Senin, 27 Agustus 2012

Ghayatul Wushul (Terjemahan dan Penjelasannya), Masalah Ilmu, Hal. 20


( وَالْعِلْمُ ) بالمطلوب الحاصل ( عِنْدَنَا ) أيها الأشاعرة ( عَقِبَهُ ) أى عقب صحيح النظر عادة عند الأشعرى وغيره فلا يتخلف الا خرقا للعادة كتخلف الإحراق عن مماسة النار أولزوما عند الإمام الرازى وغيره فلاينفك اصلا كوجود الجوهر لوجود العرض ( مُكْتَسَبٌ ) للناظر ( فِيْ الأَصَحِّ ) لأن حصوله عن نظره المكتسب له وقيل لا لأن حصوله اضطرارى لا قدرة على دفعه فلاخلاف الا فى التسمية وهى بالمكتسب أنسب والتصحيح من زيادتى وكالعلم فيما ذكر الظن وان لم يكن بينه وبين أمر ما ارتباط بحيث يمتنع تخلفه عنه عقلا أوعادة لأن النتيجة لازمة للقضيتين وان كانتا ظنيتين وزواله بعد حصوله لايمنع حصوله لزوما أوعادة وخرج بعندنا المعتزلة فقالوا النظر يولد العلم كتوليد حركة اليد لحركة المفتاح عندهم وعلى وزانه يقال الظن الحاصل متولد عن النظر عندهم
(Dan sisi kita) hai pengikut Asy’ari (mengetahui) kesimpulam yang hasil sesudah nazhar yang shahih secara ‘adat(1) di sisi Asya’ri dan lainnya, karena itu, mengetahui kesimpulam tersebut tidak akan berselisih dari nazhar yang shahih kecuali karena kharq al-adah, sama halnya dengan berselisih membakar dari sentuhan api ataupun secara luzum(2) di sisi Imam al-Razi dan lainnya, karena itu, ia tidak akan terlepas dari nazhar yang shahih sama sekali, sama dengan wujud jauhar(3) bagi wujud ‘aradh(4)  (merupakan muktasab(5)) bagi orang yang nazhar (menurut pendapat yang lebih shahih), karena hasilnya bersumber dari nazharnya yang diusahakannya. Ada yang mengatakan tidak, karena hasilnya idhthirari(6) yang tidak mampu ditolaknya. Maka tidak ada khilaf kecuali pada penamaan(7) dan sedangkan penamaannya dengan muktasab lebih sesuai.  Pentashhihan ini adalah tambahanku. Sama dengan ilmu/mengetahui dalam hal yang telah disebutkan adalah dhan dari sisi tidak terjadi berselisih kesimpulan dari nazhar yang shahih pada akal dan al-‘adah, meskipun tidak ada antara dhan dan sesuatupun mempunyai hubungan, karena natijah/kesimpulan lazim bagi dua qadhiyah, meskipun keduanya dhanni, sedangkan hilang dhan sesudah hasilnya tidak mencegah hasilnya secara luzum atau al-‘adah. Dengan perkataan “di sisi kita” keluarlah Mu’tazilah, mereka mengatakan, nazhar melahirkan ilmu seperti melahirkan gerak tangan bagi bergerak anak kunci menurut mereka.(8) Berdasarkan konsep ini, menurut mereka dikatakan, dhan yang terjadi dilahirkan dari nazhar.

