Kopi luwak
merupakan biji kopi yang kerap menjadi konsumsi luwak. Luwak adalah hewan
sejenis musang yang memiliki kegemaran memakan ayam, kopi, dan juga makanan
lainnya. Biji kopi yang menjadi kotoran luwak inilah yang disebut kopi luwak.
Sebelum kita menjawab hukum mengkonsumsikan
kopi luwak ini, perlu dijelaskan bahwa para ulama telah menjelaskan bahwa biji-bijian yang ditelan hewan kemudian dikeluarkan baik dengan cara
dimuntahkan ataupun dikeluarkan melalui anus bersama kotorannya, rincian
hukumnya adalah sebagai berikut:
1. Mutanajjis (benda bernajis,bukan najis) bila ketika
keluar biji tersebut masih baik, bila ditanam akan tumbuh, maka cukup disucikan
dengan dibersihkan kotoran-kotoran yang menempel padanya kemudian dicuci dengan
air, maka biji tersebut menjadi suci dan dapat dimakan
2. Najis, bila telah hancur atau busuk, bila ditanam tidak akan tumbuh
lagi. Najis tidak dapat disucikan lagi dan tidak boleh dikonsumsi.
Rincian di atas merupakan kesimpulan dari nash kitab-kitab karya
ulama mu’tabar berikut ini:
1. Dalam kitab Majmu' Syarah al-Muhazzab
karya Imam al-Nawawi disebtukan :
قال أصحابنا رحمه الله إذا أكلت البهمية
حبا وخرج من بطنها صحيحا فإن كانت صلابتها باقية بحيث لو زرع نبت فعينه طاهرة لكن
يجب غسل ظاهره لملاقاة النجاسة لانه وان صار غذاء لها فما تغير الى الفساد فصار
كما لو ابتلع نواة وخرجت فأن باطنها طاهر ويطهر قشرها بالغسل وإن كانت صلابتها قد
زالت بحيث لو زرع لم ينبت فهو نجس ذكر هذا التفصيل هكذا القاضى حسين والمتولى
والبغوى وغيرهم
“Sahabat kami r.a. berkata, ‘Ketika binatang
menelan sebuah biji, lalu keluar dari perutnya dalam keadaan utuh, maka harus
dilihat dari kerasnya biji itu. Kalau kerasnya biji itu tetap dalam arti ketika
biji itu ditanam lantas tumbuh, maka hukum
biji itu suci. Tetapi
wajib dicuci permukaan biji itu karena bersentuhan dengan najis. Karena,
meskipun biji itu merupakan makanan binatang itu, tetapi biji tersebut tidak menjadi rusak. Ini sama halnya dengan biji
yang ditelan binatang, lalu keluar dari duburnya, maka bagian dalam bijinya adalah
suci dan suci kulit bijinya dengan dibasuh. Tetapi
jika kekerasan biji itu hilang artinya ketika biji ditanam tidak tumbuh, maka
hukum biji itu najis.’ Demikian disebutkan secara rinci. Begitulah dikatakan
Qadhi Husein, al-Mutawalli, al-Baghawi, dan ulama lain.”[1]
2.
Dalam kitab Nihayatul Muhtaj karya
Imam al-Ramli disebutkan :.
نَعَمْ لَوْ رَجَعَ مِنْهُ حَبٌّ
صَحِيحٌ صَلَابَتُهُ بَاقِيَةٌ بِحَيْثُ لَوْ زُرِعَ نَبَتَ كَانَ مُتَنَجِّسًا
لَا نَجِسًا ، وَيُحْمَلُ كَلَامُ مَنْ أَطْلَقَ نَجَاسَتَهُ عَلَى مَا إذَا لَمْ
يَبْقَ فِيهِ تِلْكَ الْقُوَّةِ .وَمَنْ أَطْلَقَ كَوْنَهُ مُتَنَجِّسًا عَلَى
بَقَائِهَا فِيهِ كَمَا فِي نَظِيرِهِ مِنْ الرَّوْثِ ، وَقِيَاسُهُ فِي الْبَيْضِ
لَوْ خَرَجَ مِنْهُ صَحِيحًا بَعْدَ ابْتِلَاعِهِ بِحَيْثُ تَكُونُ فِيهِ قُوَّةُ
خُرُوجِ الْفَرْخِ أَنْ يَكُونَ مُتَنَجِّسًا لَا نَجِسًا .
“Namun
demikian, jika biji tersebut kembali dalam kondisi semula sekira ditanam dapat
tumbuh maka hukumnya adalah mutanajjis, bukan najis. Karena itu, dapat difahami bahwa pendapat yang menyebutkan kenajisannya
secara mutlaq kemungkinan jika tidak dalam kondisi kuat. Sementara itu,
pendapat yang menyebut secara mutlaq sebagai mutanajjis kemungkinan dalam
kondisi tetap, sebagaimana barang yang terkena kotoran lain. Yang serupa dengan
biji-bijian adalah pada telur, maka jika
keluar dalam kondisi utuh setelah ditelan dengan sekira ada kekuatan untuk
dapat menetas, maka hukumnya mutanajjis bukan najis.”[2]
3.
