Akhir-akhir ini, di Aceh marak sekali dengan isu-isu aliran-aliran
sesat yang berhembus dan dibicarakan disetiap
media, forum ilmiyah, di dayah-dayah dan bahkan dalam pembicaraan warung kopi. Kebanyakan
yang diisukan sebagai aliran sesat tersebut berasal dari orang-orang yang mengakui
dirinya sebagai ahli sufi (mungkin sufi gadungan ya?). Untuk meyakinkan
masyarat awam, biasanya mereka membawa nama-nama sufi besar sekelas Yazid
Bustami, al-Halaj, Ibnu Arabi dan lain-lain. Dalam berargumentasi untuk
membenarkan keyakinan mereka, mereka sering melakukan pentakwilan-pentakwilan
ayat al-Qur’an sedemikian jauh, sehingga pentakwilan-pentakwilan tersebut kalau
dibandingkan dengan makna dhahir ayat-ayat itu tidak mempunyai hubungan sama
sekali, sehingga dapat dipastikan penafsiran model mereka ini tidak sah disebut
sebagai tafsir isyari (tafsir berdasarkan isyarat-isyarat yang dapat dipahami
dari makna dhahir). Untuk itu, kami
mencoba memuat di sini tulisan Imam al-Ghazali dalam kitab beliau, Ihya
Ulumuddin - seorang tokoh sufi besar yang menjadi ikutan ahli sufi (sufi
benaran) dalam amalannya - sekitar masalah syathahat dan penafsiran al-Qur’an
tanpa memperdulikan makna dhahir suatu ayat (tafsir kaum Bathiniyah). Mudah-mudahan
bermanfaat, yaitu berkata al-Ghazali :
وأما الشطح فنعني به صنفين
من الكلام أحدثه بعض الصوفية أحدهما الدعاوى الطويلة العريضة في العشق مع الله
تعالى والوصال المغني عن الأعمال الظاهرة حتى ينتهي قوم إلى دعوى الاتحاد وارتفاع الحجاب
والمشاهدة بالرؤية والمشافهة بالخطاب فيقولون قيل لنا كذا وقلنا كذا ويتشبهون فيه
بالحسين بن منصور الحلاج الذي صلب لأجل إطلاقه كلمات من هذا الجنس ويستشهدون بقوله
أنا الحق وبما حكى عن أبي يزيد البسطامي أنه قال سبحاني سبحاني وهذا فن من الكلام
عظيم ضرره في العوام حتى ترك جماعة من أهل الفلاحة فلاحتهم وأظهروا مثل هذه
الدعاوى فإن هذا الكلام يستلذه الطبع إذ فيه البطالة من الأعمال مع تزكية النفس
بدرك المقامات والأحوال فلا تعجز الأغبياء عن دعوى ذلك لأنفسهم ولا عن تلقف كلمات
مخبطة مزخرفة ومهما أنكر عليهم ذلك لم يعجزوا عن أن يقولوا هذا إنكار مصدره العلم
والجدال والعلم حجاب والجدل عمل النفس وهذا الحديث لا يلوح إلا من الباطن بمكاشفة
نور الحق فهذا ومثله مما قد استطار في البلاد شرره وعظم في العوام ضرره حتى من نطق
بشيء منه فقتله أفضل في دين الله من إحياء عشرة وأما أبو يزيد البسطامي رحمه الله
فلا يصح عنه ما يحكى وإن سمع ذلك منه فلعله كان يحكيه عن الله عز وجل في كلام
يردده في نفسه كما لو سمع وهو يقول إنني أنا الله لا إله إلا أنا فاعبدني فإنه ما
كان ينبغي أن يفهم منه ذلك إلا على سبيل الحكاية
“Adapun syathahat,
