Dalil lain yang sering dijadi sebagai argumentasi kaum
Mujassimah adalah hadits dalam Shahih Muslim berbunyi :
قَالَ: وَكَانَتْ لِي
جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِي قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَّةِ، فَاطَّلَعْتُ
ذَاتَ يَوْمٍ فَإِذَا الذِّيبُ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا، وَأَنَا
رَجُلٌ مِنْ بَنِي آدَمَ، آسَفُ كَمَا يَأْسَفُونَ، لَكِنِّي صَكَكْتُهَا صَكَّةً،
فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَظَّمَ ذَلِكَ
عَلَيَّ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ أَفَلَا أُعْتِقُهَا؟ قَالَ: ائْتِنِي بِهَا
فَأَتَيْتُهُ بِهَا، فَقَالَ لَهَا: أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ،
قَالَ: مَنْ أَنَا؟ قَالَتْ: أَنْتَ رَسُولُ اللهِ، قَالَ: أَعْتِقْهَا،
فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
Artinya : Mu’awiyah ibn
al-Hakam al-Salamy berkata : “Aku memiliki seorang budak perempuan yang mengembala
kambing-kambingku disekitar Uhud dan Jawaniyah. Pada suatu hari aku saksikan
seekor serigala menyambar seekor kambing gembalaannya, karena aku seorang anak
Adam (manusia biasa) maka aku menyesalinya seperti mereka juga menyesalinya.
Hanya saja aku menempelengnya dengan sekali tempelengan, kemudian aku
mendatangi Rasulullah SAW, aku menyesali perbuatanku. Aku berkata, “Wahai
Rasulullah, apakah perlu aku merdekakan dia?” Beliau bersabda, “Bawa dia
kemari!” Maka aku bawa ia menghadap beliau. Beliau bertanya kepadanya, “Di mana
Allah?” Ia menjawab, “Di langit.” Siapa aku?, lanjut Nabi. ‘Engkau Rasulullah’,
jawabnya. Maka Beliau bersabda, “Merdekakan dia! Sesungguhnya ia seorang
mukiminah.”(H.R. Muslim)[1]
Kaum Mujasssimah mengatakan, hadits ini dengan gamblang
menjelaskan kepada kita bahwa Allah berada di langit sesuai dengan pengakuan
budak perempuan dalam kisah hadits ini dan Rasulullah SAW sendiri mengakui
keimanannya dengan sebab pengakuan tersebut. Selanjutnya mereka mereka
mengatakan, dengan demikian i’tiqad bahwa Allah berada di langit merupakan
i’tiqad yang haq.
Bantahan
:
Perlu menjadi catatan bagi kita bahwa dalam bidang pokok-pokok
akidah (keyakinan) tidak dibolehkan kecuali ditegakkan di atas pondasi dan
dasar yang qath’i (pasti dan tidak mengandung ta’wil atau kesamaran). Karena itu, Allah berfirman
dalam al-Qur’an :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ
عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ
مَسْئُولًا
Artinya : Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan (keyakinan) tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.(Q.S. al-Isra’ : 36)
Ini berbeda dengan masalah-masalah furû’iyah (fiqh praktis/amaliyah)
dimana para ulama membolehkan membangun kesimpulan mengenainya berdasarkan
dalil-dalil dhanniyah (dugaan yang tidak sampai kepada yakin). Kami kira semua
orang akan mudah memahami ini, karena tidak mungkin sebuah kesimpulan yang
bersifat qath’i dibangun hanya dari dalil yang bersifat dhanni.
Hadits
ahad hanya bernilai dhanni, tidak qath’i
Hadits ahad adalah hadits yang diriwayat oleh satu orang
atau lebih, tetapi tidak sampai kepada tingkatan mutawatir. Jumhur ulama Islam
menjelaskan kepada kita bahwa hadits ahad ini tidak bersifat qath’i, tetapi
hanya dhanni. Berikut ini sejumlah penjelasan dari ulama-ulama kita, antara
lain :
1.
Imam al-Juwaini yang lebih dikenal dengan gelar Imam
al-Haramain mengatakan dalam kitabnya :
وخبر الواحد لا يعقب العلم
“Hadits ahad tidak menghasilkan ilmu
(keyakinan)”[2]
Dalam kitab karya beliau yang lain, beliau mengatakan :
والاحاد وهو الذي يوجب العمل ولا يوجب
العلم لاحتمال الخطأ فيه
“Ahad adalah yang mewajibkan amal dan
tidak mewajibkan ilmu (keyakinan), karena ada kemungkinan salah padanya.”[3]
2.
