Pada prinsipnya, suami wajib
hukumnya bergaul dengan isterinya dengan baik dan makruf. Ini sesuai dengan
firman Allah berbunyi :
وإذا طلقتم
النساء فبلغن أجلهن فأمسكوهن بمعروف أو سرحوهن بمعروف ولا تمسكوهن ضرارا لتعتدوا
وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ
Artinya: Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka
mendekati akhir masa iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf,
atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf (pula). Janganlah kamu rujuki
mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya
mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah
berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. (Q.S. al-Baqarah : 231)
Dalam ayat lain disebutkan :
واللاتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن فإن
أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا إن الله كان عليا كبيرا
Artinya: Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka (pisah
ranjang), dan pukullah mereka, kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya, sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha Besar (Q.S. al-Nisa’ : 34)
Berdasarkan
dua ayat ini, menurut hemat kami, dapat disimpulkan bahwa tidak memberi nafkah
batin kepada isteri dengan qashad untuk menganiaya isteri merupakan suatu
tindakan yang diharamkan. Adapun bila tanpa qashad menganiaya, tetapi karena
faktor lagi tidak berselera, lagi tidak dalam keadaan fit, ataupun faktor
lainnya yang tidak termasuk maksiat, maka para ulama berbeda pendapat tentang
ini.
Berikut
pendapat para ulama mengenai kewajiban memberikan nafkah batin kepada isteri, antara lain :
1.
Ibnu
Hajar al-Asqalany dalam Fathul Barri mengatakan :
واختلف العلماء
فيمن كف عن جماع زوجته فقال مالك إن كان بغير ضرورة ألزم به أو يفرق بينهما ونحوه
عن أحمد والمشهور عند الشافعية أنه لا يجب عليه وقيل يجب مرة وعن بعض السلف في كل
أربع ليلة وعن بعضهم في كل طهر مرة
“Ulama
berbeda pendapat tentang orang-orang yang menahan diri dari menyetubuhi
isterinya, Malik mengatakan wajib jika tidak dalam keadaan mudharat atau
dipisahkan saja keduanya. Ini juga
pendapat Ahmad. Pendapat yang masyhur dari kalangan Syafi’iyah tidak wajib,
tetapi ada yang mengatakan wajib. Pendapat sebagian ulama salaf, pada setiap
empat malam wajib minimal sekali. Sebagian salaf lain, wajib minimal sekali
pada setiap kali suci.[1]
2. Ibnu al-Mulaqqan dalam al-Tauzhih li Syarh Jami’ al-Shahih, mengatakan
“Para ulama berbeda pendapat mengenai seorang suami yang menyibuk
dirinya dengan ibadah yang dapat melalaikan hak-hak keluarganya. Malik
mengatakan, apabila seorang suami menahan dirinya dari menyetubuhi isterinya
tanpa dalam keadaan dharurat, maka tidak dibiarkannya sehingga suami tersebut
menyetubuhinya atau dipisahkan keduanya, baik itu disukai atau dibencinya,
karena hal itu memudharatkan isteri. Pendapat yang sama dengannya adalah
penapat Ahmad. Abu Hanifah dan pengikutnya mengatakan, hendaknya diperintah
suami bermalam di sisi isterinya dan
memandang isterinya. Syafi’i mengatakan, tidak difardhukan atas suami
menyetubuhi isterinya, yang wajib hanya nafkah, pakaian, tempat tinggal dan
tinggal serumah bersama isterinya. Al-Tsuri mengatakan, apabila seorang isteri
mengadukan suaminya tidak mendatanginya, maka bagi suaminya itu tiga hari dan
isterinya itu satu hari. Ini juga merupakan pendapat Abu Tsur”.[2]
3. Imam al-Nawawi mengatakan :
إِذَا اعْتَرَفَتْ بِقُدْرَتِهِ
عَلَى الْوَطْءِ وَقَالَتْ: إِنَّهُ يَمْتَنِعُ مِنْهُ، فَلَا خِيَارَ لَهَا،
وَهَلْ لَهَا مُطَالَبَتُهُ بِوَطْأَةٍ وَاحِدَةٍ؟ وَهَلْ يُجْبَرُ هُوَ
عَلَيْهَا؟ وَجْهَانِ. أَصَحُّهُمَا: لَا ; لِأَنَّهُ حَقُّهُ، فَلَا يُجْبَرُ
عَلَيْهِ كَسَائِرِ الْوَطَآتِ
“Apabila seseorang isteri mengakui kemampuan suaminya
menyetubuhinya dan ia berkata : sesungguhnya sisuami menahan diri dari
menyetubuhinya, maka tidak ada hak khiyar bagi isteri tersebut. Apakah ada hak
bagi isteri untuk meminta suami menyetubuhinya sekali ?. Adakah dapat dipaksa
suami untuk menyetubuhinya ? Ini dua pendapat, pendapat yang lebih shahih tidak
dapat dipaksa, karena menyetubuhinya merupakan hak suami, karena itu tidak
dapat dipaksa atas suami seperti halnya persetubuhan-persetubuhan dalam kasus lainnya”.[3]
4.
Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan :
وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ وَطْؤُهَا؛ لِأَنَّهُ
حَقُّهُ وَقِيلَ عَلَيْهِ مَرَّةٌ لِتَقْضِيَ شَهْوَتَهَا وَيَتَقَرَّرُ مَهْرُهَا.
“Tidak wajib atas suami menyetubuhi isterinya, karena
itu adalah haknya. Ada yang mengatakan wajib satu kali, supaya isteri dapat
menunaikan syahwatnya dan tetap maharnya”.[4]
5. Dalam mengomentari
keterangan Ibnu Hajar al-Haitamy di atas, al-Syarwani mengatakan :
وَقَوْلُهُ وَطْؤُهَا أَيْ، وَإِنْ كَانَتْ بِكْرًا فَلَوْ عَلِمَ زِنَاهَا
لَوْ لَمْ يَطَأْ فَالْقِيَاسُ وُجُوبُ الْوَطْءِ دَفْعًا لِهَذِهِ الْمَفْسَدَةِ لَا
لِكَوْنِهِ حَقًّا لَهَا اهـ ع ش
“(Perkataan pengarang : menyetubuhinya), maksudnya
meskipun isterinya adalah gadis. Karena itu, seandainya dimaklumi isterinya
bisa berzina apabila tidak disetubuhi, maka menurut qiyas wajib menyetubuhinya,
karena menghindari ini mafsadah, bukan karena menyetubuhinya merupakan hak
isteri.”[5]
Kesimpulan
1.
Menurut Imam Syafi’i dan kebanyakan pengikutnya tidak wajib suami
memberikan nafkah batin (menyetubuhi) isterinya, karena menyetubuhi isteri
merupakan hak suami. Ada satu pendapat dari kalangan Syafi’iyah yang mengatakan
wajib, minimal sekali.
2.
Imam Malik dan Ahmad berpendapat wajib suami menyetubuhi isterinya. Suami dipaksa
memilih antara menyetubuhinya atau dipisahkan.
3.
Abu Hanifah dan pengikutnya berpendapat hendaknya diperintah suami
bermalam di sisi isterinya dan memandang
isterinya.
4.
Sufyan Al-Tsuri dan Abu Tsur
mengatakan, wajib sekali dalam setiap empat malam.
5.
Pendapat lain mengatakan,
wajib minimal sekali dalam setiap sekali suci.
6.
Seandainya dimaklumi isterinya bisa berzina apabila tidak disetubuhi, maka
wajib menyetubuhinya.