maka kami maksudkan dengannya dua pembagian dari kalam yang didatangkan oleh
sebagian ahli sufi. Salah satunya do’a-do’a panjang yang terbentang dalam
kerinduan bersama Allah dan hubungan yang tidak memerlukan amalan-amalan dhahir
sehingga suatu golongan sampai kepada mendakwakan ittihad (bersatu dengan
Tuhan) dan terbuka hijab serta penyaksian dengan melihat Tuhan dan berhadapan
dengan-Nya dengan berbicara, mereka berkata : “Dikatakan kepada kami demikian
dan kami katakan kepadanya demikian.”. Mereka menyerupai dengan al-Husain bin
al-Mansur al-Halaj yang disalib karena melepaskan kalimat-kalimat sejenis ini,
lalu mereka membuktikan yang demikian itu dengan perkataan al-Halaj : “Ana
al-Haq” (Akulah yang haq.) dan mereka juga membuktikan dengan apa yang
dihikayah dari Abu Yazid al-Bustamy, bahwa beliau mengatakan : “Subhani,
Subhani” (Maha suci aku, Maha suci aku). Ini merupakan suatu pelajaran dari
kalam yang sangat besar mudharatnya pada orang-orang awam sehingga para petani
meninggalkan usaha taninya dan mereka melahirkan dakwaaan-dakwaan ini, karena
kalam ini dirasakan nikmat oleh tabiat
manusia, karena padanya membatalkan amal sedangkan jiwa tetap suci dengan
mendapatkan maqam yang tinggi dan ihwal yang baik. Maka orang-orang bodoh tidak
lemah dari mendakwakan demikian itu untuk diri mereka dan dari menerima
perkataan yang kacau, tetapi penuh dengan hiasan kata-kata. Manakala ada yang
mengingkari mereka karena yang demikian itu, merekapun tidak lemah untuk
mengatakan, : “Pengingkaran ini sumbernya adalah ilmu dan berbantahan,
sedangkan ilmu adalah hijab dan berbantahan adalah amalan diri. Adapun
pembicaraan ini tidak diisyaratkan kecuali dari bathin dengan terbukanya cahaya
kebenaran.” Sesungguhnya ini dan yang sejenis dengannya merupakan hal-hal yang
sungguh sudah berterbangan dalam negeri-negeri keburukan-keburukannya dan
sangat besar mudharatnya pada orang-orang awam, sehingga orang-orang
mengucapkan sedikit darinya. Karena itu, membunuhnya lebih baik dalam agama
Allah dari pada menghidupkan sepuluh. Adapun Abu Yazid al-Bustamy Rhm, maka
tidak shahih apa yang yang dihikayah darinya itu. Seandainyapun didengar yang demikian itu
darinya, itu barangkali merupakan hikayah dari Allah ‘Azza wa Jalla pada kalam
yang berulang-ulang dalam jiwanya, sebagaimana seandainya didengar Abu Yazid
mengatakan : “Sesungguhnya aku adalah Allah, tiada tuhan kecuali aku, maka
sembahlah aku.” Maka tidak sepatutnya dipahami dari yang demikian kecuali atas
jalan hikayah.