Zakariya al-Anshari mengatakan :
واما مظنون الصدق فخبرالواحد وهو مالم
ينته الى التواتر
“Adapun yang dhan benar, maka itu adalah
hadits ahad, yakni yang tidak sampai kepada tingkatan mutawatir.”[4]
3.
Imam al-Nawawi mengatakan :
فَالَّذِي عَلَيْهِ جَمَاهِيرُ الْمُسْلِمِينَ مِنَ
الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ فَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ الْمُحَدِّثِينَ
وَالْفُقَهَاءِ وَأَصْحَابِ الْأُصُولِ أَنَّ خَبَرَ الْوَاحِدِ الثِّقَةِ حُجَّةٌ
مِنْ حُجَجِ الشَّرْعِ يَلْزَمُ الْعَمَلُ بِهَا وَيُفِيدُ الظَّنَّ وَلَا يُفِيدُ
الْعِلْمَ
“Maka pendapat yang pegangan jumhur kaum Muslimin, baik
sahabat, Tabi’in maupun ulama-ulama sesudah mereka, ahli hadits, fuqaha dan
ahli ushul adalah hadits ahad dari orang yang terpercaya menjadi hujjah dari
segala hujjah syara’ yang mewajibkan amal dengannya, tetapi tidak memfaedahkan
ilmu (keyakinan).”
Selanjutnya beliau menjelaskan :
وذهب بعض المحدثين إلى أن الاحاد التي في صحيح البخاري أو صحيح
مسلم تفيد العلم دون غيرها من الاحاد ؟ وقد قدمنا هذا القول وإبطاله في الفصول
“Sebagian Ahli Hadis berpendapat
bahwa hadis Ahâd yang ada dalam Shahih Bukhari dan Muslim memberikan kepastian
informasi, tidak hadis Ahâd dalam selain keduanya. Dan telah kami paparkan
panjang lebar bukti kebatilan pendapat ini dalam beberapa pasal sebelumnya…..”[5]
4.
Al-Hafizh Ibnu Abd al-Barr mengatakan :
وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا وَغَيْرُهُمْ فِي خَبَرِ الْوَاحِدِ
الْعَدْلِ هَلْ يُوجِبُ الْعِلْمَ وَالْعَمَلَ جَمِيعًا أَمْ يُوجِبُ الْعَمَلَ
دُونَ الْعِلْمِ وَالَّذِي عَلَيْهِ أَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْهُمْ أَنَّهُ
يُوجِبُ الْعَمَلَ دُونَ الْعِلْمِ وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَجُمْهُورُ
أَهْلِ الْفِقْهِ وَالنَّظَرِ وَلَا يُوجِبُ الْعِلْمَ عِنْدَهُمْ إِلَّا مَا
شَهِدَ بِهِ عَلَى اللَّهِ وَقَطَعَ الْعُذْرُ بِمَجِيئِهِ قَطْعًا وَلَا خلاف فيه
“Para ulama kami (Malikiyah) dan selainnya berselisih pendapat
tentang hadis ahad yang adil, apakah ia memberikan kepastian ilmu (keyakinan)
dan menjadi dasar pengamalan atau hanya pengamalan saja? Menurut mayoritas
ulama ia hanya menentukan amal saja tidak memberikan kesimpulan ilmu pasti. Ini
adalah pendapat Syafi’i dan jumhûr Ahli Fiqh dan Teologi. Menurut mereka tidaklah
memberikan kepastian ilmu kecuali yang dikuatkan dari Allah dan memutus semua
uzur, sebab ia telah datang dari jalur pasti yang tidak diperselisihkan lagi.”[6]
Berdasar keterangan ulama –ulama besar kita di
atas, nyatalah bagi kita bahwa bahwa hadits ahad yang bernilai dhanni ini tidak
dapat menjadi hujjah dalam bidang akidah. Ketidakhujjahan tersebut dikarenakan
kemungkinan adanya kesalahan, kealpaan, pemalsuan bisa saja terjadi, sedangkan
akidah sebagaimana dimaklumi dibangun atas dasar keyakinan dan kepastian.[7]
Hadits al-jariah (budak perempuan)
di atas adalah hadits ahad
Hadits al-jariah ini sebagaimana telah dikutip di atas
merupakan hadits riwayat Imam Muslim melalui jalur ‘Atha’ bin Yasar dari Mu’awiyah
bin al-Salamy. Hadits ini tidak diriwayat oleh Imam al-Bukhari. Hadits ini
merupakan hadits ahad yang riwayatnya tidak sampai kepada tingkatan mutawatir.