Secara garis besar pendapat-pendapat di atas dapat
digolongkan dalam dua golongan, yaitu yang tidak mewajibkannya,
yaitu Syafi’i dan pengikutnya, sementara sebagian kecil pengikut Syafi’i dan ulama
lain mewajibkannya. Para ulama yang
mewajibkannya karena beramal dengan dhahir mutlaq dua ayat yang telah kami
sebutkan di atas serta hadits Abdullah bin Amr bin ‘Ash, beliau berkata :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ، أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ
تَصُومُ النَّهَارَ وَتَقُومُ اللَّيْلَ؟ قُلْتُ: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ،
قَالَ: فَلاَ تَفْعَلْ، صُمْ وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ، فَإِنَّ لِجَسَدِكَ
عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِزَوْجِكَ
عَلَيْكَ حَقًّا
Artinya : Rasulullah SAW bersabda : “Hai Abdullah, apakah tidak aku khabari
sesungguhnya kamu berpuasa pada siang hari dan beribadah pada waktu malam ?” Aku
menjawab : “Benar Ya Rasulullah”. Rasulullah berkata : “Jangan kamu lakukan itu,
berpuasalah dan berbuka, beribadahlah dan tidur, sesungguhnya bagi tubuhmu ada
hak atasmu, bagi dua matamu ada hak atasmu dan bagi isterimu ada hak atasmu.”(H.R.
Bukhari)[6]
Ulama
yang tidak mewajibkannya kemungkinan menempatkan kemutlakan ayat-ayat dan hadits di
atas dalam hal yang bukan nafkah batin. Hal ini karena bersetubuh merupakan hak
suami. Ini ditandai dengan kewajiban mahar, nafkah pakaian, makanan dan tempat
tinggal atas suami, bukan atas isteri.
[1] Ibnu Hajar
al-Asqalany, Fathul Barri, Maktabah Salafiyah, Juz. IX, Hal. 299
[2] Ibnu
al-Mulaqqan, al-Tauzhih li Syarh Jami’ al-Shahih, Wazarutul Auqaf
wal-Syu-uniyah al-Islamiyah Daulah Qathar, Juz. XXV, Hal. 29
[3] Al-Nawawi, Raudhah
al-Thalibin, al-Maktabah al-Islamy, Juz. VII, Hal. 196
[4] Ibnu Hajar
al-Asqalany, Tuhfah al-Muhtaj, (Dicetak pada hamisy al-Hawasyi
Syarwani,), Mathba’ah Musthafa Muhammad, Mesir, Juz. VII, Hal. 183
[5]
Al-Syarwani, Hawasyi
al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Musthafa Muhammad, Mesir, Juz.
VII, Hal. 183
[6] Al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 31, No. hadits 5199
Wajib bagi suami/ayah memberikan nafkah lahir dan bathin bagi istri dan anak-anaknya. Kalaulah nafkah bathin itu diartikan menyetubuhi, apakah untuk memenuhi nafkah bathin terhadap anak harus disetubuhi...?? Gila.... menurut saya Bathin yg dimaksud adalah Rohani. Bukankah kelak kita akan dituntut sejauh mana kewajiban kita terhadap keimanan anak dan istri kita..? Ketika anak atau istri kita masuk neraka dikarenakan kelalaian kita menyirami rohani mereka, maka kita akan diseret mereka ikut masuk neraka. Jadi menurut hemat saya nafkah bathin itu adalah nafkah rohani. Sedangkan bersetubuh itu merupakan kebutuhan biologis. Kenyataannya dalam hal berhubungan badan, selalu suami yg meminta/menuntut kpd istri. Siapa yg meminta/menuntut, siapa yg memberi? Jadi sebenarnya kewajiban siapa..??
BalasHapusWajib bagi suami/ayah memberikan nafkah lahir dan bathin bagi istri dan anak-anaknya. Kalaulah nafkah bathin itu diartikan menyetubuhi, apakah untuk memenuhi nafkah bathin terhadap anak harus disetubuhi...?? Gila.... menurut saya Bathin yg dimaksud adalah Rohani. Bukankah kelak kita akan dituntut sejauh mana kewajiban kita terhadap keimanan anak dan istri kita..? Ketika anak atau istri kita masuk neraka dikarenakan kelalaian kita menyirami rohani mereka, maka kita akan diseret mereka ikut masuk neraka. Jadi menurut hemat saya nafkah bathin itu adalah nafkah rohani. Sedangkan bersetubuh itu merupakan kebutuhan biologis. Kenyataannya dalam hal berhubungan badan, selalu suami yg meminta/menuntut kpd istri. Siapa yg meminta/menuntut, siapa yg memberi? Jadi sebenarnya kewajiban siapa..??
BalasHapusbarokallaah,,,,ahsanta
BalasHapus