الصنف الثاني من الشطح
كلمات غير مفهومة لها ظواهر رائقة وفيها عبارات هائلة وليس وراءها طائل إما أن
تكون غير مفهومة عند قائلها بل يصدرها عن خبط في عقله وتشويش في خياله لقلة إحاطته
بمعنى كلام قرع سمعه وهذا هو الأكثر وإما أن تكون مفهومة له ولكنه لا يقدر على تفهيمها
وإيرادها بعبارة تدل على ضميره لقلة ممارسته للعلم وعدم تعلمه طريق التعبير عن
المعاني بالألفاظ الرشيقة ولا فائدة لهذا الجنس من الكلام إلا أنه يشوش القلوب
ويدهش العقول ويحير الأذهان أو يحمل على أن يفهم منها معاني ما أريدت بها ويكون
فهم كل واحد على مقتضى هواه وطبعه وقد قال صلى الله عليه وسلم ما حدث أحدكم قوما
بحديث لا يفقهونه إلا كان فتنة عليهم وقال صلى الله عليه وسلم كلموا الناس بما
يعرفون ودعوا ما ينكرون أتريدون أن يكذب الله ورسوله وهذا فيما يفهمه صاحبه ولا
يبلغه عقل المستمع فكيف فيما لا يفهمه قائله فإن كان يفهمه القائل دون المستمع فلا
يحل ذكره وقال عيسى عليه السلام لا تضعوا الحكمة عند غير أهلها فتظلموها ولا
تمنعوها أهلها فتظلموهم كونوا كالطبيب الرفيق يضع الدواء في موضع الداء وفي لفظ
آخر من وضع الحكمة في غير أهلها فقد جهل ومن منعها أهلها فقد ظلم إن للحكمة حقا
وإن لها أهلا فأعط كل ذي حق حقه
“Pembagian
kedua dari syathahat adalah perkataan-perkataan yang tidak dipahami, yang
nampak menarik dengan kata-kata yang mengagumkan, tetapi dibalik itu tidak ada
faedah sama sekali. Hal itu adakala karena orang yang mengucapkannya sendiri
tidak memahaminya, bahkan hal itu terjadi dari ada gangguan pada akalnya dan
kekacauan pada khayalannya, karena kurang mendalami makna kalam yang menarik
pendengarannya itu. Ini banyak. Dan ada kalanya dapat dipahami, tetapi ia tidak
mampu memberikan pemahaman dan mendatangkannya dengan kata-kata yang menunjuki
isi hatinya, karena kurang mahir pengetahuan dan tidak belajar cara-cara
melahirkan suatu makna dengan lafazh-lafazh yang indah. Tidak ada faedah jenis
kalam ini kecuali hanya mengacaukan hati dan menganggu pikiran serta membawa
keraguan hati atau dipahami maknanya sesuai dengan maksud yang sebenarnya,
tetapi pemahamannya itu berdasarkan hawa nafsu dan tabi’atnya. Rasulullah SAW
bersabda : “Seseorang dari kamu tidak menerangkan kepada sebuah golongan suatu
pembicaraan yang mereka tidak memahaminya kecuali hanya menimbulkan fitnah atas
mereka”. Bersabda Rasulullah SAW : “Berbicaralah kepada manusia dengan bahasa
yang mereka mengerti dan tinggalkan masalah-masalah yang mereka ingkari. Apakah
kamu menginginkan didustai Allah dan Rasul-Nya ?” Ini dalam hal-hal yang dapat
dipahami oleh pengucapnya sendiri, tetapi sampai akal pendengarnya, maka
bagaimanakah dalam hal-hal yang pengucapnya sendiri tidak mampu memahaminya ?.
jikalau dipahami oleh pengucapnya, tetapi tidak mampu dipahami oleh
pendengarnya, maka tidak halal menyebutnya. Isa a.s. mengatakan : “Janganlah
kamu letakkan hikmah itu pada bukan ahlinya, maka kamu berbuat aniaya terhadap
hikmah itu dan janganlah kamu mencegah hikmah itu kepada ahlinya, maka kamu
berbuat aniaya kepada ahlinya. Jadikanlah seperti dokter yang penuh kasih
sayang meletakkan obat pada tempat sakit.” Dalam lafzah lain disebutkan :
“Barangsiapa yang meletakkan hikmah pada bukan ahlinya, maka dia itu orang
bodoh dan barang siapa yang mencegah hikmah kepada ahlinya, maka dia telah
berbuat dhalim, sesungguhnya hikmah itu ada haknya dan ahlinya, maka berikanlah
hak kepada setiap yang mempunyai hak .”
