Kuteks yang dipakai oleh wanita di kukunya memiliki lapisan/cat yang menempel, sehingga tidak boleh dipakai bila hendak shalat karena menghalangi sampainya air ke bagian jarinya dalam wudhu. Segala sesuatu yang mencegah sampainya air kepada anggota wudhu tidak boleh dipakai oleh orang yang berwudhu atau orang yang mandi wajib. Zainuddin Al-Malibary dalam Fathul Muin mengatakan :
“Syarat wudhu’ keempat adalah tidak ada sesuatu yang menghalangi antara air dan anggota yang dibasuh seperti kafur, lilin, minyak yang sudah membeku, zat dawat dan zat inai, berbeda halnya (tidak mengapa) minyak yang mengalir meskipun air tidak tetap atasnya,dan berbeda juga halnya (tidak mengapa) bekas dawat dan bekas inai”.1
Sedangkan tangan termasuk anggota yang wajib dibasuh pada wudhu’ dan mandi wajib. Sesuai dengan firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub, maka bersucilah (Q.S. al Maidah:6)
Adapun wanita yang sedang tidak shalat karena haid tidak mengapa memakai kuteks ini. Hanya saja memakai kuteks termasuk kekhususan wanita-wanita kafir atau orang-orang biasa berbuat fasid. Karena alasan ini, maka tidak boleh memakainya, agar tidak jatuh dalam perbuatan tasyabbuh (menyerupai) dengan orang-orang kafir atau pakaian orang-orang biasa berbuat fasid, sesuai dengan hadits Rasulullah SAW :
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Artinya : Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum itu. (H.R. Abu Dawud)2
Al-Sakhawy mengatakan, hadits ini diriwayat oleh Ahmad, Abu Daud dan al-Thabrany dalam al-Kabir dari hadits Muniib al-Jarsyi dari Ibnu Umar secara marfu’ dengan sanad dha’if, namun hadits ini telah disokong oleh hadits Huzaifah dan Abu Hurairah di sisi al-Bazar, di sisi Abu Na’im dalam Tarikh Ashbahan dari Anas dan di sisi al-Qadha’i dari hadits Thawus secara mursal. 3 Dengan demikian, hadits ini meskipun sanadnya dhaif, kualitasnya naik menjadi hasan karena ada sokongan dari jalur-jalur lain sebagaimana terlihat dari uraian di atas. Kesimpulan ini sesuai dengan pernyataan Ibnu Hajar al-Asqalani berikut :
”Hadits ini dikeluarkan Abu Daud dengan sanad hasan." 4
DAFTAR PUSTAKA
1.Zainuddin al-Malibary, Fathul Muin, dicetak pada hamisy I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 35
2.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 441, Nomor hadits : 4031
3.Al-Sakhawy, al-Maqashid al-Hasanah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 639
4.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barry, Maktabah Syamilah, Juz. X, Hal. 271
Tidak ada komentar:
Posting Komentar