Penjelasannya
(1). Suatu hubungan yang berjalan secara kebiasaan, seperti hubungan api dengan membakar, karena itu kadang-kadang ada api tetapi tidak membakar. Ini disebut dengan kharq al-adah, yaitu tidak berjalan sebagaimana kebiasaannya. Hal seperti ini juga terjadi pada sebuah nazhar yang shahih, dimana biasanya kalau ada nazhar yang shahih, maka akan ada sebuah kesimpulan, namun kadang-kadang ada nazhar yang shahih tetapi tidak wujud sebuah kesimpulan, karena hubungan keduanya adalah hubungan al-‘adah.
(2). Hubungan yang tidak pernah terlepas satu sama lainnya dan selalu berjalan beriringan, yakni lazim pada akal. Karena itu tidak sah Allah Ta’ala menciptakan salah satunya tanpa ada yang lain, yang sah adalah menciptakannya atau meniadakannya secara bersamaan. Pendapat Imam al-Razi ini merupakan pendapat yang terpilih di sisi jumhur ulama.[1]
(3). Jauhar adalah yang berdiri dengan sendirinya, baik yang tunggal, tidak berjuzu’ sama sekali yaitu jauhar fard maupun yang tersusun yaitu jisim thabi’i.[2]
(4). ‘Aradh adalah sesuatu yang wujudnya berhajat kepada tempat berdirinya seperti warna dimana wujudnya berhajat kepada jisim (benda) yang ditempatinya.[3]
(5).Muktasab yakni ilmu muktasab yaitu yang tergantung kepada nazhar dan pendalilian.[4]
(6). Maksudnya tidak cocok dinamakan dengan muktasab. Idhthirari adalah datang sendirinya tanpa ada usaha.
(7). Karena muwafakat pendapat pertama atas pendapat kedua tentang hasil ilmu sesudah nazhar yang shahih merupakan idhthirari dan muwafakat pendapat kedua atas pendapat pertama tentang hasil ilmu itu berasal dari nazhar yang diusahakan. Jadi dinamakan muktasab karena i’tibar sebabnya, yaitu nazhar yang diusahakan, meskipun apabila telah terjadi nazhar yang shahih, maka muncul ilmu itu secara Idhthirari. Penamaan dengan dharuri kurang tepat, karena mewahamkan sebab ilmu itu, yaitu nazhar, juga datang secara dharuri, padahal tidak demikian adanya.[5]
(8). Ini tawwalud (melahirkan) secara kebiasaan, karenanya, boleh berselisih. Maka nazhar itu diberikan kemampuan atas seorang hamba, yang wujud dengan qudrah haditsahnya dan ilmu itu lahir dari kemampuan tersebut. Pendapat yang keempat, pendapat hukamaaa, yakni ilmu hasil dengan ta’lil, yakni nazhar merupakan ‘illat yang memberi bekas (ta’tsir bizatihi) bagi menghasilkan ilmu [6]


[1] Lihat Al-Banany, Hasyiah al-Banany ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 130
[2] Muhammad bin Ali al-Shabban, Hasyiah ‘ala Syarh al-Sulam, al-Haramain, Singapura, Hal. 71
[3] Al-Jarjani, al-Ta’rifaat, Maktabah Libanon, Hal. 153
[4] Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Warqaat, dicetak pada hamisy Hasyiah al-al-Dimyathi ‘ala Syarah al-Warqat, Raja Murah, Pekalongan, Hal. 5
[5] Lihat Al-Banany, Hasyiah al-Banany ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 131
[6] Al-Banany, Hasyiah al-Banany ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 130

Sabtu, 25 Agustus 2012

Masalah-masalah yang mu’tamad menurut pengarang Minhaj al-Thalibin yang difatwa dha’if oleh fuqaha Syafi’iyah sesudahnya.(bag. 3)


6. Al-Nawawi berpendapat dalam al-Minhaj, apabila meninggalkan perintah-perintah dalam ibadah haji yang tidak membatalkan haji seperti ihram pada miqaat, bermalam di Muzdalifah pada malam al-nahr dan di Mina pada malam-malam tasyriq, melempar dan thawaf wida’, maka wajib dam tertib dan ta’dil. Beliau mengatakan :
“Pendapat yang lebih shahih sesungguhnya dam pada meninggalkan perintah-perintah seperti ihram pada miqaat adalah dam tertib. Karena itu,  jika tidak mampu meyembelih dam, maka seseorang hendaklah membeli makanan dengan harga kambing dan menyedekahkannya, dan jika juga tidak mampu, maka berpuasa untuk setiap satu mud satu hari puasa.”[1]