وأما الطامات فيدخلها ما
ذكرناه في الشطح وأمر آخر يخصها وهو صرف ألفاظ الشرع عن ظواهرها المفهومة إلى أمور
باطنة لا يسبق منها إلى الأفهام فائدة كدأب الباطنية في التأويلات فهذا أيضا حرام
وضرره عظيم فإن الألفاظ إذا صرفت عن مقتضى ظواهرها بغير
اعتصام فيه بنقل عن صاحب الشرع ومن غير ضرورة تدعو إليه من دليل العقل اقتضى ذلك
بطلان الثقة بالألفاظ وسقط به منفعة كلام الله تعالى وكلام رسوله صلى الله عليه
وسلم فإن ما يسبق منه إلى الفهم لا يوثق به والباطن لا ضبط له بل تتعارض فيه
الخواطر ويمكن تنزيله على وجوه شتى وهذا أيضا من البدع الشائعة العظيمة الضرر
وإنما قصد أصحابها الإغراب لأن النفوس مائلة إلى الغريب ومستلذة له وبهذا الطريق
توصل الباطنية إلى هدم جميع الشريعة بتأويل ظواهرها وتنزيلها على رأيهم كما حكيناه
من مذاهبهم في كتاب المستظهر المصنف في الرد على الباطنية
“Adapun thamaat
maka masuk dalamnya apa yang kami sebut mengenai syathahat dan perkara lain
yang khusus dengan thamaat itu, yaitu memalingkan lafazh-lafazh syara’ dari
dhahirnya yang mudah dipahami, kepada perkara-perkara batin yang tidak menonjol
faedahnya seperti kebiasaan golongan Bathiniyah dalam penta’wilan-penta’wilan.
Ini haram dan banyak mudharatnya. Karena sesungguhnya lafazh-lafazh itu apabila
dipaling dari tujuan dhahirnya tanpa berpegang pada nukilan empunya syara’ dan
tanpa ada kepentingan yang memerlukan kepadanya berupa dalil akal, maka yang
demikian itu mengakibatkan batal kepercayaan kepada lafazh-lafazh tersebut dan
gugurlah mamfaat kalam Allah dan kalam Rasul-Nya SAW. Lalu apa yang terbawa
segera kepada pemahaman tidak dapat dipercaya, sedangkan yang batin tidak ada
dhabit (batasan) baginya, bahkan terjadi pertentangan-pertentangan dalam hati
dan memungkinkan menempatkan perkataan itu dalam corak yang berbeda. Ini
merupakan bid’ah yang telah berkembang yang besar mudharatnya. Orang-orang yang
membuat thamaat ini adalah menciptakan hal-hal yang ganjil, karena jiwa manusia
cenderung kepada yang ganjil dan merasa lezat dengannya. Dengan cara ini,
golongan Bathiniyah sampailah kepada menghancurkan semua syari’at dengan
menta’wilkan dhahir syari’at serta menempatkan sesuai dengan pendapat mereka
sendiri, sebagaimana yang telah kami ceritakan mengenai mazhab mereka dalam
kitab al-Mustazhhar yang dikarang untuk menolak golongan Bathiniyah.”