Dengan demikian, tingkat kebenaran hadits ini tidak sampai tingkatan keyakinan,
tetapi hanya tingkatan dhan saja. Karena itu, sebagaimana telah dijelaskan di
atas, maka hadits ini tidak dapat menjadi hujjah dalam bidang akidah, karena
keyakinan dalam bidang akidah harus dibangun berdasarkan dalil yang
pasti/yakin, tidak boleh hanya dengan argumentasi yang nilainya hanya dhan
saja. Lagi pula hadits ini meskipun shahih sanadnya, tetapi makna dhahirnya
bertentangan dengan aqidah yang sudah menjadi ijmak ulama bahwa Allah tidak
bertempat dan tidak mempunyai arah sebagaimana telah dijelaskan pada bagian 1
(satu) tulisan ini.
Perlu menjadi catatan kita bahwa hadits al-jariah ini datang
dalam kebanyakan riwayat lainnya dengan
mempunyai redaksi yang berbeda dengan riwayat Muslim di atas. Riwayat-riwayat
itu antara lain :
1.
Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya meriwayatkan dengan sanad
bersambung kepada Ibnu Juraij, ia berkata, Athâ’ mengabarkan kepadaku :
فَسَأَلَهَا النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتَشْهَدِينَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ؟
قَالَتْ: نَعَمْ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ؟ " قَالَتْ:
نَعَمْ وَأَنَّ الْمَوْتَ وَالْبَعْثَ حَقٌّ؟ قَالَتْ: نَعَمْ وَأَنَّ الْجَنَّةَ
وَالنَّارَ حَقٌّ؟
قَالَتْ: نَعَمْ، فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ:
أَعْتِقْ أَوْ أَمْسِكْ
Artinya
: Nabi SAW menanyakan kepada budak perempuan itu, “Apakah engkau bersaksi bahwa
tiada Tuhan selain Allah?” Ia menjawab, “Ya.” Beliau bertanya lagi, “Apakah
engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah?” Ia menjawab, “Ya.” Nabi SAW
bertanya, “Apakah engkau beriman bahwa kematian dan kebangkitan setelah
kematian haq?” Ia menjawab, “Ya. Nabi SAW bertanya lagi, ”Apakah engkau beriman bahwa
surga dan nereka itu haq?”Ia menjawab, ”Ya.”Maka setelah selesai, Nabi SAW
bersabda, “Merdekakan atau tahan dia”(H.R. Abdurrazzaq)[8]
Hadits ini juga telah diriwayat oleh Ahmad bin Hambal dalam
Musnad-nya,[9]
al-Haitsami mengatakan, hadits riwayat Ahmad ini rijalnya shahih.[10]
2.
Hadits diriwayat dari Abu Hurairah r.a :
أَنَّ رَجُلًا أَتَى
النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِجَارِيَةٍ سَوْدَاءَ
أَعْجَمِيَّةٍ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ عَلَيَّ عتق رَقَبَةٍ
مُؤْمِنَةٍ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
-: " أَيْنَ اللَّهُ؟ " فَأَشَارَتْ بِرَأْسِهَا إِلَى السَّمَاءِ
بِأُصْبُعِهَا السَّبَّابَةِ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: " مَنْ أَنَا؟ " فَأَشَارَتْ
بِأُصْبُعِهَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
وَإِلَى السَّمَاءِ ; أَيْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ. قَالَ: " أَعْتِقْهَا".
Artinya : Sesungguhnya seorang
laki-laki mendatangi Nabi SAW dengan seorang budak perempuan hitam ‘ajamiah,
dia berkata kepada Rasulullah SAW, : “Ya Rasulullah, sesungguhnya ada kewajiban atasku memerdekakan seorang budak perempuan yang beriman.” Lalu
Rasulullah SAW bertanya, “Dimana Allah ?” maka budak itu mengisyaratkan dengan
kepalanya ke langit serta telunjuknya. Kemudian Rasulullah SAW melanjutkan
pertanyaan : “Siapa saya ?”, budak itu mengisyaratkan dengan telunjuknya kepada
Rasulullah SAW dan kepada langit, maksudnya “Engkau Rasulullah”. Lalu
Rasulullah SAW bersabda : “Merdekakan dia” (H.R. Ahmad, al-Bazar dan
al-Thabrani dalam al-Ausath. Rijalnya terpercaya) [11]
3.
Hadits dari Abu Salamah dari Syarid berkata :
أتيت النبي صلعم فقلت: إنَّ عَلى أُمِّيْ
رَقَبَةً وإنَّ عِنْدِي جارِيَةً سَوْداءَ نُوْبِيَّةً، أَفَتُجْزِئُ عَنْها ؟
قال: أدع بها! فقال: أَتَشْهَدِيْنَ أنْ لا إله إلا اللهُ ؟ قالت: نعم. قال:
أَعْتِقْهَا فَإنَّها مُؤْمِنَةٌ!