            Pendapat yang telah dishahihkan oleh al-Ghazali dan Imam Juwaini ini didasarkan kepada qiyas kepada hukum meninggalkan ihram pada miqaat pada haji tamatu’. Namun kebanyakan ulama berpendapat apabila tidak mampu menyembelih dam, maka berpuasa tiga hari selama di haji dan tujuh hari sesudah kembali kekampung halaman. Qalyubi mengatakan pendapat pertama marjuh (dha’if) dan yang mu’tamad adalah pendapat kebanyakan ulama (yang kedua).[2]  Ibnu Hajar mengatakan pendapat kedua ini yang mu’tamad dalam al-Raudhah, al-Majmu’ dan al-Syarhaini.[3] Khatib Syarbaini mengatakan, yang lebih shahih adalah yang terebut dalam al-Raudhah sebagaimana disebut al-Haitamy di atas.[4] Senada dengan Khatib Syarbaini dikemukan oleh al-Ramli dalam Nihayah al-Muhtaj.[5]

7. Al-Nawawi dalam al-Minhaj berpendapat, yang lebih shahih tidak ada hak khiyar pada hibah yang mempunyai imbalan, syafa’ah, sewa menyewa, akad al-masaaqaah (menyiram tanaman tua) dan mahar. Beliau mengatakan :
“tidak ada khiyar pada al-ibra’, nikah, hibah tanpa imbalan dan demikian juga hibah yang mempunyai imbalan, syafa’ah, sewa menyewa, akad al-masaaqaah (menyiram tanaman tua) dan mahar menurut pendapat yang lebih shahih.”[6]

            Argumentasi al-Nawawi karena semua akad tersebut di atas tidak disebut sebagai akad jual beli, sedangkan hadits yang melegitimasikan hak khiyar hanya terjadi pada akad jual beli. Namun Qalyubi dalam mengomentari pendapat al-Nawawi di atas, mengatakan pendapat yang mengatakan pada hibah yang mempunyai imbalan ada hak khiyar merupakan pendapat yang mu’tamad, karena ia pada makna jual beli.[7] Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan, yang mu’tamad ada hak khiyar pada hibah yang mempunyai imbalan, karena akad tersebut merupakan akad jual beli pada hakikatnya.[8] Senada dengan ini juga dikemukakan oleh Khatib Syarbaini dalam al-Iqna’[9] Pendapat ini juga diikuti oleh Zainuddin al-Malibari dalam kitabnya, Fathul Mu’in.[10]


[1] Al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa ‘Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 145
[2] Qalyubi, Hasyiah Qalyubi, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 145
[3] Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi Syarwani, Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. IV, Hal. 197
[4] Khatib Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. I, Hal. 769
[5] Imam Ramli, Nihayah al-Muhtaj, dicetak bersama Hasyiahnya ,karya Ali Syibran al-Malusi, Juz. II, Hal. 470
[6] Al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa ‘Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 190-191.
[7] Qalyubi, Hasyiah Qalyubi, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 190-191
[8] Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi Syarwani, Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. IV, Hal. 336
[9] Khatib Syarbaini,  al-Iqna’, dicetak dalam Hasyiah al-Bujairumi ‘ala al-Iqna’,  Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. III, Hal. 316
[10] Zainuddin al-Malibary, Fathul Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 26

Debat Terbuka Mengenai I'adah Dhuhur setelah shalat Jum'at


Kolom ini khusus diperuntukkan untuk debat terbuka mengenai masalah-masalah dalam Islam, akidah, fiqh dan tasauf. Semua pembaca, siapapun dia bebas berbicara, ya tentu dengan menggunakan etika islami, bebas mengemukakan pendapatnya , mengkritisi pendapat orang lain, berargumentasi mempertahankan pendapat yang dia yakini benar. Tidak perlu marah-marah, yang sangat penting argumentative, menerima kebenaran yang datang dari siapapun. Nah mudah kan!

Masalah yang kita coba angkat kali ini adalah masalah I’adah Dhuhur setelah shalat Jum’at. 

Berkata kelompok yang membid’ahkan I’adah Dhuhur :
I’adah Dhuhur adalah melakukan lagi shalat Dhuhur setelah Jum’at. I’adah dhuhur tersebut adalah haram alias bid’ah dengan argumentasi  bahwa shalat Jum’at itu sebagai pengganti shalat Dzuhur. Sedang Allah tidak mewajibakan kepada kita enam shalat dalam sehari semalam. Apabila ada yang membolehkan shalat Dzuhur setelah shalat Jum’at, maka hal itu termasuk bid’ah

Nah bagaimana komentar anda!