ومثال تأويل أهل الطامات
قول بعضهم في تأويل قوله تعالى اذهب إلى فرعون إنه طغى أنه إشارة إلى قلبه وقال هو
المراد بفرعون وهو الطاغي على كل إنسان وفي قوله تعالى وأن ألق عصاك أي ما يتوكأ
عليه ويعتمده مما سوى الله عز وجل فينبغي أن يلقيه وفي قوله صلى الله عليه وسلم
تسحروا فإن في السحور بركة حديث تسحروا فإن في السحور بركة أراد به الاستغفار في
الأسحار وأمثال ذلك حتى يحرفون القرآن من أوله إلى آخره عن ظاهره وعن تفسيره
المنقول عن ابن عباس وسائر العلماء وبعض هذه التأويلات يعلم بطلانها قطعا كتنزيل
فرعون على القلب فإن فرعون شخص محسوس تواتر إلينا النقل بوجوده ودعوة موسى له
وكأبي جهل وأبي لهب وغيرهما من الكفار وليس من جنس الشياطين والملائكة مما لم يدرك
بالحس حتى يتطرق التأويل إلى ألفاظه وكذا حمل السحور على الاستغفار فإنه كان صلى
الله عليه وسلم يتناول الطعام ويقول تسحروا وهلموا إلى الغذاء المبارك فهذه أمور يدرك
بالتواتر والحس بطلانها نقلا وبعضها يعلم بغالب الظن وذلك في أمور لا يتعلق بها
الإحساس فكل ذلك حرام وضلالة وإفساد للدين على الخلق ولم ينقل شيء من ذلك عن
الصحابة ولا عن التابعين ولا عن الحسن البصري مع إكبابه على دعوة الخلق ووعظهم فلا
يظهر لقوله صلى الله عليه وسلم من فسر القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار معنى
إلا هذا النمط وهو أن يكون غرضه ورأيه تقرير أمر وتحقيقه فيستجر شهادة القرآن إليه
ويحمله عليه من غير أن يشهد لتنزيله عليه دلالة لفظية لغوية أو نقلية
“Contoh
pentakwilan ahli thamaat ini adalah perkataan mereka dalam mentakwilkan firman
Allah Ta’ala : “Pergilah kepada Fir’aun, sesungguhnya Fir’aun itu sudah
melampaui batas.” Firman Allah tersebut isyarat kepada hati. Dikatakan
hatilah yang menjadi maksud dengan perkataan Fir’aun dan hatilah yang melampaui
batas terhadap setiap manusia. Contoh lain adalah firman Allah Ta’ala : “Dan
campaklah tongkat kamu.” Dimaksudkan tongkat di sini sebagai sesuatu tempat
bersandar dan berpegang selain Allah ‘Azza wa Jalla. Karena itu, seharusnya
dibuang. Contoh lain yaitu sabda Nabi SAW : “Bersahurlah, sesungguhnya pada
bersahur adalah berkah.”. Dimaksudkan dengan sahur bermakna istighfar pada
waktu sahur. Dan contoh-contoh lain, sehingga mereka memalingkan al-Qur’an
mulai awalnya sampai akhirnya dari dhahirnya dan dari makna yang dinukil dari
Ibnu Abbas dan ulama-ulama lainnya. Sebagian pentakwilan-pentakwilan ini
dimaklumi batalnya secara pasti, seperti menempatkan Fir’aun bermakna hati.
Karena sesungguhnya Fir’aun seseorang yang sudah jelas dan mutawatir nukilannya
sampai kepada kita tentang keberadaannya dan juga dakwah Musa kepadanya serta
dia (Fir’aun) seperti Abu Jahal, Abu
Lahab dan kafir-kafir lainnya. Dan juga Fir’aun itu bukan jenis syaithan dan
malaikat berupa makhluq yang tidak dapat dirasakan dengan panca indera sehingga
memerlukan takwil kepada lafazh-lafazhnya. Demikian juga menempatkan sahur
bermakna istighfar, karena Nabi SAW makan sahur dan bersabda : “Bersahurlah,
marilah kita kepada makanan yang mengandung berkah ini”. Maka perkara-perkara
ini dapat diketahui dengan cara mutawatir dan kasat mata terhadap kebatilannya.
Sebagiannya diketahui dengan dugaan yang kuat, yaitu dalam hal-hal yang tidak
dapat dipersaksikan oleh panca indera. Maka semua itu adalah haram dan sesat
serta merusakkan agama makhluq, tiada satupun dikutip itu dari sahabat, tabi’in
dan tidak juga dari Hasan Basri, padahal begitu tekunnya beliau melakukan
dakwah dan memberi pengajaran kepada makhluq. Maka bagi sabda Nabi SAW :
“Barangsiapa yang menafsirkan al-Qur’an menurut pendapatnya sendiri, maka
disediakan tempatnya dari api neraka ” tidak dhahir maknanya kecuali cara ini,
yaitu bahwa maksud dan pendapatnya menetapkan dan membuktikan sesuatu, kemudian
menarik kesaksian al-Qur’an dan membawa al-Qur’an kepadanya tanpa didukung
penempatannya itu oleh petunjuk
kata-kata, baik secara bahasa maupun secara nukilan.”