Artinya : Aku mendatangi Nabi SAW
dan berkata, ’Sesungguhnya atas ibuku kewajiban memerdekakan budak sahaya, dan
aku punya seorang budak perempuan berkulit hitam dari suku Nubi, apakah ia
memadai ? Nabi SAW bersabda, ’Bawa dia
ke mari!’ (setelah ia didatangkan) Nabi SAW bertanya kepadanya, ’Apakah engkau
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah? Ia menjawab, ’Ya.’ Maka Nabi SAW bersabda
“Merdekakan dia, sesungguhnya dia seorang wanita mukminah!.”(H.R. al-Darimi)[12]
4.
Dari Syarid ibn Suwaid al-Tsaqafi, ia berkata:
.قلت
يا رسول الله
، إنَّ أُمِّي أَوْصَتْ أنْ نُعْتِقَ عَنها رَقَبَةً وعندي جارِيَةٌ سَوْدَاءُ،
قال: أُدْعُ بِها! فَجَاءتْ ، فقال: مَنْ رَبُّكَ ؟ قالت: اللهُ. قال: مَنْ أنَا؟
قالت: أنْتَ رَسُوْلُ اللهِ. قال: أعتقها فإنها مؤمنة
Artinya : ِAku
mengatakan : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku berwasiat agar kami
memerdekakan budak dan aku punya seorang budak sahaya berkulit hitam. Nabi SAW
bersabda, ‘Panggil dia!’ Lalu dia datang, maka Nabi SAW bertanya, ‘Siapa
Tuhanmu? Ia berkata, ‘Allah.’ Nabi SAW bertanya lagi, ‘Siapa aku?’ ia menjawab,
‘Engkau adalah Rasul Allah.’ Nabi SAW bersabda memerintah, ‘Merdekakan dia
karena sesungguhnya dia seorang wanita mukminah.’”(H.R. Ibnu Hibban [13]
dan al-Baihaqi[14])
5.
Dari
Ibnu Syihab dari Ubaidillah ibn Abdillah ibn Utbah :
أَنَّ رَجُلًا مِنْ الأَنْصَارِ جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
صَلى الله عَلَيه وَسَلم في جَارِيَةٍ لَهُ سَوْدَاءَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، إِنَّ عَلَيَّ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً، أفأعتق هذه؟ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ
اللَّهِ صَلى الله عَلَيه وَسَلم: أَتَشْهَدِينَ أَنْ لا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ؟
قَالَتْ: نَعَمْ قَالَ: أَتَشْهَدِينَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ؟ قَالَتْ:
نَعَمْ قَالَ: أَتُوقِنِينَ بِالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلى الله عَلَيه وَسَلم: فَأَعْتِقْهَا إذًا.
Artinya : Sesungguhnya ada seorang
dari Anshar datang kepada Rasulullah SAW dengan membawa seorang budak berkulit
hitam, lalu ia berkata, “Hai Rasulullah, atasku ada kewajiban memerdekakan
budak mukmin, apakah aku dapat memerdekakan si ini ?. Maka Rasulullah SAW
bersabda kepadanya, “Apakah engkau bersaksi tiada Tuhan selain Allah?” Ia
menjawab, “Ya.” Nabi SAW melanjutkan, “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad
adalah utusan Allah?” Ia pun menjawab, “Ya.” Nabi SAW bersabda lagi, “Apakah
engkau meyakini adanya kebangkitan setelah kematian?“ Ia menjawab, “Ya.” Maka
Rasulullah saw. bersabda, “Merdekakan dia.”(H.R. Malik)[15]
Ibnu Abdil Barr dalam kitab al-Tamhîd, syarah al-Muwaththa’ mengomentari hadits ini bahwa dhahir riwayatnya adalah
mursal, namun didapat dianggap bersambung sebab Ubaidillah berjumpa dengan
sejumlah sahabat Nabi SAW.[16]
Dari beberapa hadits ini saja sudah terlihat kepada kita
terdapat perbedaan redaksi satu sama lain yang tidak dapat dikompromikan. Dalam
hadits riwayat Muslim Nabi SAW menanyakan “dimana Allah” dan budak itu
menjawab : “di langit”, sedangkan dalam riwayat Abdurrazaq perkataan “dimana
Allah” dan “di langit” tidak ditemui, demikian juga dalam riwayat
Malik, al-Darimi, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi, yang ada justru kesaksian bahwa Tuhan adalah Allah dan
Muhammad sebagai utusan Allah dan seterusnya. Adapun dalam riwayat Ahmad,
al-Bazar dan al-Thabrani, dhahirnya budak perempuan tersebut adalah bisu,
karena budak itu beberapa kali menjawab pertanyaan Rasulullah SAW dengan
isyarat, tidak dengan ucapan langsung.