Dalam Fathul Mu`in karya Zainuddin al-Malibari
disebutkan :
ولو راثت أو قاءت بهيمة حبا، فإن كان صلبا بحيث لو زرع نبت، فمتنجس
يغسل ويؤكل، وإلا فنجس
“Seandainya seekor binatang
mengeluarkan kotoran atau memuntahkan biji-bijian, jika biji itu tersebut masih
keras sekira kalau ditanam masih tumbuh, maka hukumnya adalah mutanajjis yang
dapat dibasuh dan kemudian dimakan, tetapi jika tidak keras lagi, maka najis.”[3]
4.
Dalam Nihayatuz Zain karya al-Nawawi al-Bantani disebutkan :
نَعَمْ لَوْ رَجَعَ مِنْهُ حَبٌّ
صَحِيحٌ صَلَابَتُهُ بَاقِيَةٌ بِحَيْثُ لَوْ زُرِعَ نَبَتَ كَانَ مُتَنَجِّسًا
لَا نَجِسًا
“Namun demikian, jika biji
tersebut kembali dalam kondisi semula sekira ditanam dapat tumbuh maka hukumnya
adalah mutanajjis, bukan najis[4]
Berdasarkan keterangan-keterangan
para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa
mengkonsumsikan kopi luwak, hukumnya dapat dirincikan sebagai berikut :
1.
Apabila biji kopi luwak itu
berasal dari kotoran binatang, dimana keadaannya sudah rusak dan tidak keras
lagi, maka mengkonsumsinya adalah haram, karena biji tersebut najis.
2.
Ukuran rusak biji tersebut adalah
apabila ditanam tidak mau tumbuh lagi
3.
Sebaliknya, apabila biji kopi
tersebut masih utuh dan keras dalam arti apabila ditanam masih bisa tumbuh,
maka biji kopi tersebut mutanajjis. Dengan demikian, apabila dicuci dengan air,
maka hukumnya adalah suci dan dapat dimakan. Hal ini karena biji kopi tersebut sama
dengan biji batu yang ditelan binatang kemudian dikeluarkan lewat anus.
Dalil pendapat ini adalah karena tidak
ada keterangan dari dalil syara’ yang mengharamkannya. Karena itu, berlakukan
qaidah fiqh berbunyi :
الاصل في الاشياء الاباحة حتى يدل
الدليل على التحريم
“Asal
sesuatu adalah mubah sehingga ada dalil yang mengharamkannya.”[5]
Qaidah fiqh ini didasarkan kepada
dalil syara’ sebagai berikut :
1.
Firman Allah Q.S. al-Baqarah : 29
berbunyi :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ
جَمِيعًا
Artinya : Dia (Allah) yang telah menjadikan untukmu semua apa
yang ada di bumi. (Q.S. al-Baqarah : 29)
2.
Dari Abu al-Darda’ beliau berkata
:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: مَا أَحَلَّ
اللَّهُ فِي كِتَابِهِ فَهُوَ حَلَالٌ، وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ، وَمَا سَكَتَ
عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ، فَاقْبَلُوا مِنَ اللَّهِ عَافِيَتَهُ ; فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ
يَكُنْ لِيَنْسَى شَيْئًا
Artinya :
Rasulullah SAW bersabda : “Apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitabnya maka adalah
halal dan apa yang diharamkan-Nya, maka haram dan apa yang didiamkan-Nya, maka
dimaafkan. Untuk itu, terimalah pemaafan-Nya, sebab Allah tidak pernah lupa
tentang sesuatupun.” (H.R. al-Bazar dan al-Thabrani dengan isnad hasan
dan rijal terpercaya)[6]
Adapun kotoran
binatang yang telah dinyatakan najis oleh syara’ adalah apabila kotoran itu
hancur dan sudah rusak akibat proses penghancuran oleh alat pencernaan makanan
dalam lambung. Sedangkan biji kopi luwak ini apabila tidak rusak alias masih
keras, maka lebih cenderung sama dengan biji batu yang ditelan binatang dan
kemudian dikeluarkan sebagai kotorannya.
Catatan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat dalam
fatwanya No. 07 Tahun 2010 menetapkan sebagai berikut :
1.
Kopi
luwak adalah mutanajjis, bukan najis
2.
Kopi
luwak adalah halal setelah disucikan
3.
Mengkonsumsikan
kopi luwak adalah boleh
4.
Memproduksikan
dan memperjualbelikan kopi luwak adalah boleh
[1] Al-Nawawi, Majmu’
Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. II, Hal. 591
[2] Al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj,
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, hal. 240
[3] Zainuddin al-Malibari, Fathul
Muin, Dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang,
Juz. I, Hal. 82
[4] al-Nawawi
al-Bantani, Nihayatuz Zain , Dar al-Kutub al-Islamiyah, Jakarta, Hal.
50
[5] Al-Suyuthi, al-Asybah
wan Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 43
[6] Al-Haitsami, Majma’
al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. I, hal. 171, No. 794
Tidak ada komentar:
Posting Komentar