ولا ينبغي أن يفهم منه أنه
يجب أن لا يفسر القرآن بالاستنباط والفكر فإن من الآيات ما نقل فيها عن الصحابة
والمفسرين خمسة معان وستة وسبعة ونعلم أن جميعها غير مسموع من النبي صلى الله عليه
وسلم فإنها قد تكون متنافية لا تقبل الجمع فيكون ذلك مستنبطا بحسن الفهم وطول
الفكر ولهذا قال صلى الله عليه وسلم لابن عباس رضي الله عنه اللهم فقهه في الدين
وعلمه التأويل
“Tidak seharusnya
dipahami dari penjelasan di atas, bahwa wajib tidak ditafsirkan al-Qur’an
dengan jalan istinbath dan pemikiran, karena sesungguhnya di antara ayat-ayat
itu mengandung lima, enam atau tujuh makna yang dikutip dari sahabat dan ahli
tafsir, sedangkan kita memaklumi bahwa semua itu bukan didengar dari Nabi SAW,
karena kadang-kadang saling bertentangan yang tidak mungkin dikompromikan. Karena
itu, ia merupakan hasil istimbath dengan sebab bagus pemahaman dan mendalam
berpikir. Karena itu, Rasulullah SAW berdo’a untuk Ibnu Abbas r.a. : “Ya Allah,
berikanlah pemahaman kepadanya dalam urusan agama dan berikanlah ilmu mengenai
ta’wil.”
ومن يستجيز من
أهل الطامات مثل هذه التأويلات مع علمه بأنها غير مرادة بالألفاظ ويزعم أنه يقصد
بها دعوة الخلق إلى الخالق يضاهي من يستجيز الاختراع والوضع على رسول الله صلى
الله عليه وسلم لما هو في نفسه حق ولكن لم ينطق به الشرع كمن يضع في كل مسألة
يراها حقا حديثا عن النبي صلى الله عليه وسلم فذلك ظلم وضلال ودخول في الوعيد
المفهوم من قوله صلى الله عليه وسلم من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار بل
الشر في تأويل هذه الألفاظ أطم وأعظم لأنها مبدلة للثقة بالألفاظ وقاطعة طريق
الاستفادة والفهم من القرآن بالكلية فقد عرفت كيف صرف الشيطان دواعي الخلق عن
العلوم المحمودة إلى المذمومة
“Dan barangsiapa
dari ahli thamaat membolehkan seperti ini pentakwilan, sedangkan ia mengetahui
bahwa takwilnya itu bukanlah maksud lafazh-lafazh tersebut dan mendakwa bahwa
tujuannya mengajak makhluq kepada khaliq, maka sikap tersebut serupa dengan
orang-orang yang membolehkan mengada-ada dan mendustai atas Rasulullah SAW
karena berdasarkan kebenaran, tetapi tidak pernah diucapkan oleh syara’ seperti
seseorang yang memalsukan hadits dari Nabi SAW pada suatu masalah yang
dipandangnya benar. Yang demikian adalah suatu kedhaliman dan kesesatan serta
masuk dalam peringatan yang dipahami dari sabda Nabi SAW : “Barangsiapa yang
mendustai aku secara sengaja, maka disediakan tempatnya dari api neraka.” Bahkan
keburukan pada pentakwilan lafazh-lafazh ini lebih banyak dan lebih besar,
karena hal itu menghilangkan kepercayaan dengan lafazh-lafzah tersebut dan
melenyapkan jalan memperoleh faedah dan pemahaman dari al-Qur’an
keseluruhannya. Maka kamu telah mengetahui bagaimana syaithan telah memalingkan
alat-alat dakwah dari ilmu yang terpuji kepada ilmu tercela.”
(Al-Ghazali, Ihya
Ulumuddin, Cet. Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 36-38),
Tidak ada komentar:
Posting Komentar