Pernyataan ahli hadits yang menjelaskan bahwa hadits al-jariah banyak terjadi
perbedaan redaksinya dapat disimak antara lain :
1).
Al-Baihaqi mengatakan :
قَدْ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
مُقَطَّعًا مِنْ حَدِيثِ الْأَوْزَاعِيِّ وَحَجَّاجٍّ الصَّوَّافِ، عَنْ يَحْيَى
بْنِ أَبِي كَثِيرٍ دُونَ قِصَّةِ الْجَارِيَةِ، وَأَظُنُّهُ إِنَّمَا تَرَكَهَا
مِنَ الْحَدِيثِ لِاخْتِلَافِ الرُّوَاةِ فِي لَفْظِهِ. وَقَدْ ذَكَرْتُ فِي
كِتَابِ الظِّهَارِ مِنَ السُّنَنِ مُخَالَفَةَ مَنْ خَالَفَ مُعَاوِيَةَ بْنَ
الْحَكَمِ فِي لَفْظِ الْحَدِيثِ
“Imam Muslim telah meriwayatkannya dengan memotong (tidak
keseluruhan)dari hadis al Auza’i dan
Hajâj ash Shawwâf dari Yahya ibn Abi Katsîr tanpa menyebut kisah Jâriyah.
Mungkin ia meninggalkan penyebutannya dalam hadis itu disebabkan perselisihan
para perawi dalam penukil redaksinya. Dan saya telah menyebutkan dalam kitab
al-Sunan pada bab al-Dzihâr perselisihan perawi yang menyelisihi Mu’awiyah ibn
Hakam dalam redaksi hadis.”[17]
2).
Dalam Kasyf al-Astar disebutkan :
قَالَ الْبَزَّارُ: وَهَذَا قَدْ رُوِيَ نَحْوُهُ
بِأَلْفَاظٍ مُخْتَلِفَةٍ.
“Al-Bazar mengatakan, “Ini (hadits al-jariah) telah
diriwayatkan hadits serupa dengannya dengan redaksi yang berbeda-beda.”[18]
3).
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam mengomentari hadits al-jariah ini, mengatakan :
وَفِي اللَّفْظِ مُخَالَفَةٌ كَثِيرَةٌ
”Pada redaksinya banyak terjadi
perbedaan.” [19]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami kalau
sebagian ahli hadits menganggap hadits al-jariah di atas adalah muththarib
(goyang) matannya, karena datang redaksinya dalam beberapa jalur yang berbeda
satu sama lainnya. sedangkan hadits muttharib adalah dha’if. Al-Muhaddits al-Kautsary
(Lahir : 1296 H) dan diikuti oleh Sayyed
Hasan al-Saqaf (ahli hadits kontemporer) telah menyebutkan secara tegas bahwa
hadits ini muththarib.[20]
Al-Muhaddits al-Fazha’i al-Idhamy
al-Syafi’i (w. 1376 H) menjelaskan
kepada kita bahwa redaksi “dimana Allah” dan “di langit” pada hadits jariah
tersebut bukanlah ucapan Rasulullah SAW, tetapi hanya merupakan ucapan sebagian
perawi (riwayat bil-makna) yang tersalah dalam pengungkapannya.
Argumentasi yang dikemukakan al-Idhamy, karena kaum musyrik Arab tidak keluar
dari keadaan mereka sebagai orang musyrik, padahal mereka juga mengi’tiqad
bahwa Allah di langit. Sesungguhnya yang dapat mengeluarkan mereka dari syirik
adalah pengakuan bahwa tiada tuhan selain Allah sebagaimana terdapat dalam
riwayat lain mengenai kisah al-jariah ini.[21]
Dalil bahwa seseorang tidak terlepas dari syirik sehingga ada pengakuan bahwa
tiada tuhan selain Allah adalah hadits Nabi SAW berbunyi :
أُمِرْتُ أَنْ
أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ،
Artinya : Aku diperintahkan untuk
memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan Laa ilaha illallah (H.R.
