syarh Jami’ al-Shahih, Wazarah al-Auqaf wa al-Syu-un al-Islamiyah, Qathar, Juz. X, Hal. 167
[11] Ibnu Abd al-Bar, al-Istizkar, Daul Qaibah, Beirut, Juz. VIII, Hal. 324
Senin, 05 September 2011
Memahami Terjadi Perbedaan dalam Menentukan Awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri di Aceh
1.Bermazhab Syafi’i
Mazhab Syafi’i ini merupakan mazhab yang diterima masyarakat Aceh secara turun temurun dari awal masuk Islam ke Aceh. Sehingga tidak mengherankan kalau mayoritas umat Islam Aceh merupakan penganut Mazhab Syafi’i dan hampir semua dayah Aceh (nama lembaga pendidikan agama tradisional di Aceh) menganut Mazhab Syafi’i. PERTI, sebuah organisasi massa yang sangat populer di Aceh merupakan sebuah wadah Mazhab Syafi’i. disamping itu ada juga organisasi lain yang bermazhab Syafi’i, seperti Alwasliyah dan Nahdlatul Ulama, namun dua organisasi terakhir ini jauh populeritasnya dibanding PERTI.
2.Tidak bermazhab.
Paham ini masuk ke Aceh seiring dengan gencarnya gerakan pembaharuan Islam yang dimotori oleh gerakan Wahabi dan Muhammad Abduh di Timur Tengah. Paham tidak bermazhab ini, di Aceh pada awalnya dipopuler oleh organisasi PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang ketua pertamanya pada waktu itu adalah Tgk Daud Bereueh. Organisasi PUSA ini kemudian lenyap dengan sebab banyak tokoh-tokoh PUSA terlibat dalam gerakan DI/TII. Selanjutnya paham tidak bermazhab ini didakwah oleh organisasi pembaharuan, Muhammadiyah Dalam perkembangan selanjutnya, di Aceh, umat Islam yang bermazhab Syafi’i sering disebut sebagai orang PERTI atau orang tarawih dua puluh dan umat Islam yang tidak bermazhab disebut sebagai orang Muhammadiyah atau orang tarawih delapan.
2.kelompok yang menggunakan metode rukyatul hilal, berbeda pendapat dalam memilih dan menggunakan jenis hisab sebagai pedoman rukyatul hilal.