al-Thabrani dengan rijal terpercaya)[22]
Dalam riwayat
lain berbunyi :
أمرت أن أقاتل
الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأني رسول الله
Artinya : Aku diperintahkan untuk
memerangi manusia sehingga mereka naik saksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan
sesungguhnya aku adalah utusan Allah. (Muttafaqun ‘alaihi)
Al-Suyuthi mengatakan
hadits ini bernilai mutawatir.[23]
Al-Munawi juga mengatakan hadits ini mutawatir, karena telah diriwayat oleh
lima belas orang sahabat Nabi SAW.[24]
Alhasil hadits al-jariah ini tidak dapat menjadi hujjah,
karena hadits ini dha’if menurut sebagian ahli hadits. Kalaupun hadits ini
shahih, maka juga tidak dapat menjadi hujjah, karena hadits ini adalah hadits
ahad. Hadits ahad meskipun shahih tidak dapat menjadi hujjah dalam bidang
akidah sebagaimana telah dijelaskan sebelum ini.
Pemahaman
hadits al-jariah yang benar
Seandainya hadits al-jariah ini dapat dijadikan hujjah
(sekali lagi seandainya dapat dijadikan hujjah), maka panafsirannya juga tidak
sebagaimana dhahir redaksinya sebagaimana dakwaan kaum Mujassimah. Hal ini
karena penafsiran secara dhahir bertentangan dengan ijmak ulama yang mengatakan
bahwa Allah tidak diliputi oleh tempat dan arah dan demikian juga bertentangan
dengan sharih ayat al-Qur’an dan dalil syara’ lainnya sebagaimana telah
dikemukakan dalam bagian (1) tulisan ini. Berikut ini penjelasan para ulama
mengenai pengertian hadits ini, antara lain :
1. Imam an Nawawi dalam Syarah Shahih
Muslim, berkata:
هذا الحديث من أحاديث الصفات وفيها مذهبان تقدم ذكرهما مرات في
كتاب الايمان: أحدهما : الايمان به من غير خوض في معناه مع اعتقاد أن الله تعالى
ليس كمثله شئ وتنزيهه عن سمات المخلوقات، والثاني : تأويله بما يليق به ، فمن قال
بهذا قال: كان المراد امتحانُها هل هي موحدة تقر بأن الخالق المدبر الفعال هو الله
وحده وهو الذي إذا دعاه الداعي استقبل السماء كما إذا صلى المصلي استقبل الكعبة
وليس ذلك لانه منحصر في السماء كما أنه ليس منحصرا في جهة الكعبة، بل ذلك لان
السماء قبلة الداعين كما أن الكعبة قبلة المصلين، أو هي من عبدة الاوثان العابدين
للاوثان التي بين أيديهم فلما قالت في السماء علم أنها موحدة وليست عابدة للاوثان.
“Hadis ini termasuk hadis-hadis sifat. Tentangnya ada dua
aliran (penafsiran), telah lewat berulang kali keterangan tentangnya dalam
Kitabul Iman, Pertama : Mengimaninya tanpa menelusuri maknanya dengan keyakinan
bahwa Allah Ta’ala tidak ada sesuatu
yang menyerupai-Nya, dan menyucikan-Nya dari sifat-sifat makhluk. Kedua : menta’wilkannya
dengan makna yang layak bagi-Nya. Dan batangsiapa yang mengikuti pendapat ini
mengatakan bahwa maksud kandungan hadits ini adalah menguji si budak wanita itu
apakah ia mengesakan Allah dengan mengakui bahwa Zat Maha Pencipta, Mengatur
semesta alam dan yang Maha Berbuat segala sesuatu adalah hanya Allah? Dan
Dialah yang apabila seorang pendo’a memanggil-Nya ia menghadap langit, seperti
jika ia shalat menghadap Ka’bah. Yang demikian bukan dikarenakan Allah dibatasi
di langit sebagaimana Dia tidak dibatasi di arah Ka’bah, akan tetapi karena
langit adalah kiblat para pendo’a sebagaimana ka’bah kiblat shalat, atau dia
(budak perempuan itu) adalah penyembah patung yang berada di depan para
penyembahnya. Dan ketika ia mengatakan: Dia di langit, Nabi SAW memaklumi bahwa
dia seorang yang mengesakan Allah bukan penyembah patung.”[25]
2. Qadhi ‘Iyadh mengatakan :
لا خلاف
بين المسلمين قاطبة فقيههم ومحدثهم ومتكلمهم ونظارهم ومقتدهم أن الظواهر الواردة
بذكر الله تعالى في السماء كقول الله تعالى ءأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الارض ونحوه ليست على ظاهرها
“Tidak diperselisihkan di antara
kaum Muslimin, baik ahli fikih, ahli hadis, para teoloq, ahli pikir dan
pengikut di antara mereka bahwa dhahir-dhahir nash yang datang menyebut Allah
di langit seperti firman Allah: “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang
ada di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu?” dan yang
semisalnya itu tidak diartikan secara dhahirnya.”[26]
3. Al-Hafidh Ibnu al-Jauzy dalam
mengomentari hadits ini, mengatakan :
.قلت
: قد ثبت عند العلماء أن الله تعالى لا تحويه السماء والارض ولا تضمه الاقطار
وإنما عرف بإشارتها تعظيم الخالق عندها .
“Aku berkata, ‘Telah tetap di
kalangan para ulama bahwa Allah Ta’ala tidak dirangkum oleh langit dan bumi dan
tidak pula dihimpun oleh penjuru, akan tetapi dikenali-Nya dengan isyarat budak
perempuan itu kearah langit karena pengagungan Zat Maha Pencipta.”[27]
Jadi,
isyarat budak perempuan itu bahwa Allah di langit bukan bermakna sesungguhnya,
tetapi hanya sebagai ungkapan pengagungan kepada Allah Ta’ala sebagaimana syair-syair
klasik orang-orang Arab telah membuktikan bahwa mereka terbiasa jika hendak
mengagungkan sesuatu perkara mensifatinya dengan sesuatu yang tinggi, seperti bait
syair yang digubah pujanggga kenamaan Arab di masa jahiliyah, ’Antarah ibn
Syaddâ al-Absi:
مقامك في جو السماء مكانه * وباعي
قصير عن نوال الكواكب
“Kedudukanmu di awang-awang langit
tempatnya * sedangkan lenganku pendek tuk menggapai bintang gemintang.”[28]
Akhthal salah seorang penyair terkenal pada zaman Bani
Umayyah juga menggubah bait syair berbunyi:
بنو دارم عند السماء وأنتم * قذى
الارض أبعد بينما بين ذلك
”Suku Bani Dârim di langit sedangkan
kamu* debu bumi, duhai alangkah jauhnya antara keduanya.”[29]
4. Membantah Ibnu Zafil yang berpendapat Allah
berada di langit, Imam al-Subki dalam kitabnya al-Saif al-Shaqîl Fi ar Raddi ‘alâ Ibni
Zafîl mengatakan :
أقول: أما القول: فقوله صلعم للجارية "أين الله ؟" قالت: "في السماء"
وقد تكلم الناس عليه قديما وحديثا والكلام عليه معروف ولا يقبله ذهن هذا الرجل
“ِAku berkata ‘Adapun
ucapannya: Sabda Nabi SAW kepada si budak perempuan, ‘Di mana Allah?’ dan
jawabannya, ‘Di langit.’ Ketahulilah bahwa para ulama sejak dahulu hingga sekarang
telah banyak membicarakan hadis tersebut. Pembicaraan tentangnya sangat ma’ruf,
dan akan orang ini (Ibnu Zafil) tidak menerimanya.”[30]
Berdasarkan keterangan-keterangan di
atas dapat disimpulkan bahwa hadits al-jariah tersebut tidak boleh ditafsirkan
menurut makna dhahirnya, akan tetapi wajib diserahkan maksudnya kepada Allah Ta’ala
tanpa menelusuri maknanya dengan mengi’tiqad bahwa Allah maha suci dari mempunyai
tempat dan arah (mazhab tafwidh). Atau menafsirkannya sesuai dengan
sifat yang layak bagi kemahasucian Allah Ta’ala sebagaimana tafsiran sebagian
ulama yang telah kita kemukakan di atas.
Bersambung
ke bag. 4
[1] Imam Muslim, Shahih
Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 381, No hadits : 537
[2] Al-Juwaini, al-Irsyad,
Maktabah al-Khaniji, Mesir, Hal. 419
[3] Al-Juwaini, al-Warqaat,
(dicetak pada hamisy Hasyiah al-Dimyathi ‘ala Syarah al-Warqaat), Maktabah Raja
Murah, Pekalongan, Hal. 19
[4] Zakariya
al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 97
[5] Al-Nawawi, Syarah Muslim,
Muassisah Qurthubah, Juz. I, Hal. 187-188
[6] Ibnu Abd
al-Barr, al-Tamhid, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 7
[7] Lihat al-Nawawi, Syarah Muslim,
Muassisah Qurthubah, Juz. I, Hal. 188
[8] Abdurrazzaq, Mushannaf
Abdurrazzaq, Maktabah Syamilah, Juz. IX, hal. 175
[9] Ahmad bin
Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, Maktabah Syamilah, Juz. XXV,
Hal. 19, No. Hadits 15743
[10] Al-Haitsami, Majma’
al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 23
[11]
Al-Haitsami, Majma’
al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 23-24, No Hadits 42
[12] Al-Darimi, Sunan
al-Darimi, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 1514, No. hadits : 2393
[13] Ibnu Hibban, Shahih
Ibnu Hibban, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 418, No. 189
[14] Al-Baihaqi, Sunan
al-Kubra, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 638, No. 15272
[15] Imam al-Malik,
al-Muwatha’, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 405, No. 2731
[16] Ibnu Abd
al-Barr, al-Tamhid, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 114
[17] Al-Baihaqi, al-Asmaa
wal-Shifat, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 325
[18] Al-Haitsami, Kasyf al-Astar,
Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 14
[20] Hasan al-Saqaf,
Syarah Aqidah al-Thahawiyah, Dar al-Imam al-Rawas, Beirut, Hal. 357
[22] Al-Haitsami, Majma’
al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 25.
[23] Al-Suyuthi, al-Jami’
al-Shaghir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal.2250
[24] Al-Munawi, Faidhul
Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 188
[25] Al-Nawawi, Syarah
Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. V, Hal. 33-34
[26] Al-Nawawi, Syarah
Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. V, Hal. 34
[27] Ibnu al-Jauzy,
Daf’u Syubah, Dar al-Imam al-Rawaas, Beirut, Hal. 189
[29] Mahdi Muhammad
Nashiruddin, Syarah Dewan al-Akhthal, Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
Beirut, Hal. 221
[30] Imam al-Subki,
al-Saif al-Shaqîl Fi ar Raddi ‘alâ Ibni Zafîl, Maktabah al-Azhariyah lil Turatsi, Kairo, Hal. 82-83
Assala mu'alaikum TGK. saya yang awam ini mau tanya, Para orang-orang salafi/wahabi membantah tentang ALLAH ada tanpa tempat & arah, dan mereka menggunakan nukilan pendapat Imam-imam yg diantarnya;>>>>>>>> -Al-Imam Al-Auzaa'i rahimahullah (wafat 157 H)
BalasHapus-Qutaibah bin Sa'iid (150-240 H)
-Ibnu Qutaibah (213 H- 276 H)
-Utsmaan bin Sa'iid Ad-Daarimi (wafat 280 H)
-Zakariyaa As-Saaji (wafat tahun 307 H)
-Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (223 H-311 H)
dan banyak lagi di antaranya..yang ber pendapat tentang ALLAH ada di atas langit!!
Bagai mana pendapat TGK tentang nama-nama Imam di atas.??
tulisan pada link ini mungkin dapat membantu sdr : http://ummatipress.com/firanda-pendusta-murokkab-berhujjah-dengan-hujjah-dusta-dan-palsu.html
Hapuswassalam
Tulisan yg bagus namun anda tidak konsisten, beberapa hal patut anda renungkan:
BalasHapus1) Bagaimana anda mengkategorikan hadis jariyah di atas sbg hadis ahad, padahal ia datang dari berbagai riwayat.
2) Pada tulisan di atas anda seakan-akan menolak hadis ahad sbg dalil dalam masalah aqidah, padahal anda sendiri justru menggunakan hadis ahad dlm perkara aqidah. Disini anda tidak konsisten. Baca kembali tulisan anda pada bag-1
3) Pada bag-1, anda mengatakan hadis2 ahad yg anda kutip dapat digunakan sebagai hujjah karena mengandung makna qath'i. Sejak kapan atau ulama siapa yg mengatakan hadis ahad dpat dipandang sbg dalil qath'i
4) Pada bag-1, anda mengatakan hadis ahad yg anda kutip dapat digunakan sebagai hujjah karena bersesuaian dgn maknanya dgn ayat al-Qur'an. Ayat yg mana? Ayat2 yg anda kutip itu tidak secara terang menolak "Allah fissama". Argumen ini sama sekali tidak qath'i, justru inilah yg disebut zanni, meragukan, tidak pasti, sebab anda sendirilah yang memaknainya demikian. Zahir ayatnya tidak begitu.
Spertinya anda belum clear memahami perbedaan dalil qath'i dan zanni.
5) Hadis jariyah yang anda tolak di atas itu, justru lebih bersesuaian dengan makna ayat2 al-Qur'an. Bukan hanya satu tapi banyak. Surah al-Baqarah (Allah bersemayam di atas Arasy, Surah al-Mulk (Allah di Langit), dll.
Jika anda konsisten, seharusnya anda tidak menolak hadis jariyah tersebut karena redaksi dan maknanya justru sejalan dengan banyak ayat al-Qur'an.
Demikian terimakasih